Syafri Kamsul Arif
Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif Dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Perbandingan Pemberian Ketorolak dengan Parecoxib Intravena Terhadap Kadar Trombosit, Aggregasi Trombosit dan Profil Koagulasi pada Operasi Seksio Sesarea Hendra Salim; Muhammad Ramli Ahmad; Syafri Kamsul Arif; Syamsul Hilal Salam; Zulkarnain Arrasjid; Charles Wijaya Tan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n2.2395

Abstract

Pengelolaan nyeri pascabedah bertujuan menghasilkan analgesia yang optimal serta menghambat respons stres akibat pembedahan. Pengaruh OAINS baik COX 1 dan COX 2 terhadap trombosit baik jumlah maupun aggregasinya perlu dinilai untuk menentukan obat terpilih yang aman dalam mengatasi nyeri pascabedah. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian ketorolak dengan parecoxib intravena terhadap jumlah trombosit, aggregasi trombosit, dan profil koagulasi pada operasi seksio sesarea. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian dilakukan di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Oktober 2020–Maret 2021. Pengukuran dilakukan di awal dan setelah perlakuan dengan jumlah sampel masing-masing 11 orang. Data dianalisis menggunakan uji statistik Independen T-Test. Tidak berbeda bermakna perubahan kadar trombosit pada pemberian ketorolak dengan parecoxib sebagai analgesia pascabedah seksio pasca 24 jam dan pasca 48 jam (p>0,05). Berbeda bermakna perubahan agregasi trombosit pada pemberian ketorolak dengan parecoxib sebagai analgesia pascabedah seksio pasca 48 jam (p<0,05). Parecoxib tidak menyebabkan penurunan agregasi trombosit sehingga dapat digunakan sebagai alternatif untuk analgetik pascabedah terutama untuk pasien yg mengalami gangguan hemostatis. Parecoxib tidak menyebabkan gangguan faal hemostasis dibanding dengan ketorolak. Parecoxib dan ketorolak tidak memengaruhi jumlah trombosit Comparison of Intravenous Ketorolac with Parecoxib on Platelet Count, Platelet Aggregation and Coagulation Profile in Caesarean SectionPost-surgical pain management aims to produce optimal analgesia and also inhibit the stress response due to surgery. The effect of NSAIDs, both COX-1 and COX-2, on thrombosis, both in amount and aggregation, need to be assessed to determine which drug is safe for postoperative pain management to compare the administration of intravenous ketorolac with intravenous parecoxib on the platelet count, platelet aggregation and coagulation profile in cesarean section surgery. This study was a randomized double-blind clinical trial. Research site was at Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar from October 2020 to March 2021. Measurements were made at the beginning and after treatment with 11 samples on each group. Data were analyzed using the Independent T-Test. There was no significant difference in platelet count in the administration of ketorolac and parecoxib as analgesia after 24 hours post cesarean section surgery and 48 hours post cesarean section surgery (p>0.05). There was a significant difference in platelet aggregation between ketorolac and parecoxib group after 48 hours of post cesarean section surgery (p<0.05). Parecoxib does not cause a decrease in platelet aggregation; therefore, it can be used as an alternative for post-surgical analgesics, especially for patients with hemostatic disorders. Parecoxib does not cause hemostatic physiological disorders compared to ketorolac. Both parecoxib and ketorolac do not affect the platelet count.
Akurasi Diagnostik Prokalsitonin Sebagai Penanda Serologis Untuk Membedakan Antara Sepsis Bakterial dan Sepsis Virus Syafri Kamsul Arif; A. Muh. Farid Wahyuddin; A. Muh Takdir Musba
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 9, No 3 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.677 KB) | DOI: 10.14710/jai.v9i3.19849

Abstract

Prokalsitonin merupakan penandadiagnostik yang baik pada sepsis khususnya sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Penelitian ini bertujuan mengetahui sensitivitas, spesifisitas dan akurasi diagnostik prokalsitonin sebagai penandaserologis untuk membedakan antara sepsis bakterial dan virus pada pasien yang dirawat di Intensive Care Unit  (ICU) dan Infection Center (IC) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional menggunakan data sekunder rekam medik pasien sepsis yang dirawat di ICU dan IC RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Agustus 2016. Data tersebut dianalisa dengan uji T Independent,  Mann Whitney and Chi-Square dimana terdapat 80 sampel yang memenuhi kriteria inklusi.Dari penelitian ini, terdapat perbedaan yang signifikan dari kadarprokalsitonin antara sepsis bacterial(60.89 ± 73.651 ng/ml) dan sepsis virus (1.12 ± 0.622 ng/ml). Berdasarkan analisis Receiver Operating Characteristic (ROC), area Under the Curve (AUC) dari prokalsitonin adalah 0.841 dengan interval 0.758–0.925 dan signifikansi 95%. Kadar ambang diagnostik terbaik prokalsitonin yang didapatkan pada penelitian ini adalah 1.60 sebagai cut off point (sensitivitas: 82,4%, spesifisitas: 65,2% dan akurasi: 88,7%) untuk membedakan sepsis bakterial dengan sepsis virus. Prokalsitonin memiliki sensitivitas, spesifisitas dan akurasi diagnostik yang baik sebagai pembeda anatar seosis bakterial dan sepsis virus.
Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria Syafri Kamsul Arif; Iwan Setiawan
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (512.405 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i2.9821

Abstract

Latar belakang : Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sering digunakan pada prosedur seksio sesaria, selain karena teknik yang sederhana juga memiliki kualitas blok yang kuat walaupun dengan volume dan dosis yang kecil, efek samping yang minimal bila dibandingkan dengan anestesi umum. Efek yang biasanya muncul pasca anestesi spinal antara lain hipotensi. Insiden hipotensi pasca anestesi spinal mencapai 30-80% pada persalinan seksio sesaria.Tujuan : Untuk mengetahui apakah injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi pada seksio sesaria tanpa memengaruhi onset blok anestesi.Metode : Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal, sampel penelitian sebanyak 48 orang yang memenuhi criteria inklusi. Sampel dipilih secara acak dan dibagi ke dalam dua kelompok. Anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% 10mg dan fentanyl 25mcg, kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,4 mL/dtk, sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk. Insiden hipotensi, onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisis statistik.Hasil : Penelitian ini mendapatkan Injeksi anestesi dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.Kesimpulan : Anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok. 
Hubungan Penanda Infeksi, Penanda Oksigenasi, dan Faktor Risiko Lainnya terhadap Mortalitas Pasien COVID-19 dengan Pneumonia Saat Admisi di Unit Perawatan Intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Andi Taufik Amiruddin; Haizah Nurdin; Syafri Kamsul Arif; Andi Muhammad Takdir Musba; Andi Salahuddin; Ari Santri Palinrungi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.37050

Abstract

Latar Belakang: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan penyebaran dari coronavirus disease 2019 (COVID-19). Faktor risiko terhadap mortalitas pasien COVID-19 rawat intensive care unit (ICU) belum banyak diteliti.Tujuan: Mengetahui hubungan penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko lainnya terhadap mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia.Metode: Penelitian retrospektif dilakukan di ICU Infection Centre RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada April – Agustus 2020. Sampel penelitian adalah data pasien COVID-19 dengan pneumonia yang dirawat di ICU. Pasien dibagi ke dalam dua kelompok survivor grup (SG) dan non-survivor (NSG). Variabel penelitian berupa penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko yang didapatkan dari rekam medis pasien. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan terhadap semua variabel penelitian.Hasil: Dari 92 pasien didapatkan 46 NSG dan 46 SG. Perbandingan jenis kelamin dan indeks massa tubuh antara kedua kelompok tidak signifikan bermakna secara statistik. Tidak didapatkan perbedaan signifikan secara statistik pada level c-reactive protein (CRP) antara kelompok NSG dengan median 91,1 (IQR 32,3-200,45) dan SG 88,95 (IQR 33,50-177,80), p= 0,899. Faktor risiko usia tua, diabetes mellitus (DM), dan peningkatan rasio neutrofil-limfosit (RNL) berdasarkan klasifikasi cut-off signifikan secara statistik pada mortalitas antar kedua kelompok.  Pada NSG didapatkan median usia 60,5 (IQR 53-67,25) vs SG 56 (IQR 35-61,25), p= 0.02. Komorbid DM SG 8 dari 46 pasien (17,4%) dan NSG 17 dari 46 pasien (37%), p = 0,035. Pemeriksaan kadar RNL berdasarkan klasifikasi cut-off > 3,4 NSG 42 dari 46 pasien (91,3%) dan NS 11 dari 46 (23,9%), p= 0,048.  Analisis multivariat regresi logistik didapatkan rasio P/F merupakan faktor risiko independen. Mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia (OR 0,99 95% CI 0,988-1,00, p = 0,043).  Kesimpulan: Umur di atas 60 tahun, DM, RNL, dan indeks oksigenasi bermakna secara signifikan terhadap kejadian mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia, dimana pada indeks oksigenasi yang rendah didapatkan kejadian mortalitas yang tinggi.
Efek Dexmedetomidine 0,2 ug/kgbb Intravena terhadap Insiden Delirium saat Pulih Sadar dari Anestesi Umum pada Pasien Pediatrik Cahya Hendrawan; Syafri Kamsul Arif
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 2 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.623 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i2.6409

Abstract

Latar Belakang : Dexmedetomidine memberikan efek sedasi, analgesia, dan anxiolitiksetelah pemberian intravena. Isofluran dan sevofluran dihubungkan dengan angkakejadian delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik. Padapenelitian dengan menggunakan placebo sebagai kontrol, kami mengevaluasi efek daridosis tunggal dexmedetomidine pada delirium saat pulih sadar dari anestesi umumpada pasien pediatrik yang menjalani pembedahan elektif menggunakan anestesiumum dengan isofluran.Metode : Pada penelitian acak tersamar ganda ini , 46 anak (usia 3-10 tahun) dipilihsecara acak mendapatkan dexmedetomidin 0,2ug/kgBB atau placebo pada akhirpembedahan. Semua pasien mendapatkan obat anestesi yang standar. Setelahpembedahan, nilai delirium saat pulih sadar dari anestesi umum diukur sampai 1 jampascabedah. Waktu ekstubasi, waktu pulih sadar, dan efek samping daridexmedetomidine dicatat. Setelah pembedahan nyeri pasien diukur denganmenggunakan objective pain scale (OPS) .Hasil : Nilai delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada kelompokdexmedetomidine lebih baik daripada kelompok placebo (P<0,05). Nilai nyeri samapada kedua kelompok (P>0,05). Waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar lebih panjangpada kelompok dexmedetomidin tetapi tidak bermakna secara statistik (P>0,05). Tidakada efek samping (hipotensi dan bradikardi) pada kedua kelompok.Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa Dexmedetomidine 0,2ug/kgBB intravenadapat mengurangi insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi umum denganisofluran pada anak yang menjalani pembedahan elektif.
Perbandingan Efek Pemberian Ketamin 0,15 Mg/Kgbb Iv Prainsisi dan Ketamin 0,15 Mg/Kgbb Iv Pascabedah terhadap Kebutuhan Analgesik Morfin Pascabedah pada Pasien Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah Asyikun Nasyid Room; Andi Husni Tanra; Muhammad Ramli Ahmad; Syafri Kamsul Arif; Ilhamjaya Ilhamjaya
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (607.695 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i1.6647

Abstract

Latar Belakang : Ketamin telah digunakan sebagai analgesia perioperatif sejak lama. Namun cara pemberian yang efektif masih belum jelas.Tujuan : membandingkan efek pemberian ketamin prainsisi, selama operasi dan 24 jam pascabedah dengan pemberian ketamin selama 24 jam pascabedah terhadap kebutuhan morfin pascabedah.Metode : Penelitian ini merupakan uji tersamar acak ganda. Total sampel 50 dibagi dalam 2 kelompok pasien dengan operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal. Kelompok pertama, mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV prainsisi + 0,1 mg/kg/jam selama operasi dan 24 jam pascabedah.  Kelompok kedua mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV pascabedah + 0,1 mg/kg/jam selama 24 jam pascabedah. Kedua kelompok mendapatkan analgesia pascabedah morfin via patient-controlled analgesia dengan loading dose 2 mg, bolus dose 1 mg dan lockout interval 7 menit. Jangka waktu pemberian morfin pertama pascabedah dihitung dari akhir operasi hingga saat pemberian morfin loading dose atas permintaan pasien; konsumsi morfin pascabedah dihitung dalam 24 jam.Hasil : Tidak ada perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok baik dalam waktu pemberian analgesik pertama (p=0,055) maupun konsumsi morfin dalam 24 jam (p=0,351).Simpulan : Ketamin tidak memiliki efek analgesia preventif pada pasien yang menjalani anestesi spinal.