Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Alternatif Konsep Kelembagaan untuk Penajaman Operasionalisasi dalam Penelitian Sosiologi nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 21, No 2 (2003): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v21n2.2003.113-127

Abstract

EnglishThe experts have no the same perception regarding the term of “institution”. This leads to unworkable definitions and concepts. This paper reviews the existing thoughts, especially those related with the term of “organization”, and simplifies them to formulate an easier concept which enables scientists and practitioners to work with. Different meanings exist due to different points of views of the experts, especially in early stage of sociology development. Sine 1950’s, social institution and social organization have been distinguished strictly. The author proposes a solution, i.e., the term of “institution” to mention the social system in which it is classified into two important components, namely “institutional aspect” and “organizational aspect”. Through this differentiation, it is expected that the analysis becomes more detailed, signifies the strong and weak aspects, and enables to choose the strategy of developing it.IndonesianIstilah “kelembagaan” belum memperoleh kesamaan pengertian di kalangan para ahli. Hal ini menyebabkan munculnya beberapa pengertian dan konsep yang menyebabkan tidak dapat dioperasionalkan. Tulisan ini berusaha melakukan tinjauan (review) seluruh pemikiran yang berkembang, terutama kaitannya dengan istilah “organisasi”, untuk kemudian merumuskan satu konsep yang lebih mudah sehingga dapat dipergunakan baik untuk kalangan ilmuwan maupun praktisi. Ketidaksamaan pemaknaan terjadi karena setiap ahli memiliki titik pandang yang berbeda dalam membahasnya, terutama pda masa-masa awal perkembangan sosiologi. Namun, semenjak era 1950-an, sesungguhnya sudah terlihat adanya pembedaan yang tegas antara kelembagaan (social institution) dan organisasi (social organization). Sebagai solusinya, penulis menggunakan istilah “kelembagaan” untuk menyebut suatu sistem sosial dimaksud, yang didalamnya dapat dibagi menjadi dua komponen penting, yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Dengan membedakan seperti ini, maka analisa dapat lebih mendalam, dapat diketahui aspek apa yang kuat dan lemah, serta dapat memilih strategi untuk pengembangannya.
Penerapan Pendekatan Pemberdayaan dalam Kegiatan Pembangunan Pertanian: Perbandingan Kegiatan P4K, PIDRA, P4MI, dan Primatani nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 25, No 2 (2007): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v25n2.2007.104-116

Abstract

EnglishMinistry of Agriculture has been long time applied various concept and approach in numerous rural and agricultural development programs. Most of these various concepts were related with popular development paradigm dynamics at world level, such as poverty approach, food security, regional development, sustainable development, gender, and empowerment.  Review analyses extracted from many documents, like guideline books and activity reports indicated that empowerment approach has been the main paradigm in P4K, PIDRA, P4MI and Primatani projects.  In many cases, the process has been considered more important rather than its objectives, efforts to increase accessibility and community control on economic resources, improvement of skills and knowledge, development of local institutions.IndonesianDepartemen Pertanian telah menggunakan berbagai konsep dan pendekatan dalam program pembangunan pertanian dan pedesaan. Pendekatan yang digunakan umumnya terkait dengan dinamika konstelasi paradigma pembangunan di tingkat dunia yang sedang populer, misalnya pendekatan kemiskinan, ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pembangunan berkelanjutan, gender, dan juga pemberdayaan. Analisis review dari berbagai dokumen baik buku petunjuk dan pedoman serta laporan kegiatan,  memperlihatkan bahwa pendekatan pemberdayaan terlihat menjadi paradigma utama dalam kegiatan P4K, PIDRA, P4MI dan Primatani. Dalam beberapa hal, proses telah ditempatkan sebagai hal yang lebih penting dibandingkan tujuan, adanya upaya peningkatan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta pengembangan kelembagaan lokal.
Pemerintah, Pasar, dan Komunitas: Faktor Utama dalam Pengembangan Agribisnis di Pedesaan nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 22, No 1 (2004): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v22n1.2004.54-62

Abstract

EnglishThe social world consists of three main pillars which influence each other and determine social system existing in the community including agribusiness system. Those pillars are government, market, and community representing political, economic, and social forces in each community group. Rural agribusiness performance is affected by those three forces either as the supporting or constraining factors. This paper deals with conceptual review using sociological approach in rural agribusiness development. Understanding these aspects is crucial as the basis to study various explaining factors that describe development capacity of an agribusiness system. Results of some research show that government’s role in developing agribusiness is very dominant. This is not a good indicator because agribusiness will get more developed if it is managed using market mechanism.IndonesianDunia sosial berdiri di atas tiga pilar utama, yang satu sama lain saling mempengaruhi dan ikut mewarnai setiap bentuk sistem sosial yang hidup dalam masyarakat, termasuk sistem agribisnis. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, pasar, dan komunitas. Secara sederhana ketiganya mewakili kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang selalu eksis dalam setiap kelompok masyarakat. Kinerja agribisnis di pedesaan dipengaruhi oleh ketiga kekuatan tersebut, yang dapat menjadi faktor pendorong maupun penghambat bagi pengembangan agribisnis. Tulisan ini merupakan review konseptual yang menggunakan pendekatan sosiologi dalam pengembangan agribisnis di pedesaan. Pemahaman terhadap aspek ini sangat penting sebagai dasar untuk mempelajari berbagai faktor penjelas untuk menerangkan kapasitias pengembangan suatu sistem agribisnis. Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa, selama ini peran pemerintah dirasakan terlalu dominan dalam upaya pengembangan agribisnis. Hal ini memberi iklim yang kurang baik,  karena pada prinsipnya agribisnis akan lebih maju bila dikembangkan dalam bentuk sebagai sebuah kelembagaan pasar.
Peran Strategis Penyuluh Swadaya dalam Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian Indonesia nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 32, No 1 (2014): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v32n1.2014.43-58

Abstract

EnglishInvolvement of farmers as actors to support extension activities have been underway for a long time with various approaches. In Indonesia, it started from the involvement of Kontak Tani (Advanced Farmers) in Supra Insus era, then farmer to farmer extension at P4S, as well as Penyuluh Swakarsa (Independent Extension Workers)” (in 2004), and the latest is Penyuluh Swadaya (Self-Help Agricultural Extension Workers) since 2008. The existence of self-help farmer extension workers are recognized since the enactment of Law No. 16/2006 on Extension System of Agricultural, Forestry and Fisheries. However, even though it runs nearly 10 years, the development of the role of self-help farmer extension workers is not optimal. This paper is a review of various posts including the recent research on self-help farmer extension workers and it aims to study the potential and problems of self-help farmer extension workers. It shows that the self-help farmer extension workers have a self-help capabilities and distinctive social position and they have to get right role. Appropriate support should be given to self-help farmer extension workers as the agricultural extension worker in the future and it must be distinguished between the government and private extension workers.  IndonesianPelibatan petani sebagai pendukung dan pelaku langsung dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan “penyuluhan dari petani ke petani” (farmer to farmer extension) di P4S, serta pengangkatan penyuluh swakarsa (tahun 2004), dan terakhir penyuluh swadaya (sejak tahun 2008). Keberadaan penyuluh swadaya diakui secara resmi semenjak diundangkannya UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Namun, meskipun sudah berjalan hampir 10 tahun, perkembangan peran penyuluh swadaya belum optimal. Tulisan ini merupakan review dari berbagai tulisan termasuk penelitian tentang penyuluh swadaya terakhir, untuk mempelajari potensi dan permasalahan penyuluh pertanian swadaya saat ini. Ditemukan bahwa penyuluh swadaya memiliki kapabilitas dan posisi sosial yang khas, sehingga batasan perannya mestilah diberikan secara tepat. Dukungan yang tepat harus diberikan kepada penyuluh swadaya sebagai sosok penyuluh pertanian yang strategis di masa mendatang, yang mesti dibedakan dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta.
Peran Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Hasil Pertanian nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 26, No 1 (2008): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v26n1.2008.32-43

Abstract

EnglishAgricultural trade system in Indonesia, especially domestic market, is composed by nonformal relations among the actors. In imperfect market condition, social capital is fastly growing and become a backbone of the entire trade system. This paper is a study on social system of agricultural commodity market, its rules and the of the actors behind that system. The sources of information were gathered from a number of research reports on trade systems of several commodities and the actors who have specific roles in such systems.IndonesianPasar perdagangan hasil pertanian di Indonesia, terutama berupa perdagangan dalam negeri,  sebagian besar dijalankan dalam bentuk relasi-relasi nonformal antar pelakunya. Dalam kondisi pasar yang tidak sempurna (imperfect market), modal sosial tumbuh dengan subur dan menjadi tulang punggung yang menjalankan keseluruhan sistem perdagangan tersebut. Tulisan ini merupakan kajian sistem sosial perdagangan hasil pertanian, sebagai upaya memahami kondisi yang melatarbelakangi sistem perdagangan yang berjalan. Bahan tulisan berasal dari penelitian-penelitian berkenaan dengan perdagangan berbagai komoditas hasil pertanian beserta perilaku pedagang di dalamnya.
Keterasingan Sosial dan Eksploitasi Terhadap Buruh Nelayan nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 13, No 2 (1995): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v13n2.1995.17-32

Abstract

IndonesianMasyarakat nelayan masih menyimpan banyak permasalahan yang belum seluruhnya dapat dipahami secara memuaskan, terutama tentang aspek sosial budayanya yang berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Penyebab yang utama adalah pola kerja, pola hidup dan sifat pekerjaannya yang bekerja di laut sebagai penangkap ikan. Tulisan ini didasarkan atas berbagai hasil penelitian, disusun untuk mendeskripsikan adanya dua fenomena yang saling mempengaruhi, yaitu keterasingan sosial dan eksploitasi terhadap buruh nelayan. Keterasingan sosial disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan terputusnya hubungan dengan luar yang disebabkan pola kerjanya yang terpisah di lautan, sehingga juga menimbulkan sikap mental persepsi yang cenderung negatif terhadap dunia diluarnya. Eksploitasi terhadap buruh nelayan menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah sehingga mereka selalu terbelit dalam kemiskinan. Eksploitasi tersebut dilakukan oleh hampir seluruh pihak yang terlibat dalam usaha perikanan laut, yaitu juragan darat, pedagang, pemilik modal, dan lain-lain. Upaya untuk melepaskan diri buruh nelayan dari keterasingan sangat perlu agar eksploitasi terhadap mereka bisa dikurangi sehingga tingkat pendapatan dan kesejahteraannya bisa meningkat, serta untuk pengembangan sektor perikanan pada umumnya.
KARAKTERISTIK, POTENSI GENERASI MILENIAL DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN PRESISI DI INDONESIA Joula Sondakh; Janne H.W. Rembang; nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 38, No 2 (2020): Forum penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v38n2.2020.155-166

Abstract

Precision agriculture requires appropriate characters of human resources to implement it. It is an integrated agricultural system based on information and production to increase business efficiency, productivity and profitability. The concept of precision agriculture, as one of the latest agricultural technology packages, was born along with the emergence of the millennial generation, namely those born between 1980 and 2000.This paper discusses the character of precision agriculture and necessity to apply it and its link to the millennial generation in terms of their character suitability and capacity. Application of precision agriculture requires the millennial generation’s ability to create, engineer and operate modern agricultural systems based on this new technology. Applying precision agriculture in Indonesia deals with various characteristics of the millennial generation due to different regional and socio-economic conditions. The government should provide infrastructure and conduct millennial farmers training to achieve social, economic, and environmental benefits of precision agriculture implementation.
Pemahaman terhadap Petani Kecil sebagai Landasan Kebijakan Pembangunan Pertanian nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 31, No 1 (2013): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v31n1.2013.15-29

Abstract

EnglishImproving the farmers’ welfare is one of goals in agricultural development policy. Inadequate government’s concern to farmers is observed from the definition of farmers in various regulations and understanding of small farmers’ existence, role and characters. Lacks of understanding and taking side to small farmers are indicated by absence of using the term of "small farmers" in various government policies. This paper reviews various thoughts, as well as development and implementation of agricultural policies with respect to farmers’ welfare improvement. The results show the weak understanding on, no partiality, and even unfair treatment to small farmers. Thus, in the future the concept of "small farmers" must be unequivocally expressed in order to make their potential more environmentally friendly and independently.  IndonesianPeningkatan kesejahteraan petani hanya menjadi sub tujuan dalam kebijakan pembangunan pertanian. Perhatian yang belum memadai kepada petani terlihat dari definisi petani dalam berbagai regulasi dan pemahaman tentang keberadaan, peran serta karakter petani kecil. Pemahaman dan keberpihakan yang rendah ditunjukkan dengan tidak adanya penggunaan istilah “petani kecil” dalam berbagai kebijakan pemerintah. Tulisan ini merupakan review dari berbagai pemikiran, serta kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pertanian yang berkenaan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Hasilnya menunjukkan masih lemahnya pemahaman, belum ada pemihakan, dan bahkan perlakuan yang tidak adil kepada petani kecil. Dengan demikian, ke depan semestinya konsep “petani kecil” dicantumkan secara tegas, sehingga potensinya yang lebih ramah lingkungan dan mandiri dapat dioptimalkan. Hanya dengan pendekatan ini akan memberikan jaminan perhatian kepada petani kecil di masa mendatang.
Lembaga dan Organisasi Petani dalam Pengaruh Negara dan Pasar nFN Syahyuti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 28, No 1 (2010): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v28n1.2010.35-53

Abstract

EnglishFarmer’s empowerment through formal organization is very important in Indonesia, but its achievement is quite low.  It is the state desire to formally organize the farmers and in contrary, the market tend to see the farmers, individually or in groups, to efficiently behave. Through the new institutionalism approach, such behavior could be understood on why and how the farmers organize themselves. This approach has been successfully overcome many limitations embedded in the previous approaches. With this new approach, perception on the farmer’s behavior is an awareness act and logically acceptable according to their socio-political context and various potential they have. This paper aims to describe various study results and expert thoughts on the concept and theory of “institution” and “organization”. According to the new institutionalism approach, the development of farmer’s organization need to consider principles that the formal organization is an option, give priority to function rather than bureaucracy administration, organization as a tool, reward based on farmer’s rasionality, and empowerment of farmer’s vertical relations is necessary.IndonesianPemberdayaan petani melalui organisasi formal merupakan hal yang utama di Indonesia, namun keberhasilannya sangat terbatas. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal, sementara pasar cenderung menghendaki petani (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan. Melalui pendekatan paham kelembagaan baru (New Instituionalism) dapat dipahami mengapa dan bagaimana petani mengorganisasikan dirinya. Pendekatan ini telah berhasil mengatasi berbagai kekurangan pendekatan sebelumnya. Pada pendekatan baru ini perilaku petani dipersepsikan sebagai sebuah tindakan yang sadar dan rasional sesuai dengan konteks sosial politik yang mereka miliki dan berbagai kekuatan yang melingkupi mereka. Paper disusun dari berbagai hasil studi dan pemikiran ahli berkenaan dengan konsep dan teori tentang “lembaga” (institution) dan “organisasi” (organization). Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru, pengembangan keorganisasian petani perlu memperhatikan prinsip-prinsip bahwa organisasi formal adalah sebuah opsi, mengutamakan fungsi daripada administrasi birokrasi, organisasi sebagai alat, penghargaan pada rasionalitas petani, dan perlunya penguatan relasi-relasi vertikal petani.
Kedaulatan Pangan sebagai Basis untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional nFN Syahyuti; nFN Sunarsih; Sri Wahyuni; Wahyuning Kusuma Sejati; Miftahul Azis
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 33, No 2 (2015): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v33n2.2015.95-109

Abstract

EnglishThe concept of food sovereignty officially becomes an objective and an approach in national food development such as depicted in Law No. 18/2012 on Food along with food self-sufficiency and food security. However, up to now formulation and understanding of food sovereignty is various and unclear. This article aims to review the concept of food sovereignty at international and national levels. Food sovereignty is a strategy to improve food security as the ultimate goal of food development because the concept is in fact consistent and complementary. Food sovereignty is related with farmers' rights and access to the entire agricultural resources including land, water, production factors, technology, and marketing as well as on consumption. This condition is measurable at various levels at individual, household, community, regional, and national levels. IndonesianKonsep kedaulatan pangan secara resmi telah menjadi tujuan dan juga pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bersama-sama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Namun demikian, sampai saat ini perumusan dan pemahaman tentang kedaulatan pangan masih beragam dan kurang jelas. Tulisan ini bertujuan melakukan review konsep kedaulatan pangan yang berlangsung di dunia internasional dan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kedaulatan pangan merupakan suatu strategi dasar untuk melengkapi ketahanan pangan sebagai tujuan akhir pembangunan pangan, karena kedua konsep ini sesungguhnya sejalan dan saling melengkapi. Hasil dari pendalaman terhadap berbagai konsep, dirumuskan bahwa kedaulatan pangan berkenaan dengan hak dan akses petani kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi, teknologi, pemasaran, serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah, dan juga nasional.