Radian Ahmad Halimi
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Sick Sinus Syndrome yang Menjalani Laparotomi Ec Perforasi Gaster Halimi, Radian Ahmad; Tavianto, Doddy
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Disfungsi dari Sinoarterial node (SA node, yang dikenal sebagai “Sick Sinus Syndrome”,  merupakan salah satu penyebab gangguan ritme jantung, dan dapat disebabkan  oleh gangguan baik faktor intrinsik atau faktor ekstrinsik dari SA node. Diagnosis Sick Sinus Syndrome ditegakkan dengan adanya gangguan ritme jantung dengan episode takikardia-bradikardia, dan disertai  gejala klinis seperti; sinkop, palpitasi, atau dapat saja  tanpa gejala klinis. Semua literatur mengatakan penatalaksanaan Sick Sinus Syndrom perioperatif adalah dengan  pemasangan  pacemaker jantung baik transkutaneus maupun secara transvenous pada preoperatif. Seorang pria berumur 75 tahun dengan diagnose peritonitis diffuse yang disebabkan oleh perforasi gaster. Pada pemeriksaan klinis preoperatif didapatkan pasien kompos mentis, anamnesis ada riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardi dengan nadi 31x/menit, tekanan darah 190/100 mmHg. Ditempat tersebut tidak terdapat fasilitas untuk pemasangan pace maker baik trans kutaneous maupun secara transvenous. Dengan pertimbangan sirkulasi organ (mikrosirkulasi) cukup baik ( kompos mentis, SpO2 99% dan setelah optimalisasi diuresi mencapai 1cc/kgBB/jam). Pemeriksaan foto toraks didapatkan kardiomegali tanpa bendungan paru, pemeriksaan laboratorium menunjukkan angka – angka normal termasuk tes fungsi ginjal (kreatinin 0,97 mg/dl dengan ureum 82,6 mg/dl). Diputuskan untuk melakukan tindakan anestesi / pembedahan ditempat ybs dan rencana anestesi adalah dilakukan dengan anestesi umum. Saat pasien masih sadar, mulai diberikan fentanyl secara bertahap, 2 µgr/kgBB. Nadi berkisar antara 28 – 44x/menit, SpO2 98%.  Limabelas menit kemudian diberikan propofol secara titrasi dan setelah pasien tertidur fasilitas intubasi dengan atrakurium. Setelah intubasi  nadi mencapai 44 - 90x/menit dan saat nadi mencapai 90x/menit, didapatkan nadi yang iregular berupa ventricular extrasystole ( VES ) yang multifokal, diputuskan untuk mempertahankan nadi sekitar 35 – 40x/ menit dengan tekanan darah 160/70 mmHg. Selama pembedahan, nadi dan tekanan darah stabil pada kisaran diatas. Pasca bedah pasien dirawat di ruang perawatan intensif selama 2 hari setelah itu pindah ke ruang perawatan biasa dalam keadaan baik. Pasien pulang setelah hari ke 8.Kata kunci: Sick Sinus Syndrome, Bradikardia Anesthesia for Laparatoy e.c Gaster Perforation with Sick Sinus SyndromeSA node dysfunction, or known as  Sick Sinus Syndrome is the common cause of disrythmia and can be caused by intrinsic and extrinsic factors of the SA node. The diagnose performed by the occurrence of bradi- takhikardia episode and the clinical symptoms, could be syncope, palpitation, or maybe asymptomatic. Some of the literature defined that the perioperative management of  sick sinus syndrome is preoperative insertion of pacemaker (transcutaneal or transvenous pacing). A 75 years old man underwent laparotomy with diffuse peritonitis caused by gastric perforation. In preoperative clinical evaluation the patients revealed full awake ( compos mentis), with  history of uncontrolled hypertension. In physical exammination a severe bradicardia was found with pulse of 31x/minute, and the blood pressure was 190/100 mmHg. In this rural hospital there was no fascility to insert the pace-maker. The organ perfusion was considered to be optimal from clinical evaluation ( proved by the wakefullness, SpO2 99%, and diuresis 1cc/kgBW after optimalization ). The chest X’ray showed a cardiomegali without the sign of pulmonary congestion. The laboratory test were within normal limit including the renal function test ( creatinin; 0,97 mg/dl, and ureum 82,6 mg/dl). We decided to perform general anesthesia in this procedure. Before the  induction while patient still awake, fentanyl 2µg/kgBW was given intravenously. Fifteen menue after fentanyl administration induction of anesthesia performed and initiated with propofol intravenous injection slowly until patients felt asleep, than intubated after muscle relaxant intravenous reached  the onset After intubation the pulse / heart rate of patients rose to 44 – 90x/minute. While the pulse was 90/ minute the heart rythm of the patients became irregular, a multifocal ventricular extra systole occured, and it was reversible when the heart rate back to 44x/ minute. We decided to maintain the heart rate between 35 – 40dmitted to the iCU, and after 2 days in the ICU patients was transfered to the ward, and can be dischared home after 8 days.Keywords: Bradikardia, Sick Sinus Syndrome DOI: 10.15851/jap.v1n1.159
Perbandingan Penggunaan Masker Anestesi Berpewangi dengan Masker Anestesi Tidak Berpewangi terhadap Tingkat Kecemasan Anak pada Induksi Inhalasi Deni Nugraha; Dewi Yulianti Bisri; Radian Ahmad Halimi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n1.2387

Abstract

Induksi inhalasi dapat memberikan pengalaman emosi yang traumatis terhadap anak seperti perasaan terkekang atau tercekik selama bernapas melalui masker dan bau yang tajam dari gas anestesi. Salah satu pendekatan nonfarmakologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan masker beraroma buah-buahan sebelum induksi. Modifikasi sederhana dengan mengoleskan lip balm dengan wangi buah pada permukaan dalam masker anestesi merupakan salah satu pendekatan yang efektif dan murah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan pengaruh penggunaan masker anestesi berpewangi dibanding dengan masker anestesi tidak berpewangi terhadap tingkat kecemasan anak pada induksi inhalasi. Penelitian dilakukan menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta tunggal secara prospektif terhadap 38 anak berusia 4–12 tahun yang menjalani anestesi umum dengan status fisik american society of anesthesiologist (ASA) I–II di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat masker berpewangi dan kelompok yang mendapat masker tidak berpewangi. Tingkat kecemasan anak di ruang persiapan dan kamar operasi dinilai menggunakan skala modified yale preoperative anxiety scale (MYPAS). Skala MYPAS adalah baku emas untuk evaluasi kecemasan anak yang terdiri atas 22 penilaian dalam 5 kategori dengan realibilitas dan validitas tinggi. Analisis statistik dengan Uji Mann-Whitney. Tingkat kecemasan anak pada kelompok masker berpewangi secara bermakna lebih rendah dibanding dengan kelompok masker tidak berpewangi (p=0,000), namun penilaian di ruang persiapan tidak menunjukkan hasil yang bermakna (p=0,07). Kesimpulan penelitian adalah penggunaan masker anestesi berpewangi pada induksi inhalasi menghasilkan tingkat kecemasan anak yang lebih rendah dibanding dengan penggunaan masker anestesi tidak berpewangi.Comparison of between the Use of Scented Anesthetic Mask and Unscented Anesthetic Mask on Anxiety Level in Children during Inhalation InductionInhalation induction may be a traumatic emotional experience in children as they may feel restricted or suffocated while breathing through the mask and inhaling the sharp smell of the anesthetic gas. A non-pharmacological approach that may be applied include the use of fruit scented masks before induction. This simple modification is done by smearing fruit scented lip balm on the anesthetic mask surface, which is an effective and inexpensive approach. This study aimed to compare the effects of scented anesthetic masks and non-scented masks on child anxiety level during inhalation induction. This was a single blind prospective randomized controlled trial on 38 children aged 4–12 years old underwent general anesthesia with a physical American Society of Anesthesiologist (ASA) status I–II in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Subjects were divided into two groups: scented mask group and unscented mask group. The anxiety levels in the preparation room and the operating room were measured using the Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (MYPAS). MYPAS is the gold standard for evaluating anxiety in children, made up of 22 ratings in 5 categories with high reliability and validity. Statistical analysis was performed using the Mann-Whitney test. The anxiety level in the scented mask group were found to be significantly lower when compared to the unscented group (p=0.000) but the evaluation in the preparation room did not show statistically significant results (p=0.07). This study concludes that the use of scented anesthetic masks in inhaled induction results in lower anxiety levels in children.
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Sick Sinus Syndrome yang Menjalani Laparotomi Ec Perforasi Gaster Radian Ahmad Halimi; Doddy Tavianto
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Disfungsi dari Sinoarterial node (SA node, yang dikenal sebagai “Sick Sinus Syndrome”,  merupakan salah satu penyebab gangguan ritme jantung, dan dapat disebabkan  oleh gangguan baik faktor intrinsik atau faktor ekstrinsik dari SA node. Diagnosis Sick Sinus Syndrome ditegakkan dengan adanya gangguan ritme jantung dengan episode takikardia-bradikardia, dan disertai  gejala klinis seperti; sinkop, palpitasi, atau dapat saja  tanpa gejala klinis. Semua literatur mengatakan penatalaksanaan Sick Sinus Syndrom perioperatif adalah dengan  pemasangan  pacemaker jantung baik transkutaneus maupun secara transvenous pada preoperatif. Seorang pria berumur 75 tahun dengan diagnose peritonitis diffuse yang disebabkan oleh perforasi gaster. Pada pemeriksaan klinis preoperatif didapatkan pasien kompos mentis, anamnesis ada riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardi dengan nadi 31x/menit, tekanan darah 190/100 mmHg. Ditempat tersebut tidak terdapat fasilitas untuk pemasangan pace maker baik trans kutaneous maupun secara transvenous. Dengan pertimbangan sirkulasi organ (mikrosirkulasi) cukup baik ( kompos mentis, SpO2 99% dan setelah optimalisasi diuresi mencapai 1cc/kgBB/jam). Pemeriksaan foto toraks didapatkan kardiomegali tanpa bendungan paru, pemeriksaan laboratorium menunjukkan angka – angka normal termasuk tes fungsi ginjal (kreatinin 0,97 mg/dl dengan ureum 82,6 mg/dl). Diputuskan untuk melakukan tindakan anestesi / pembedahan ditempat ybs dan rencana anestesi adalah dilakukan dengan anestesi umum. Saat pasien masih sadar, mulai diberikan fentanyl secara bertahap, 2 µgr/kgBB. Nadi berkisar antara 28 – 44x/menit, SpO2 98%.  Limabelas menit kemudian diberikan propofol secara titrasi dan setelah pasien tertidur fasilitas intubasi dengan atrakurium. Setelah intubasi  nadi mencapai 44 - 90x/menit dan saat nadi mencapai 90x/menit, didapatkan nadi yang iregular berupa ventricular extrasystole ( VES ) yang multifokal, diputuskan untuk mempertahankan nadi sekitar 35 – 40x/ menit dengan tekanan darah 160/70 mmHg. Selama pembedahan, nadi dan tekanan darah stabil pada kisaran diatas. Pasca bedah pasien dirawat di ruang perawatan intensif selama 2 hari setelah itu pindah ke ruang perawatan biasa dalam keadaan baik. Pasien pulang setelah hari ke 8.Kata kunci: Sick Sinus Syndrome, Bradikardia Anesthesia for Laparatoy e.c Gaster Perforation with Sick Sinus SyndromeSA node dysfunction, or known as  Sick Sinus Syndrome is the common cause of disrythmia and can be caused by intrinsic and extrinsic factors of the SA node. The diagnose performed by the occurrence of bradi- takhikardia episode and the clinical symptoms, could be syncope, palpitation, or maybe asymptomatic. Some of the literature defined that the perioperative management of  sick sinus syndrome is preoperative insertion of pacemaker (transcutaneal or transvenous pacing). A 75 years old man underwent laparotomy with diffuse peritonitis caused by gastric perforation. In preoperative clinical evaluation the patients revealed full awake ( compos mentis), with  history of uncontrolled hypertension. In physical exammination a severe bradicardia was found with pulse of 31x/minute, and the blood pressure was 190/100 mmHg. In this rural hospital there was no fascility to insert the pace-maker. The organ perfusion was considered to be optimal from clinical evaluation ( proved by the wakefullness, SpO2 99%, and diuresis 1cc/kgBW after optimalization ). The chest X’ray showed a cardiomegali without the sign of pulmonary congestion. The laboratory test were within normal limit including the renal function test ( creatinin; 0,97 mg/dl, and ureum 82,6 mg/dl). We decided to perform general anesthesia in this procedure. Before the  induction while patient still awake, fentanyl 2µg/kgBW was given intravenously. Fifteen menue after fentanyl administration induction of anesthesia performed and initiated with propofol intravenous injection slowly until patients felt asleep, than intubated after muscle relaxant intravenous reached  the onset After intubation the pulse / heart rate of patients rose to 44 – 90x/minute. While the pulse was 90/ minute the heart rythm of the patients became irregular, a multifocal ventricular extra systole occured, and it was reversible when the heart rate back to 44x/ minute. We decided to maintain the heart rate between 35 – 40dmitted to the iCU, and after 2 days in the ICU patients was transfered to the ward, and can be dischared home after 8 days.Keywords: Bradikardia, Sick Sinus Syndrome DOI: 10.15851/jap.v1n1.159
Efek Profilaksis Norepinefrin Kontinu pada Anestesi Spinal Pasien Seksio Sesarea terhadap Hemodinamik dan Kontraksi Uterus Riki Punisada; Radian Ahmad Halimi; Dewi Yulianti Bisri
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 4 No 2 (2021): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v4i2.71

Abstract

Latar Belakang: Hipotensi merupakan suatu komplikasi setelah anestesi spinal dan dapat mempengaruhi kontraksi uterus pada operasi seksio sesarea (SC). Profilaksis norepinefrin kontinu dapat diberikan untuk mengurangi kejadian hipotensi pascaspinal pada pasien yang menjalani SC. Norepinefrin menjadi kandidat yang baik sebagai alternatif pencegahan hipotensi. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui efek profilaksis norepinefrin kontinu terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal dan pengaruhnya terhadap kontraksi uterus. Subjek dan Metode: Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Metode penelitian uji acak klinis tersamar ganda pada 36 pasien hamil cukup bulan berusia 18–35 tahun, status fisik ASA II ,menjalani SC dengan anestesi spinal. Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol (NaCl 0,9%) dan kelompok norepinefrin (norepinefrin intravena setelah tindakan anestesi spinal dengan injeksi sebanyak 5 μg, kemudian di titrasi sebanyak 0,05 μg/kgbb/menit). Data dianalisis dengan uji t test, uji Mann Whitney dan uji kolmogorov-smirnov, nilai p<0,05 dianggap bermakna. Hasil: Penurunan tekanan darah pada kelompok kontrol (61.1%) lebih tinggi dari kelompok norepinefrin (11.1%) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Kontraksi uterus yang adekuat lebih cepat tercapai pada kelompok norepinefrin dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05). Simpulan: Profilaksis noreprinefrin kontinu dapat mencegah dan menurunkan angka kejadian hipotensi anestesi spinal dan meningkatkan kontraktilitas uterus pada pasien menjalani operasi
Efektivitas Spray Lidokain pada Pipa Endotrakea terhadap Kejadian Nyeri Tenggorok Pascaoperasi yang Dihubungkan dengan Lama Anestesi/Intubasi Novie Salsabila; Ezra Oktaliansah; Radian Ahmad Halimi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n1.2561

Abstract

Postoperative sore throat (POST) merupakan salah satu komplikasi anestesi yang mengurangi kenyamanan pasien dengan angka kejadian yang cukup tinggi. Lidokain merupakan salah satu medika mentosa yang dapat digunakan untuk mencegah POST. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas spray lidokain pada endotracheal tube (ETT) yang dihubungkan dengan lama anestesi/intubasi pada periode Desember 2020–Februari 2021 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Uji klinis dilakukan terhadap 113 subjek yang terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu dengan lama operasi <1 jam (kelompok 1), 1–2 jam (kelompok 2), dan >2 jam (kelompok 3). Penilaian dilakukan pada jam ke-0, 1, 6, dan 24 pascaoperasi. Analisis statistik nonparametrik menggunakan uji Kruskal Wallis dan analisis post-hoc menggunakan uji Mann Whitney. Terdapat perbedaan POST yang signifikan pada perbandingan kelompok 1 dengan 3, serta kelompok 2 dengan 3 (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan signifikan pada perbandingan kelompok 1 dengan 2 (p>0,05). Pemberian lidokain pada ETT untuk mencegah POST efektif pada lama anestesi/intubasi kurang dari 2 jam. Diperlukan modalitas lain untuk mencegah POST pada operasi dengan durasi lebih dari 2 jam.Effectiveness of Lidocaine Spray for Preventing Postoperative Sore Throat in Several Durations of AnesthesiaPostoperative sore throat (POST) is a common postoperative complaint after general anesthesia, which can cause dissatisfaction and discomfort after surgery. Lidocaine is one of the drugs used to reduce or prevent POST. This study aimed to determine the effectiveness of lidocaine in preventing POST at various durations of anesthesia/intubation. The study was conducted from December 2020 to February 2021 at Dr. Hospital. Hasan Sadikin Bandung. This study enrolled 113 subjects who were divided into three groups, namely the group with a duration of anesthesia/intubation of less than 1 hour (group 1), between 1–2 hours (group 2), and the group with a duration of more than 2 hours (group 3). The postoperative sore throat was assessed immediately after the patient was extubated, 1, 6, and 24 hours post-extubation. Nonparametric statistical analysis was performed with the Kruskal Wallis test. The results showed that the severity of POST was statistically different between the groups (p<0.05). Post-hoc analysis using the Mann-Whitney test showed significant differences between groups 1 and 3 and between groups 2 and 3 (p<0.05). The difference was not statistically significant in group 1 compared to group 2 (p>0.05). Administration of a lidocaine spray for preventing POST is effective in an anesthetic duration of fewer than 2 hours. Other modalities may be required for an anesthesia duration of more than 2 hours. 
Manajemen Tekanan Darah Setelah Cedera Sistem Saraf Pusat Radian Ahmad Halimi; Dewi Yulianti Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2396.528 KB) | DOI: 10.24244/jni.v8i2.223

Abstract

Hipertensi yang tidak terkontrol sering dijumpai setelah cedera otak. Mekanisme mengenai respon fisiologis dan patologis ini berhubungan dengan respons autoregulasi yang bertujuan untuk mempertahankan aliran darah otak di area yang terkena cedera. Respons hipertensi awal mungkin akan mempercepat/memicu cedera lebih lanjut. Sebaliknya, penurunan tekanan darah secara agresif justru berhubungan dengan kejadian iskemik. Meskipun tekanan darah sudah jelas berperan sebagai modulator dalam cedera otak akut, berbagai penelitian masih menunjukkan kontroversi dan belum ada data-data berkualitas terkait demografis, manajemen optimal terhadap tekanan darah tinggi dam hasil akhir pada pasien yang mengalami cedera otak akut. Deteksi kelainan autoregulasi yang terjadi setelah cedera otak dan kontrol tekanan darah secara hati-hati sangat dibutuhkan dalam manajemen optimal pasien tersebut. Blood Pressure Management After Central Nervous System InjuryAbstractUncontrolled hypertension is often encountered after brain injury. This mechanism related to physiologic and pathologic response are related to autoregulatory responses aimed at preserving the cerebral blood flow in injured areas. The initial hypertensive response may precipitate further injury. Conversely, aggresive blood pressure reduction may be associated with ischemia. Despite the clear role of blood pressure as a modulator of acute brain injury, there is considerable controversy and a lack of high-quality data regarding the demographics, outcomes, and optimal management of high blood pressure in acute brain-injured patients. Recognition of the autoregulatory abnormalities seen after brain injury and careful control of blood pressure are necessary for the optimal management of these patients.
Gambaran Respons Peserta PPDS Anestesi FK Unpad Terhadap Pernyataan Seputar COVID-19 dan Tatalaksana Jalan Napas Pasien COVID-19 Hansen Wangsa Herman; Iwan Fuadi; Radian Ahmad Halimi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n2.2631

Abstract

Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi adalah salah satu tenaga kesehatan yang rentan terinfeksi Coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh paparan droplet dan aerosol saat mereka mengerjakan prosedur tata laksana jalan napas pasien. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan bagaimana respons peserta PPDS anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) terhadap pernyataan seputar COVID-19 dan tata laksana jalan napas pada pasien COVID-19. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif dengan desain potong lintang.  Pengambilan data secara survei daring yang dilakukan kepada sebanyak 98 peserta PPDS Anestesi bulan Oktober 2021. Data penelitian terdiri atas karakteristik partisipan, respons terhadap pernyataan seputar COVID-19, dan tata laksana jalan napas pasien COVID-19. Data kemudian dianalisis dengan metode statistika deskriptif dengan aplikasi SPSS versi 26. Hasil penelitian ini adalah mayoritas peserta PPDS anestesi FK Unpad menunjukkan respons yang sesuai dengan referensi yang ada kecuali respons terhadap pernyataan mengenai periode inkubasi, lokasi pemeriksaan praoperatif, karantina setelah intubasi, dan masker laring sebagai pilihan pertama pembukaan jalan napas, dan pemberiaan pra-medikasi bagi pasien COVID-19 yang akan dianestesi. Simpulan penelitian ini adalah walaupun mayoritas peserta PPDS Anestesi FK Unpad sudah memberikan respons yang sesuai, namun masih diperlukan peningkatan literasi mengenai COVID-19, dan tata laksana jalan napas pasien COVID-19 agar mereka semakin aman dalam pekerjaannya. Responses of Universitas Padjadjaran Anesthesiology Residents to COVID-19 and Airway Handling for COVID-19 PatientsAnesthesiologists are healthcare workers vulnerable to COVID-19 infection as they are exposed to droplets and aerosols when working with patients' airways. This study aimed to describe how anesthesiology residents of the Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran responded to statements about COVID-19 and airway management in COVID-19 patients. This research was a descriptive study with a cross-sectional design. Data were collected through an online survey of 98 anesthesiology resident participants in October 2021. The data collected consisted of participant characteristics, responses to statements about COVID-19, and airway management of COVID-19 patients. Data analysis used descriptive statistical methods using the SPSS version 26 application. Study results were: most of the participants showed an appropriate response according to existing references except for responses to statements regarding the incubation period, preoperative examination location, quarantine after intubation, and laryngeal mask as the first choice to establish an airway, and providing premedication for COVID-19 patients who would be anesthetized. This study concludes that although most participants have responded appropriately, they must increase literacy about COVID-19 and the airway management of COVID-19 patients to remain secure at work. 
Karakteristik dan Luaran Wanita Hamil dengan Covid-19 yang Menjalani Seksio Sesarea Daneswara, Andika; Bisri, Dewi Yulianti; Halimi, Radian Ahmad
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 6 No 3 (2023): November
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v6i3.137

Abstract

Latar Belakang: Wanita hamil menjadi kelompok yang sangat rentan terpengaruh oleh COVID-19. Namun, karakteristik klinis pada ibu hamil dengan COVID-19 belum diketahui secara pasti. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan luaran wanita hamil dengan COVID-19 yang melakukan persalinan seksio sesarea di RSUP Dr. Hasan Sadikin. Subjek dan Metode: Penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan metode retrospektif pada wanita hamil dengan COVID-19 yang menjalani seksio sesarea di ruang operasi isolasi COVID-19 di RSUP Dr. Hasan Sadikin periode Januari 2020 – Januari 2022. Variabel yang diteliti adalah usia, status paritas, komorbiditas, derajat keparahan COVID-19, teknik anestesi, luaran, dan penyebab kematian ibu. Data yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dianalisis dengan SPSS versi 25.0. Hasil: Didapatkan 132 sampel penelitian. Sebagian besar ibu hamil dengan COVID-19 yang menjalani seksio sesarea berusia <35 tahun (68,9%) dan dengan status paritas multipara (75,8%). Mayoritas ibu hamil tidak memiliki komorbid (68,9%) dengan komorbid terbanyak merupakan preeklampsia (28,7%). Teknik anestesi yang banyak digunakan adalah teknik anestesi spinal (87,9%). Gambaran COVID-19 pada penelitian ini mayoritas merupakan derajat ringan (90,9%) dengan luaran yang baik dengan tingkat mortalitas rendah (3%). Penyebab kematian berupa gagal napas e.c COVID-19 derajat kritis, damage control e.c plasenta previa
Post-Operative Management for Craniotomy Decompression in Cerebral Edema Patients Due to Cerebral Infarction in The Right Carotic System which Occurred Cerebral Vasospasm Halimi, Radian Ahmad; Zulfariansyah, Ardi
Journal of Society Medicine Vol. 3 No. 4 (2024): April
Publisher : CoinReads Media Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47353/jsocmed.v3i4.143

Abstract

Introduction: Cerebral infarction accompanied by brain edema is a life-threatening condition and requires decompression craniectomy to overcome increased intracranial pressure (ICP). Comprehensive post-operative management using non-invasive transcranial doppler (TCD) monitoring and Near Infrared Spectroscopy (NIRS) is a modality for conducting management in the intensive room (ICU). Case Report: We reported the case of a 56-year-old man diagnosed with cerebral edema due to stroke infarction of the right carotid system accompanied by comorbidities of coronary heart disease with a heart ejection fraction of 31.6% performed craniectomy decompression. The patient was treated for 12 days in intensive care and then transferred to a semi-intensive room Conclusion: This case highlights the importance of using TCD and NIRS in the intensive care unit as guiding therapies in maintaining patient blood pressure, administering blood components, and early detection of complications such as cerebral vasospasm.
Tatalaksana Anestesi pada Pasien dengan Perdarahan Epidural dan Infeksi COVID-19 Widiastuti, Monika; Halimi, Radian Ahmad; Prihatno, M. Mukhlis Rudi; Hamzah, Hamzah
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 3 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v11i3.450

Abstract

Cedera otak traumatik (COT) masih menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Meskipun terjadi penurunan angka kejadian COT saat pandemi COVID-19 karena mobilisasi yang dibatasi, namun karena keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, penanganan COT menjadi terlambat. Penanganan pasien COT dengan infeksi COVID-19 berbeda karena adanya protokol dan pertimbangan yang harus dilakukan untuk keselamatan tenaga medis dan kelancaran penanganan pasien. Laporan kasus ini mengenai laki-laki berusia 41 tahun datang dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan kendaraan bermotor 24 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien merupakan rujukan dari RS lain dengan cedera kepala berat. Dari hasil Computed Tomography (CT) scan kepala didapatkan epidural hematoma (EDH) akut frontal kiri frontal kanan parasagital yang menekan lobus frontal kiri lobus frontal kanan parasagital dengan midline shift sejauh 1.35 cm. Hasil pemeriksaan screening menunjukan hasil swab PCR positif. Pasien awalnya akan dirujuk ke RS rujukan COVID-19 namun tidak berhasil mendapatkan rujukan. Perdarahan epidural merupakan kondisi yang mengancam nyawa sehingga tindakan harus segera dilakukan. Pasien menjalani operasi emergensi kraniotomi evakuasi EDH dalam anestesi umum dengan protokol COVID-19. Penanganan anestesi dengan memperhatikan COVID-19 dan implikasinya pada pasien, neuroanestesi, dengan tetap menerapkan protokol COVID-19