Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Tanggung Jawab Direksi Atas Pelanggaran Fiduciaryduty Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit Mira Indrawati; Abdul Manan; Dhoni Martien
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 6 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i1.24060

Abstract

The board of directors' responsibilities for breaches of fiduciary duty that resulted in the company's bankruptcy are discussed. The approach method used in this legal research is a normative juridical approach that is backed up by empirical juridical evidence in the form of a detailed description, namely deductive research that begins with an analysis of the articles in the applicable laws and regulations governing the legal consequences for board of directors violations of fiduciary duty. Thus, the company becomes bankrupt, and the board of directors is responsible for violating the fiduciary duty and causing the company to become bankrupt. The Board of Directors, as a corporate organ, is obligated to act in the best interests of the corporation, not of the shareholders acting in their capacity as directors. In general, the board of directors must consider the interests of shareholders and other stakeholders when performing their duties as directors. In general, the board of directors must consider the interests of the corporation's shareholders and stakeholders. The Company Law regulates the directors' liability for losses or bankruptcy suffered by the company as a result of their actions.Keywords: Board of Director’s responsibility; Fiduciary duty; Bankruptcy Abstrak:Pembahasan tanggung jawab direksi atas pelanggaran fiduciary duty yang mengakibatkan perseroan pailit. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang didukung dengan yuridis empiris dengan merinci uraian yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur terhadap permasalahan akibat hukum atas pelanggaran fiduciary duty oleh direksi, sehingga menyebabkan perseroan pailit serta tanggung jawab direksi yang melanggar fiduciary duty dan menyebabkan perseroan tersebut pailit. Direksi sebagai organ dari perseroan yang memiliki kewajiban menjalankan fiduciary duty terhadap korporasi, bukan terhadap pemegang saham menjalankan fungsinya sebagai direksi. Secara umum direksi juga harus memperhatikan kepentingan shareholder dan para stakeholder dari korporasi, dalam menjalankan fungsinya sebagai direksi. Secara umum  direksi juga harus memperhatikan kepentingan shareholder dan para stakeholder dari korporasi. UUPT mengatur tentang tanggung jawab Direksi perseroan atas kerugian atau kepailitan yang dialami perseroan yang dikarenakan perbuatan Direksi.Kata Kunci: Tanggungjawab Direksi; Fiduciary duty; Pailit
Akibat Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Karena Adanya Gugatan Terkait Dokumen Palsu dan Keterangan Palsu Dalam Pembuatan Akta Lysanza Salawati; Abdul Manan; Dhody A.R Widjajaatmadja
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 3 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i3.25884

Abstract

A Land Deed Registrar (PPAT) is only authorized to check the formal correctness of the identity of the parties such as the Identity Card (KTP) and the legal basis for the actions of the parties. They are not required to check the material truth of the identities of the parties because in the deed they made, the PPAT only included the information or the wishes of the parties presented to them. The method used in this research is the normative legal research method or the library legal research method, which is the method or method used in legal research which is carried out by reviewing materials derived from the literature supported by empirical data through interviews with relevant practitioners. This study uses the juridical-normative method, namely examining legal rules or regulations as a building system related to a legal event. The results of the study state that in practice, although the introduction is mandatory, there are still many legal problems with PPAT deeds caused by identities such as fake Identity Cards (KTP), fake signatures, documents, letters or false statements which then cause harm to other parties.Keywords: Legal Consequences; Land Titles Registrar; sue AbstrakSeorang Pejabat Pencatat  Akta Tanah (PPAT) hanya berwenang memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dasar hukum tindakan para pihak. Mereka tidak diharuskan untuk memeriksa kebenaran materiil dari identitas para pihak karena dalam akta yang dibuatnya, PPAT hanya memasukkan keterangan atau kehendak para penghadap yang disampaikan kepadanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari literature yang didukung dengan data empiris melalui wawancara dari praktisi yang terkait. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif yaitu meneliti kaidah atau peraturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Hasil penelitian menyatakan bahwa pada praktiknya meskipun pengenalan wajib dilakukan, namun masih terdapat banyak permasalahan hukum akta PPAT yang disebabkan adanya identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu, Tanda tangan palsu, dokumen, surat atau keterangan palsu yang kemudian menyebabkan kerugian bagi pihak lain.Kata Kunci: Akibat Hukum; Pejabat Pembuat Akta Tanah; Gugat
Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Sebagai Pemegang Sah Pertama Rumah Susun Bukan Hunian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Defianra Defianra; Abdul Manan; Dhoni Martien
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 6 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i1.24069

Abstract

Non-residential flats are buildings that are used for commercial purposes, like shopping areas, places of business, shops, kiosks, offices, industries, and so on. They are also called commercial flats. However, in practice, it is very hard to register the ownership rights of non-residential flat units that have been bought by people. This is because Law Number 20 of 2011 about Flats doesn't specify how non-residential flats can be used. Some rules make it hard for the National Land Agency to give out certificates of ownership of apartment units for non-residential flats. When the author did this study, he or she used a normative legal approach to look at things. Qualitative normative data analysis was used to look at the data. Because there are still laws and regulations in place that protect consumer property rights, land registration includes property rights to flat units, and the registration of certificates of ownership rights to non-residential flats is done because there are still laws and regulations that protect consumer property rights. Flats that aren't for a living are given to the National Land Agency Office.Keywords: Non-residential flats; Legal protection; Buyer Abstrak: Rumah susun bukan hunian (non-hunian) merupakan bangunan gedung yang diperuntukkan untuk tempat komersial, yang biasanya dijadikan tempat perbelanjaan, tempat usaha/pertokoan/kios, perkantoran, perindustrian dan lain sebagainya. Namun pada praktiknya pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun bukan hunian yang telah dibeli oleh konsumen sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun tidak memberikan pengaturan secara spesifik mengenai pemanfaatan rumah susun bukan hunian. Keterbatasan mengenai regulasi yang membuat Badan Pertanahan Nasional sering kali menolak dan tidak bersedia untuk mengeluarkan sertifikat hak milik satuan rumah susun atas rumah susun bukan hunian. Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa objek pendaftaran tanah meliputi hak milik atas satuan rumah susun dan pendaftaran sertifikat hak milik atas satuan rumah susun bukan hunian dilakukan dikarenakan masih ada peraturan perundangan-undangan mengakomodir serta memberikan kepastian hukum atas hak milik konsumen yang akan mendaftarkan hak milik atas satuan rumah susun bukan hunian ke Kantor Badan Pertanahan Nasional.Kata Kunci: Rumah susun bukan hunian; Perlindungan Hukum; Pembeli
Penerapan Restorative Justice Sebagai Implementasi Dari Ultimum Remedium Dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Malik Ohoiwer; Abdul Manan; Mohamad Ismed
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 6 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v8i6.23229

Abstract

One of the basic objectives of eradicating corruption in Indonesia is to restore state losses. However, the retributive justice paradigm which is the legal basis for eradicating corruption and criminalizing corruption is not relevant to the main objective of corruption eradication law in Indonesia. What is even more important in the spirit of eradicating corruption, namely the return of state losses, is only an additional crime that can also be replaced by imprisonment. This article is intended to examine the concept of punishment for perpetrators of corruption that is relevant to be applied in Indonesia in accordance with what is required by law by considering the current development of the nation and state. The study focuses on deepening the elaboration of the concept of restorative justice to maximize the return of state finances in convicting perpetrators of corruption in Indonesia. By using normative juridical research methods, this study concludes that the concept of restorative justice in punishing perpetrators of criminal acts of corruption can be implemented in the form of strengthening norms for returning state losses from being an additional crime to being a principal crime. As for anticipating the perpetrators being unable to pay the losses, the concept of forced labour can be applied instead of imprisoning the perpetrators of corruption.Keywords: Restorative Justice; Ultimum Remedium; State Finance; Legal Benefits; SentencingAbstrakSalah satu tujuan dasar dari pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah untuk mengembalikan kerugian negara. Namun paradigma retributif justice yang menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi serta pemidanaan pelaku korupsi tidak relevan dengan tujuan utama hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal yang justru penting dalam semangat pemberantasan korupsi yakni pengembalian kerugian negara justru hanya menjadi pidana tambahan yang juga dapat diganti oleh pidana penjara. Artikel ini dimaksudkan untuk meneliti konsep pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi yang relevan untuk diterapkan di Indonesia sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang dengan mempertimbangkan perkembangan kehidupan bangsa dan negara dewasa ini. Kajian terfokus pada pendalaman mengelaborasi konsep restoratif justice untuk memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam pemidanaan pelaku korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kajian ini menyimpulkan bahwa konsep restoratif justice dalam pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi dapat diimplementasikan dalam bentuk penguatan norma-norma pengembalian kerugian negara dari sebagai pidana tambahan menjadi pidana pokok. Adapun untuk mengantisipasi pelaku tidak mampu membayar kerugian tersebut, maka konsep kerja paksa dapat terapkan ketimbang memenjarakan pelaku tindak pidana korupsi.Kata Kunci: Restoratif Justice; Ultimum Remedium; Keuangan Negara; Kemanfaatan Hukum; Pemidanaan