Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PERLAKUAN TERHADAP TERPIDANA MATI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Djernih Sitanggang; Efa Laela Fakhriah; Sigid Suseno
Jurnal Media Hukum Vol 25, No 1, June 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/jmh.2018.0106.102-110

Abstract

The Penal system is conducted by the correctional facility was only oriented towards convicted criminals. The problem was on how to treat death penalty convicts who are in the penitentiary during the execution waiting period. The result research’s on Penal system is only effective for convicts obliged to follow the restoration program, whereas the death penalty convict was not obliged and for him to decide actively or not to follow the restoration program. The restoration program must to be obliged for the death penalty convict, so that the penal system could provide protection for Human Rights
Inheritance Law System: Considering the Pluralism of Customary Law in Indonesia Sonny Dewi Judiasih; Efa Laela Fakhriah
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.736 KB)

Abstract

AbstractCustomary inheritance law in Indonesia consists of unique and specific patterns that describe the values of traditional Indonesian society that are based on collective and communal culture. There are three types of customary inheritance system: patrilineal, matrilineal, and parental. Every system has a uniqueness that makes it different with others. These differences often cause disputes and problems. The problems are related especially to the status of men and women in relation to patriarchal and matriarchal systems. Settlement of inheritance is done through discussion, approval, or legal remedies. Judges' decisions indicate that there is a renewal on the customary inheritance system in which men and women have equal opportunities to become inheritors of their parents. Abstrak Hukum waris adat di Indonesia terdiri dari pola unik dan spesifik yang menggambarkan nilai-nilai masyarakat tradisional Indonesia berdasarkan budaya kolektif dan komunal. Terdapat tiga macam sistem waris adat: patrilineal, matrilineal, dan parental. Setiap sistem memiliki perbedaan dan seringkali perbedaan tersebut menimbulkan sengketa dan masalah, terutama terkait dengan status laki-laki dan perempuan dalam hubungan sistem patriaki dan matriaki. Penyelesaian sengekta waris dilakukan melalui diskusi, persetujuan, atau upaya hukum. Putusan hakim mengindikasikan terdapat pembaharuan sistem waris adat di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ahli waris orang tua mereka.  DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v5n2.a6
Penggunaan Saksi Anak Kandung dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Ditinjau Dari Pasal 145-146 Hir Dihubungkan Dengan Pasal 76 Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Abigail Donda Putri Jelita; Linda Rachmainy; Efa Laela Fakhriah
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 08 (2023): COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v3i08.1117

Abstract

Pasal 145-146 HIR mengatur mengenai larangan absolut bagi keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus untuk menjadi saksi. Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 76 UU Peradilan Agama yang menyatakan bahwa apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus mendengarkan keterangan dari saksi yang berasal dari keluarga atau orang terdekat dari suami dan istri tersebut. Pada praktik di pengadilan, timbul permasalahan mengenai penerapan pasal mengenai alat bukti saksi dalam Pasal 145 dan 146 HIR yang dihubungkan dengan Pasal 76 UU Peradilan Agama serta pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam membuat keputusan mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan saksi anak kandung dalam suatu putusan. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis yang didukung oleh data sekunder dan data primer melalui studi kepustakaan dan wawancara. Analisis masalah dilakukan secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa, penerapan Pasal 145-146 HIR dalam Putusan Nomor 813/Pdt.G/2020/PA.Bbs di Pengadilan Agama Brebes, pengadilan telah menerima keterangan anak kandung sebagai alat bukti dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan syiqaq. Dalam pertimbangan hakim, dapat menambahkan dasar hukum lain seperti Pasal 76 UU Peradilan Agama yang dapat menguatkan Pasal 145 dan 146 HIR. Terdapat juga perbedaan pandangan di kalangan hakim mengenai penggunaan anak kandung sebagai saksi, namun dalam menjatuhkan suatu putusan, hakim harus selalu mempertimbangkan tujuan hukum sehingga kesaksian anak kandung dapat diterima selama dapat dibuktikan secara konkret mengenai adanya kondisi syiqaq dan selama anak kandung tersebut dalam kondisi kejiwaan yang baik dan telah mencapai usia dewasa.
CONTEMPT OF COURT: PENEGAKAN HUKUM DAN MODEL PENGATURAN DI INDONESIA / CONTEMPT OF COURT: LAW ENFORCEMENT AND RULE MODELS IN INDONESIA Anita Afriana; Artaji Artaji; Elis Rusmiati; Efa Laela Fakhriah; Sherly Putri
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.7.3.2018.441-458

Abstract

Di Indonesia sesungguhnya banyak kasus yang terjadi berkaitan dengan pelecehan terhadap pengadilan dan aparat penegak hukum. Hal tersebut berpengaruh terhadap integritas dan kewibawaan lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang pranata Contempt of Court. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang telah selesai dilakukan dengan metode yuridis normatif yang mengedepankan data sekunder dengan dilengkapi data primer berupa penelitian lapangan yang dilakukan pada beberapa pengadilan negeri yang ada di Indonesia. Pembahasan difokuskan pada permasalahan eksistensi pengaturan dan penegakan hukum Contempt of Court serta menentukan model pengaturannya di Indonesia.  Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Contempt of Court secara khusus sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi, pengaturannya telah tersebar dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, dari sekian kasus terkait dengan Contempt of Court baik berupa tindakan  maupun perbuatan yang sesungguhnya mengganggu keselamatan, ketenangan psikis maupun fisik, serta apa pun yang pada prinsipnya merupakan bentuk penghinaan terhadap pengadilan belum diberikan sanksi yang tegas tetapi hanya sekedar dikeluarkan dari ruang persidangan. Contempt of Court dapat terjadi baik di dalam ruang persidangan maupun di luar persidangan baik pada perkara pidana, perdata, maupun hubungan industrial.  Semakin meluaskan berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court maka  perlu untuk mengatur Contempt of Court dalam bentuk aturan tersendiri.This crisis of public confidence greatly affects the integrity and authority of the judiciary as the last defence for justice. Many things happened related to the harassment of the courts and law enforcement agencies but until now in Indonesia there has been no provision specifically about contempt for the court. This article is a part of research that its used normative judicial method which gave priority to primary data with secondary and primary data. Therefore, field research was conducted by interviewing judge in some  district court in Indonesia. The purpose of this research is to know the existence of regulation and law enforcement of Contempt of Court in Indonesia and to determine the model of Contempt of Court arrangement that is in accordance with the judiciary in Indonesia, and  the summary is the laws and regulations governing the Contempt of Court in particular have so far not existed, but are scattered in the Criminal Code (Criminal Code), therefore in many cases both actions and deeds which in principle interfere with safety, psychic and physical calm which in principle is a form of humiliation to the court has not been given strict sanctions but only just removed from the courtroom. Contempt of Court can take place both within the courtroom and outside the court so that by extending the various actions that can be categorized as contempt of court, it is deemed necessary to regulate the Contempt of Court in the form of a separate rule.