Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Revisiting the Role of Women as Witnesses in Fiqh Justice Dahwadin Dahwadin; Syaik Abdillah; Sasa Sunarsa; Muhamad Dani Somantri; Enceng Iip Syaripudin; Hapsah Fauziah
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 19, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v19i1.11768

Abstract

This paper discusses the role of women as witnesses in a court. This is one of debatable issues in Islamic law considering the provision stating that the value of two women’s testimony is equal to one man’s testimony. Based on a more comprehensive discussion and by revisiting the Islamic resources on this issue, this paper concludes that the provision in the hadith, historically, regards heavily on women’s capability and readiness to perform their duties as witnesses. It can be seen in the case of qadzaf where women can be witnesses for themselves (by stating four oaths in the name of Allah). Therefore, in the current development, women’s role as witnesses needs to be reconsidered so that women can appear in the judiciary to play a role in supporting justice. Penelitian literatur  (library research) ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana pandangan kesaksian perempuan dalam Islam melalui pendekatan analitik terhadap ketentuan dalam fikih keadilan yang ditinjau melalui berbagai  berbagai corak diskusi dan referensi yang mendukung penelitian ini. Kesaksian merupakan proses menemukan dan membuktikan kebenaran dalam  perkara  perdata maupun  pidana. Dalam  hukum Islam, hal-hal yang membutuhkan kesaksian seperti itu adalah pernikahan dan perceraian yang menyangkut hudud dan qisha. Ada beberapa kriteria khusus dalam memberikan kesaksian. Dalam masalah-masalah spesifik, perempuan  tidak diizinkan memberikan kesaksian, diantaranya ialah wilayah hudud dan qisha. Ketentuan lainnya ialah  perempuan dapat  menjadi saksi di pengadilan, tetapi hanya dalam kasus perdata (transaksi keuangan), dan itupun bobot dua wanita sama dengan satu pria. Apabila  merujuk pada makna teks, maka jelas siapa pun dia (wanita) dan kualifikasinya tidak diperbolehkan untuk melayani sebagai saksi dalam kasus pidana. Meskipun secara historis,  terbukti banyak wanita cerdas, memiliki kedewasaan emosional, kredibilitas, dan berbagai kemampuan yang memenuhi syarat untuk tampil sebagai saksi dalam kasus-kasus, baik sipil maupun pidana. Masalah kesaksian seorang perempuan tersebut dinilai oleh sebagian orang sebagai salah satu perbedaan yang mensubordinasi perempuan. 
PERAN ILMU SHARF DAN NAHWU TERHADAP PEMAHAMAN AL-QUR’AN SANTRI SALAFIYYAH PONDOK PESANTREN MIFTAHUL MUBTADIIN GARUT Hapsah Fauziah; Dahwadin; Yanyan Nurjani; Siti Aliyah
Jurnal Naratas Vol 2 No 1 (2019): Jurnal Naratas
Publisher : STAI Al-Musaddadiyah Garut

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37968/jn.v1i1.33

Abstract

Ilmu Sharf dan Nahwu merupakan dua disiplin ilmu dalam bidang tata Bahasa Arab. Keduanya saling berhubungan satu sama lain. Untuk memahami Al-Qur’an yang baik dan benar setiap orang haruslah mendalami Ilmu Sharf dan Nahwu terlebih dahulu. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana peran Ilmu Sharf dan Nahwu terhadap pemahaman Al-Qur’an pada santri salafiyah Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Garut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur pemahaman Al-Qur’an setelah santri mengikuti mata pelajaran yang memfokuskan pada kaidah Bahasa Arab lmu Sharf dan mata pelajaran yang memfokuskan pada kaidah Bahasa Arab Ilmu Nahwu dan mengetahui peran Ilmu Sharf dan Nahwu terhadap pemahaman Al-Qur’an. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, yaitu peneliti mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), diantaranya adalah dengan mengadakan tes baik lisan maupun tulisan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ilmu Sharf dan Nahwu memliki peran dan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pemahaman Al-Qur’an santri salafiyah Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Garut. Hal tersebut terbukti ketika santri ditugaskan mengkaji Al-Qur’an, dalam menentukan isi mereka mengidentifikasi asal kata yang sulit dipahami terlebih dahulu dan menentukan jabatan atau kedudukan kata dalam kalimat tersebut lalu kemudian dapat menyimpulkann maksud dari ayat Al-Qur’an yang dikaji tersebut.