Reytman Aruan
Universitas Mahasaraswati

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Revisi Terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dalam Mengatasi Masalah Penyelesaian Perselisihan Berkaitan Perjanjian Kerja Bersama Reytman Aruan
Syiar Hukum Volume 18, No 2 (2020) : Syiar Hukum : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/shjih.v18i2.6830

Abstract

REVISI TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DALAM MENGATASI MASALAH PENYELESAIAN PERSELISIHAN BERKAITAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Keabsahan Surat Pemutusan Hubungan Kerja Sebagai Syarat Formil Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (Studi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 195/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG jo PutusanMahkamahAgung Nomor 885K/PDT.SUS-PHI/2017) Reytman Aruan
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 2 No. 1 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.188 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v2i1.7699

Abstract

Berdasarkan Pasal 151 Ayat (2) UU No. 13/2003 jo Pasal 3 Ayat (1) UU No. 2/2004, bahwa setiap pemutusan hubungan kerja (“PHK”) wajib dirundingkan antara pengusaha (management) dengan pekerja/buruh (karyawan) yang bersangkutan atau dengan (melalui) serikat pekerja/serikat buruh-nya. Pada perundingan dimaksud, di samping merundingkan kehendak PHK-nya, juga merundingkan hak-hak yang (dapat) diperoleh dan/atau kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing. Bilamana perundingan mencapai kesepakatan, dibuat PB (“Perjanjian Bersama”); namun, sebaliknya apabila perundingan gagal, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja (mem-PHK) setelah memperoleh penetapan (“izin”) dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang, dalam hal ini PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Berkaitan (perundingan gagal) ini, wajib dibuat risalah perundingan, karena risalah tersebut merupakan syarat untuk proses pernyelesaian perselisihan PHK selanjutnya pada lembaga Mediasi atau Konsiliasi/Arbitrase (vide Pasal 151 ayat [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 2 Ayat [3] Permenakertrans. No. Per-31/Men/VI/2008). Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana keabsahan surat pemutusan hubungan kerja yang dikeluarkan oleh PT Manggul Jaya dalam kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 195/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor: 885K/PDT.SUS-PHI/2017 dan bagaimana akibat hukum suatu pemutusan hubungan kerja yang tidak sah dalam kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 195/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor: 885K/PDT.SUS-PHI/2017. Metode penelitian yang dilakukan penulis adalah metode penelitian normatif dengan cara penulisan deskriptif. Hasil kesimpulan penulis adalah keabsahan surat pemutusan hubungan kerja yang dikeluarkan oleh PT Manggul Jaya dalam kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 195/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor: 885K/PDT.SUS-PHI/2017 adalah sah sebagai syarat formil dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial menurut amar pertimbangan Majelis Hakim dan Akibat hukum suatu pemutusan hubungan kerja yang semula diajukan sebagai pemutusan hubungan kerja dengan tidak sah dalam kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 195/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor: 885K/PDT.SUS-PHI/2017 adalah Pemutusan Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat bagi para pihak, hal ini dikarenakan menurut amar pertimbangan majelis hakim, surat pemutusan hubungan kerjanya adalah sah.Kata kunci: Gugatan, Pemutusan Hubungan Kerja, Pengadilan Hubungan Industrial
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA/BURUH DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA PERUBAHAN STATUS KEPEMILIKAN PERUSAHAAN Reytman Aruan
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 4 No. 2 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.922 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v4i2.14772

Abstract

Perubahan status kepemilikan perusahaan dapat terjadi karena pengambilalihan perusahaan (akuisisi). Pengusaha yang mengambilalih perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 163 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Di sini diatur, Pertama : Pengusaha dapat melakukan PHK dan Kedua: Pekerja/buruh bisa menolak melanjutkan hubungan kerja dengan pengusaha baru. Menurut Pasal 163 UUK pengusaha dapat melakukan PHK karena terjai pengambilalihan perusahaan. Pasal ini tidak mengatur apa alasan dan bagaimana prosedur PHK itu dapat dilakukan pengusaha pada saat terjadi pengambilalihan saham (akuisisi). Dengan demikian permasalahannya adalah bagaimanakah Pasal 163 UUK UUK mengatur pemutusan hubungan kerja akibat perubahan status kepemilikan perusahaan dan bagaimanakah upaya perlindungan hukum bagi Pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya akibat perubahan status kepemilikan perusahaan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif-empiris, menggunakan data primer, sekunder, tersier dengan pendekatan judical case study dan dianalisis secara deskriptif. Ada 5 (lima) putusan dianalis yaitu : 1). Putusan Mahkamah Agung No. 62 K/Pdt.Sus/2012, 2). Putusan Mahkamah Agung No. 895 K/Pdt.Sus/2012, 3). Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Denpasar No: 04/Pdt.SusPHI/2014/PN.Dps, 4). Putusan Mahkamah Agung No. 707K/Pdt.Sus- PHI/2016. 5). Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Serang No. 105/Pdt.SusPHI/2019/PNSrg., Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK semata-mata karena terjadi pengambilalihan perusahaan yang berakibat pada perubahan kepemilikan perusahaan tanpa sebab lain dan pekerja/buruh tidak mendapat perlindungan hukum atas pemutusan hubungan kerja dan tidak dapat menolak pemutusan hubungan kerja.
SYARAT PEMBERIAN SANKSI REHABILITASI PENYALAHGUNAAN NARKOBA BAGI WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA Subawa, Ida Bagus Gede; Sutrisni, Ni Komang; Aruan, Reytman
Jurnal Yusthima Vol. 3 No. 2 (2023): YUSTHIMA : Jurnal Prodi Magister Hukum FH Unmas Denpasar
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36733/yusthima.v3i2.8090

Abstract

Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah serius yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia memberikan sanksi rehabilitasi bagi pengguna narkoba, termasuk bagi warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis syarat-syarat pemberian sanksi rehabilitasi bagi pengguna narkoba, khususnya bagi warga negara asing di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga menyoroti pentingnya metode Self Management and Recovery Training (SMART) sebagai solusi efektif dalam rehabilitasi warga negara asing yang terjerat dalam penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitaif kritis yaitu penelitian yang sasarannya tidak saja menggali makna etik tetapi juga menciptakan makna etik. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dimana informan dipilih secara purposive. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriftif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan pemberian sanksi rehabilitasi bagi pengguna narkotika dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum. Tim Asesmen Terpadu bertugas melakukan asesmen dan analisis terhadap pengguna narkotika untuk menentukan apakah yang bersangkutan memenuhi syarat untuk direhabilitasi atau tidak dan metode SMART merupakan metode rehabilitasi yang efektif untuk warga negara asing karena program ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu, bahasa, dan budaya yang berbeda. Program ini juga menekankan pada tanggung jawab individu dalam proses pemulihan, sehingga dapat membantu individu untuk membangun rasa percaya diri dan kontrol diri yang lebih baik.