Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PEMBERIAN AMNESTI DALAM KASUS PIDANA ITE OLEH PRESIDEN MELALUI KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES) Dwi Tania Wista Yuliantari; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 4 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (567.062 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i04.p12

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pemberian amnesti dalam kasus pidana ite oleh presiden melalui keputusan presiden (Keppres). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pemberian amnesti yang merupakan hak prerogatif president dan diatur diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi. Dalam kasus Pidana ITE Bq. Nuril terlihat bahwa terdapat tiga unsur National Interst menurut Thomas W. Robinson yang terpenuhi yakni pertama yakni Variable interest dan Specific interst, yang dapat diartikan sebagai kepentingan nasional dalam mengakomodasi opini publik yang tengah bergejolak, dalam kasus ini publik berpendapat bahwa pemberian hukum kepada Bq. Nuril dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan kepada perempuan karena terdapat banyak ditemukan hal janggal dalam pemberian putusanya khususnya putusan MA, karena jika dibiarkan akan timbul permasalahan dalam masyarakat yang menganggap bahwa pemerintah tidak mempedulikan hak-hak perempuan dalam mendapatkan keadilan. This study aims to analyze the granting of amnesty in criminal cases by the president through a presidential decree (Keppres). This research is a normative legal research. Based on the results of the study, it can be concluded that the granting of amnesty which is a prerogatif right of the president and is regulated in Article 14 paragraph (2) of the 1945 Constitution and Emergency Law Number 11 of 1954 concerning Amnesty and Abolition. In the case of Criminal ITE Bq. Nuril can see that there are three elements of National Interest according to Thomas W. Robinson which are fulfilled, namely, first, Variable interest and Specific interest, which can be interpreted as national interest in accommodating public opinion which is in turmoil, in this case the public believes that the provision of law to Bq. Nuril is considered a form of injustice to women because there are many odd things found in giving her decisions, especially the Supreme Court's decision, because if left unchecked, problems will arise in society who think that the government does not care about women's rights in getting justice.
KONSEP TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM HUKUM PIDANA Didik Purwadi; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.024 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i03.p20

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis atu tindakan apa saja yang termasuk kriteria tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) dan menganalisis pertanggungjawaban pelaku tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini antara lain: kriteria main hakim sendiri adalah tindakan itu sengaja untuk menyakiti yang dilakukan oleh pelaku eigenrichting mengakibatkan penganiayaan, kekerasan, pengrusakan, kematian, luka-luka dan memar-memar atau yang bisa mengakibatkan rasa sakit di tubuh korban eigenrichting. Adanya dugaan seseorang melakukan tindak pidana tanpa berpikir, tindakan tersebut dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan tuduhan tanpa alat bukti, kalaupun memang terbukti tidak harus dihakimi ataupun dilakukan penganiayaan, kekerasan dan perusakan. Itulah gunanya mempunyai penegak hukum jikalau memang dia melakukan tindak pidana dan bukti sudah cukup bisa dilaporkan ke penegak hukum agar diproses menurut hukum yang berlaku. Dimana bentuk atau kriteria main hakim sendiri ini bisa berupa tindakan sebagai berikut : Penganiayaan, Kekerasan dan perusakan. Pertanggungjawaban pelaku tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), main hakim sendiri ini tindakan yang membahayakan orang lain dan mengancam keselamatan orang lain maka perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkan di muka peradilan dikarenakan di prinsip dalam hukum pidana adalah dia yang melakukan tindak pidana dia pula yang akan menjalani sanksinya tidak bisa diwakilkan oleh orang lain, pertanggungjawaban pelaku main hakim sendiri ini memang tidak ada yang mengatur main hakim sendiri di dalam undang-undang, KUHP tetapi dalam tindakan tersebut ada seseorang yang dirugikan atau ada unsur-unsur tindak pidananya bisa berupa penganiayaan, kekerasan dan perusakan. Bagi pelaku main hakim sendiri bisa diberikan sanksi atas tindakan penganiayaan, kekerasan, dan perusakan. This research aims to analyze any action that includes the criteria of vigilante action (eigenrichting) and analyze the accountability of the perpetrators of vigilante acts (eigenrichting). This research is a type of normative legal research that uses the Statute Approach, the case approach, and the conceptual approach. The results of this study include: the criteria of vigilante is that the act is intentional to harm carried out by the perpetrator of eigenrichting resulting in persecution, violence, destruction, death, cuts and bruises or that can cause pain in the body of the victim of eigenrichting. The existence of an alleged person committing a criminal act without thinking, the act is carried out by one or more people on charges without evidence, even if it is proven not to be judged or done the gift, violence and destruction. That's the point of having law enforcement if indeed he committed a criminal act and enough evidence can be reported to law enforcement to be processed according to applicable law. Where this form or criteria of vigilante can be the following actions: Persecution, Violence and destruction. Accountability of the perpetrators of vigilante acts (eigenrichting), vigilante actions that endanger others and threaten the safety of others then the act must be accounted for in front of the judiciary because in the principle in the criminal law is he who commits the criminal act he will also serve his sanctions can not be represented by others, the accountability of vigilante perpetrators is indeed no one who regulates vigilante in the law, the Criminal Code but in such actions there is someone who is harmed or there are elements of the criminal act can be persecution, violence and destruction.
Tanggung Jawab Rupbasan terhadap Benda Sitaan Negara yang Berada di Rupbasan Kelas I Mataram Juwitanto Juwitanto; Amiruddin Amiruddin; Ufran Ufran
Indonesia Berdaya Vol 4, No 3 (2023)
Publisher : UKInstitute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2023527

Abstract

Penyitaan ditujukan untuk kepentingan "pembuktian" terutama sebagai barang bukti dimuka sidang peradilan. Berdasarkan Pasal 44 KUHAP, maka benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Dalam Rupbasan, penyimpanan benda sitaan seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga, namun masih saja terdapat benda-benda sitaan yang hilang atau raib. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tanggung jawab Rupbasan terhadap benda sitaan negara yang berada di Rupbasan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk tanggung jawab Kepala Rupbasan terhadap benda sitaan, yaitu tanggung jawab secara fisik, tanggung jawab terhadap pemeliharaan benda sitaan, tanggung jawab terhadap pengamanan dan keselamatan benda sitaan, tanggung jawab secara perdata, administrasi dan pidana terhadap benda sitaan yang berada di Rupbasan.
Kewenangan Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali Perkara Pidana Iin Hidayatul Auliya; Amiruddin Amiruddin; Rina Khairani Pancaningrum
Indonesia Berdaya Vol 4, No 3 (2023)
Publisher : UKInstitute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2023540

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa dasar dan batasan dari kewenangan jaksa dalam mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali perkara pidana. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) Pasal 263 ayat (1) sudah mengatur secara limitatif yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali hanya terpidana atau ahli warisnya saja. Namun setelah terbitnya UU No 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan perubahan atas UU No 16 Tahun 2004 di dalam Pasal 30C Huruf H disebutkan Jaksa diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali tetapi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus Pasal 30C Huruf H UU No 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.