Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Diskursus Perumusan Ideologi Sebagai Perbuatan Pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015 Rocky Marbun
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (320.17 KB)

Abstract

Reformasi Hukum Pidana pasca kemerdekaan Indonesia telah dimulai sejak 1963 terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai warisan dari kolonial Belanda. Semangat kemerdekaan menginginkan adanya reformasi, bukan hanya terhadap produk hukum yang masih bernuansa kolonialisme, namun juga pada cara pandang atau pola pikir dalam memandang permasalahan hukum. Salah satu pola pikir yang mendapat pengaruh warisan kolonialisme dalam mempertahankan rust en orde (menjaga keamanan dan ketertiban) adalah dengan memasukkan instrumen hukum guna mempertahankan kestabilan politik. Sehingga negara masih memandang urgenitas dari tindakan isolasir terhadap ideologi negara dengan melakukan pelarangan terhadap penyebaran ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme. Faktor terbesar dari perumusan pelarangan tersebut adalah pengalaman hitam bangsa Indonesia terhadap seseorang dan/atau kelompok organisasi yang mengimplementasikan ideologi tersebut dalam kegiatan-kegiatan yang membahayakan keutuhan bangsa. Akibatnya, terdapat ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam membedakan ideologi sebagai hasil olah akal budi yang menghasilkan ilmu pengetahuan dengan perbuatan sebagai perbuatan pidana dalam perumusan serta perancangan Pasal 212 ayat (2) jo. Pasal 219 ayat (2) Rancangan KUHP 2015 oleh pembentuk undang-undang.Discussion of Ideology Formulation as Criminal Acts in the Draft of the Criminal Code 2015AbstractThe reform of Criminal Law in post-independence Indonesia has started since 1963 through the Criminal Code as a legacy of the Dutch colonial. The spirit of independence calls for a reform, not only against the law which still undeniably a product of colonialism, but also to the perspective or mindset of looking at legal issues. One mindset influenced by the legacy of colonialism in defense of rust en orde (maintain security and order) is to include legal instruments in order to maintain political stability. Thus, the state is still looking at the urgency of action against the state ideology isolation by banning the spread of the ideology of Communism/Marxism/Leninism. The biggest factor of the formulation of the ban was the dark experience of the Indonesian people against a person and/or group of organizations which implement that ideology in activities which endanger the integrity of the nation. Consequently, there is obscurity and uncertainty on the difference between ideology as an outcome of common sense which results in knowledge and ideology as a criminal action under the formulation and drafting of Article 212 para 2 jo. Article 219 para 2 of the Draft of the Criminal Code 2015 as drafted by the legislators.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n3.a6
MENGGUGAT TINDAKAN HUKUM PENYIDIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MELALUI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Rocky Marbun
SOL JUSTICIA Vol 1 No 1 (2018): SOL JUSTICIA
Publisher : Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Kader Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.816 KB)

Abstract

Information disclosure and the development of ideas about legal protection against human rights, as if breaking down the polarization of thinking about the immunity of the Police Investigator. As if, only pretrial was the only legal instrument to test legal actions carried out by Police Investigators. The Criminal Procedure Code, in this case, has become a binary opposition that dominates and hegemony as a form of instrumental action ratio. It also appears historically over the refusal of the Police and Prosecutors to the instruments of the Preliminary Examining Judge, in the past. The breakdown of the development of reasoning patterns and the pattern of argumentation is evident in the very varied pretrial decisions and the existence of judicial authority institutions as a result of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia NRI amendment, the Constitutional Court. In a normative juridical manner, when we conduct legal literature searches, the Government has actually prepared a legal instrument to break down the binary opposition, namely through Law Number 30 Year 2014 concerning Government Administration and Law Number 5 Year 2014 concerning State Civil Apparatus. This logic is constructed from Article 1 point 2 of Act Number 2 of 2002 concerning the National Police of the Republic of Indonesia which confirms that Police Members are civil servants. Therefore, any legal action taken, excluding what has been regulated in the Criminal Procedure Code, can be filed through the State Administrative Court.
Konferensi Pers Dan Operasi Tangkap Tangan Sebagai Dominasi Simbolik: Membongkar Kesesatan Berpikir Dalam Penegakan Hukum Pidana Rocky Marbun
Jurnal Ius Constituendum Vol 7, No 1 (2022): APRIL
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v7i1.4797

Abstract

Proses penegakan hukum pidana di Indonesia, kerapkali menggunakan suatu instrumen sosial melalui media massa guna melakukan social framing sebagai wujud dari pola kinerja dari institusi penegak hukum sebagai wujud pelaksanaan fungsi pemerintahan. Penggunaan instrumen sosial berupa konferensi pers dalam mempertontonkan dari hasil operasi tangkap tangan (OTT)—misalnya, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diandaikan begitu saja sebagai bagian dari upaya melakukan keterbukaan informasi publik, tanpa adanya instrumen hukum untuk menguji adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan keterlanggaran asas praduga tak bersalah. Penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji secara ilmiah proses social framing tersebut guna menunjukan adanya kesesatan berpikir (fallacy) dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu, patutlah diajukan suatu perumusan masalah “Aspek kepentingan apakah yang mendasari kegiatan konferensi pers dan operasi tangkap tangan tersebut melalui perspektif analisis wacana kritis dan trikotomi relasi?” Penelitian fokus untuk membongkar aspek ideologis (kepentingan) dari tindakan dan/atau keputusan hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya upaya melakukan social framing melalui dominasi simbolik berupa tindakan konferensi pers dan operasi tangkap tangan (OTT) sebagai reaksi atas social complaint berkaitan dengan penurunan pelemahan institusi KPK pasca amandemen. The process of enforcing criminal law in Indonesia often uses a social instrument through mass media to carry out social framing as a manifestation of the performance pattern of law enforcement institutions as a form of implementing government functions. The use of social instruments in the form of press conferences in showing the results of the red-handed operation (RHO)—for example, by the Corruption Eradication Commission (CEC) is assumed to be part of an effort to disclose public information, without any legal instruments to test for alleged violations of human rights and violations of the presumption of innocence. This research is important to examine scientifically the social framing process in order to show the existence of a fallacy in the law enforcement process. Therefore, it is appropriate to propose a formulation of the problem “What are the aspects of interest that underlie the press conference activities and the red-handed operation (RHO) from the perspective of critical discourse analysis (CDA) and relationship trichotomy?” The research focuses on dismantling the ideological aspects (interests) of legal actions and/or decisions in carrying out law enforcement functions. The results of this study indicate that there are efforts to carry out social framing through symbolic domination in the form ofpress conferences and red handed operation (RHO) as a reaction to social complaints related to the decline in the weakening of the KPK institution after the amendment 
Trikotomi Relasi dalam Penetapan Tersangka: Menguji Frasa “Pemeriksaan Calon Tersangka” Melalui Praperadilan Rocky Marbun
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.159-190

Abstract

The Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014 has placed restrictions on the investigator’s discretional action in determining a person as a suspect in addition to being based on two valid evidence, it is also based on the completion of an examination of a potential suspect. However, in the realm of legal praxis, the meaning of the phrase “examination of potential suspects” has been reduced by means of grammatical-lexical knowledge produced by the authorities. As a result, it raises the meaning that the phrase “potential suspect” is not known only based on the Criminal Procedure Code. The problem that will be discussed in this research is “how does the Trichotomy of Relation work in reducing the meaning of” Suspect Candidate Examination “in the pretrial process?” This study uses a normative juridical research method based on secondary data through literature study. In this study, in order to complement the normative juridical method, also use a semiotic approach and a critical discourse analysis approach. The results of this study indicate a pattern of power that produces knowledge of the phrase “Examination of Potential Suspects” in order to defend the interests of formal and instrumental proof. Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memberikan pembatasan terhadap tindakan diskresional penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka selain berbasis pada dua alat bukti yang sah, pun berbasis pada disertainya pemeriksaan terhadap calon tersangka. Namun demikian, dalam ranah praksis hukum, frasa “pemeriksaan calon tersangka” telah direduksi pemaknaannya melalui pengetahuan yang diproduksi oleh pemegang otoritas secara gramatikal-leksikal. Hal tersebut memunculkan pemaknaan bahwa frasa “calon tersangka” tidak dikenal hanya disandarkan pada KUHAP semata. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pola kerja trikotomi relasi dalam mereduksi makna ‘pemeriksaan calon tersangka’ dalam proses praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang berbasis pada data sekunder melalui studi kepustakaan. Pada penelitian ini, guna melengkapi metode yuridis normatif, digunakan pula pendekatan semiotik dan analisis wacana kritis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya suatu pola kekuasaan yang memproduksi pengetahuan terhadap frasa “pemeriksaan calon tersangka” guna mempertahankan kepentingan pembuktian yang formilistik dan instrumental melalui penggunaan konsep yang lazim digunakan dalam KUHAP (langue) dan menolak konsep yang belum dikenal dalam KUHAP (parole).
PASIVITAS FUNGSI ADVOKAT DALAM PROSES PRA-ADJUDIKASI: MEMBONGKAR TINDAKAN KOMUNIKATIF INSTRUMENTAL PENYIDIK Rocky Marbun
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 15 No 1 (2020): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.084 KB) | DOI: 10.33059/jhsk.v15i1.2190

Abstract

Proses pemeriksaan dalam penyidikan terhadap Tersangka dan Saksi selalu berbentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai produk hukum yang sah. Berdasarkan Pasal 117 ayat (2) KUHAP, Penyidik memiliki kewajiban untuk menuangkan keterangan yang diperoleh melalui tindak tuturan tanpa adanya upaya reifikasi terhadap Tersangka atau Saksi. Guna menjaga kondisi komunikasi intersubjektif tersebut, KUHAP memberikan hak bagi Tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum semenjak proses penyidikan. Namun demikian, berdasarkan Pasal 115 ayat (1) KUHAP, fungsi pendampingan tersebut bersifat pasif. Oleh karena itu, Peneliti mengajukan rumusan masalah “Bagaimanakah seharusnya model pendampingan oleh Advokat sebagai Kuasa Hukum dalam mendampingi Kliennya pada proses penyidikan?” Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan Metode Yuridis Normatif yang berbasis kepada data sekunder. Adapun untuk melengkapi metode penelitian tersebut, Peneliti pula menggunakan beberapa pendekatan penelitian antara lain pendekatan filsafat, pendekatan konseptual, dan pendekatan linguistik. Adapun hasil dari penelitian ini adalah menempatkan posisi Advokat secara setara dengan Penyidik melalui penghapusan frasa dalam Pasal 115 ayat (1) KUHAP guna mewujudkan perlindungan Hak Asasi Manusia dari terperiksa.
Komunikasi NonVerbal Dalam Praktik Peradilan Pidana Dengan Kewenangan Melakukan Interpretasi Hukum Rocky Marbun
KERTHA WICAKSANA Vol. 15 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.15.1.2021.62-71

Abstract

The logical consequence of submitting to the civil law system - one of which is paper working or administrative mindedness. As characterized by Article 75 of the Criminal Procedure Code, that is, every legal action must be in the form of an Investigation Report (BAP). Thus, a BAP is a legal document that contains information for Law Enforcement Officials (APH) to obtain a description of a criminal event. Normative Legal Studies, in essence, focus on APH activities to interpret legal documents in order to be able to bring up a legal decision. Thus, legal practitioners and academics forget about the ability of APH as an ordinary human being who can build a non-verbal communication in relation to the legal decisions it will make. Therefore, this study focuses on a form of non-verbal communication that has an influence on the praxis realm of legal science, namely by asking the problem is "how is the influence of non-verbal communication in the criminal justice process on the Criminal Justice System in Indonesia?" In order to answer this problem, the researcher used the Normative Juridical Research Method as a logical consequence in law based on secondary data through library research. In order to complement this research, the researcher used several models of research approaches, namely the philosophical approach, the semiotic approach, and the hermeneutic approach, with the analysis method being qualitative analysis. The results of the study indicate that there are efforts to marginalize legal interpretation as a basis for making decisions, by promoting non-verbal communication in criminal justice practices.
KONSEP DIYAT SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA UNTUK MENGATASI FENOMENA OVERCAPACITY LEMBAGA PEMASYARAKATAN Rocky Marbun
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.6.2.2017.189-212

Abstract

Through the ecletic-incorporation method and prismatic concept, the concept of diyat which has been modified will make it able to experience the unification of the law for the nation of Indonesia. Through the goodness and excellence of the concept of diyat, the author believes it is an alternative solution to the failure of the Criminal Justice System that is currently used. The main objective of the Paradigm of the Pancasila Law is not just to achieve justice, but also to achieve peace in the life of society, nation and state. Reversing the conditions of the community to its original state (restitutio in integrum) is the main goal in the Paradigm of the Pancasila Law. However, the infiltration process of the concept of diyat, must be realized through in-depth study, in particular against any criminal acts that can be applied. The concept of diyat in its essence also brings about a shrinkage of the powers of the judge in imposing imprisonment against perpetrators of certain crimes that are established by the Political Criminal Law and Criminal Law System in Indonesia, once peace and justice is achieved by the victims and / or their families. The writing of this paper uses normative juridical method with approach to legislation, conceptual approach, philosophical approach and sociological approach. Keywords: diyat, fiqh, jinayat, crime, society
FALLACY (SESAT PIKIR) ARGUMENTUM AD VERECUNDIAM DALAM MOTIVERING VONNIS (PERTIMBANGAN HUKUM) / THE ARGUMENTUM AD VERECUNDIAM FALLACY IN MOTIVERING VONIS (LEGAL REASONING) Rocky Marbun; nfn Armilius
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.7.2.2018.327-352

Abstract

Munculnya fallacy argumentum ad verecundiam dalam suatu putusan pengadilan merupakan suatu penalaran hukum yang tidak tepat, oleh karena penggunaan otoritas yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan Ilmu Hukum, akan berakibat kepada validitas dari amar putusan—yang merupakan konklusi, yang dapat dibatalkan. Sifat pembatalan amar putusan tersebut bukanlah disebabkan karena amar putusannya yang tidak tepat, namun dikarenakan sumber logika yang digunakan adalah tidak tepat.The presence of the argumentum ad verecundiam fallacy in a court decision indicates erroneous legal reasoning, because the use of authority that cannot be justified based on the jurisprudence will affect the validity of the ruling, which is a conclusion of law, in that such ruling can be repealed. The repeal of the ruling is not because the ruling is incorrect, but because the source of the logic used is incorrect.
Melacak Mens Rea Dalam Penyebaran Berita Bohong Melalui WhatsApp Group: Mengenal Sekilas Psikolinguistik Dalam Hukum Pidana Rocky Marbun; Maisha Ariani
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 3 No 2 (2022): Jurnal Mahupiki Oktober 2022
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.44 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v3i2.85

Abstract

Artikel ini akan menjelaskan mengenai kemuncullan suatu mens rea dalam penyebaran suatu berita yang dijustifikasi sebagai suatu berita bohong (hoax) melalui media sosial, sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan (tindak) pidana yang memanfaatkan instrumen elektronik. Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah suatu penyampaian informasi mengenai adanya kontainer yang berisikan surat suara Pemilu yang telah dicoblos secara sepihak melalui Whatsapp Group (WAG) milik Lembaga Organisasi Masyarakat GNPP Provinsi Banten yang kemudian tersebar ke berbagai media sosial lainnya. Adapun, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 344/Pid.Sus/2019/PN.Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 324/PID.SUS/2019/PT.DKI telah menyatakan Terdakwa terbukti bersalah menyebarkan berita tidak pasti dan tidak benar dengan menjatuhkan vonis pidana penjara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif melalui data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan transformasi aliran informasi dari yang bersifat privat dan tertutup menjadi terbuka dan tersebar yang dilandaskan kepada kesadaran diri dari penutur informasi tersebut. Sehingga, perubahan instrumen komunikasi mulai dari WAG GNPP Provinsi Banten yang bersifat tertutup menjadi media sosial lainnya, dengan mengacu kepada kompetensi linguistik, tidak menunjukan adanya konkretisasi mens rea dalam perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan pidana.
Ratio Legis dan Keberlakuan Sosiologis Pembaharuan Kebijakan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Korupsi Muhamad Irfan Sofyana; Rocky Marbun
Jurnal Ius Constituendum Vol 8, No 3 (2023): OCTOBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v8i3.7104

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini penting dilakukan sebagai menjadi bahan evaluasi bagi pembentuk undang-undang untuk pembentukan produk hukum yang progresif, sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Penelitian ini mempunyai nilai kebaruan yakni mengkaji ratio legis dan kekuatan keberlakuan sosiologis pengaturan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini memiliki fokus kajian tentang ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, ratio legis kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan didasarkan pada beberapa alasan yaitu falsafah pemasyarakatan, hak untuk hidup bebas adalah satu-satunya hak yang hilang, masalah kepadatan di dalam Lapas dan kedudukan narapidana sebagai warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Kedua, kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan tidak memiliki kekuatan keberlakuan secara sosiologis (soziologische geltung) dan bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat yang menolak dengan tegas kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dan menginginkan adanya kebijakan khusus yang ketat terhadap persyaratan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi.