Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Resiliensi Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita: Bagaimana Peran Koherensi Keluarga? Alifah Nuke Febrianty; Alabanyo Brebahama; Melok Roro Kinanthi
Jurnal Online Psikogenesis Vol 8, No 1 (2020): Juni
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24854/jps.v8i1.1315

Abstract

Tunagrahita merupakan salah satu jenis disabilitas yang membuat penyandangnya memiliki inteligensi jauh di bawah rata-rata serta kemampuan bina bantu diri yang terbatas. Hambatan tersebut membuat anak tunagrahita menjadi kurang mandiri sehingga orang tua harus memberikan perhatian serta bantuan yang lebih besar dibandingkan dengan anak pada umumnya. Hal inilah yang dapat menjadi stressor bagi keluarga terutama ibu yang merupakan caregiver utama pada anak karena ibulah yang paling banyak meluangkan waktu untuk pengasuhan sang anak. Oleh karena itu dibutuhkan ketangguhan keluarga dalam menghadapi masalah terkait kehadiran anak tunagrahita. Resiliensi keluarga dianggap sukses bila keluarga dapat bertahan dari kesulitan dan mengambil makna dari kesulitan yang dihadapi. Salah satu cara untuk dapat resilien adalah dengan mengembangkan pandangan positif saat menghadapi masalah yang disebut juga sebagai koherensi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peran koherensi keluarga terhadap resiliensi keluarga yang memiliki anak tunagrahita dari perspektif ibu. Partisipan pada penelitian ini sebanyak 60 orang ibu yang memiliki anak tunagrahita, berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang dipilih menggunakan metode  purposive sampling ­. Alat ukur yang digunakan yaitu Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) untuk mengukur resiliensi keluarga dan Family Sense of Coherence Scale (FSOCS) untuk mengukur family sense of coherence. Berdasarkan hasil uji regresi, didapatkan hasil bahwa family sense of coherence berperan secara signifikan (p 0,05) terhadap resiliensi keluarga (R-square= 0,235). Hal ini berarti koherensi keluarga berperan sebesar 23,5% terhadap resiliensi keluarga dan 76,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Terkait dengan hal ini, upaya meningkatkan resiliensi keluarga dapat dilakukan dengan membantu keluarga mengembangkan perspektif positif dalam melihat situasi yang terjadi, menumbuhkan optimisme, dan mengedukasi keluarga untuk dapat memanfaatkan sumber daya di sekitarnya untuk membantu atasi situasi. Intellectual disability is the one of disability in which the individu has intellectual far below the average, and limitation in activity daily living. This limitation makes the children with intellectual disability have low autonomy cause parents should give care and assitaant more then usual. This condition can be the one of stressor for family, especially for the mother as caregiver who give more time to practice parenting for their children. So, family resillience is very important to face the emergence of intellectual disability children in family. In order to be resillient, a family should have positive perspective when facing the problem, called sense of coherence. The purpose of this research is finding the role of family sense of coherence towards family resillience among family who has intellectual disability children. The participant of this research is 60 mothers who have intellectual disability children and live in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek). The participants is selected by using purposive sampling method. This research uesd Family Resilience Questionnaire (WFRQ) to measure family resillience, and Family Sense of Coherence Scale (FSOCS) to measure family sense of corerence. Based on regression test, family sense of corerence has significant role towards family resilience (R Square = 0,235, p 0,05). It meanse that family sense of coherence gives contribution about 23,5 % to family resillience, and 76,5 % influenced by another factors. As the conslusion, family can be more resillient if it develops positive perspective when facing problem, build optimism, and use every resources wisely in order to solve problem. 
PERBEDAAN EFEK RESTORATIF BERDASARKAN PAPARAN VISUAL JENIS LINGKUNGAN DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS INDIVIDU Melok Roro Kinanthi
Journal of Psychological Science and Profession Vol 2, No 3 (2018): Jurnal Psikologi Sains dan Profesi (Journal of Psychological Science and Profess
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (341.21 KB) | DOI: 10.24198/jpsp.v2i3.21598

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menemukan setting lingkungan yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan psikologisindividu setelah mengalami kondisi yang penuh tekanan melalui pengukuran efek restoratif yang dirasakan oleh responden. Denganpendekatan eksperimental, penelitian ini bertujuan melihat perbandingan efek restoratif berdasarkan perbedaan paparan visual jenislingkungan, yaitu lingkungan natural (natural environment) dan lingkungan terbangun (built environment). Lingkungan natural(natural environment) adalah lingkungan yang terbentuk secara alamiah tanpa campur tangan manusia sedangkan lingkunganterbangun (built environment) adalah segala sesuatu yang dibuat, disusun dan dipelihara oleh manusia untuk memenuhi keperluanmanusia yang menengahi lingkungan secara keseluruhan dengan hasil yang memengaruhi konteks lingkungan. Berdasarkan hasilpenelitian, diketahui bahwa terdapat perbedaan atensi dan emosi yang signifikan berdasarkan jenis stimulus yang diterima responden.Artinya, jenis stimulus lingkungan yang berbeda dapat menghasilkan respon stres yang berbeda pada individu. Dengan kata lain,stimulus lingkungan yang berbeda juga berpotensi memberikan efek restoratif yang berbeda pada individu. Secara khusus, perbedaantersebut terlihat signifikan pada aspek emosi dan atensi, namun tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada aspek fisiologis yangdiukur melalui tekanan darah. Pada aspek emosi, subjek yang mendapatkan stimulus nature menunjukkan respon emosi yang lebihpositif dibandingkan subjek dengan stimulus built. Sebaliknya, pada aspek atensi, subjek yang menerima stimulus built menunjukkanpeningkatan kapasitas atensi yang lebih baik dibandingkan subjek pada kelompok nature.
Hubungan Antara Gaya Resolusi Konflik dan Kepuasan Pernikahan pada Remaja yang Telah Menikah Muhammad Putrarani Pamungkas; Melok Roro Kinanthi
Personifikasi: Jurnal Ilmu Psikologi Vol 13, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Trunojoyo Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21107/personifikasi.v13i2.13794

Abstract

Konflik merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan pernikahan, termasuk pasangan suami istri usia remaja. Adanya konflik dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi relasi pernikahan, tergantung bagaimana individu mengelola dan menyelesaikannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara gaya resolusi konflik dengan kepuasan pernikahan pada remaja yang menikah. Partisipan penelitian ini adalah 65 remaja tahap akhir (18-23 tahun) yang telah menikah dan tinggal di Jakarta. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Thomas Kilmann Instrument (TKI) untuk mengukur gaya resolusi konflik dan ENRICH Marital Satisfaction (EMS) untuk mengukur kepuasan pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan gaya resolusi konflik tidak berhubungan secara signifikan dengan kepuasan pernikahan pada remaja yang telah menikah. Meski demikian, kami menemukan juga bahwa terdapat perbedaan skor kepuasan pernikahan yang signifikan ditinjau dari status pekerjaan dan jumlah anak.
Meningkatkan Gaya Hidup Sehat Pekerja Melalui Spiritualitas dan Kohesivitas Keluarga Shafa Safira Aulia Putri; Althriyani; Melok Roro Kinanthi; Febriani, Zulfa
Majalah Sainstekes Vol. 11 No. 2 (2024): DESEMBER 2024
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/ms.v11i2.4691

Abstract

Non-communicable diseases are emerging among the working-age population in Jakarta during early productive years. This trend may be attributed to a lack of attention to healthy lifestyles and the dynamics of social relationships. This study aimed to determine the significant roles of spirituality and family cohesiveness in the dimensions of a healthy lifestyle, including nutrition, physical activity, stress management, spiritual growth, interpersonal relationships, and health responsibility. The research was correlational in design, with a sample of 195 workers in Jakarta (M = 26.29 years) recruited through convenience sampling. Data were collected using the Health Promoting Lifestyle Profile-II, the Brief Measurement of Religiosity-Spirituality Scale, and the Brief Family Relationship Scale, and were analyzed using multiple regression techniques. The results showed that, simultaneously, spirituality and family cohesiveness significantly contributed to spiritual growth (R2 = 29%; F (2,192) = 39,152; p < ,001), interpersonal relationship (R2 = 26,3%; F (2,192) = 34,183; p < ,001), dimensi stress management (R2 = 16,7%; F (2,192) = 19,194; p < ,05), dan nutrition (R2 = 4,6%; F (2,192) = 4,645; p < ,05). These findings suggest that promoting healthy lifestyles among workers in Jakarta may benefit from an approach that integrates spirituality and family cohesiveness values