Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Kewenangan KPK untuk Melakukan Penyidikan dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Suseno, Sigid
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6268.531 KB)

Abstract

AbstrakPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) tidak hanya untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tetapi juga untuk mengembalikan keuangan negara yang disebabkan oleh TPK. Salah satu upaya untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap TPK adalah dengan mengatur kewenangan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk penyidik tindak pidana asal (Kejaksaan dan KPK) dalam UU TPPU. Namun, dalam praktik kewenangan penyidikan terhadap TPPU (Pasal 74 UU TPPU) telah menimbulkan permasalahan hukum khususnya mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU dalam kerangka pemberantasan TPK. Kewenangan penyidikan terhadap TPPU yang diberikan kepada KPK sangat pen_ng dalam pemberantasan TPK. TPK sebagai predicate crime memiliki kaitan erat dengan TPPU sebagai proceeds of crime. Pelaku TPK yang memiliki tujuan untuk memperoleh harta kekayaan secara ilegal umumnya melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Dengan adanya kewenangan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU, KPK dapat melacak harta kekayaan pelaku berdasarkan hasil penyidikan TPK dan sebaliknya melakukan penyidikan terhadap TPK berdasarkan hasil penyidikan terhadap TPPU dengan menggunakan paradigma follow the money. Walaupun KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU sehingga dapat mengoptimalkan penegakan hukum terhadap TPK, tetapi tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan dalam UU TPPU menimbulkan masalah dalam penegakan hukum terhadap TPK baik efektivitasnya maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Mengingat KPK dalam UU TPPU tidak secara tegas diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU maka penuntutannya harus dilakukan melalui Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan baik menurut KUHAP maupun UU Kejaksaan. Oleh karena itu, masalah koordinasi menjadi masalah penting dalam upaya pemberantasan TPK.Kata Kunci: investigasi, KPK, tindak pidana korupsi, pencucian uang, penuntutan.  The Authority of KPK (the Indonesian Corruption Eradication Commission) to Investigate and Prosecute Money Laundering in order to Combat CorruptionAbstractCorruption eradication measures are made not merely to punish the perpetrator, but also to recover the assets of the State, lost because of the corruption. One of the efforts to make law enforcement to combat corruption more effective is by regulating the authority of the Prosecutor and Corruption Eradication Commission (the CEC) as predicate investigators of crime to investigate money laundering under the Anti-Money Laundering Law. However, in practice, the authority to investigate money laundering (Article 74 Anti-Money Laundering Law) has raised some issues, especially about the authority of the CEC to prosecute money laundering. The prosecutor and the CECs authority of investigation in money laundering are important to combat corruption. As predicate crime, corruption is connected to money laundering as one procedure of the crime. The purpose of the perpetrators of money laundering is to illegally enrich themselves by concealing or disguising the money. With the authority of the Prosecutor and the CEC to investigate money laundering, they can trace the perpetrators wealth according to the corruption investigations result. Otherwise, the Prosecutor and the CEC can conduct investigation of corruption according to the money laundering investigations result by using follow the money paradigm. However, the Prosecutor and the CECs authority are still insufficient to combat money laundering. It is because the CEC does not have the authority to prosecute money laundering. In practice, the coordination between the two institutions is becoming an issue. Therefore, in order to deal with the issue, the authority to prosecute money laundering should ideally be done by the Prosecutor according to Anti-Money Laundering Law and Indonesian Procedural Law.Keyword: investigation, Corruption Eradication Commission, corruption, money laundering, prosecution.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a6
PENGAKUAN TERHADAP HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA Fardiansyah, Ahmad Irzal; Suseno, Sigid; Rukmini, Mien; Sulistiani, Lies
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (42.555 KB)

Abstract

ABSTRAK Mengembangkan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia (hukum adat), sesunguhnya merupakan keniscayaan, karena hukum adat yang dimiliki bangsa Indonesia sejatinya adalah nilai-nilai yang berasal dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Secara khusus tentang hukum pidana adat, memiliki prinsip yang sama. Hukum pidana adat di Indonesia menganut doktrin bahwa tindak pidana adat merupakan hal yang dapat menganggu keseimbangan masyarakat adat, dan terhadap tindakan atau perbuatan delik yang mengganggu keseimbangan masyarakat adat sanksi yang diberikan pada umumnya dilakukan oleh para petugas adat. Akan tetapi hingga saat ini belum ada penerapan secara nyata dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan metode normatif meliputi aturan dan doktrin-doktrin tentang penerapan hukum pidana adat di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa memikirkan kembali kebijakan penangulangan kejahatan dengan hukum pidana, berarti dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini. Bila dikaitkan dengan pernyataan bahwa hukum pidana warisan kolonial merupakan sesuatu yang tidak berakar pada nilai-nilai moral dan budaya Indonesia, maka perbaikan/pembaharuan yang perlu dilakukan terhadap kebijakan hukum pidana Indonesia saat ini adalah dengan memperhatikan dan memasukkan unsur-unsur nilai-nilai moral dan budaya Indonesia, sehingga mengembangkan hukum pidana adat Indonesia merupakan langkah nyata menghargai nilai-nilai bangsa Indonesia, dengan tetap memperhatikan perkembangan global. Kata kunci: adat; hukum; pengakuan; pidana.  ABSTRACT Developing a law that lives in Indonesian society (adat law), actually is a necessity, because the adat law owned by the Indonesian nation is actually values originating from the Indonesian community itself. Specifically about criminal adat law, has the same principle, which lives and develops from the identity of the Indonesian nation itself. Criminal adat law in Indonesia adheres to the doctrine that customary crimes are things that can disrupt the balance of indigenous peoples, and against delict actions or actions that disrupt the balance of indigenous peoples sanctions are generally carried out by customary officers. However, until now there has been no real implementation in law enforcement in Indonesia. This study uses normative methods and the results is rethinking crime prevention policies with criminal law, means that it can be interpreted as an effort to make improvements to current criminal law policies. If it is associated with the statement that the colonial law is an inheritance that is not rooted in the moral values and culture of Indonesia, then the improvement/renewal that needs to be done towards the current Indonesian criminal law policy is to pay attention to and incorporate elements of moral values and Indonesian culture, so that developing Indonesia's  criminal adat law is a real step to respect the values of the Indonesian people, while still paying attention to global developments.Keywords: adat; criminal; law; recognition.
PERLAKUAN TERHADAP TERPIDANA MATI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Sitanggang, Djernih; Laela Fakhriah, Efa; Suseno, Sigid
Jurnal Media Hukum Vol 25, No 1, June 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/jmh.2018.0106.102-110

Abstract

The Penal system is conducted by the correctional facility was only oriented towards convicted criminals. The problem was on how to treat death penalty convicts who are in the penitentiary during the execution waiting period. The result research’s on Penal system is only effective for convicts obliged to follow the restoration program, whereas the death penalty convict was not obliged and for him to decide actively or not to follow the restoration program. The restoration program must to be obliged for the death penalty convict, so that the penal system could provide protection for Human Rights
Transaksi Ilegal Menggunakan Kartu ATM Milik Orang Lain Suhyana, Fina Agustina; Suseno, Sigid; Ramli, Tasya Safiranita
SIGn Jurnal Hukum Vol 2 No 2: Oktober 2020 - Maret 2021
Publisher : CV. Social Politic Genius (SIGn)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37276/sjh.v2i2.92

Abstract

Salah satu resiko yang harus disikapi oleh perbankan adalah tindak pidana transaksi ilegal menggunakan kartu ATM milik orang lain, dimana nantinya nasabah tidak mengetahui bahwa saldo di rekeningnya telah habis karena telah terjadi penarikan menggunakan kartu ATM hasil kloning. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan penerapan hukum terhadap transaksi illegal menggunakan kartu ATM milik orang lain, dan perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai korban tindak pidana transaksi ilegal menggunakan kartu ATM hasil kloning. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Adapun metode analisis dilakukan dengan cara mengidentifikasi secara sistematis, dipolarisasi, dikategorisasi dan dikelompokkan sesuai dengan alur pembahasan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hukum terhadap transaksi illegal menggunakan kartu ATM milik orang lain, diatur berdasarkan UU No. 1 Tahun 1960 dan UU No. 19 Tahun 2016. Akan tetapi, tindak pidana transaksi illegal menggunakan kartu ATM milik orang lain, belum diatur secara tegas di Indonesia apabila dibandingkan dengan Singapura dan Jepang. Adapun perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai korban tindak pidana transaksi ilegal menggunakan kartu ATM hasil kloning, dapat diketahui berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU No. 21 Tahun 2011, PBI No. 16/1/PBI/2014, POJK No. 1/POJK.07/2013, serta POJK No. 18/POJK.07/2018. Dengan dasar kesimpulan tersebut, diharapkan secara tegas dapat dibentuk Undang-Undang tentang tindak pidana transaksi ilegal. Selain itu, Bank selaku PUJK harus membuat kebijakan penggunaan kartu ATM dengan teknologi chip implant, serta penerapan OTP sebagai autentikasi dua faktor (two-factor authentication) kepada para nasabahnya, sehingga risiko tindak pidana transaksi ilegal menggunakan kartu ATM milik orang lain dapat diminimalisir.
ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN SECARA PAKSA KENDARAAN DEBITUR YANG WANPRESTASI OLEH PERUSAHAAN LEASING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PPU-XVII/2019 DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Rina Perwitasari; Sigid Suseno; Ijud Tajudin
Jurnal Poros Hukum Padjadjaran Vol. 2 No. 2 (2021): JURNAL POROS HUKUM PADJADJARAN
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jphp.v2i2.378

Abstract

ABSTRAKPengambilan paksa kendaraan bermotor oleh perusahaan leasing merupakan hal yang merugikan konsumen terlebih adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PPU-XVII/2019 yang menyatakan adanya pelarangan tindakan tersebut. Namun dilain sisi, penarikan tersebut dilakukan karena konsumen melakukan wanprestasi dengan tidak membayarnya cicilan bulanan kendaraan bermotor. Pada dasarnya meskipun tindakan konsumen merupakan perbuatan wanprestasi, namun tindakan paksa yang dilakukan perusahaan leasing tersebut cenderung dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana. Metode penelitian yang dilakukan adalah spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis. Metode pendekatan menggunakan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen. Metode analisis data adalah normatif kualitatif. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan pengambilan secara paksa kendaraan debitur yang wanprestasi oleh perusahaan leasing pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PPU-XVII/2019 dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana adalah pada dasarnya pelaksanaan eksekusi langsung oleh kreditur tanpa melalui PN bisa dilakukan jika debitur mengakui adanya wanprestasi atau cedera janji dalam perjanjiannya dengan kreditur. Namun demikian, ketika tidak diajukan kepada PN dan tidak adanya sukarela dari debitur maka pemidanaan dapat dilekatkan pada perusahaan leasing atas tindakan pengambilan paksa kendaraan konsumen oleh Debt collectror yang merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan leasing. Pertanggungjawaban pidana tindakan pengambilan secara paksa kendaraan debitur yang wanprestasi oleh perusahaan leasing pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PPU-XVII/2019 adalah perbuatan paksaan dan kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, bahkan dapat juga melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur). Hal tersebut jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam UUJF dan pelekatan hukum pidana pun dapat dilakukan.Kata kunci: pengambilan paksa; debitur; hukum pidana. ABSTRACTForcible taking of motorized vehicles by leasing companies is detrimental to consumers, especially with the Constitutional Court Decision Number 18/PPU-XVII/2019 which states that this action is prohibited. But on the other hand, the withdrawal was made because the consumer defaulted by not paying the monthly installment of the vehicle. Basically, even though the consumer's actions are acts of default, the forced actions carried out by the leasing company tend to be classified as criminal acts. The research method used is the research specification using analytical descriptive. The approach method uses normative juridical. The data collection technique that will be used in this research is document study. The data analysis method is normative qualitative. Based on the analysis that the author carried out, it can be concluded that the act of forcibly taking a debtor's vehicle in default by a leasing company after the Constitutional Court Decision Number 18/PPU-XVII/2019 can be qualified as a crime is basically the direct execution of the creditor without going through the District Court. done if the debtor admits a default or breach of contract in his agreement with the creditor. However, when it is not submitted to the PN and the debtor is not voluntary, the punishment can be attached to the leasing company for the act of forcibly taking consumer vehicles by the debt collector which is an extension of the leasing company. Criminal liability for the act of forcibly taking a debtor's vehicle in default by a leasing company after the Constitutional Court's Decision Number 18/PPU-XVII/2019 is an act of coercion and violence from a person who claims to be the party who has the power to collect the debtor's debt loan, it can even give birth to acts of violence. arbitrarily committed by the fiduciary recipient (creditor). This is clearly evidence of the existence of unconstitutional issues in the norms regulated in UUJF and the attachment of criminal law can also be done.Keywords: Forced Retrieval; Debtor; Criminal Law.
KEBIJAKAN PENGATURAN CARDING DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA Sigid Suseno; Syarif A. Barmawi
Sosiohumaniora Vol 6, No 3 (2004): SOSIOHUMANIORA, NOPEMBER 2004
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v6i3.5532

Abstract

Terjadinya berbagai kejahatan yang tergolong cybercrime khususnya carding telah menimbulkan masalah dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya. Salah satu upaya yang saat ini dilakukan adalah dengan menyusun Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang di dalamnya dirumuskan ketentuan pidana yang mengatur mengenai cybercrime termasuk carding. Berdasarkan hakekat dan karakteristik cybercrime, perumusan kejahatan-kejahatan yang tergolong cybercrime tidak tepat apabila dirumuskan sebagai administrative penal law, karena pada umumnya cybercrime bukan merupakan pelanggaran ketentuan hukum administrasi tetapi merupakan kejahatan murni yang dilakukan dengan menggunakan media komputer atau jaringan komputer (internet). Oleh karena itu lebih tepat apabila cybercrime dirumuskan dalam KUHP sebagai tindak pidana umum kecuali kejahatan yang mempunyai karakteristik khusus dapat diatur dalam UU Khusus. Demikian pula pengaturan tindak pidana carding sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 51 RUU ITE tidak tepat dan tidak cukup representatif untuk mengatur bentuk-bentuk carding. Sebaiknya tindak pidana carding diatur dalam KUHP sebagai tindak pidana umum atau dalam UU Khusus sebagai tindak pidana khusus. Kata kunci : Cybercrime, Carding, Kejahatan, Undang-undang.
PERLAKUAN TERHADAP TERPIDANA MATI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Djernih Sitanggang; Efa Laela Fakhriah; Sigid Suseno
Jurnal Media Hukum Vol 25, No 1, June 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/jmh.2018.0106.102-110

Abstract

The Penal system is conducted by the correctional facility was only oriented towards convicted criminals. The problem was on how to treat death penalty convicts who are in the penitentiary during the execution waiting period. The result research’s on Penal system is only effective for convicts obliged to follow the restoration program, whereas the death penalty convict was not obliged and for him to decide actively or not to follow the restoration program. The restoration program must to be obliged for the death penalty convict, so that the penal system could provide protection for Human Rights
Kewenangan KPK untuk Melakukan Penyidikan dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sigid Suseno
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6268.531 KB)

Abstract

AbstrakPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) tidak hanya untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tetapi juga untuk mengembalikan keuangan negara yang disebabkan oleh TPK. Salah satu upaya untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap TPK adalah dengan mengatur kewenangan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk penyidik tindak pidana asal (Kejaksaan dan KPK) dalam UU TPPU. Namun, dalam praktik kewenangan penyidikan terhadap TPPU (Pasal 74 UU TPPU) telah menimbulkan permasalahan hukum khususnya mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU dalam kerangka pemberantasan TPK. Kewenangan penyidikan terhadap TPPU yang diberikan kepada KPK sangat pen_ng dalam pemberantasan TPK. TPK sebagai predicate crime memiliki kaitan erat dengan TPPU sebagai proceeds of crime. Pelaku TPK yang memiliki tujuan untuk memperoleh harta kekayaan secara ilegal umumnya melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Dengan adanya kewenangan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU, KPK dapat melacak harta kekayaan pelaku berdasarkan hasil penyidikan TPK dan sebaliknya melakukan penyidikan terhadap TPK berdasarkan hasil penyidikan terhadap TPPU dengan menggunakan paradigma follow the money. Walaupun KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU sehingga dapat mengoptimalkan penegakan hukum terhadap TPK, tetapi tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan dalam UU TPPU menimbulkan masalah dalam penegakan hukum terhadap TPK baik efektivitasnya maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Mengingat KPK dalam UU TPPU tidak secara tegas diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU maka penuntutannya harus dilakukan melalui Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan baik menurut KUHAP maupun UU Kejaksaan. Oleh karena itu, masalah koordinasi menjadi masalah penting dalam upaya pemberantasan TPK.Kata Kunci: investigasi, KPK, tindak pidana korupsi, pencucian uang, penuntutan.  The Authority of KPK (the Indonesian Corruption Eradication Commission) to Investigate and Prosecute Money Laundering in order to Combat CorruptionAbstractCorruption eradication measures are made not merely to punish the perpetrator, but also to recover the assets of the State, lost because of the corruption. One of the efforts to make law enforcement to combat corruption more effective is by regulating the authority of the Prosecutor and Corruption Eradication Commission (the CEC) as predicate investigators of crime to investigate money laundering under the Anti-Money Laundering Law. However, in practice, the authority to investigate money laundering (Article 74 Anti-Money Laundering Law) has raised some issues, especially about the authority of the CEC to prosecute money laundering. The prosecutor and the CEC's authority of investigation in money laundering are important to combat corruption. As predicate crime, corruption is connected to money laundering as one procedure of the crime. The purpose of the perpetrators of money laundering is to illegally enrich themselves by concealing or disguising the money. With the authority of the Prosecutor and the CEC to investigate money laundering, they can trace the perpetrator's wealth according to the corruption investigation's result. Otherwise, the Prosecutor and the CEC can conduct investigation of corruption according to the money laundering investigation's result by using follow the money paradigm. However, the Prosecutor and the CEC's authority are still insufficient to combat money laundering. It is because the CEC does not have the authority to prosecute money laundering. In practice, the coordination between the two institutions is becoming an issue. Therefore, in order to deal with the issue, the authority to prosecute money laundering should ideally be done by the Prosecutor according to Anti-Money Laundering Law and Indonesian Procedural Law.Keyword: investigation, Corruption Eradication Commission, corruption, money laundering, prosecution.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a6
LAW ENFORCEMENT OF THE BANDUNG REGIONAL REGULATIONS ON THE ORDERLINESS, CLEANLINESS, AND THE BEAUTY Yesmil Anwar; Sigid Sigid Suseno; Nella Sumika Putri
Sriwijaya Law Review VOLUME 1, ISSUE 1, JANUARY 2017
Publisher : Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/slrev.Vol1.Iss1.11.pp093-109

Abstract

The Number of sidewalk vendors in Bandung has reached 11,000 with no decline in growth according to the survey conducted by Indonesian University of Education/ Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) in collaboration with Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda or regional development planning agency) Bandung. Sidewalk vendor is one of the main contributors to the dirtiness and traffic congestion in Bandung. Bandung has passed a Regional Regulation Numbered 3 and 5 about Cleanliness, Orderliness and the Beauty to prevent and to build the  sidewalk vendors. However, lack of legal awareness and law enforcement may constrain the effectiveness of the regulation. Those regulations are particularly Bandung Regional Regulation Numbered 4/ 2011 concerning sidewalk vendors in which imposing high fine sanction not only for the seller but also for the buyer to prevent them from violating those regulations. To analyze the the compliance level of society and the effectiveness of fine sanction for the violation of regulations, this research used juridical normative approach and comparative method by comparing the regulation in Bandung with other Regional regulations related to sidewalk vendors in other cities in Indonesia such as in Surakarta and Surabaya. This research found that the law enforcement to the violation of sidewalk vendors regulation in Bandung city is not optimum due to lack of awareness to obey the law. The criminal sanction such as fine and forced fees are not able to prevent the violation of sidewalk vendors regulations. This research suggest that The Regional government of Bandung City: (1) needs to find a right model to keep sidewalk vendors in order by looking at the characteristics of the society and its social culture; (2) needs to search for a way to increase society’s compliance to any policies made by the government; and (3) needs to revise the current regulation
PENYEBARAN KONTEN YANG MENGANDUNG HOAX MENGENAI COVID-19 MELALUI MEDIA SOSIAL FACEBOOK BERDASARKAN UU ITE DAN HUKUM PIDANA Azenia Tamara Davina; Sigid Suseno; Mustofa Haffas
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol 12, No 1 (2021): APRIL
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jmk.v12i1.4255

Abstract

ABSTRACTThis study aims to determine the qualifications of contents containing hoax on Covid-19 through Facebook and Facebook’s liability as an electronic system provider based on the ITE law and criminal law. The approach method used in this study is a qualitative normative juridical approach with descriptive analytical research specifications, mainly describing the laws and regulations associated with legal theories. The results of this study indicated that the qualification of the spread of content containing hoax on Covid-19 through Facebook is regulated in Article 28 paragraph 2 of the EIT Law and Article 14 and Article 15 of the Law No. 1 of 1946 on Criminal Regulations. However, regarding the application of the articles in Law Number 1 of 1946 concerning Criminal Regulations, the majority of law enforcers are forcing it, because the elements in the article are no longer adequate when applied to cyber media. Furthermore, Facebook as an electronic system provider is not responsible for the faults of its users.Keywords: qualification of crime; hoax; covid-19;  facebook. ABSTRAKPeneliti­an ini bertujuan untuk menemukan kualifikasi perbuatan penyebaran hoax mengenai Covid-19 melalui media sosial Facebook berdasarkan UU ITE dan hukum pidana serta pertanggungjawaban hukum Facebook selaku penyeleng­gara sistem elektronik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan spesifi­kasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara analitis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori-teori hukum dikaitkan dengan permasalahan penelitian. Analisis bahan hukum menggunakan metode analisis yuridis kuali­tatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hoax mengenai Covid-19 melalui media sosi­al Facebook dalam praktiknya diatur dalam Pasal 28 ayat (2), Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana. Namun, terkait penerapan pasal-pasal dalam Undang-Un­dang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana mayoritas oleh pene­gak hu­kum dipaksakan, ka­rena unsur-unsur dalam pasalnya yang sudah ti­dak mema­dai apabila diterap­kan pa­da media siber. Kemudian, Facebook selaku penyelenggara sistem elektro­nik ti­dak dapat dimintai per­tanggungjawaban hukum atas kesalahan peng­gu­na­nya.