Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

A Critical Study On Ghaybah Of Imam Mahdi Concept In Shi’ah Imamiyah Ithna ‘Ashariyyah M Kholid Muslih; Ahmad Tauhid Mafaza; Amir Sahidin
Jurnal Ushuluddin Vol 29, No 2 (2021): July - December
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/jush.v29i2.13981

Abstract

The debate over whether the teachings of the Imāmah Shī'ah Imāmiyah Ithnā 'Ashariyah, including the teachings of the Prophet Muhammad, cannot be avoided. Both SAW the need for Imamat as a substitute for the position of the prophet in managing religion and the world. However, there are fundamental differences that cannot be tolerated, according to ahl sunnah (Sunni), Imāmah is fardhu kifayah, while according to Shī'ah Imāmiyah, it is one of the principles of faith that must be believed. This Shī'ah belief also experienced a deadlock due to the polemic whether Imam al-Ḥasan al-'Ashkari had descendants or not. This deadlock was answered by them by bringing up a new concept in aqidah, called Ghaybah. Therefore, the author sees the need to critically examine this concept of ghaybah, because it is the foundation of the building of the Imamate that is believed to be. In addition to strengthening the faith of Muslims (Sunni), this study will also examine how strong the argument for the concept of ghaybah is. Through a study of the type of library research with a descriptive-critical analysis approach, it can be concluded, first, that the concept of ghaybah does not have a strong argumentative basis. Second, the figure of Imam Mahdi who they believed was only a fictitious figure. Third, the essence of Imam Mahdi's ghaybah contradicts the hadiths of the Prophet SAW and statements of the Shi'ah scholars themselves
Maqāṣid al-Sharī’ah Values in al-Māwardī’s Concept of the Caliphate Muhamad Fajar Pramono; Amir Sahidin
Al-Ahkam Vol 31, No 2 (2021): October
Publisher : Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (494.585 KB) | DOI: 10.21580/ahkam.2021.31.2.8612

Abstract

This article aims to reveal the values of maqāṣid al-sharī'ah in al-Māwardī's concept of the caliphate. He emphasizes the relationship between politics and maqāṣid al-sharī'ah, both of which aim to realize the benefit. Through literature study using the descriptive-analytical method, this paper finds that his basic concept of the caliphate is influenced by his understanding of maqāṣid al-sharī'ah, including maqāṣid al-imāmah, wasīlah legal status, and maṣlaḥah rules. All three are criteria and conditions that a leader meets. He succeeded in formulating a series of prerequisites for a leader to realize the benefit of the people. These prerequisites are in line with the substance of maqāṣid al-sharī'ah.
Filantropi Islam Menjawab Problem Kesenjangan Ekonomi Umat M. Syahrul Syarifuddin; Amir Sahidin
Jurnal Penelitian Medan Agama MEDAN AGAMA, VOL. 12, NO. 2, DESEMBER 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58836/jpma.v12i2.11506

Abstract

Kesenjangan ekonomi merupakan suatu ketidakseimbangan yang menjadi pemisah antara si kaya dan si miskin. Ia merupakan masalah sosial ekonomi yang terjadi di ranah global saat ini, termasuk di Indonesia sendiri. Karenanya kesenjangan ekonomi merupakan masalah serius yang harus dicari solusinya. Menurut Islam, kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin adalah sunnatullah. Karena pada hakikatnya manusia berbeda-beda keadaannya, ada yang ditakdirkan kaya dan adapula sebaliknya. Akan tetapi Allah melarang setiap perilaku yang menyebabkan kemiskinan dan kesenjangan, seperti tidak mau membantu fakir, miskin dan membiarkan mereka dalam kelaparan. Di antara solusi yang ditawarkan Islam dalam menjawab kesenjangan ekonomi yang ada adalah filantropi Islam. Melalui kajian kepustakaan atau library research yang otoritatif dapat disimpulkan bahwa, pertama, penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: faktor natural, kultural dan struktural. Hal ini disebabkan dari pengaruh sistem kapitalisme dan materialisme. Kedua, ada banyak dampak yang sangat buruk dari kesenjangan ekonomi seperti, terjadi pemberontakan, kriminalitas, radikalisme, kemiskinan, pendapatan nasional menurut, dan pembagunan nasional terhambat. Ketiga, Islam menyelesaikan kesenjangan dengan cara berperilaku adil khususnya dalam ekonomi, adanya saling tolong-menolong antar sesama, dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya zakat, wakaf, infaq dan sedekah yang kesemuanya merupakan filantropi Islam
Kedudukan Penting Baitul Maqdis Bagi Umat Islam (Studi Analisis Historis) Amir Sahidin
Jurnal Penelitian Medan Agama MEDAN AGAMA, VOL. 12, NO. 1, JUNI 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58836/jpma.v12i1.9887

Abstract

Baitul Maqdis adalah kota suci, bersih dan diberkahi, terletak di pertengahan wilayah Palestina. Kota ini dahulu merupakan ibu kota Syam yang disifati oleh Allah SWT dengan keberkahan. Bahkan, penyebutannya sebagai kota atau tanah barakah sebanyak lima kali dalam empat surat Makkiyah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi umat Islam. Namun disayangkan, penjajahan terhadap Baitul Maqdis kini terulang kembali, dilakukan oleh kaum Yahudi. Dari sini penulis melihat perlunya untuk menulis artikel tentang kedudukan penting Baitul Maqdis bagi umat Islam, sehingga akan tumbuh kesadaran untuk membantu kaum Muslimin yang terjajah di tanah barakah tersebut. Artikel ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan berbagai data dari perpustakaan (library research). Berdasarkan kajian tersebut, dapat disimpulkan, Baitul Maqdis memiliki kedudukan penting bagi umat Islam karena ia merupakan kiblat pertama kaum Muslimin; tempat diutus dan singgahnya kebanyakan para nabi; dan terdapat banyak keutamaan. Kedudukan penting ini diperkuat dengan langkah-langkah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat untuk menaklukkannya. Ditambah dengan respon kaum Muslimin baik dari kalangan ulama, hakim, penyair, dan panglima perang pasca penjajahan atau invasi Pasukan Salib terhadap Baitul Maqdis. Selain itu, Baitul Maqdis merupakan bukti toleransi umat Islam terhadap agama lain. 
Hukum Safar Wanita Tanpa Mahram Menurut Pandangan Para Ulama Inayah Nazahah; Amir Sahidin
Jurnal Penelitian Medan Agama MEDAN AGAMA, VOL. 12, NO. 2, DESEMBER 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58836/jpma.v12i2.11240

Abstract

Setiap syariat Islam pasti bertujuan mendatangkan maslahat dan menolak mudarat. Dalam salah satu aturan syariat, Allah Ta’ala memberikan sebuah aturan bersafar yang khusus ditujukan untuk wanita, yaitu harus bersama mahram ketika bersafar. Namun, melihat zaman dan kondisi hari ini yang berbeda dengan zaman dulu, banyak para wanita yang masih dilema keraguan mengenai status hukum safar wanita tanpa mahram. Untuk itu para ulama berbeda pendapat terkait ‘illah larangan wanita bersafar tanpa mahram. Penelitian ini merupakan penelitian berjenis library reseach, dengan pendekatan deskriptif-analisis. Adapun hasil dari penelitian ini, para ulama terbagi menjadi dua pandangan terkait hukum wanita bersafar tanpa mahram; sebagian berpendapat bahwa ‘illah-nya adalah safar tanpa mahram itu sendiri. Sehingga berkonsekuensi haramnya safar bagi wanita tanpa mahram, baik dalam kondisi safar wajib, sunnah maupun mubah. Sedangkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa ‘illah, larangan safar bagi wanita tanpa mahram adalah keamanan untuk bersafar. Hal ini berkonsekuensi pada bolehnya safar baik dalam kondisi safar wajib, sunnah ataupun mubah. Adapun safar yang ditujukan untuk keharaman, maka jelas hukumnya adalah haram.
Ibn Khaldun's Perspective on the Social Contract (Bai’at) and Its Implementation in the State System Muhamad Fajar Pramono; Muhammad Sofian Hidayat; Amir Sahidin
Jurnal Ushuluddin Vol 31, No 1 (2023): January - June
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/jush.v31i1.18896

Abstract

The social contract is a critical concept in the democratic system brought by the West. This concept agrees with the existence of agreements and the transfer of power from the people to the authorities based on the principle of the general will, in the form of individual freedoms that must be protected and realized. It is then very contrary to the conception of Islamic politics, which has a concept equivalent to a social contract in the form of the Bai’at concept. Therefore, this research objectives were to examine the Bai’at concept put forward by Ibn Khaldun to be a mirror for comparison of the Western social contract; and to see its implementation in the state system. Based on the library research method with a descriptive-analytical approach, it could be concluded that: first, the Western social contract contained three interconnected concepts, namely: society, sovereignty, and liberty. Second, according to Ibn Khaldun, Bai’at was very relevant to be referred to as a social contract with three pieces of evidence: the ummah or society in the position of giving the bai'at; power aimed to maintain the benefit of the ummah; and shari’a which is the agreement value. Third, its implementation in the state system was seen in the appointment of leaders in Islam: the existence of a contract between the leader and the community to benefit the hereafter
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN AL-ATTAS MENJAWAB PROBLEMATIKA SEKULARISME TERHADAP ILMU PENGETAHUAN Amir Sahidin
IMTIYAZ: Jurnal Ilmu Keislaman Vol. 6 No. 2 (2022): September
Publisher : LPPM STAI Muhammadiyah Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46773/imtiyaz.v6i2.354

Abstract

Secularism is a thought born of Western perspectives and experiences, which has had a negative impact on contemporary science. The bad impact is based on the conception of secularism itself, in the form of disenchantment of nature, or the emptying of the universe from religious and spiritual values; desacralization of politics or political exclusion from religious and spiritual elements; also deconsecration of false or relativizing human values, so that there are no absolutes in a truth. For this reason, Syed Naquib al-Attas sees the need for the Islamization of knowledge to answer the problem of secularism. Through a library research type study with a descriptive-analytical approach, it can be concluded that al-Attas' Islamization of knowledge answers the problem of secularism in science with three things. First, it frees people from the ideology and perspective of secularism. Second, dewesternization or separating important concepts and elements that make up Western civilization and culture. Third, integration or incorporating important concepts and elements of Islam into science that has been sterilized from important Western concepts and elements. These three things are an attempt to answer the problems of secularism in science.
Takhrīj Hadits Sarad al-Asmā’ fī al-Kutub at-Tis'ah Amir Sahidin
Studi Multidisipliner: Jurnal Kajian Keislaman Vol 9, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padngsidimpuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24952/multidisipliner.v9i1.4848

Abstract

Artikel ini berangkat dari kesalahpahaman sebagian masyarakat yang menganggap hadis tentang perincian al-asmā’ al-husnā (sard al-asmā’) merupakan hadis shahīh. Sehingga mereka sangat bersemangat dalam menghafal perincian al-asmā’ al-ḥusnā tersebut dengan keyakinan, siapa yang menghafalnya akan masuk ke dalam surga. Padahal hadis tersebut bertentangan dengan berbagai hadis lain yang sahīh dan juga menuai banyak kritik dari para ulama. Oleh karenanya penulis melihat perlu untuk men-takhrīj hadis tentang perincian al-asmā’ al-husnā ini dalam al-kutub al-tis‘ah. Melalui kajian kepustakaan atau library reseach dengan pendekatan deskriptif-analisis dapat disimpulkan, pertama hadis tentang perincian al-asma’ al-husna didapati dalam dua tempat, riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi. Kedua: hadis riwayat Ibnu Majah ḍa‘īf disebabkan adanya Abdul Malik, seorang yang ḍa‘īf. Ketiga hadis riwayat tirmidzi dinyatakan ḍa‘īf tersebab adanya perbedaan redaksi, kemungkinan idrāj dan tadlīs dari Walid bin Muslim, seorang mudallis. Keempat, baik dalam matan riwayat Ibnu Majah maupun Tirmidzi memiliki redaksi yang berbeda satu dengan lainnya, dan bertentangan dengan yang lebih kuat.