Mohammad Amir Hamzah
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PLURALISME HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARISAN PADA MASYARAKAT MADURA Uswatun Hasanah; Mohammad Amir Hamzah; Muffarijul Ikhwan
Arena Hukum Vol. 11 No. 1 (2018)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7723.179 KB) | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2018.01001.9

Abstract

AbstractThis article aims to examine (a) the settlement of Madurese community heritage dispute among legal pluralism; (b) the Madurese consideration which tends to apply adat law based on the consensus principle of inheritance disputes. The enactment of Indonesian Law Number 3 year 2006, which provides absolute competence to the Shari’ah Courts in resolving first level cases among Moslems in the field of inheritance was not followed by the increase interest of Madurese to settle inheritance dispute in the Shari’ah Court. They prefer settling such disputes outside the court. This is a socio-legal research. The results shows that Madurese prefer adat law as the basis of inheritance dispute resolution rather than the state law. The consideration of Madurese to is to maintain harmony and to bind kinship relations between parties. On the other hand, they lack of understanding on civil or shari’ah court procedural law as well as the high expense if choosing a dispute resolution through court.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengkaji (a) penyelesaian sengketa warisan masyarakat Madura di tengah pluralisme hukum; dan (b) pertimbangan masyarakat Madura lebih memilih hukum adat yang menggunakan prinsip musyawarah dalam penyelesaian sengketa warisan. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan kompetensi absolut kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang waris ternyata tidak diikuti dengan peningkatan minat masyarakat Madura untuk menyelesaikan sengketa harta warisannya ke Pengadilan Agama. Masyarakat Madura lebih memilih penyelesaian sengketa harta warisannya secara non-litigasi. Penelitian dalam artikel ini menggunakan metode sosio-legal research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan sengketa warisan di tengah pluralisme hukum, masyarakat Madura lebih memilih hukum adat sebagai dasar penyelesaian sengketa daripada hukum Negara. Yang menjadi pertimbangan adalah untuk menjaga kerukunan, menjaga hubungan kekerabatan dan silaturahim diantara para pihak. Di samping itu, kurang pahamnya mereka tentang prosedur beracara dalam hukum formal dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan  jika harus memilih penyelesaian sengketa perdata secara litigasi.
KEKUATAN MENGIKAT MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA WARIS MASYARAKAT MADURA Uswatun Hasanah; Afdolul Anam; Mohammad Amir Hamzah
Arena Hukum Vol. 13 No. 2 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01302.6

Abstract

AbstractThis socio—legal research aims to examine the implementation of mediation as alternative inheritance dispute settlement of Madurese society; and the binding force of mediation of the inheritance dispute settlement of Madurese society. The results of mediation are generally a written agreement signed by the parties witnessed by the village head, religious leaders, and community leaders. Although the peace agreement was carried out in the village with the village head and / or religious figure as the mediator, however, the parties obeyed the results of the mediation. The results shows that the mediation of the inheritance dispute settlement of Madurese society was carried out on a voluntary basis and to be kept secret from others, with village head and religious leaders as mediators. Mediation of inheritance dispute settlement of Madurese society is bining based on customary law because it is in accordance with way of life Madurese society “todus” (shame or humiliation) and the value of respect for “bhuppa bhabbu ghuru rato” (parent,Qur’an teacher, and leader). AbstrakPenelitian sosiologis ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pelaksanaan mediasi penyelesaian sengketa waris masyarakat Madura; serta bagaimana kekuatan mengikat mediasi penyelesaian sengketa waris masyarakat Madura. Hasil mediasi umumnya berbentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani para pihak dengan disaksikan oleh kepala desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Meskipun kesepakatan perdamaian itu dilakukan di desa dengan mediator kepala desa (klebun) dan/ tokoh agama (keyae), ternyata para pihak taat melaksanakan hasil mediasi tersebut. Sumber data diperoleh melalui wawancara dan FGD dengan para informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mediasi penyelesaian sengketa waris pada masyarakat Madura dilakukan atas dasar sukarela dan diupayakan untuk dirahasiakan dari masyarakat lain, dengan mediator sesepuh kerabat atau klebun (kepala desa) dan keyae (tokoh agama). Mediasi pada masyarakat Madura mempunyai kekuatan mengikat secara hukum adat karena selaras dengan mentalitas masyarakat Madura yang bersifat komunal, dan nilai-nilai untuk menjaga “todus” (malu atau dipermalukan) serta nilai penghormatan terhadap bhuppa bhabbu ghuru rato (bapak ibu, guru ngaji, dan pemimpin).
Tolok Ukur Prinsip Hukum Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan pada Peradilan Perdata Mohammad Amir Hamzah
RechtIdee Vol 10, No 1 (2015): June
Publisher : Trunojoyo Madura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21107/ri.v10i1.1140

Abstract

AbstrakPrinsip hukum acara sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan prinsip hukum yang mendasar dalam sistem peradilan perdata, karena sangat menentukan harkat dan martabat lembaga peradilan. Prinsip hukum ini, secara konseptual belum jelas sehingga menimbulkan persoalan penerapannya pada praktek peradilan. Praktek peradilan perdata pada peradilan tingkat banding mengindikasikan terjadinya penyimpangan prinsip hukum ini sehingga menyebabkan mekanisme pemeriksaan perkara perdata menjadi tidak transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, diperlukan adanya tolok ukur prinsip hukum ini, agar praktek peradilan dapat dilaksanakan dalam suatu prosedur yang baku dan transparan sehingga hukum dan keadilan dapat ditegakkan. Prosedur pemeriksaan perkara perdata yang baku dan transparan akan memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum yang merupakan jami- nan pencari keadilan untuk tidak melakukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, sehingga terjadi pembatasan perkara kasasi dalam perkara perdata. Kata kunci : tolok ukur, prosedur persidangan, pembatasan perkara