Uripno Budiono
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 23 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Natrium Laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien Sectio Caesaria Tutus Nurastadila; Ery Leksana; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i3.6455

Abstract

Latar belakang: Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk mempertahankan curah jantung dan seterusnya perfusi jaringan. Pada wanita hamil terjadi penumpukan natrium dan kalium selama kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan konsentrasi elektrolit -elektrolit tersebut menurun karena terjadi retensi cairan yang menyebabkan hemodilusi. Selama ini, volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah yang keluar tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Dengan memperhatikan keseimbangan asam-basa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien paska operasi.Tujuan: Untuk membuktikan bahwa cairan sodium laktat hipertonik lebih baik dibanding cairan haes-steril 6% dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa Stewart dalam tindakan operasi sectio caesaria.Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian cairan sodium laktat hipertonik dan infus haes-steril 6% terhadap strong ions difference (SID) yang berdasarkan metode Stewart. Sampel berjumlah 48 pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok LH mendapat sodium laktat hipertonik 250 ml dan kelompok Haes mendapat Haes-steril 6% 500 ml, selama operasi sectio caesaria. Darah vena diambil sebelum operasi dan setelah operasi. Data -data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar elektrolit. Uji statistik menggunakan independent t-test dan paired t-test, dengan derajat kemaknaan a = 0,05.Hasil: SID pada kelompok sodium laktat hipertonik sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami kenaikan yang bermakna p=0,000 (p <0,05). SID pada kelompok Haes sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami penurunan yang bermakna p=0,000 (p < 0,05).Simpulan : Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus Haes-steril 6% yang mengalami penurunan nilai SID.
Perbedaan Pengaruh Pemberian Infus HES Dengan Berat Molekul 40 kD dan 200 kD Terhadap Plasma Prothrombin Time dan Partial Thromboplastin Time Kajian Pada Pasien Dengan Perdarahan Sampai 20% Estimated Blood Volume Hari Hendriarto Satoto; Ery Leksana; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 1 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (329.864 KB) | DOI: 10.14710/jai.v1i1.6020

Abstract

Latar belakang: Pasien dengan operasi besar yang beresiko terjadi perdarahan semakin meningkat setiap tahun. HES dengan berat molekul besar mempertahankan hemodinamik lebih baik tetapi mengganggu faktor koagulasi. Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan untuk memeriksa pengaruh HES pada koagulasi.Tujuan: Membuktikan pemanjangan PT dan PTT pada pemberian larutan HES 40 kD dan HES 200 kD terhadap pasien yang menjalani operasi dengan pendarahan sampai 20% EBV.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental pada 46 pasien dengna desain “Single Blind Randomized Clinical Trial”. Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, masing-masing 23 pasien. Pasien diambil sampel PT dan PTT pre operasi. Pasien diinduksi dengan thiopentone 5 mg/kgBB, atracurium besilat 0,5 mg/kgBB, pemeliharaan anestesi dengan isofluran, tramadol sebagai analgetik dan ditambahakan atracurium bila perlu. Sebagai cairan rumatan anestesi, kelompok I (HES 40 kD) dan kelompok II (HES 200 kD) sebagai pengganti kehilangan darah. 15 menit dan 4 jam setelah pemberian perlakuan dilakukan pemeriksaan PT dan PTT. Analisis data statistik menggunakan SPSS 11,5 for windows.Hasil: Dari hasil penelitian, pemberian ES 200 kD memperpanjang PTT dari preoperasi (29,72 ± 1,70) menjadi (32,69 ± 0,77) dan PT dari preoperasi (12,85 ± 0,86) menjadi (13,31 ± 0,73). Pada HES 40 kD didapatkan pemanjangan PTT dari preoperasi (29,89 ± 1,47) menjadi (34,10 ± 1,30). Analisis statistik antara PTT kelompok HES 40 kD dan 200 kD menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan nilai p = 0.009 (p<0.05).Simpulan: Pemberian HES 200 kD memperpanjang PT dan PTT lebih besar dari p ada HES 40 kD.
Heparin Intravena Terhadap Rasio PF pada Pasien Acute Lung Injury (ALI) dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Aditya Kisara; Mohamad Sofyan Harahap; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (723.206 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i3.6417

Abstract

Latar Belakang: Dengan adanya ICU dan penggunaan ventilator mekanik, ARDS menjadi salah satu perhatian di bidang medis. Pasien ALI/ ARDS berhubungan dengan reaksi inflamasi dalam paru-paru dan terjadinya deposit fibrin yang mengakibatkan kerusakan paru, salah satu tandanya adalah terjadi penurunan PF Ratio. Heparin mungkin dapat mengurangi proses inflamasi dan deposit fibrin dalam paru. Pada penelitian ini dilakukan penilaian apakah pemberian heparin intravena dosis rendah dapat meningkatkan nilai perbandingan PO2/FiO2 (PF ratio).Tujuan: Untuk menilai pengaruh pemberian heparin intravena pada pasien ALI/ARDS dengan ventilator mekanik.Metode: Tiga puluh pasien yang diperkirakan membutuhkan ventilator minimal dua hari dipilih secara acak dan di ikutkan dalam penelitian. Group pertama ( 15 pasien) diberi heparin 10 unit/kgbb/ jam dan group kedua sebagai kontrol. Untuk membandingkan rerata kedua group digunakan tes Mann-Whitney U dan dilakukan uji post hoc dengan LSD.Hasil: Pemberian heparin intravena tidak menunjukkan peningkatan rasio PF secara bermakna baik pada hari 0 (p=0,152) , hari 1 (p=0,287) atau hari 2 (p=0,287). Jumlah rata-rata trombosit juga menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna baik pada hari 0 (p=0,216), hari 1 (p=0,911) atau hari 2 (p=0,941).Simpulan: Pemberian heparin intavena dengan dosis 10 unit/kgbb/ jam pada pasien ALI/ARDS dengan ventilator mekanik menghasilkan rasio PF yang berbeda tidak bermakna dengan kelompok kontrol. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini
Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional Muhammad Mukhlis Rudi; Hariyo Satoto; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v4i1.6434

Abstract

Latar belakang: Pemberian cairan pada pasien yang akan operasi, khususnya sectio caesaria (SC), sebelumnya jarang dilakukan pemeriksaan elektrolit, sehingga dapat menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit yang akan memperberat proses metabolik dan penyembuhannya. Pemeriksaan elektrolit setelah operasi sangat penting, karena intervensi cairan selama operasi, dengan alasan untuk mengontrol elektrolit dan keseimbangan asam-basa.Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui cairan mana yang lebih baik, RL ataupun NaCl 0,9% terhadap strong ion difference (SID) keseimbangan asam-basa yang didasarkan pada metode Stewart. Pasien yang dipersiapkan untuk menjalani operasi SC, sebagai salah satu persyaratan untuk menjalani tindakan pembiusan dan mencegah mual muntah. Kemudian dilakukan pemasangan jalur intravena serta pengambilan darah vena di ruang bedah sentral dan diberikan premedikasi serta “loading” cairan sebelum dibius dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipotensi akibat obat regional anestesinya. Setelah itu, selama operasi pasien diberikan cairan kristaloid. Setelah operasi selesai, dilakukan pemeriksaan darah vena. Data-data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar elektrolit. Uji statistik dengan menggunakan t-test.Hasil: Rerata sebelum operasi SID RL (38,58±2,28) menunjukkan alkalosis, sedangkan SID NaCl (37,42±4,35) menunjukkan asidosis. Rerata setelah operasi SID RL (37,79±1,18) menunjukkan kestabilan dibandingkan rerata SID NaCl (39,67±3,10) yang alkalosis.Kesimpulan: Pemberian RL pada pasien sectio caesaria lebih menguntungkan dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat mempengaruhi pergeseran SID keseimbangan asam-basa Stewart.
Midazolam Intravena Dosis Rendah Tidak Mempengaruhi Nitric Oxide Intraperitoneal Mencit Balb/C Yang Terpapar Lipopolisakarida Akhmad Ridconi; Hariyo Satoto; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i2.6445

Abstract

Latar belakang: Lipopolisakarida dapat mengaktivasi NF-kB (Nuclear Factor kappa B) untuk terjadinya apoptosis dan kegagalan organ. NO (nitric oxide), suatu sitokin pro inflamasi, memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya hipoten si sistemik pada syok septik akibat aktivasi faktor transkripsional NF-kB. Antioksidan dapat melemahkan efek paparan dari lipopolisakarida dan memblok produksi NF-kB. Midazolam, obat sedasi yang seringkali digunakan di ruang rawat intensif (ICU) untuk penderita sepsis, diduga memiliki efek antioksidan dan anti inflamasi melalui penghambatan sistem ubiquitin NF-kB, sehingga pembentukan NO dapat dihambat. Tujuan: mengetahui pengaruh pemberian Midazolam dalam dosis 0,07-0,2 mg/kg terhadap kadar NO mencit yang diberi endotoksin lipopolisakarida intraperitoneal. Metode: merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain randomized post test only controlled group pada 20 ekor mencit Balb/c yang disuntik lipoplisakarida intraperitoneal dan midazolam dosis 0,07 ; 0,1 ; dan 0;2 mg/kg intravena. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok secara random, yaitu kelompok P1 sebagai kontrol, kelompok P2 yang mendapat midazolam 0,07 mg/kg, kelompok P3 yang mendapat midazolam 0,1 mg/kg, dan kelompok P4 yang mendapat midazolam dosis 0,2 mg/kg. Pemeriksaan NO diambil dari kultur makrofag intraperitoneal setelah 6 jam pemberian midazolam. Hasil dinilai dengan uji statistik nonparametrik Kruskal Walis dan Mann-Whitney dengan derajat kemaknaan p<0,05. Hasil: Tidak terdapat perbedaan kadar NO yang signifikan pada kelompok P2 dibanding P1 (1,77 ± 0,23 vs. 1,76 ± 0,26, p=0,841) dan P3 dibanding P1 (1,50 ±0,22 vs. 1,76 ± 0,26, p=0,310). Kadar NO pada kelompok P4 (3,11 ± 0,44) lebih tinggi dibanding P1 Secara signifikan (p=0,032). Simpulan: Pada mencit Balb/c sepsis, pemberian midazolam 0,1 mg/kg tidak dapat menurunkan kadar NO intraperitoneal secara signifikan. Pemberian midazolam 0,2 mg/kg meningkatkan kadar NO intraperitoenal mencit endotoksemia secara signifikan.
Penentuan Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0,5% Berdasarkan Tinggi Badan Untuk Bedah Sesar Dengan Blok Subarakhnoid Dian Ayu Listiarini; Mohamad Sofyan Harahap; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.626 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i1.6650

Abstract

Latar Belakang: Anestesi spinal lebih disukai untuk bedah sesar dikarenakan onset cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan menimbulkan relaksasi otot yang sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural, dan profil keselamatan ibu lebih besar dibandingkan dengan anestesi umum. Meskipun demikian, anestesi spinal dapat menyebabkan hipotensi, yang memberi dampak morbiditas pada ibu dan janin. Frekuensi dan derajat hipotensi dipengaruhi oleh dosis subarakhnoid anestesi lokal, sehingga diperlukan penentuan dosis minimal yang efektif untuk anestesi spinal.Tujuan: Mengetahui efektivitas dan profil hemodinamik dosis bupivakain hiperbarik 0,5% 0,06 mg/cm untuk blok subarakhnoid pada bedah sesar.Metode: Sebanyak 40 orang ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi dua kelompok, yaitu 20 orang pada kelompok I mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 0.06 mg/cmTB, dan 20 orang pada kelompok II mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg. Dilakukan pencatatan dari sebelum hingga 45 menit setelah tindakan anestesi spinal terhadap beberapa variabel, yaitu tanda vital, kejadian hipotensi, jumlah efedrin yang diberikan, waktu blok sensorik, dan blok motorik.Hasil: Pada kelompok I, onset blok sensorik pada dermatom T10 tercapai pada 1,61±0,617 menit paska injeksi obat, berbeda tidak bermakna bila dibandingkan kelompok II yaitu 1,47 ± 0,655 menit (p>0.05). Semua blok sensorik pada penelitian ini berhasil mencapai dematom T4. Onset blok sensorik pada dermatom T4 tercapai pada 2,55±0,56 menit paska injeksi obat pada kelompok I, berbeda tidak bermakna bila dibandingkan kelompok II yaitu 2,45±0,594 menit (p>0.05). Perbedaan rerata tekanan sistolik, tekanan diastolik, tekanan arteri rerata, laju jantung dan jumlah efedrin yang digunakan pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p>0,05), demikin pula dengan angka kejadian hipotensi.Simpulan: Bupivakain 0,5% hiperbarik 0,06 mg/cm Tinggi Badan untuk blok subarakhnoid pada bedah sesar memiliki efektivitas dan profil hemodinamik serupa dengan Bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg. 
Pemberian Lidokain 1,5 mg/Kg/Jam Intravena untuk Penatalaksanaan Nyeri Pasien Pasca Laparatomi Dicky Hartawan; Hariyo Satoto; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (655.232 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i3.6424

Abstract

Latar Belakang: Penanggulangan nyeri post operasi yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli anestesi. Salah satu jenis pembedahan dengan tingkat nyeri pasca operasi tinggi adalah laparotomi. Menurut penelitian terdahulu IVLI (intravenous lidokain infusion) berpotensi dan efektif untuk mengurangi nyeri paska operasi pada kasus bedah abdominal.Tujuan: Mengetahui apakah penggunaan lidokain intravena 1,5mg/kg/jam dapat menjadi salah satu alternatif pengelolaan nyeri paska operasi laparotomiMetode: Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan desain acak tersamar di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel diambil dari pasien yang menjalani operasi laparatomi menggunakan “consecutive sampling” dan dibagi menjadi dua kelompok : Kelompok 1 (K1) diberikan lidokain 1mg/kg/iv 30 menit sebelum insisi kulit dan dilanjutkan dengan lidokain 1,5mg/kg/jam sampai 48 jam paska operasi; Kelompok 2 (K2) diberikan plasebo. Pasien dinilai Score Analog Visual dan parameter hemodinamik post operatif, bila SAV >5 pasien mendapatkan rescue analgesia. Analisis statistik dengan SPSS for Windows versi 17.Hasil: Pasca operasi terdapat perbedaan bermakna pada kebutuhan rescue analgesia (4 vs 15 subjek , p=0.01), waktu dimulainya rescue analgesia(jam ke 18.0±6.92 vs 14.5±5.19, p=0.01), penggunaan opioid (12,9±1,53 vs 16,57±2,59 mg , p=0.01), VAS 12 jam (3,8±0,88 vs 5,3±0,56, p=0.00),VAS 24 jam (4,1±0,54 vs 5,6±0,62, p=0.00),VAS 48 jam (4,5±0,51 vs 5±0,0,p=0,02), dan laju jantung (p=0,00) kedua kelompokSimpulan: Pemberian Lidokain 1,5 mg/kg intravena cukup efektif dalam pengelolaan nyeri post laparotomi dan dapat menurunkan kebutuhan penggunaan analgetik opioid dalam pengelolaan nyeri post laparotomi
Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score Nurhadi Wijayanto; Ery Leksana; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 2 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (625.525 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i2.6430

Abstract

Latar belakang : pada pasien preeklampsia berat intubasi merupakan tindakan yang berbahaya karena berkaitan dengan menejeman jalan napas dan gejolak hemodinamik yang mungkin terjadi. Anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko hipotensinya namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anestesi spinal adalah aman bagi ibu maupun janin . perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan anestesi pada keduanya namun pada penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan apresiasi umum akan menghasilkan anestesi yang lebih rendah daripada anestesi spinal.Tujuan : untuk membandingkan pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap anak yang dilahirkan oleh ibu dengan sectio caesaria karena preeklampsia berat.Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua (n:8), kelompok I merupakan kelompok yang mendapat anestesi umum dengan pentothal dosis 5mg/bb dan pelumpuh otot suksinilkholis dosis 1.5mg/bbKesimpulan : Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama
Ketamin dan Meperidin Untuk Pencegahan Menggigil Pasca Anestesi Umum Budi Yulianto Sarim; Uripno Budiono; Doso Sutiyono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i2.6446

Abstract

Latar Belakang: Menggigil pasca anestesi merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi. Menggigil menimbulkan keadaan yang tidak nyaman dan berbagai resiko. Karena itu menggigil harus segera dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat paling sering digunakan adalah meperidin. Tujuan: Membuktikan bahwa pemberian ketamin 0,25 mg/kgBB intra vena menjelang akhir operasi lebih efektif dari pada meperidin 0,5mg/kgBB intra vena menjelang akhir operasi untuk mencegah kejadian menggigil pasca anestesi umum. Metode: Merupakan penelitian eksperimental dengan desain “randomized post test only controlled group” pada 72 pasien dengan usia 16 – 60 tahun yang menjalani operasi dengan anestesia umum. Tanda vital ( Tekanan darah diastolik dan sistolik, tekanan arteri rerata, laju jantung dan SaO2 ) diukur 5 menit sebelum induksi. Prosedur induksi anestesi umum dilakukan sesuai standar. Temperatur esofagus diukur segera setelah induksi. Lama operasi dibatasi antara 2 -3 jam. Pada akhir operasi, obat inhalasi dihentikan. Setelah nafas spontan adekuat, reflek laringeal positif dilakukan randomisasi. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok, dan mendapatkan secara intravena ketamin 0,25 mg/kgBB untuk kelompok 1, meperidin 0,5 mg/kgBB untuk kelompok 2 dan NaCI 0,9% untuk kelompok 3. Ekstubasi dilakukan 5 menit setelah perlakuan. Tanda vital di ukur dicatat segera setelah ekstubasi dan tiap lima menit selama 30 menit. Suhu tubuh diukur segera dan 15 menit setelah ekstubasi. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 6L/menit. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan One-way ANOVA dan Chi- kuadrat, dengan derajat kemaknaan yaitu p<0,005. Hasil: Data dasar dan data karakteristik klinis sebelum induksi, berbeda tidak bermakna (p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna tanda vital antara kelompok 1 dengan kelompok 3 saat setelah ekstubasi. Kejadian menggigil pada grup 1 yaitu 4 orang (16,6%) terdiri dari 3 orang menderita derajat 1 dan 1 orang menderita derajat 2, sedangkan pada kelompok 2 terjadi pada 5 orang (20,8%) terdiri dari 4 orang derajat 1 dan 1 orang derajat 2, hal ini secara statistik berbeda tidak bermakna (p=0,500). Perbedaan suhu tubuh grup 1 dan grup 2 berbeda tidak bermakna (p>0,05). Efek samping obat yang timbul pada kelompok 1 sebanyak 1 penderita mengalami mual, sedangkan kelompok 2 sebanyak 7 penderita mengalami mual dan 2 penderita depresi nafas, berbeda bermakna (p=0,012). Kesimpulan: Ketamin 0,25 mg/kgBB dan meperidin 0,5 mg/kgBB mempunyai efektifitas yang sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum, tetapi ketamin mempunyai efek samping mual yang lebih rendah dibandingkan meperidin.
Perbandingan Sekresi IL-10 di Jaringan Sekitar Luka Insisi Dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain : Studi Imunohistokimia pada Tikus Wistar Winarto Winarto; Uripno Budiono; Mohamad Sofyan Harahap
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 1 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (461.216 KB) | DOI: 10.14710/jai.v1i1.6022

Abstract

Latar belakang: Nyeri menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid yang memperlama penyembuhan luka. Transmisi nyeri dapat dihambat dengan obat anestesi lokal levobupivakain. Terapi ini akan mengurangi supresi imunitas seluler sehingga fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T tidak terhambat. Aktifasi sel T ini diduga akan meningkatkan sekresi IL-10.Tujuan: Membandingkan sekresi IL-10 di jaringan sekitar luka dengan dan tanpa infiltrasi levobupivakain.Metode: Eksperimental laboratorik dengan desain Randomized Post test only control group design, pada tiga puluh lima ekor tikus Wistar. Kelompok penelitian dibagi menjadi tiga kelompok secara acak, Kelompok Kontrol (K) 5 ekor, Perlakuan 1 (P1) dan Perlakuan 2 (P2) masing -masing lima belas ekor. Kelompok Kontrol, tikus tanpa insisi dan tanpa infiltrasi. Kelompok P1, tikus yang dilakukan insisi 2 cm, tanpa diberikan infiltrasi levobupivakain. Kelompok P2, tikus yang dilakukan insisi 2 cm, diberikan infiltrasi levobupivakain tiap 8 jam selama 24 jam. Ekspresi IL -10 di sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dari preparat dengan menggunakan pengecatan imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari ke 1, 2, dan 3. Metode perhitungan statistik menggunakan Kruskal Wallis Test dilanjutkan Mann Whitney Test.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada jaringan insisi rerata skor histologi IL -10 pada kelompok levobupivakain lebih tinggi (5.36 ± 1.25) dibanding kelompok tanpa levobupivakain (3.00 ± 2.11) pada hari ke dua. Perhitungan statistik antara kedua kelompok tanpa levobupivakain dan dengan kelompok levobupivakain berbeda bermakna (p=0,023 ; p<0,05).Kesimpulan: Sekresi IL-10 di jaringan sekitar luka dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibanding tanpa levobupivakain.