Claim Missing Document
Check
Articles

Penatalaksanaan Anestesi pada Perdarahan Intraserebral dengan Hidrosefalus dan Diabetes Melitus Longdong, Djefri Frederik; Rachman, Iwan Abdul; Bisri, Dewi Yulianti; Sudadi, Sudadi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2509.245 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i1.355

Abstract

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah ekstravasasi darah yang masuk kedalam parenkim otak, yang dapat berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid, terjadi spontan dan bukan disebabkan oleh trauma (non traumatis) dan merupakan salah satu penyebab tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan kritis saraf. Kejadian PIS 10-15% dari semua stroke dengan tingkat angka kematian tertinggi dari subtipe stroke dan diperkirakan 60% tidak bertahan lebih dari satu tahun. Kasus: Laki-laki 57 tahun, datang dengan keluhan penurunan kesadaran yang terjadi pada saat mau makan. Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran GCS E1M4V1 dengan hemodinamik stabil, dan terdapat hemiplegi sinistra. Pasien diintubasi dan memakai ventilator di ruangan Instalasi Gawat Darurat Disaster sambil menunggu hasil skrining Covid 19 dengan swab polymerase chain reaction (PCR). Pada CT-scan ditemukan adanya PIS 48,93 cc di basal ganglia, capsula eksterna sampai periventrikel lateralis kanan, terjadi distorsi midline sejauh 1 cm ke kiri. Ventrikulomegali disertai perdarahan intraventrikel yang mengisi ventrikel lateralis kanan dan kiri, ventrikel III dan IV. Laboratorium menunjukkan gula darah di atas 200 mg/dl setelah dilakukan koreksi gula darah diputuskan untuk dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi segera dengan pemeriksaan penunjang yang cukup. Tindakan kraniotomi evakuasi pada pasien PIS menjadi tantangan bagi seorang anestesi, sehingga diperlukan pengetahuan akan patofisiologi, mortalitas PIS dan tindakan anestesi yang harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan tepat.Anesthesia Management in Intracerebral Hemorrhage with Hydrocephalus and Diabetes MellitusAbstractIntracerebral hemorrhage (ICH) is the extravasations of blood into the brain parenchyma, which may develop into ventricular and subarachnoid space, there was spontaneous and not caused by trauma (nontraumatic), and one of the most common cause in patients treated in the neurological critical care unit. ICH represents perhaps 1015% of all strokes with the highest mortality rates of stroke subtypes and about 60% of patients with ICH do not survive beyond one year. Case: a man 57 years, came with complaints of loss of consciousness when he just want to eat. On examination of consciousness obtained GCS E1M4V1 with hemodynamic was stable, there left hemiplegic. Patients is intubated and connected with ventilator at Emergency Room Disaster while waiting for result from PCR. From the CT Scan we found 48,93 cc at basal ganglia, capsula externa until lateral periventricle dextra there is a midline distortion 1 cm to the left. Ventriculomegali with intraventricle hemorrhage wich is fill the lateral ventricle right and left, third ventricular and fourth ventricular. The laboratorium result show the glucose up to 200 mg/dl. After glucose correction, it was decided to evacuate immediately craniotomy action with adequate investigation. Procedure of craniotomy evacuation in ICH patients be a challenge for an anesthesiologist, so knowledge of the pathophysiology, mortality ICH and anesthetic procedure that should be prepared and done properly.
Manajemen Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien Eklampsia dengan Perdarahan Intrakranial Bangun, Chrismas Gideon; Sudadi, Sudadi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3067.677 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i2.198

Abstract

Perdarahan intrakranial pada kehamilan adalah penyebab kematian utama pada pasien-pasien dengan eklampsia. Hipertensi, yang berkaitan dengan stroke iskemik dan stroke hemoragik, adalah tampilan utama. Penanganan definitif merupakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea. Namun, tidak tepat untuk memulai persalinan pada ibu yang tidak stabil, sekalipun terdapat gawat janin. Begitu kejang dapat dikendalikan, hipertensi berat ditangani dan hipoksia dikoreksi, persalinan dapat dimulai. Sasaran manajemen anestesia yang pertama yaitu pengendalian kejang, pengendalian tekanan darah, dan pencegahan peningkatan tekanan intrakranial. Anestesi umum merupakan pilihan pada pasien tidak sadar, atau penurunan kesadaran dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Anestesia dicapai dengan inhalasi, opioid, relaksasi dan hiperventilasi secara hati-hati. Pada kasus ini seorang ibu 31 tahun, 55 kg, usia kehamilan 36-37 minggu datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran dan riwayat kejang. Dijumpai sensorium E2M5V2, tekanan darah 180/100mmHg dan proteinuri 3+. Segera diputuskan dilakukan seksio sesarea dengan anestesi umum dan rapid sequence induction dengan fentanyl 50 mcg, propofol 100 mg dan rocuronium 50 mg intravena. Post operasi pasien dirawat di ICU, dilakukan head CT-Scan dan dijumpai perdarahan intrakranial di temporoparietal kanan. Penanganan perdarahan intrakranial diputuskan konservatif. Hari ke-3 pascabedah pasien diekstubasi dan pada hari ke-5 pasien dipindahkan ke ruangan dengan sensorium E3M5V2.Management of Anesthesia for Eclampsia Caesarean Section Patient with Intracranial BleedingAbstractIntracranial haemorrhage in pregnancy is the leading cause of death in eclampsia patients. Hypertension, which is associated with both ischemic and hemorrhagic strokes, is the main feature. Definitive treatment is termination of pregnancy with cesarean section. However, it is not appropriate to start labor in an unstable mother, despite fetal distress. Once seizures can be controlled, severe hypertension is treated and hypoxia is corrected, labor may begin. The first anesthesia management goals are seizure control, blood pressure control, and prevention of increased intracranial pressure. General anesthesia is an option in the unconscious patient, or decreased consciousness with signs of increased intracranial pressure. Anesthesia is achieved with inhalation, opioids, relaxation and hyperventilation techniques carefully. In this case a 31-year-old mother, 55 kg, 36-37 weeks' gestation comes to the hospital with a decrease in consciousness and a history of seizures. Found sensorium E2M5V2, blood pressure 180/100mmHg and proteinuria 3+. Immediately, a cesarean section with general anesthesia and rapid sequence induction with fentanyl 50 mcg, propofol 100 mg and rocuronium 50 mg intravenously were performed. Post surgery the patient was treated in the ICU, head CT-Scan was performed and intracranial hemorrhage in the right temporoparietal was encountered. Management of intracranial hemorrhage was decided conservatively. The 3rd day postoperative the patient was extubated and on the 5th day the patient was transferred with E3M5V2 sensorium.
Pengelolaan Anestesi pada Pasien yang dilakukan Eksisi Tumor Medula Spinalis Servikal 2-3 dengan Ventrikel Ekstra Sistole Maharani, Nurmala Dewi; Rachman, Iwan Abdul; Bisri, Dewi Yulianti; Sudadi, Sudadi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3511.729 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i2.354

Abstract

Penyakit yang mengakibatkan kompresi medulla spinalis dapat mengakibatkan iritasi pada sistem saraf otonom. Hiperinervasi saraf simpatis berisiko tinggi pada aritmia ditandai adanya perubahan pada elektrokardiografi, yakni perubahan durasi gelombang P, durasi QRS, depresi segmen ST, interval puncak gelombang T dan ventrikel ekstrasistol. Laki- laki 52 tahun dengan tumor intra-ektramedullar pada area cervikalis 2-3 dengan tetraparesis dan ventrikel ektrasistol dilakukan wide eksisi tumor dan stabilisasi posterior. Pemeriksaan fisik nadi 90 x/menit teraba tidak teratur. Elektrokardiogarfi (EKG) didapatkan hasil irama irreguler 82 x/menit, ventrikel ektrasistol 10 x/menit. Echocardiography menunjukkan disfungsi diastolik grade 3 preserved LV function. Sebelum operasi pasien diberikan terapi ventrikel ektrasistol dengan menggunakan analgetik dan amiodaron 150 mg (10 mL) pada 10 menit pertama, dilanjutkan dengan 360 mg (200 mg) untuk 6 jam selanjutnya, 540 mg untuk 18 jam berikutnya dan analgetik. Induksi anestesi dilakukan dengan midazolam 3 mg, fentanyl 200 mcg, lidokain 60 mg, propofol 100 mg, dan atricurium 30 mg serta intubasi manual in-line. Dilakukan pemasangan arteri line dan kateter vena sentral setelahnya pasien diposisikan prone. Pembedahan berlangsung 6 jam. Pasien dirawat di ICU 2 hari sebelum pindah ruang rawat biasa. Pemberian amiodarone sendiri dapat dipertimbangkan pada ventrikel ekstrasistol maligna yang memerlukan tatalaksana segera dengan pertimbangan hemodinamik pasien dalam keadaan stabil.Anesthesia Management for Cervical 2-3 Spinal Cord Tumor with Ventricles ExtrasystoleAbstractCompression of the spinal cord can cause irritation to the autonomic nervous system. Hyperinervation of sympathetic nerves at high risk for arrhythmias characterized by electrocardiographic results in changes in P-wave duration, QRS duration, ST-segment depression, T-wave peak interval, and ventricular extrasystole. A 52-year-old male with an intra-extramedullar tumor in cervical 2-3, tetraparesis, dysrhythmias, and ventricular extrasystole bigemini. Wide excision of tumor and posterior stabilization would be performed. The pulse was 90x/minute palpable irregularly. Electrocardiography examination revealed irregular rhythm 82 x/minute and ventricular extrasystole 10 x/minute. Echocardiography showed grade 3 diastolic dysfunction with preserved LV function. Before the procedure, the patient was given management for the dysrhythmia and ventricular extrasystole with analgetics and amiodaron 150mg (10ml) in the first 10 minutes followed by 360mg (200mg) for the next 6 hours, 540mg for the next 18 hours and analgetics. General anesthesia carried out with midazolam 3mg, fentanyl 200mcg, lidocaine 60mg, propofol 100mg, and atricurium 30mg, with manual intubation in-line. After arterial line and central venous catheter insertion, the patient was placed in the prone position. Surgery lasted for approximately 6 hours. The patient was treated in the ICU for 2 days before moving to the usual ward. Amiodarone can be considered in ventricular extrasystole requiring immediate treatment with stable hemodynamic.
Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus Marwan, Kenanga; Surahman, Eri; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2575.002 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.131

Abstract

Hidrosefalus merupakan suatu kelainan yang sering ditemukan pada anak dimana terjadi dilatasi pada sistem ventrikel otak akibat akumulasi cairan otak dengan berbagai penyebab. Secara klinis, gambaran kenaikan tekanan intrakranial pada anak berbeda sesuai perkembangan usianya. Adanya kenaikan tekanan intrakranial ini memberikan konsekuensi klinis berupa intervensi pembedahan, karena bila tidak bisa berakibat fatal. Beberapa alternatif tindakan yang biasanya dilakukan terutama adalah pemasangan pintasan (shunt) untuk mengalirkan cairan otak keluar, sehingga tekanan intrakranial kembali normal. Manajemen perioperatif anestesi terutama dikhususkan berdasarkan kondisi klinis penderita, pemilihan obat-obat anestesi yang digunakan, pengelolaan jalan napas dan perawatan pascabedah. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi ahli anestesi, karena adanya tekanan intrakranial yang tinggi, kesadaran yang menurun, resiko aspirasi dan bentuk anatomi jalan napas yang berbeda dengan dewasa, sehingga perlu perhatian khusus pada saat mengamankan jalan napas dan pengelolaan anestesi.Anaesthetic Management for Hydrocephalus in ChildrenHydrocephalus is an abnormal condition, often found in children, where there is a dilatation in the brain ventricle system due to the accumulation of cerebrospinal fluid because of many etiologies. Clinical feature demonstrates increasing intracranial pressure in children which is different type at any age. This condition needs an interventional surgery. Usually the neurosurgeon will insert a shunt to drain the cerebrospinal fluid lower the intracranial pressure back to normal values. Anesthetic perioperative management is especially based on the clinical condition of the patient, selected the anesthetic agent, airway management and post-operative care. This has become a challenge for the anesthesiologist, because of increasing intracranial pressure, decreased consciousness status, aspiration risk and different anatomical airway form compared to adults, which require special attention to secure the airway.
Pertimbangan Anestesia untuk Pasien dengan Deep Brain Stimulator Tertanam yang Menjalani Prosedur Diagnostik dan Pembedahan Santosa, Dhania A; Rasman, Marsudi; Hamzah, Hamzah; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.561 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol8i1.205

Abstract

Deep brain stimulation (DBS) akhir-akhir ini sering digunakan untuk penyakit Parkinson dan kelainan pergerakan lainnya. DBS sendiri merupakan suatu stimulator yang ditanam pada nukleus dalam di otak dan disambungkan dengan pembangkit pulsasi yang ditanam di bawah klavikula. Sebagai konsekuensinya, ahli anestesiologi akan lebih sering menghadapi pasien dengan sistem DBS tertanam dalam tubuh mereka untuk menjalani prosedur diagnostik dan pembedahan. Anestesia pada pasien-pasien ini memerlukan perhatian khusus karena adanya potensi interferensi antara neurostimulator dan alat-alat lainnya yang dapat menbahayakan pasien. Oleh karenanya penting bagi ahli anestesi untuk memahami hal-hal khusus pada pasien dengan deep brain stimulator tertanam yang menjalani tindakan diagnostic maupun pembedahan. Panduan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan oleh ahli anestesi pada pasien seperti ini masih sangat kurang dan masih sangat bergantung pada laporan kasus atau panduan yang berasal dari pabrik pembuatnya. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan gambaran singkat mengenai sistem DBS dan penanganan anestesi pada pasien dengan alat DBS tertanam.Anesthesia Considerations in Patients with Implanted Deep Brain Stimulator undergoing Diagnostic and Surgery ProceduresDeep brain stimulation (DBS) has become an increasingly common treatment for Parkinsons disease and other movement disorders. DBS consist of implanted stimulator at deep nuclei of the brain and, connected to a pulse generated which is implanted under clavicle. Consequently, anesthesiologists will increasingly encounter patients with implanted DBS system facing diagnostic and surgery procedures. Anesthesia management in such patients requires specific considerations due to the possible interference between neurostimulator and other devices which are potentially harmful to the patient. Therefore, it is important for anesthesiologists to understand specific issues in patients with implanted deep brain stimulator undergoing surgery and other diagnostic procedures. Guideline on these specific issues is very limited and highly relies on case report and manufacturers manual. The purpose of this review is to provide brief overview on DBS system and anesthesia considerations in patients with implanted DBS
Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak Winarso, Achmad Wahib Wahju; Saleh, Siti Chasnak; Rahardjo, Sri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2833.545 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i2.117

Abstract

Kraniopharingioma adalah malformasi embriogenik sebagian berbentuk kistik dari area selar dan paraselar. Tumor epitel jarang timbul di sepanjang jalan saluran kraniopharyngeal. Tumor ini biasanya menyebabkan gangguan neurologis, endokrinologis, atau gejala visual. Diagnosis untuk kraniopharingioma anak dan orang dewasa ditandai dengan kombinasi sakit kepala, gangguan penglihatan, dan poliuria/polidipsia, yang juga bisa termasuk penambahan berat badan yang signifikan. Dengan kejadian sampai 0,52,0 kasus baru per juta penduduk per tahun terjadi pada anak-anak dan remaja. Pada anak sering mengalami gangguan pertumbuhan, dan atau pubertas dini pascaoperasi. Penatalaksanaan pembedahan dengan lokalisasi tumor yang menguntungkan adalah reseksi lengkap; pada lokalisasi tumor yang tidak menguntungkan, operasi radikal adalah terapi pilihan pada kraniopharingioma. Seorang anak perempuan 11 tahun dengan keluhan pusing, mual, muntah dengan disertai tanda-tanda dehidrasi ringan tanpa ada gangguan visus yang menurun. Saat di IGD dilakukan rehidrasi, pemeriksaan diagnostik ditemukan adanya hidrosefalus dan direncanakan pemesangan VPShunt dengan menggunakan anestesia umum. Manajemen dari tumor intrakranial dengan hidrosefalus yang mengalami dehidrasi pada situasi darurat merupakan tantangan dokter anestesi. Sepuluh hari kemudian dilakukan eksisi tumor dengan anestesi umum. Sebuah prosedur gabungan seperti di atas memerlukan diskusi dan kordinasi untuk memastikan kondisi pascaoperasi. Manifestasi patologis, serta tantangan-tantangan khusus gejala sisa yang timbul, memerlukan tindakan diagnosis, pengobatan (terutama titik waktu yang ideal iradiasi), dan kualitas hidup dengan penyakit kronis ini (obesitas) dengan melibatkan managemen multidisiplin seumur hidup untuk orang dewasa dan anak-anak penderita kraniopharingioma.Diabetes Insipidus Post Craniopharyngioma Surgery in PediatricCraniopharingioma is shaped cystic malformation embryogenic portion of the small opening area and paraselar. Epithelial tumors rarely arise along the way craniopharyngeal channels. These tumors usually cause neurological disorders, endocrinological, or visual symptoms. Craniopharyngioma diagnosis for children and adults is characterized by a combination of headache, visual disturbances, and polyuria/polydipsia, which also can include significant weight gain. With events until 0.5 to 2.0 new cases per million population per year occur in children and adolescents. On postoperative impaired child growth, or early puberty. Management of surgery with favorable tumor localization is complete resection; the unfavorable tumor localization, radical surgery is the treatment of choice in craniopharyngioma. A daughter 11 yrs with complaints of dizziness, nausea, vomiting accompanied by signs of mild dehydration without any interruption decreased visual acuity. While in the emergency room rehydration, diagnostic examinations found their planned hydrocephalus and VP-Shunt custom installation using general anesthesia. Management of intracranial tumors with hydrocephalus dehydrated in emergency situations is a challenge anesthetist. Ten days later the tumor excision under general anesthesia. A combined procedure as above require discussion and coordination to ensure post-surgical conditions. Pathological manifestations, as well as the specific challenges that arise sequelae, require action diagnosis, treatment (particularly ideal time point irradiation), and quality of life with this chronic disease (obesity) involving multi-disciplinary management of a lifetime for adults and children ren craniopharyngioma patients.
Luaran Pasien Dengan Perdarahan Intraserebral dan Intraventrikular yang Dilakukan Vp-Shunt Emergensi Jasa, Zafrullah Kany; Rahardjo, Sri; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6672.242 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.99

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraventrikuler dan intraserebral merupakan kejadian akut yang dapat timbul spontan terutama akibat hipertensi dan aneurisma yang pecah atau oleh karena cedera kepala akibat trauma. Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan dapat berupa pemberian obat-obatan ataupun tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat mendadak dan mengeluarkan hematoma untuk segera memperbaiki gangguan fungsi dan mencegah kerusakan neurologis lebih berat. Tindakan ini diharapkan dapat menurunkan tekanan intrakranial serta mengurangi resiko timbulnya hidrosefalus akibat tersumbatnya sistem ventrikel di otak sebagai salah satu kompilkasi dari perdarahan intrakranial.Subjek dan Metode: Telah dilakukan tindakan pemasangan Ventrikulo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) pada 8 orang pasien yang mengalami perdarahan intraventrikuler atau perdarahan intraserebral oleh karena stroke dan trauma dalam 72 jam pertama setelah timbulnya gejala. Dilakukan perbandingan terhadap GCS awal sebelum operasi dan 72 jam setelah operasi serta luaran terhadap pasien terebut.Hasil: Didapatkan bahwa 6 orang pasien (75%) terjadi peningkatan GCS setelah pemasangan VP-Shunt. Dari pasien yang mengalami perbaikan GCS didapatkan selanjutnya 4 orang (50%) dipulangkan dan 4 pasien meninggal selama perawatan karena komplikasi.Simpulan: Tindakan VP-Shunt pada keadaat akut terhadap pasien perdarahan intraventrikuler dan intraserebral diduga dapat memperbaiki tingkat kesadaran meskipun luaran pasien tidak menunjukkan perbedaan bermaknaOutcome of Patients with Intracerebral and Intraventricular Haemorrhage After an Emergency Vp-Shunt Insertion Background and Objective: Intraventricular and intracerebral haemorrhage is an acute condition that can occurs spontaneously due to hypertension or rupture of aneurism, and also can be occurs as a result from brain damage caused by trauma. Management in this acute condition can be done by either giving particular drugs or through surgical procedures. The aim of surgical procedure is to reduce a sudden increase of intracranial pressure as well as to evacuate hematome, in order to prevent functional neurology disturbance and damage. By performing this management, intracranial pressure is expected to decrease, and to reduce the risk of hydrocephalus resulted from an occlusion in brain ventricular system as one of the complication of intracranial haemorrhage.Subject and Method: Ventriculo-Peritoneal Shunt (VP-Shunt) was inserted during the first 72 hours after the event in 8 patients with intraventricular and intracerebral haemorrhage due to stroke and trauma. Level of consciousness was assessed, by comparing the pre-operative and 72 hours post-operative using Glasgow Coma Scale (GCS), and the patient outcome was also assessed.Result: Six (75%) patients showed an increase GCS after VP-Shunt insertion, with 4 of them can be discharged from the hospital, whilst 4 patients died due to other complications.Conclusion: VP-Shunt insertion in acute condition in patients with intraventricular and intracerebral haemorrhage is considered to be useful in accelerating the level of consciousness, even though the overall outcome of the patients is not significantly different.
Penatalaksanaan Perioperatif Hipofisektomi Transsphenoidal: Pendekatan Endoskopik Endonasal Christanto, Sandhi; Suryono, Bambang; Bisri, Tatang; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2694.25 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.101

Abstract

Tumor kelenjar hipofisa sering dijumpai dan mewakili kurang lebih 10% dari semua neoplasma otak yang terdiagnosa. Meski tersedia terapi medis, pendekatan pembedahan menjadi lebih sering dilakukan. Pendekatan transsphenoidal endonasal endoskopik dipilih karena memiliki keuntungan untuk mencapai regio sella secara cepat dengan resiko kerusakan otak dan komplikasi pascabedah yang minimal. Pengetahuan dan keahlian dokter anestesi tentang pembedahan endoskopik basis kranii dibutuhkan untuk memenuhi kriteria dalam menyediakan keadaan anestesi yang aman, yang akan memainkan peran penting dalam menghasilkan luaran yang diharapkan. Seorang wanita 25 tahun dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca seksio sesarea. Pada pemeriksaan ditemukan edema otak, dan hidrosephalus yang kemudian dilakukan pintas ventrikuloperitoneal. Pemeriksaan lebih lanjut didapatkan massa kistik suprasellar dan pembedahan hipofisektomi transsphenoidal melalui jalur endonasal endoskopik dipilih sebagai pendekatan surgikal. Pasien dengan kelainan hipofisa serta pendekatan pembedahan endoskopik memberikan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Peralatan endoskopik berteknologi tinggi, pertimbangan intraoperatif yang berhubungan dengan tehnik ini, membutuhkan pengelolaan anestesi yang baik selama periode perioperatif, sehingga dokter anestesi dapat memberikan anestesi yang aman selama prosedur pembedahan dan memberi kontribusi besar bagi keberhasilan dan kemajuan pembedahan endoskopik basis kranii.Perioperative Management of Transsphenoidal Hypophysectomy: Endoscopic Endonasal ApproachPituitary gland tumor represents 10% of all brain neoplasms. Although medical therapy is available, surgical approach becomes commonly performed. The transsphenoidal via endoscopic endonasal is preferred because it has advantage of rapid access to the sella region with minimal traumatic risk to the brain as well as post-operative complications. The highly advance technology, the position of neurosurgeon when performing the surgery and other intraoperative consideration present a unique challenge which require a thorough understanding and the skill of anesthesia management that is tailored to the needs of safe anesthesia for this technique. A 25 years old woman was admitted to hospital following a decreased in level of conciousness after sectio cesarea and found to have edema cerebri and hydrocephalus. Ventricular peritoneal shunt was performed immediately. Further examination revealed a cystic mass in suprasellar region and transsphenoidal hypophysectomy via endonasal endoscopic route was chosen as surgical approach. Patient with pituitary disease and endoscopic method present challenges to the anesthesiologist. High technology equipment and techniques, as well as other intraoperative considerations mandate the skillfulness of anesthesia management throughout the perioperative periode. Those considerations will ensure the neuroanestesiologist for a safe anesthesia and continue to make contributions to the development of full endoscopic skull base surgery.
Perioperatif Anestesi Pada Kraniotomi Penderita Cedera Otak Berat Harijono, Bambang; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (369.878 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i2.89

Abstract

Cedera otak traumatik (TBI) merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada penderita, apabila tidak mendapatkan pertolongan yang cepat dan tepat. Diperlukan peran seorang ahli anestesi dalam hal penanganan, yang dimulai sejak pra rumah sakit sampai perawatan neuro intensif. Standar terapi cedera otak traumatik selalu mengalami kemajuan dari tahun ke tahun, yang diharapkan bisa mencapai hasil yang maksimal dalam menangani kasus trauma kepala. Seorang laki-laki, usia 37 tahun, berat badan 75 kg, tinggi badan 170 cm. Penderita rujukan dari rumah sakit di kabupaten dengan diagnosa cedera otak berat. Mulai dari kejadian sampai masuk kamar operasi membutuhkan waktu 12 jam. Terjadi penurunan GCS dari 11 (3,3,5) ke 8 (2,2,4) kemudian 7 (1,2,4) dan dilakukan intubasi di ruang resusitasi, sebelum masuk kamar operasi. Dilakukan kraniotomi selama 7 jam untuk evakuasi hematoma subdural. Setelah operasi, dilakukan monitoring tekanan intrakranial (ICP) dan tindakan untuk terapi hipertensi intrakranial. Hari ketiga post operasi dilakukan tracheostomi. Hari ke lima post operasi, GCS 2,X,5 (dengan tracheostomi) dan penderita alih rawat ke bangsal. Penanganan penderita cedera otak traumatik seharusnya sudah dilakukan di tempat kejadian trauma dan berkesinambungan sampai perawatan intensif. Dengan adanya petugas trauma care yang terlatih di setiap daerah, diharapkan tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan penderita yang juga akan berdampak pada hasil akhir penderita. Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan situasi dan kondisi penderita, termasuk kondisi rumah sakit. Semua itu mempunyai tujuan utama untuk mencegah kerusakan sekunder, serta diharapkan akan mengurangi mortalitas dan kecacatan penderita trauma.Perioperative Anesthesia In Craniotomy For Severe Traumatic Brain InjuryTraumatic brain injury (TBI) is a major cause of death and dissability in patient, if it doesnt get any therapy quickly and accurately. Anesthesiologist is important in case to handling the therapy from the accident site until in the neuro intensive care. A standard therapy in TBI is always moving forward by years, that is expected to achieve maximal results in that case. A man, 37 years old, weight 75 kg, height 170 cm. This patient was referral from another hospital in counties with severe head injury. Takes 12 hours, from the accident event until the patient arrive in the operating room. GCS is continues to drop from 11( 3,3,5) to 8 (2,2,4) and became 7 (1,2,4) then the intubation is taking place in the resuscitation room, before the patient get into the operation room. Craniotomy was done in 7 hours to evacuate subdural hematoma. After surgery, ICP monitoring and intracranial hypertension therapy was taken. In the 3rd day after surgery, tracheostomy was given to the patient. In the 5th day after main surgery, GCS is 2, X, 5 (with tracheostomy) and move to ward. The treatments of patient with TBI should taken on the site of accident until the patient in intensive care unit. A trained emergency staff in every region is expected in patient management effectively, that can affect in final results. The selection of anesthesia agent is depends on both patient and hospital, condition and circumstances. All of it, has a primary purpose to prevent secondary damage and expected to reduce mortality and disability in patients.
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan Aulyan Syah, Bau Indah; Suarjaya, I Putu Pramana; Rahardjo, Sri; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (374.453 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i3.54

Abstract

Penanganan cedera kepala berat selalu bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi otak (TPO) dan mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien dengan kehamilan, janin juga harus dipantau. Hiperventilasi harus dihindari karena berefek buruk terhadap perfusi otak dan aliran darah plasenta. Seorang wanita, 25 tahun, 60 kg, 160 cm datang ke rumah sakit akibat trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas yang dialami kurang dari 1 jam sebelum masuk rumah sakit dengan GCS E4M6V4. Pasien dalam keadaan hamil G1P0A0 dengan usia kehamilan 2830 minggu. Di unit gawat darurat terjadi penurunan kesadaran mendadak hingga GCS E1M5V1 sehingga dilakukan intubasi endotrakhea disusul dengan pemeriksaan CT Scan dengan hasil hematoma epidural dekstra dan hematoma subarachnoid disertai midline shift. Pasien kemudian menjalani operasi evakuasi hematoma epidural dengan anestesi umum kemudian di rawat di unit perawatan intensif dengan pipa endotrakhea masih dipertahankan. Denyut jantung janin (DJJ) masih terdengar dan dilakukan observasi ketat DJJ selama perawatan di ICU. Namun setelah beberapa hari di ICU, janin dinyatakan meninggal. Ringkasan: Pasien cedera kepala berat dengan hematoma epidural dan subarachnoid disertai kehamilan telah menjalani operasi anestesi umum dengan tetap memperhatikan pemeliharaan tekanan perfusi otak (TPO) dan mempertahankan kondisi janin dalam batas normal. Meskipun pada akhirnya janin tidak bisa diselamatkan akibat lamanya perawatan ibu dengan ventilator.Anesthesia Management for Patients in Pregnancy with Severe Head Injury Due to Acute Epidural Hematoma Management of severe head injury cases, in any given situation, is targeted to maintain cerebral perfusion pressure (CPP), and preventing increase of intracranial pressure that possibly cause secondary brain injury. In a case of pregnancy, besides considering the maternal status, fetus condition is equally important to observe. Hyperventilation should be avoided due to its possible detrimental effect to both the brain perfusion and placental blood flow. A 25 year old female, 60 kg, 160 cm, was taken to the hospital due to head trauma caused by a traffic accident, roughly about an hour prior to hospitalization. GCS was E4M6V4. The patient was in her 28 30 week of pregnancy (G1P0A0). Sudden decrease in consciousness occurred and GCS lowered to E1M5V1. Endotracheal intubation was then prompted. Epidural haematoma subarachnoid haematoma with midline shift revealed in CT scan. The patient underwent epidural hematoma evacuation with general anesthesia then transferred to Intensive Care Unit (ICU) with ETT maintained. Fetal heart rate remains heard, followed with close monitoring of the fetal heart rate during treatment in the ICU. After 3 days in ICU, fetus died. Summary: A pregnant patient with severe head injury of epidural and subarachnoid bleeding, has undergone an operation with general anesthesia. The fetus was unfortunately cannot be saved due to the patient long ventilator treatment.