Articles
PERUBAHAN BATAS UMUR MINIMAL MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEJAK DITERBITKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 3 (2020): September, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.23887/jpku.v8i3.28594
Perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan umur minimal wanita dengan pria yakni pada umur 19 tahun. Akibat hukumnya, seseorang yang telah dewasa atau berakhir haknya sebagai anak sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, masih belum dapat menikmati haknya untuk melangsungkan perkawinan karena masih harus menunggu umurnya 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji secara mendalam mengenai latar belakang perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan serta menganalisis tujuan hukum perubahan pembatasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Perubahan pengaturan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dilakukan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017. Pengaturan pembatasan umur minimal melangsungkan perkawinan dalam pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan kedudukan hukum untuk umur wanita dan pria, namun kurang memperhatikan keberadaan hukum yang sering digunakan sebagai indikator usia dewasa serta kurang memperhatikan keberadaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan yang telah disosialisasikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
PERUBAHAN BATAS UMUR MINIMAL MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEJAK DITERBITKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 3 (2020): September, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.23887/jpku.v8i3.28606
Perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan umur minimal wanita dengan pria yakni pada umur 19 tahun. Akibat hukumnya, seseorang yang telah dewasa atau berakhir haknya sebagai anak sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, masih belum dapat menikmati haknya untuk melangsungkan perkawinan karena masih harus menunggu umurnya 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji secara mendalam mengenai latar belakang perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan serta menganalisis tujuan hukum perubahan pembatasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Perubahan pengaturan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dilakukan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017. Pengaturan pembatasan umur minimal melangsungkan perkawinan dalam pembentukan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan kedudukan hukum untuk umur wanita dan pria, namun kurang memperhatikan keberadaan hukum yang sering digunakan sebagai indikator usia dewasa serta kurang memperhatikan keberadaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan yang telah disosialisasikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
PERUNDINGAN BIPARTIT SEBAGAI LANGKAH AWAL DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I Nyoman Jaya Kesuma;
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 2 No. 1 (2020): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
The bipartite negotiation is the first attempt taken to resolve industrial relations problems that occur. Therefore it is interesting to conduct an in-depth analysis of the importance of conducting bipartite negotiations in the resolution of industrial relations disputes and the existence of collective agreements as a legal basis for implementing bipartite negotiation agreements. Bipartite negotiations as an initial effort to settle industrial relations disputes require good faith in the negotiation process, the formation of collective agreements, and the implementation of collective agreements. Carefulness and caution are also needed in the formulation of collective agreements so that agreement clauses not cause in losses or problems in implementation.
PERSYARATAN WAJIB UNTUK MELAKUKAN PERCERAIAN SEBAGAI UPAYA MENEGAKKAN ASAS MEMPERSUKAR TERJADINYA PERCERAIAN
Siti Chomsiyah;
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 2 No. 2 (2020): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36733/jhshs.v2i2.1384
Salah satu asas dalam Undang-Undang Perkawinan adalah asas mempersukar terjadinya perceraian. Keberadaan asas mempersulit terjadinya perceraian adalah adanya kewajiban alasan untuk melakukan perceraian hingga proses perceraian wajib melalui pengadilan. Dalam pembahasannya, terdapat beberapa alasan hukum untuk melakukan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Wajib adanya alasan untuk melakukan perceraian diharapkan agar tidak mudah melakukan perceraian. Proses melakukan perceraian diwajibkan melalui prosedur penyelesaian melalui Pengadilan Negeri setempat yang tentunya mewajibkan adanya proses penyelesaian alternatif sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016. Proses melakukan perceraian dengan tahapan yang panjang mulai dari wajib melakukan penyelesaian secara mediasi hingga proses penyelesaian di Pengadilan memiliki harapan supaya para pihak berpikir kembali dan tidak jadi melakukan perceraian.
PEMBENTUKAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING SEBAGAI PENGEMBANGAN SISTEM PEMBELAJARAN DI MASA PANDEMI COVID-19
I Wayan Agus Vijayantera;
Ni Komang Ratih Kumala Dewi
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 3 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36733/jhshs.v3i2.2959
For educational institutions during the Covid-19 pandemic, in carrying out learning and developing learningsystems, they can collaborate with other institutions tobecome resource persons. This learning system can use a Memorandum of Understanding as a basis for cooperation. Based on this, it is interesting to conduct further studiesregarding thereasonsfortheneed to form a Memorandum of Understanding in implementing a cooperative-based learningsystem during the Covid-19 pandemi cand the methodof compiling a Memorandum of Understanding as a legal basis forworking together to carry outlearning during the Covid-19 pandemic. In the discussion, the Memorandum ofUnderstanding can be used for educational institutions to cooperate with other institutions in implementing an onlinelearning system by inviting the institutions they invite to cooperate as resourcepersons. A Memorandum of Understandingisused as a basis for cooperation because its for missimpleand its implementation is flexible depending on thecommunication of the parties regarding the conditions and technical implementation. With regard to drafting a Memorandum of Understanding, the anatomy of a Memorandum of Understanding is more or less the same as theanatomy of an agreement, only that its contents are simpleranddo not regulate in detail because a Memorandum ofUnderstanding is aninitial agreement which later needs to be followedup with a written or oral agreement. Bagi lembaga penyelenggara pendidikan pada masa pandemi covid-19 dalam melaksanakan pembelajaran serta mengembangkan sistem pembelajaran dapat bekerjasama dengan lembaga lain untuk menjadi narasumber. Sistem pembelajaran ini dapat menggunakan Memorandum ofUnderstanding sebagai landasan kerjasama. Berdasarkan hal tersebut, maka menarik untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai alasan dibutuhkannya membentuk Memorandum ofUnderstanding dalam melaksanakan sistem pembelajaran berbasis kerjasama di masa pandemi covid-19 serta Metode menyusun Memorandum of Understanding sebagai dasar hokum bekerjasama melaksanakan pembelajaran di masa pandemi covid-19. Pada pembahasan, Memorandum of Understanding dapat digunakan bagi lembaga pendidikan untuk bekerjasama dengan lembaga lain dalam melaksanakan sistem pembelajaran online dengan mengundang lembaga yang diajak bekerjasama menjadi narasumber. Memorandum of Understanding digunakan sebagai landasan kerjasama karena bentuknya simpel dan pelaksanaannya fleksibel tergantung pada komunikasi para pihak mengenai kondisi dan teknis pelaksanaannya. Berkenaan dengan menyusun Memorandum ofUnderstanding, anatomi dari Memorandum ofUnderstanding kurang lebih sama dengan anatomi perjanjian, hanya saja isinya lebih simpel dan tidak mengatur secara terperinci karena Memorandum ofUnderstandingmerupakan kesepakatan awal yang nantinya perlu ditindaklanjuti dengan perjanjian tertulis maupun lisan.
PEMBATASAN PELAKSANAAN KEGIATAN PAWIWAHAN PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI BALI
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Aktual Justice Vol 6 No 2 (2021): Aktual Justice
Publisher : Magister Hukum Pascasarjana Univeristas Ngurah Rai
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.47329/aktualjustice.v6i2.660
Pengaturan pembatasan pelaksanaan pawiwahan sebagaimana Surat Edaran Bersama Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dengan Majelis Desa Adat Provinsi Bali jika dianalisis pengaturannya tidak jelas dan bertentangan pula dengan Hak Asasi Manusia khususnya hak untuk melangsungkan perkawinan. Analisis permasalahan tersebut dilakukan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasannya, latar belakang terbitnya Surat Edaran Bersama tersebut adalah untuk menekan penyebaran virus varian delta Covid-19 di Bali yang saat ini angka kasus yang tertular cukup tinggi. Persoalan konflik norma yang terjadi antara Surat Edaran Bersama dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 terkait hak untuk melangsungkan perkawinan diselesaikan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Persoalan ketidakjelasan norma dalam pengaturan pelaksanaan pawiwahan dalam Surat Edaran Bersama dilakukan interpretasi norma dimana perlu adanya kejelasan bahwa pengaturan point a sifatnya menghimbau masyarakat sehingga tidak kontradiktif dengan pengaturan point b. Kata Kunci : Pembatasan, Pawiwahan, Covid-19.
TINJAUAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN PINJAMAN KOPERASI SIMPAN PINJAM PEDAGANG PASAR KAMBOJA PASAR BADUNG
I Gusti Ngurah Made Suta Darma;
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 2 No. 1 (2022): EDISI APRIL
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (259.814 KB)
Koperasi menepati kedudukan yang sangat terhormat dalam perekonomian Indonesia. Dengan adanya lembaga yang berbentuk koperasi seperti contoh Koperasi Simpan Pinjam Pedagang Pasar Kamboja Pasar Badung yang menghimpun dana dari para anggotanya kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada para anggota koperasi dan menimbulkan permasalahan yaitu Bagaimana pelaksanaan perjanjian pinjaman dan bagaimana proses penyelesaian yang dilakukan di Koperasi Simpan Pinjam Pedagang Pasar Kamboja Pasar Badung bila debitur wanprestasi. Skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis dan pendekatan fakta. Hasil penelitian menyatakan bahwa jika nasabah mengajukan pinjaman maka nasabah harus meminta blanko pinjaman dan mengisi permohonan pinjaman, seksi simpan pinjam akan memperhitungkan pinjaman tersebut, formulir tersebut akan di ajukan kepada ketua koperasi untuk persetujuan, kemudian formulir yang telah disetujui ketua koperasi diberikan kepada bendahara koperasi untuk pencairan uangnya. Sedangkan penyelesaian kasus wanprestasi pada Koperasi Simpan Pinjam Pedagang Pasar Kamboja Pasar Badung dapat diselesaikan dengan cara non litigasi contohnya dengan cara Rescheduling, Reconditioning, Restructuring, Kombinasi, Penyitaan jaminan
Perlindungan Hukum Terhadap Karya Film Ciptaan Mahasiswa Institut Seni Indonesia Di Denpasar
Kadek Vidia Tamara Noviyanti;
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 2 No. 02 (2022): Edisi Oktober
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Mengingat pentingnya Hak Cipta termasuk karya cipta film, maka setiap pencipta film baru berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat dari Hak Cipta akan ciptaannya dengan cara mencatatkan hak ciptanya. penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris dengan jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan fakta (The Fact Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach). Dalam skripsi ini dibahas mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap karya cipta film ciptaan mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar dan faktor penghambat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap karya cipta film ciptaan mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar. Pelaksanaan perlindungan terhadap karya film ciptaan mahasiswa di Institut Seni Indonesia di Denpasar belum bisa diterapkan secara sempurna dan mengalami banyak kendala.
Problematika Pemeriksaan Perkara Perceraian Karena Terjadinya Pertengkaran Terus Menerus Tanpa Dihadiri Tergugat Di Pengadilan Negeri Denpasar
I Wayan Agus Vijayantera;
I Gusti Bagus Hengki;
Putu Lantika Oka Permadhi;
Ni Wayan Yunika Duarta;
Nidya Kameswari Perbawa
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 4 No. 2 (2022): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Perkara perceraian yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar, selain jumlah perkaranya yang sangat tinggi di setiap tahunnya, perkara perceraian dengan cara verstek juga banyak terjadi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian menggunakan penelitian hukum empiris untuk menganalisis pentingnya kehadiran Tergugat dalam pemeriksaan perkara perceraian sebagai strategi membangun kembali komunikasi yang baik untuk mewujudkan prinsip mempersukar terjadinya perceraian, serta menganalisis pembuktian terhadap alasan yang sering digunakan dalam perkara perceraian berupa pertengkaran yang terjadi secara terus menerus, tanpa dihadirinya pihak Tergugat di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada pembahasannya, kehadiran Tergugat memegang peran yang sangat penting guna meningkatkan peran Majelis Hakim melakukan usaha mendamaikan para pihak, namun kendalanya adalah banyak tergugat yang tidak mau menghadiri persidangan sehingga usaha mendamaikan yang menjadi peran Majelis Hakim tidak maksimal. Meskipun perkara perceraian tidak dihadiri tergugat, pembuktian wajib dilakukan oleh penggugat untuk membuktikan dalilnya. Membuktikan terjadinya pertengkaran di dalam rumah tangga menjadi kendala ketika pihak Tergugat tidak hadir. Hal ini karena pengakuan terjadinya pertengkaran membutuhkan respon dari pihak Tergugat untuk dapat disesuaikan keterangannya. Pembuktian yang dilakukan pihak Penggugat tidak menjadi mutlak bahwa dalil yang diajukan dikabulkan.
PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB ATAS HAK KONSUMEN TERHADAP KLAUSULA PENAWARAN PAKET WISATA DI BALI AMBASSADOR TOUR AND TRAVEL
Komang Ayu Tiara Pratiwi;
I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 3 No. 1 (2023): EDISI APRIL
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
The purpose of this research is to find out the mechanism and implementation of the responsibilities of Bali Ambassador Tour And Travel regarding the right to the travel package offer clause. The type of legal research used is the empirical legal method. The result of this study is that the implementation of the responsibilities of travel agents is regulated in Article 7 letter g of the Consumer Protection Law. This shows that the travel agency has been responsible for hotel losses that are not in accordance with the contents of the tour package agreement. With this the responsibility given is by way of compensation to consumers. Every problem at Bali Ambassador Tour And Travel will be resolved by negotiation.