Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Tinjauan Buku "Penyuluhan Pertanian: Kembali ke Dasar" nFN Syahyuti
Jurnal Agro Ekonomi Vol 18, No 1 (1999): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 24, No 1 (2006): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v24n1.2006.14-27

Abstract

EnglishAspect of land ownership is an essential part of overall current agrarian system because it will determine level and distribution of social welfare. In agricultural sector, land ownership also determines farm business activities including products distribution. Frequent land conversion and uncultivated land in Indonesia are the impacts of ownership system established by the state law influenced by private property and capitalistic economy. This paper reviews land ownership based on custom laws in some Indonesian ethnics which is in accordance with land ownership based on Islamic law. Some of the characteristics are: (i) land is unique economic resource and no absolute land ownership; (ii) inclusiveness; (iii) selling land as market commodity is prohibited, and (iv) people and work are more valuable than land. Land ownership based on custom and Islamic laws has higher wisdom and tends to realize welfare and justice for the people. IndonesianAspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani serta termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya. Fenomena tingginya alih fungsi lahan dan lahan terlantar di Indonesia merupakan dampak dari sistem penguasaan menurut hukum negara yang sangat menjunjung tinggi kepemilikan pribadi (privat) karena dijiwai sistem ekonomi kapitalis. Dalam tulisan ini dipelajari konsep penguasaan terhadap tanah yang relatif berbeda, yaitu bentuk penguasaan menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia yang terbukti memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam. Beberapa cirinya yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih dihargainya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-hasil Pertanian di Indonesia nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 16, No 1 (1998): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v16n1.1998.42-53

Abstract

EnglishTrading and marketing activities related to agricultural commodities generate ambivalence attitude to their actors. In the positive perspective, these probably have an important role, especially as a prime move of agribusiness system. The other side, they are frequently cause some obstacles in developing the agribusiness system; i.e. causing unfairly benefit sharing and inefficiency in the agribusiness system. This paper describes characteristics and behavior of agricultural traders in Indonesia, especially in the social system framework. The subjects of this paper are taken from various research results on agribusiness. Results of this paper are (1) in the agricultural marketing activities usually it can be found three categories of traders which are real trader, stooge trader, and commission trader; and (2) the marketing structure configurations are mostly developed by interpersonal relation and interpersonal trust among agribusiness actors; and (3) among the traders of agricultural commodities, it frequently can be found higher spirit of solidarity compared to that of trader and farmer. In order to develop agribusiness system more comprehensively and efficiently, it is important to understand more deeply and fairly how to generate the benefit sharing equally on their actors. IndonesianPekerjaan perdagangan menimbulkan sikap ambivalen bagi pelakunya, yaitu pada sisi positif mereka adalah sebagai motor penggerak sistem agribisnis, namun sebaliknya (sekaligus) pada sisi yang negatif, mereka dianggap sebagai penyebab kekurangadilan serta inefisiensi sistem agribisnis. Tulisan ini merupakan kajian sistem sosial pedagang hasil pertanian. Bahan tulisan berasal dari penelitian-penelitian agribisnis berbagai komoditas pertanian, terutama keragaan subsistem pemasaran dan perilaku pedagang di dalamnya. Beberapa hasil yang dapat dikemukakan adalah: Pertama, kegiatan pemasaran hasil pertanian dilakukan oleh tiga golongan perdagang yaitu pedagang, pedagang kaki tangan dan pedagang komosioner. Kedua, bangunan jaringan tata niaga disndarkan pada sikap saling mempercayai melalui pola interaksi yang cenderung tetap (langganan). Ketiga, dijumpai adanya solidaritas sesama pedagang yang lebih tinggi daripada solidaritas pedagang dengan para pemasok (petani, epternak dan nelayan). Implikasi dari temuan tersebut, maka pembangunan agribisnis secara utuh perlu pemahaman yang lebih mendalam dan proporsional terhadap pedagang dalam rangka melakukan pemberdayaan terhadap subsistem pemasaran demi sistem agribisnis itu sendiri, serta untuk menjamin perolehan yang lebih adil pada seluruh pelakunya.
Pendekatan Kelompok dalam Pelaksanaan Program/Proyek Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Suatu Tinjauan Kelembagaan nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 13, No 2 (1995): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v13n2.1995.44-54

Abstract

IndonesianPembangunan pertanian dan pedesaan melalui penetrasi besar-besaran pihak luar, baik pemerintah maupun non-pemerintah, umumnya menggunakan pendekatan kelompok sebagai sebuah bentuk rekayasa sosial, dengan menciptakan pola ikatan-ikatan baru secara coersive (seragam dan bertarget). Belasan jenis dan bentuk kelompok (organisasi/asosiasi) telah diintroduksikan ke setiap desa, baik yang berupa program utama seperti koperasi, PKK, Karang Taruna, dan kelompok tani, maupun kelompok-kelompok yang berada dalam satu paket bantuan pada proyek-proyek temporal, misalnya proyek-proyek kemiskinan. Secara umum didapatkan bahwa keseluruhan organisasi tersebut hampir selalu gagal di dalam sosialisasinya. Tulisan ini adalah rangkuman dari berbagai hasil penelitian, yang bertujuan untuk memberikan deskriptif kondisi keberadaan berbagai organisasi/asosiasi di pedesaan, serta memformulasikan identifikasi penyebabnya, terutama penelaahan pada tahap awal sosialisasi program. Khususnya pada proyek-proyek temporal pembentukan kelompok baru pada tahap paling rendah yaitu sebagai salah satu unsur kelengkapan administratif belaka, belum mampu untuk tujuan pengawasan dan tekanan, apalagi sebagai wadah belajar pendidikan non-formal masyarakat desa dan sebagai lembaga ekonomi. "Terbentuknya" kelompok akhirnya timbul hanya sebagai power compliance dari pihak atas (pelaksana program). Penelusuran akar penyebabnya menemukan, karena adanya distorsi makna dan hakikat yang bisa diharapkan dari eksistensi sebuah kelompok, yang dapat ditemukan secara intrinsik misalnya pada buku pedoman pelaksanaan proyeknya. Selain itu adalah ketidakcukupan waktu pada tahap awal pembentukan kelompok untuk terjadinya proses yang lebih mengakar, dimana individu-individu siap masuk ke dalam struktur yang baru, serta minimal mampun mengambil peran (role taking) di dalamnya. Kelompok juga kurang mempertimbangkan struktur dan besaran anggota, serta pembinaan yang lemah dan tidak berlanjut.
Delandreformisasi sebagai Gejala Anti Landreform di Indonesia: Karakter, Penyebab dan Upaya untuk Pengendaliannya nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 29, No 2 (2011): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v29n2.2011.67-81

Abstract

EnglishSince Indonesia’s independence up to the reform era, land reform is acknowledged but it has not been effectively implemented. However, there is also an inverse process called as de-land-reform with its objectives inconsistently with the ideal purposes of land reform. It seems as the natural symptoms due to social-economic political environment and inside condition of the farmers themselves. De-land-reform process gets no attention, so far, and no serious efforts to cope with it. De-land-reform consists of selling farmers’ land, land fragmentation such that it does not achieve scale of economy, and uncontrollable land conversion. This is due to social-economic political pressures, and community’s social-culture. It needs common awareness as an initial phase of control, but, unfortunately, the government, community, and observers do not pay attention to this process.  IndonesianSemenjak Indonesia merdeka sampai era reformasi, landreform yang telah menjadi perhatian semua pihak, tidak pernah efektif diimplementasikan secara memuaskan. Pada waktu yang bersamaan, berlangsung proses sebaliknya, atau berupa ”delandreformisasi”, yakni suatu kondisi yang bergerak ke arah yang berlawanan dari upaya-upaya landreformisasi, atau secara lebih luas berlawanan dengan tujuan ideal reforma agraria. Hal ini tampak seperti gejala yang alamiah yang didorong oleh lingkungan sosial ekonomi politik maupun dari dalam diri petani sendiri. Proses delandreformisasi selama ini tidak diperhatikan, sehingga belum ada upaya yang serius untuk menanganinya. Beberapa bentuk utama delandreformisasi adalah penjualan lahan oleh petani, fragmentasi lahan sehingga menjadi tidak ekonomis, dan konversi lahan yang sulit dikendalikan. Penyebabnya datang dari berbagai sisi baik karena tekanan ekonomi dan politik, serta sosiokultural masyarakat. Sebagai langkah awal untuk pengendaliannya, dibutuhkan kesadaran bersama bahwa ini suatu proses yang esensial namun selama ini luput  diperhatikan baik dari kalangan pemerintah, masyarakat maupun pengamat.
Pengorganisasian Secara Personal dan Gejala Individualisasi Organisasi sebagai Karakter Utama Pengorganisasian Diri Petani di Indonesia nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 30, No 2 (2012): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v30n2.2012.129-145

Abstract

EnglishExplaining how farmers conduct their farm business is trapped in organization theory and analysis, so far. This paper applies concept and theory of new institutionalism understanding which focuses social relation as the most basic object of analysis. It is found that farmers’ organizations in Indonesia are unique indicated by organization individualization as the real fact of formal farmers’ organization. This symptom is not observed if it employs organization analysis. It comes from the previous farmers’ organizations before the formal organization is acknowledged, namely personalized organizing. These two findings are based on recognizing that farmers are rational, creative social actors using all institution and organization resources for running their farm business. In the future, empowering farmers is carried out through offering other types than formal organization for more effective social relation. IndonesianPenjelasan tentang bagaimana petani menjalankan usaha pertaniannya selama ini terperangkap hanya pada teori dan analisis organisasi. Berbeda dengan ini, tulisan berikut menggunakan konsep dan teori dari pemahaman Kelembagaan Baru (New Institutionalism), dengan menjadikan relasi sosial (social relation) sebagai objek yang paling pokok dan elementer dalam analisisnya. Melalui paham ini ditemukan pola pengorganisasian yang khas pada petani di Indonesia saat ini yakni gejala “individualisasi organisasi” yang merupakan fakta sesungguhnya dalam organisasi-organisasi formal milik petani. Gejala ini tidak terlihat jika menggunakan analisis organisasi. Sesungguhnya bentuk ini berakar dari pola pengorganisasian diri petani dahulu sebelum dikenal organisasi formal, yakni “pengorganisasian secara personal”. Kedua temuan ini muncul dengan menggunakan basis pemahaman bahwa petani adalah aktor sosial yang rasional-kreatif yang menggunakan berbagai sumberdaya lembaga dan organisasi sebagai modal dalam menjalankan usahanya. Ke depan, pemberdayaan petani semestinya memberi peluang kepada bentuk-bentuk lain selain organisasi formal, karena relasi sosial yang efektif tidak hanya berlangsung dalam organisasi formal.
Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 22, No 2 (2004): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v22n2.2004.89-101

Abstract

EnglishLand reform program was once successful in Indonesia in 1960’s although it included only land area and limited number of receiving farmers. The New Order government never carried out land reform program explicitly, but it was substituted with programs of certification, transmigration, and Nucleus Estate Smallholders development. All of those programs aimed at enhancing people’s access to land ownership. The governments in the reform era improve some regulations related with agrarian reform but no real program of land reform. Theoretically, there are four imperative factors as prerequisites for land reform program, namely political will of the government, solid farmers’ organization, complete data, and sufficient budget. At present, all of those factors are still difficult to realize and, thus, land reform in Indonesia is hard to be implemented simultaneously. IndonesianProgram landreform pernah dicoba diimplementasikan di Indonesia pada era tahun 1960-an, meskipun hanya mencakup luasan tanah dan petani penerima dalam jumlah yang sangat terbatas. Kemudian, sepanjang pemerintahan Orde Baru, landreform tidak pernah lagi diprogramkan secara terbuka, namun diganti dengan program pensertifikatan, transmigrasi, dan pengembangan Perkebunan Inti Rakyat, yang pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki akses masyarakat terhadap tanah. Sepanjang pemerintahan dalam era reformasi, telah dicapai beberapa perbaikan dalam hukum dan perundang-undangan keagrariaan, namun tetap belum dijumpai program nyata tentang landreform. Secara teoritis, ada empat faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform, yaitu kesadaran dan kemauan dari elit politik, organisasi petani yang kuat, ketersediaan data yang lengkap, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini, kondisi keempat faktor tersebut masih dalam kondisi lemah, sehingga dapat dikatakan implementasi landreform secara serentak dan menyeluruh di Indonesia masih sulit diwujudkan.
Pengaruh Politik Agraria Terhadap Perubahan Pola Penguasaan Tanah dan Struktur Pedesaan di Indonesia nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 19, No 1 (2001): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v19n1.2001.21-32

Abstract

EnglishLand ownership and control have been major issues in land reform policies in Indonesia over the life of several governments. Land has been a political tool for those in power. From a historical point of view, from the precolonial period until the New Order era (Orde Baru), control of the land by the government has always put farmers into a position of sub ordinance and dependence. This happened because the government has the control rights over the land, while the farmers have user rights only. The social structure in rural areas has changed to follow changes in the land ownership pattern, because for an agrarian community, land is the main livelihood resource. IndonesianAspek penguasaan tanah di Indonesia adalah bagian utama politik agraria dari satu masa ke masa pemerintahaan, dimana tanah selalu dijadikan alat politik bagi pihak penguasa. dari tinjauan historis terlihat bahwa mulai dari zaman kerajaan sampai dengan Orde Baru, penguasaan sumber daya tanah oleh pemerintah telah menjadikan petani selalu berada posisi subordinat dan tergantung. Hal ini di sebabkan karena pemerintahan memegang hak penguasaan tanah,sedangkan petani menjadi penggarap. Petani belum diberi hak penguasaan yang secukupnya agar dapat menjadi pengelola penuh dalam usahataninya. Struktur sosial masyarakat pedesaan juga berubah mengikuti perubaha pola penguasaan tanah tersebut, karena bagi komunitas agraris tanah adalah sumber daya utama kehidupannya.
Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Komunitas : Kasus Rancangan Program Prima Tani nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 23, No 2 (2005): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v23n2.2005.102-115

Abstract

EnglishDevelopment concept explained in the mid of 20th century keeps improving. One of the concept improvements is application of “community-based development” concept.  This concept criticizes the relatively unsuccessful rural development based on individuals and households. One of actual community-based development types is implemented in the Prima Tani Program planning. The Program planning consists of (i) the program is located at the rural areas as the smallest units, (ii) action plan was applied using participatory rural appraisal, (iii) encouraging self reliance, and (iv) uses of local institutional resources. The paper is a literature study based on the documents of Prima Tani Program planning and the writer’s involvement in filed activities of the Program planning in West Nusa Tenggara Province. The assessment shows that it is necessary to well measure communal degree of the community. This is the basis for overall program implementation.IndonesianKonsep pembangunan yang dijelaskan pada pertengahan abad ke 20 terus mengalami perbaikan. Salah satu bentuk perbaikan konsep adalah diterapkannya konsep  “pembangunan berbasiskan komunitas”. Konsep ini dapat dipandang sebagai kritik konsep pembangunan pedesaan selama ini yang berlandaskan kepada pendekatan individual dan rumah tangga yang dinilai kurang berhasil. Salah satu bentuk konkrit pembangunan berbasiskan komunitas diterapkan dalam rancangan program Prima Tani.  Hal ini setidaknya terlihat dari empat aspek yaitu: penetapan lokasi program pada desa sebagai unit terkecil, penerapan PRA dalam penyusunan rencana aksi yang dilakukan secara partisipatif, upaya meningkatkan kemandirian, serta penggunaan sumberdaya kelembagaan setempat. Tulisan ini merupakan studi literatur yang didasarkan atas dokumen-dokumen rancangan Prima Tani serta keterlibatan penulis dalam melakukan kegiatan lapang Prima Tani di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil penelaahan membuktikan perlunya perhatian untuk mengukur derajat komunalitas warga secara baik. Hal ini merupakan titik tolak dalam pengimplementasian program secara keseluruhan.
Masalah Pertanahan di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Tindak Lanjut Pembaruan Agraria nFN Sumaryanto; nFN Syahyuti; nFN Saptana; Bambang Irawan
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 20, No 2 (2002): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v20n2.2002.1-19

Abstract

EnglishFor many years, to spoor agricultural growth and development Indonesia has been being constrained by its problems of land tenure. Land ownership and holding by farmers are very small, unconsolidated, and deteriorated. The tenure has not been being improved because of inconsistent both policy and its implementation. Assuming that Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 with regard to agrarian reform and natural resource management reflected political will of the nation, we need some inputs for its follow up. To meet the need, better understanding of land tenure and its relation to both agricultural and rural development is required. IndonesianSalah satu masalah mendasar yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem pertanian yang tangguh adalah struktur pengusaan yang tidak terkonsolidasi, serta penguasaan rata-rata per petani yang sangat kecil dan timpang. Sampai saat ini upaya memperbaiki struktur penguasaan tanah tidak tercapai. Hal itu merupakan akibat dari rumusan kebijaksanaan yang tidak mampu mengakomodasi faktor-faktor strategis dalam masalah pertanian dan implementasi kebijaksanaan yang kurang konsisten. Dengan anggapan bahwa Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Penguasaan Sumberdaya Alam mencerminkan aspirasi politik bangsa, maka arah perbaikan menjadi lebih terbuka. Dalam konteks demikian itu, pemahaman masalah pertanahan secara komprehensif sangat di perlukan agar tindak lanjut Tap tersebut mencapai sasaran. Tulisan ini mencoba menginventarisasi, mengidentifikasi dan membahas konstelasi permasalahan di bidang pertanahan yang secara empiris sangat kompleks. sasarannya adalah meningkatkan pemahaman dan kearifan dalam merumuskan kebijaksanaan di bidang pertanahan dan implementasinya.