Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

INDUKSI PADA PASIEN PEB DENGAN KARDIOMIOPATI DAN EDEMA PARU Suryani, Shila; Prihatno, MM Rudi
MANDALA of Health Vol 7, No 3 (2014): Mandala Of Health
Publisher : Jurusan Kedokteran FK Unsoed

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Preeclampsi is a desease that occur in pragnancy after 20 weeks gestaton with manifestation include multiorgans system such as pulmonary oedema and ventricel disfunction. Cardiomyopathy is a heart disorder that characterized by myocard disfunction and there is no relation with others heart desease before.            This case report discuss about induction anesthesia management to a women, 22 years old diagnosed with GIP0A0, severe preeclampsi, pulmonary oedem, cardiomyopathy, and fetal distress underwent caesaria section. Its a challange for anesthesiologist, how anesthesia management to this patient. There are four thing that we should do when induction, that is : optimalitation of preoxygenation,  give positive pressure ventilation with PEEP, minimal myocardial depressant effect of drugs, and keep normovolume. By doing these things we can keep adequate oxygenation so that can increase mother and baby outcome
Cardiac Arrest Intra Operatif Pada Neuroanestesi Pediatrik MM Rudi Prihatno; Teguh Manulima
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.695 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol8i1.207

Abstract

Henti jantung (cardiac arrest) intra operatif merupakan penyulit yang paling menakutkan selama pembedahan berlangsung, terutama pada kasus-kasus bedah saraf pediatrik, dikarenakan akan berpengaruh pada luaran operasi dan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya. Resiko yang lebih berat adalah kematian di meja operasi. Seorang anak perempuan 10 bulan dibawa ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo oleh orangtuanya dengan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah kiri sejak 1 bulan sebelumnya. Pasien rujukan dari salahsatu rumahsakit daerah. Setelah dilakukan tindakan pemeriksaan penunjang, maka disimpulkan dengan diagnosa sementara primitive neuroectoderm tumor (PNET). Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan opeasi bedah saraf elektif. Tindakan anestesi bedah saraf berlangsung selama 180 menit. Selama berlangsungnya operasi pasien mengalami henti jantung (cardiac arrest) pada menit ke-120. Kemudian dilakukan tindakan resusitasi kardiopulmoner. Pasien merespon resusitasi dengan baik. Pasien pasca operasi dibawa ke ruang perawatan intensif. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif selama 6 hari, dirawat di ruang bedah saraf selama 4 hari, dan dipulangkan pada hari ke-10 pasca operasi.Intraoperative Cardiac Arrest in Pediatric NeuroanesthesiaIntra-operative cardiac arrest is the most frightening complication during surgery, especially in cases of pediatric neurosurgery, because it will affect the outcome of the operation and the long-term effects it causes. A more severe risk is death at the operating table. A 10-month-old girl was brought to the RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo by his parents with complaints of weakness in the left limb since 1 month before. Patient referral from one regional hospital. After carrying out investigative actions, it is concluded with a provisional diagnosis of primitive neuroectoderm tumor (PNET). Patients are planned for elective neurosurgery surgery. The neurosurgical anesthetic procedure lasts 180 minutes. During the operation, the patient experiences cardiac arrest (cardiac arrest) in the 120th minute. Then cardiopulmonary resuscitation is performed. Patients respond to resuscitation. Postoperative taken to intensive care. The patient was treated in the intensive care room for 6 days, was admitted to the neurosurgical room for 4 days, and sent home on the 10th day postoperatively.
Pengelolaan Anestesi untuk Cedera Otak Traumatik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Nency Martaria; Iwan Abdul Rachman; MM. Rudi Prihatno
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2974.56 KB) | DOI: 10.24244/jni.v8i3.235

Abstract

Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu penyebab utama kematian dan disabilitas di seluruh dunia. Kelompok yang paling berisiko mengalami COT adalah pasien geriatrik, dimana mayoritas disebabkan oleh jatuh. Kejadian jatuh salah satunya dikaitkan dengan hemiparesis akibat riwayat stroke. Seorang laki-laki, 68 tahun dengan Glasgow Coma Scale (GCS) M3V1E4. Pasien mengalami cedera kepala akibat jatuh ketika naik tangga. Pasien memiliki riwayat gangguan keseimbangan akibat stroke iskemik dan mendapatkan terapi clopidogrel. Hasil pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya perdarahan akut sub dural dengan penyimpangan garis tengah 0,9 cm. Operasi pertama yang dilakukan adalah kraniektomi dekompresi dan pemasangan kasa untuk kontrol perdarahan. Perdarahan baru ketika operasi, timbul di midparietal kanan dan diduga berasal dari vena penghubung yang dekat dengan sinus. Perdarahan sulit dihentikan dengan total perdarahan 2500 cc. Tanda vital selama operasi stabil dengan topangan norepinefrin 0,2 mcg/kg/menit. Anestesi dengan menggunakan fentanyl 200 mcg, propofol 100 mg dan vecuronium berkelanjutan. Pemeliharaan dengan oksigen, compressed air dan sevofluran 2%. Pasien ditransfusi pack red cel (PRC) 700 ml. Setelah delapan hari perawatan ICU, kadar fibrinogen dan hemoglobin menjadi normal,dilakukan pengangkatan kassa dari dalam kepala pasien. Saat ini pasien telah dipulangkan dari rumah sakit dengan Glasgow Outcome Scale 3 dan hemiparese sinistra. Pengelolaan anestesi pada operasi pasien memperhatikan kondisi otak akibat COT, stroke iskemik dan efek dari terapi Clopidogrel pada operasi cito. Brain Trauma Foundation memberikan panduan untuk pengelolaan COT yang bertujuan untuk memberikan luaran yang lebih baik. Anesthetic Management for Traumatic Brain Injury in Patient with Ischemic StrokeAbstractTraumatic brain injury (TBI) is one of the leading cause of death and disability around the world. Geriatric being the most vulnerable group, mainly because of falling, of which associated with hemiparesis following stroke. A 68 years old man with Glaslow Coma Scale (GCS) M3V1E4 had brain injury after falling from stairs. The patient is having balance disorder following stroke and receiving clopidogrel afterwards. CT-scan showed acute subdural hemorrhage (SDH) with 0.9cm midline shift. Decompression craniectomy and gauze insertion to stop the bleeding was done on the first surgery. New onset of bleeding occurred in right midparietal. Bleeding was uncontrollable with total volume of 2500cc. Vital signs remained stable with norepinephrine 0.2mcg/kg/min. Anesthesia under fentanyl 200 mcg, propofol 100mg, and continuous vecuronium. Patient was transfused with pack red cel (PRC) total of 700 cc. After eight days in ICU, fibrinogen and hemoglobin returned to normal level, therefore the patient undergone gauze removal. The patient discharged with GOS 3 and left hemiparesis. Anesthesia management in this patient’ surgery focused on brain condition following TBI, ischemic stroke and the effect of clopidogrel therapy in emergency operation. Brain Trauma Foundation issued a management guideline of TBI for better outcome.
Peran Protease Calpains pada Neurotrauma MM Rudi Prihatno; Sudadi Sudadi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (396.12 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.165

Abstract

Cedera otak traumatik merupakan kejadian yang dapat berakibat fatal bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat. Penatalaksanaan tersebut dapat berupa terapi medikamentosa ataupun intervensional non-farmakologik seperti pemberian oksigen dengan ventilasi mekanik, tindakan pembedahan, dan lain sebagainya. Hal terpenting yang paling baik dilakukan adalah penatalaksanaan awal pasca kejadian, dimana proses-proses metabolik di otak sangat mempengaruhi hasil akhir dari kondisi seluler otak. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah penatalaksanaan pencegahan pemburukan dampak cedera otak traumatik dengan intervensi yang memanfaatkan jalur-jalur iskemik yang sudah diketahui, salah satunya adalah protease calpain The Role of Calpains Protease in Neurotrauma Traumatic brain injury is an event that can be fatal if not get an adequate management. Treatment may be either medical therapy or interventional non-pharmacological, such as providing oxygen with mechanical ventilation, surgery, and so forth. The most important thing is best done early post-incident management, in which metabolic processes in the brain greatly affect the outcome of the condition of the brain cell. One of the consideration is the impact of deterioration prevention treatment of traumatic brain injury with interventions that harness ischemic pathways already known, one of which is the protease calpain. 
Penggunaan Dexmedetomidin pada Neurotrauma MM Rudi Prihatno; Abdul Lian; Nazaruddin Umar
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (497.383 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.173

Abstract

Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju. Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak. Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien. The Use of Dexmedetomidine on Neurotrauma The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector. The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety is maintained properly and not worsen the patient's condition.
Optimalisasi Screening Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman untuk Mendukung Pembelajaran Luring Selama Masa Pandemi Dody Novrial; Mukhlis Rudi Prihatno; Muhamad Rifqy Setyanto; Alfi Muntafiah; Nia Krisniawati; Tirta Wardana
Poltekita: Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 4 (2022): Oktober - Desember
Publisher : Pusat Penelitian & Pengabdian Masyarakat Poltekkes Kemenkes Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (832.377 KB) | DOI: 10.33860/pjpm.v3i4.1299

Abstract

The pandemic due to the COVID-19 virus has had a significant impact on the online learning process. The difficulty of adapting learning methods for learning outcomes at the Faculty of Medicine requires that several methods be carried out offline, taking into account the safety and security of students during the pandemic. Therefore, this activity aims to design a prevention program for offline learning within the General Sudirman University Faculty of Medicine during the COVID-19 pandemic. This activity was carried out for 112 students and staff involved in the learning process. Activities were carried out by collecting data and filling out questionnaires, screening for the use of Genose, then followed by evaluation of vaccination using a rapid antibody test. Final detection was carried out using RT-PCR. The results of our activities succeeded in detecting 15 reactive students using genose, 5 reactive using a rapid test, and 1 confirmed positive for a PCR swab, so that confirmed participants could be given health assistance and break the spread of the COVID-19 virus. ABSTRAK Pandemi akibat dari virus COVID-19 memberikan dampak yang besar terhadap proses pembelajaran secara online. Sulitnya adaptasi metode pembelajaran untuk capaian pembelajaran di Fakultas Kedokteran mengharuskan beberapa metode dilakukan secara offline, dengan mempertimbangkan keamanan dan keselamatan peserta didik selama masa pandemi. Oleh karena itu, Tujuan dari kegiatan ini untuk mendesain program pencegahan untuk pembelajaran secara luring di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman selama masa pandemi COVID-19. Kegiatan ini dilakukan kepada mahasiswa dan tendik yang terlibat dalam proses pembelajaran sebanyak 112 orang. Kegiatan dilakukaan dengan pendataan dan pengisian kuisioner, skrining penggunaan Genose, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi dari vaksinasi menggunakan rapid test antibody dan penegakan deteksi akhir dilakukan dengan menggunakan RT-PCR. Hasil dari kegiatan kami berhasil mendeteksi 15 mahasiswa yang reaktif menggunakan genose, 5 reaktif menggunakan rapid test dan 1 yang terkonfirmasi positif swab PCR, sehingga peserta yang terkonfirmasi dapat diberikan pendampingan kesehatan dan pemutusan rantai penyebaran virus COVID-19.
Tatalaksana Anestesi pada Pasien dengan Perdarahan Epidural dan Infeksi COVID-19 Widiastuti, Monika; Halimi, Radian Ahmad; Prihatno, M. Mukhlis Rudi; Hamzah, Hamzah
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 3 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v11i3.450

Abstract

Cedera otak traumatik (COT) masih menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Meskipun terjadi penurunan angka kejadian COT saat pandemi COVID-19 karena mobilisasi yang dibatasi, namun karena keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, penanganan COT menjadi terlambat. Penanganan pasien COT dengan infeksi COVID-19 berbeda karena adanya protokol dan pertimbangan yang harus dilakukan untuk keselamatan tenaga medis dan kelancaran penanganan pasien. Laporan kasus ini mengenai laki-laki berusia 41 tahun datang dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan kendaraan bermotor 24 jam sebelum masuk rumah sakit (RS). Pasien merupakan rujukan dari RS lain dengan cedera kepala berat. Dari hasil Computed Tomography (CT) scan kepala didapatkan epidural hematoma (EDH) akut frontal kiri frontal kanan parasagital yang menekan lobus frontal kiri lobus frontal kanan parasagital dengan midline shift sejauh 1.35 cm. Hasil pemeriksaan screening menunjukan hasil swab PCR positif. Pasien awalnya akan dirujuk ke RS rujukan COVID-19 namun tidak berhasil mendapatkan rujukan. Perdarahan epidural merupakan kondisi yang mengancam nyawa sehingga tindakan harus segera dilakukan. Pasien menjalani operasi emergensi kraniotomi evakuasi EDH dalam anestesi umum dengan protokol COVID-19. Penanganan anestesi dengan memperhatikan COVID-19 dan implikasinya pada pasien, neuroanestesi, dengan tetap menerapkan protokol COVID-19
Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Perdarahan Subdural Pasien Cedera Otak Traumatik dengan Gagal Ginjal Kronis Maharani, Nurmala Dewi; Prihatno, MM Rudi; Fuadi, Iwan; Hamzah, Hamzah
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 3 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v11i3.507

Abstract

Pengelolaan anestesi pada kasus subdural hematom disertai penyakit ginjal kronis dengan riwayat hemodialisis memberikan permasalahan bagi ahli anestesi Perubahan hemodinamik perioperatif serta perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik obat membuat manajemen perioperatif dan pemilihan regimen anestesi serta cairan harus dipertimbangkan intraoperatif terhadap efek penurunan fungsi ekskresi ginjal pada pasien penyakit gagal ginjal kronik dengan riwayat hemodialisa. Pasien laki-laki, 56 tahun dibawa ke instalasi gawat darurat mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas sejak 1 hari yang lalu. Pasien dengan riwayat penyakit gagal ginjal kronis serta rutin hemodialisis tiap seminggu sekali. Pada pemeriksaan CT Scan kepala didapatkan hematom subdural di regio temporoparietal sinistra. Pasien preoperatif dilakukan hemodialisa tanpa menggunakan heparin. Diputuskan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi dengan induksi anestesi dengan propofol 1 mg/kgbb, fentanyl 2 gr /kgbb, lidokain 1 mg/kgbb dan rocuronium 0.5 mg/kgbb. Pasien diintubasi dengan ETT 7,5 dilanjutkan rumatan anestesi dengan propofol 50 gr /kgbb/menit, fentanyl 2 gr/kg/jam dan rocuronium 5 gr/kg/menit. Monitoring standar elektrokardiografi, SpO2, dan arteri line. Setelah operasi pasien dirawat diruang intensif selama 3 hari. Pasien post operatif diberikan sedasi analgetik dengan dexmedetomidine 0,2- 0,7 gr /kg/jam
Edema Paru Neurogenik Perioperatif Prihatno, MM Rudi; Suryani, Shila; Pramono, Wisnu Budi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 12, No 2 (2023)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v12i2.464

Abstract

Edema paru neurogenik (EPN) merupakan salah satu penyebab kematian di ruang perawatan intensif. Kejadian ini lebih sering tersamarkan sebagai penyakit atau gangguan yang murni berasal dari sistem pernafasan. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis EPN perlu dilakukan, baik secara radiologis dan laboratoris. Ada beberapa hal yang sangat berguna pada penentuan perkiraan kejadian EPN ini, antara lain adalah penyebab kejadian neurologis yang terjadi, pemeriksaan penunjang, lama perawatan berjalan di RS, serta prakondisi penyakit penyerta yang dimiliki oleh pasien ataupun keluarganya. Pasein yang akan menjalani prosedur operasi dan memiliki gangguan respirasi sebelumnya atau riwayat gangguan neurologis sebelumnya atau bahkan keduanya, menjadi catatatan tersendiri akan resiko kejadian EPN perioperatif. EPN pada dasarnya bisa ditatalaksana dengan baik bilamana dalam pengelolaannya secara komprehensif dan selalu mempertimbangkan kemungkinan diagnosa banding kausatifnya, karena bila salah dalam penentuan diagnosanya, maka tentunya akan mengakibatkan kesalahan dalam terapinya.Pengelolaan EPN yang efektif dan efisien, didasarkan pada tegaknya diagnosis yang diperkuat dengan dukungan pemeriksaan laboratorium dan penunjang, untuk menyingkirkan kerancuan penyebab dari EPN, apakah murni kasus neurologis ataupun non neurologis. Pasien pasca pembedahan yang terindikasi mengalami EPN, selama perawatan di ruang perawatan intensif ataupun ruangan perawatan pasca anestesi (post anesthesia care unit/ PACU), perlu mendapatkan perhatian khusus untuk sementara waktu, dengan tujuan agar pasien tidak mengalami pemburukan.Perioperative Neurogenic Pulmonary EdemaAbstractNeurogenic pulmonary edema (NPE) is one of the leading causes of death in the intensive care unit. These events are often disguised as diseases or disorders that originate purely from the respiratory system. Diagnostic examination of NPE needs to be done, both radiologically and in the laboratory. Several things are useful in determining the estimated incidence of NPE, including the causes of neurological events, supporting examinations, length of stay, and preconditions for comorbidities owned by the patient or his family. Patients who are about to undergo a surgical procedure and have previous respiratory problems, a recent history of neurological disorders, or even both have a special note about the risk of perioperative NPE events. Management of NPE can be appropriate if it is managed comprehensively and always considers possible differential diagnoses of causes because if it is wrong to make a diagnosis, then of course it will result in an error in therapy. Effective and efficient management of NPE, based on diagnosis that is strengthened by the support of laboratory and supporting examinations, to rule out ambiguous causes of NPE, both purely neurological and non-neurological cases. Postoperative patients who are indicated to have NPE, during treatment in the intensive care unit or post anesthesia care unit (PACU), need to receive temporary special attention so that the patient does not experience aggravation.
Neuroanesthesia Management in Cavernous Sinus Meningioma Craniotomy Patients Rozi, Fakhriyadi; Prihatno, MM Rudi; Cahyono, Iwan Dwi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 13, No 1 (2024)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v13i1.583

Abstract

AbstractThe most prevalent primary cavernous sinus (CS) lesion is cavernous sinus meningioma (CSM). Of all intracranial neoplasms, 1% are tumors in CS, and 41% are CSM. For contemporary neurosurgeons, orbital involvement in cavernous sinus meningiomas (CSMs) poses special difficulties. The condition is known as cavernous sinus meningioma (CSM) gradually impairs vision and may ultimately result in chiastic compression. Since January 2023, a male 55-year-old had been admitted to the hospital with cephalgia and mild diplopia in his right eye. Cavernous meningiomas were discovered using CT scans, and a craniotomy procedure was scheduled to remove the tumor. In order to facilitate intubation, the patient was given a premedication of sufentanyl for analgesia and was then given general anesthesia. Rocuronium was used to relax the muscles. Desflurane is an attractive option available to anesthesiologists to maintain general anaesthesia. This surgical procedure of removing intracranial tumours requires proper induction and monitoring of the patient's condition during surgery to prevent increased intracranial pressure. Intracranial elevation can cause systemic changes such as hypertension and changes in heart rhythm, as well as cerebral artery spasm, and lead to cerebral infarction and cerebral ischemia. An effective neuroanesthesia management program can help preserve hemodynamic stability and improve results during craniotomy surgery for the removal of meningiomas.