Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Koreografi Lingkungan’ Masyarakat Plempoh, Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta Martono, Hendro; Pujiastuti, Susanti; Pratiwi, Eka; Chrysandi, Georgie
Journal of Urban Societys Arts Vol 13, No 2 (2013): Oktober 2013
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Desa Plempoh, yang berada di wilayah Prambanan Daerah Istimewa Yogyakarta,diharapkan sebagai penyangga pariwisata situs purbakala candi Boko. Akan tetapi,kenyataannya desa yang terletak di lereng bukit Boko menjelang masuk area candi,tidak menampilkan wujud sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, penulisdan sekaligus koreografer menawarkan alternatif solusi yang dapat memenuhikepentingan masyarakat. Masyarakat diberdayakan dalam pelatihan seni tari,nyanyi, dan teater. Metode yang digunakan adalah ‘Koreografi Lingkungan’,yaitu sebuah proses kreatif bekerja bersama antara tim perancangan seni denganmasyarakat untuk mewujudkan sebuah tari rakyat yang mengangkat legendasetempat, yaitu Jonggrang. Koreografinya mengungkapkan kearifan lokal denganpendekatan masa kini dan menggunakan versi rakyat yang membedakannya dengansendratari Rara Jonggrang yang sudah seringkali ditampilkan selama ini. Environmental Choreography of Plempoh society, Prambanan, Yogyakarta.Plempoh village, located in the region of Prambanan Yogyakarta, is expected as a bufferof Boko temple archaeological tourism sites. However, the fact that the village is locatedon the hillside of the entrance of the temple area, does not display the form as it isexpected. Therefore, the writer, also a choreographer, offers an alternative solution to meetthe interests of the community. The people of this society were empowered by the trainingsof dancing, singing, and theater. The method used in the research was ‘EnvironmentalChoreography’ which was a creative process of group working between the design teamand the society to create a public art with a folk dance which raised the local legend,Jonggrang. The choreography revealed the local wisdom with the present approach, andused the version distinguishing people with Rara Jonggrang ballet that has often beenshown lately.
PENCIPTAAN TARI “WONG IRENG” GAGASAN KREATIF DARI DONGENG RAKYAT Martono, Hendro; Saputro, Okky Bagas
Imaji Vol 18, No 2 (2020): IMAJI OKTOBER
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/imaji.v18i2.39159

Abstract

Daerah Kemadang memiliki satu cerita rakyat “Wong Ireng” yang masih misteri bagi masyarakat luas Kemadang apalagi Gunungkidul. Legenda Wong Ireng menurut tokoh masyarakat setempat bermula dari Prabu Brawijaya sedang anjangsana ke wilayah pantai Selatan Gunungkidul, di daerah Kemadang dihadang gerombolan manusia tubuhnya berambut hitam terlihat seperti manusia hutan yang beringas. Terjadi pertempuran dengan pasukan Majapahit yang berhasil menaklukan Wong Ireng. Atas kebijakan Prabu Brawijaya, Wong Ireng dimanfaatkan sebagai pasukan lain dengan melatih menjadi ahli perang untuk menjaga wilayah pantai Selatan. Penciptaan tari “Wong Ireng” akan memperkaya tari rakyat Gunungkidul, hasil kerja bareng antara seniman akademik dengan seniman seni rakyat. Koreografinya berpijak pada tari Jathilan, Reog dan Dhudher serta tari rakyat lainnya yang sudah ada di Gunungkidul dan tari Buto Grasak yang berasal dari Sleman yang energik, beringas, kasar dan ditambahkan akrobatik. Mengacu dari interpretasikarakter Wong Ireng dalam legenda.Kata kunci: penciptaan tari, legenda, wong ireng“WONG IRENG” DANCE CREATION AS CREATIVE IDEAS OF A FOLKTALEAbstractIn Kemadang, there is a folktale called “Wong Ireng” which is still a mystery to the people of Kemadang, especially the people of Gunungkidul. The legend of Wong Ireng according to local public figure started when Prabu Brawijaya visited the southern beach of Gunungkidul. In Kemadang, he was stopped by a group of people covered in black hair, looking like savage forest people. A battle took place and Majapahit soldiers managed to defeat Wong Ireng. At Prabu Brawijaya’s behest, Wong Ireng were forgiven and used as an army by training them to be warriors protecting the southern beach. The creation of “Wong Ireng” dance can enrich Gunungkidul folk dance. It is the collaboration result of academic artists and folk dance artists. The choreography is based on Jathilan, Reog, and Dhudher or other existing folk dances in Gunungkidul and energetic, savage, rough, and acrobatic Buto Grasak dance from Sleman. It is based on the interpretation of the legend of Wong Ireng.Keywords: dance creation, legend, Wong Ireng
SANGKAL BOLUM: TARI VIDEO YANG TERISNPIRASI DARI RITUAL TINEK SENTOKEP Tirta Nopa Tarani; Hendro Martono; Ni Kadek Rai Dewi Astini
Joged Vol 19, No 1 (2022): APRIL 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v18i1.6970

Abstract

RINGKASAN Ritual Tinek Sentokep adalah upacara kematian Wara Nolang dari suku Dayak Lawangan penganut Kaharingan, yang berada di wilayah kecamatan Dusun Tengah, kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Suatu kejadian yang menginspirasi yaitu, ketika menyaksikan para penari melewati setiap pasang tongkat sakral yang membutuhkan keseimbangan emosi seperti fokus, berani, dan yakin agar berhasil melewati tantangan permainan pada tari ritual tersebut. Dari situlah terdapat pembelajaran penting mengingatkan ke dalam perjalanan hidup yang tidak luput dari berbagai macam masalah yang harus dihadapi demi mencapai tujuan berupa kebahagiaan dan kelegaan hati. Tentunya hal tersebut menjadi tantangan bagi setiap orang yang sangat mudah dikendalikan oleh emosi, sehingga menyebabkan kehilangan fokus arah tujuan. Karya tari Sangkal Bolum dikemas ke dalam format tari video dengan memilih ruang tari outdoor di sungai yang memiliki bendungan. Sungai sebagai tempat pembersihan dan penyucian diri, sedangkan bendungan dibungkus kain putih yang membentuk profil gunung, bagian tengah dibuat tangga menurun ke sungai, merupakan simbol gunung Lemeut atau gunung suci sebagai tempat untuk melakukan doa sebelum menghadapi tantangan. Alasan lain memilih ruang tari di sungai yaitu untuk meletakkan setting jembatan bambu sebagai visualisasi tantangan yang dihadapi.ABSTRACT The dance creation entitled Sangkal Bolum was inspired by the ritual dance of Tinek Sentokep in the death ceremony of Wara Nolang from the Dayak Lawangan tribe, adherents of Kaharingan, which is located in the Dusun Tengah sub-district, East Barito district, Central Kalimantan. An inspiring incident was watching the dancers pass each pair of sacred sticks that required a balance of emotions such as focus, courage, and confidence in order to successfully pass the challenges of the game in the ritual dance. From there, there are important lessons that remind us of the journey of life that does not escape the various kinds of problems that must be faced in order to achieve the goal of happiness and relief. Of course, this is a challenge for everyone who is very easily controlled by emotions, causing them to lose focus on the direction of the goal. Sangkal Bolum's dance creation is packaged into a video dance format by choosing an outdoor dance room on a river that has a dam. The river is a place of cleansing and purification, while the dam is wrapped in white cloth that forms the profile of the mountain, the middle part of which is made of stairs going down to the river, is a symbol of Mount Lemeut or the holy mountain as a place to pray before facing challenges. Another reason for choosing a dance room on the river is to place a bamboo bridge setting as a visualization of the challenges faced.
REOG OBYOGAN SEBAGAI PROFESI Mr. Hendro Martono
Joged Vol 3, No 1 (2012): MEI 2012
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v3i1.55

Abstract

Zaman telah berubah, penari seni rakyat tidak lagi dilirik orang karena tidak dapat menjadi profesi yangmenguntungkan dalam mengais uang. Tidak demikian di reog Obyogan yang hidup di desa-desa sekitar kotaPonorogo Jawa Timur, penari Obyogan bisa menjadi profesi yang lumayan mendatangkan rejeki bagi paragadis remaja. Profesi penari Obyogan bersifat sementara sampai kondisi fisik penari tidak menarik lagi atausudah menikah. Obyogan berbeda dengan reog Festivalan yang sudah dikenal masyarakat luas, justru penariObyog menjadi penari utama dengan bergerak goyang pinggul sensual, mirip goyang ngebor dan gergaji didangdut. Peran Jathil ditransformasikan menjadi peran wanita yang seksi, peran lain dihilangkan. PemainDadak Merak masih dipertahankan sebagai ikon reog. Tulisan ini menyoroti upaya-upaya dan manajemenpenari Obyog yang terdiri dari: berlatih tari Obyog, mengubah karakter tari, pencitraan, strategi persaingan,pendapatan, pengeluaran dan pemasaran. Profesi penari Obyog yang temporer tetap harus dihargai sebagaipelaku pelestari dan pengembang seni tradisional. Penari Obyog juga membuka lapangan kerja non formaldan mengurangi urbanisasi serta migrasi. Pemerintah wajib memberi penghargaan berupa pelatihan kerjauntuk masa datang, dan beasiswa sekolah hingga perguruan tinggi. Keyword: reog, obyog, profesi Abstract
Laku Gunung Sagara: Perubahan Sosial dengan Pendekatan Koreografi Lingkungan Hendro Martono
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 12, No 2 (2011): Desember 2011
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v12i2.494

Abstract

Fenomena perubahan sosial telah terjadi di Dusun Suru Kumadang Tanjungsari Gunungkidul. Sejak sepuluh tahun terakhir banyak warga yang semula petani menjadi pedagang di sektor kelautan, dipelopori oleh kaum perempuan sebagai pekerja sampingan berubah menjadi pekerjaan pokok. Tujuan dari penulisan ini untuk mentransformasikan gejolak batin dengan perubahan sosial masyarakat Gunungkidul menjadi sebuah karya seni. Pendekatan koreografi lingkungan untuk membedah reportoar bumi langit, gayuh bumi dan segara gunung digunakan dalam karya ini. Berdasarkan analisis koreografi dan semiotike teater. Laku Gunung Segara adalah manifestasi Labuhan dalam ruang kehidupan keseharian masyarakat Suru. Sintesis selanjutnya, menurut pandangan orang desa, Ratu Kidul merupakan jelmaan Dewi Sri sehingga orang desa tidak takut lagi bekerja di kelautan. Kesimpulannyakoreografi - Lingkungan berhasil menerjemahkan dan mengembangkan konseptual secara tuntas. Temuan kultural,bahwa masyarakat desa yang mempunyai kesenian yang maju, memiliki persepsi pentingnya latihan dan mudah diajak kerjasama kreatif.Key words: laku, gunung- segara, koreografi -lingkunganABSTRACTLaku Gunung Sagara Dance. A social phenomenon has occurred in Suru Kumadang village, Tanjungsari Gunungkidul. For the past ten years, many villagers who were originally farmers have switched their professions into merchants in marine sector, pioneered by women who previously work as part-timers but now work as full-timers. The purpose aims at transforming the inner turmoil of Gunungkidul villagers’ social phenomenon into a work of art. The work of art uses environmental choreography approach to dissect the earth and sky repertoires, gayuh bumi and segara gunung. Based on the choreography analysis and theater semiotics, Laku Gunung Segara is the manifestation of Labuhan in the daily lives of villagers in Suru. Furthermore, in the view of the villagers, the South Queen is an incarnation of Goddess Sri so that the villagers are no longer afraid to work at sea. In conclusion, the environmental choreography has managed to interpret and develop the entire phenomenon. The cultural fi nding is that the villagers, who have advanced their arts, consider the importance of training and support active collaboration.Keywords: gunung- segara dance, environmental choreography
Pelatihan Tari untuk Remaja Putri Reog Kaloka di Suru, Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul Hendro Martono
Jurnal Pengabdian Seni Vol 2, No 1 (2021): MEI 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jps.v2i1.5734

Abstract

Reog Kaloka merupakan sebuah kelompok seni (paguyuban) rakyat dari Suru, Kemadang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat populer dengan tari Reognya di Gunungkidul pada era 2010-2014. Setelah paguyuban ini mempelajari tari kreasi baru yang berasal dari Sleman, yakni tari Gedruk yang energik; tari Reog menjadi tersingkirkan. Hanya tinggal anak-anak kecil yang berminat menarikannya, itu pun terbatas dalam acara tertentu seperti bersih desa. Hal ini sangat disayangkan, hingga timbullah inisiasi mengadakan penyuluhan ini. Penyuluhan ini bertujuan untuk melatih teknik gerak tari gaya Yogyakarta agar para peserta menguasai gerak alusan seperti  halnya dalam tari Reog. Diharapkan, belajar tari dasar ini akan memberikan fondasi yang kuat khususnya kepada penari perempuan, mengingat Reog lebih dominan dibawakan oleh perempuan sebagaimana Reog Kaloka dulu pada masa jayanya. Penyuluhan ini dilaksanakan pada 23 Maret hingga 27 April 2021. Metode yang diterapkan meliputi pelatihan praktik tari dengan penjelasan awal yang singkat, kemudian demonstrasi, dilanjutkan dengan peserta mengikuti gerak yang dilakukan oleh pelatih secara langsung terutama gerak tangan, kepala, dan kaki secara parsial. Tahap  selanjutnya, peserta  mengikuti  gerakan  pelatih  saat menari secara keseluruhan dengan hitungan, kemudian diteruskan dengan musik tarinya. Hasil yang didapatkan adalah kemampuan anak dan remaja putri dalam menari Jawa gaya Yogyakarta meskipun belum dalam taraf sempurna; dengan pementasan tari Nawung Sekar di Pendhapa Pantai Kukup, Gunungkidul.
“ALAH TEDAK” TATO SEBAGAI SIMBOL CAHAYA BAGI PEREMPUAN DAYAK KAYAAN MENDALAM Givela, Riri Natasya Elgiva; Martono, Hendro; Dadijono, Darmawan
Joged Vol 24, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v24i1.15208

Abstract

RINGKASANTedak merupakan tato yang identik dengan perempuan suku Dayak Kayaan Mendalam yang menjadi identitas bagi perempuan keturunan bangsawan dan dipercaya bahwa tato akan bercahaya di alam baka untuk menerangi perjalanan roh di alam Apo Lagaan (perjalanan jiwa) menuju Telaang Julaan (surga). Penciptaan karya tari Alah Tedak sebagai upaya dalam melestarikan tradisi leluhur dan memperkenalkan budaya tato tradisional suku Dayak Kayaan Mendalam ke dalam seni pertunjukan tari. Karya tari Alah Tedak menggunakan hasil penerapan pendekatan koreografi lingkungan yang dikemukakan oleh Hendro Martono yaitu sensasi ketubuhan, sensasi emosi, sensasi imaji dan ritus ekspresi. Proses penemuan gerak karya tari Alah Tedak menggunakan metode penciptaan oleh Alma Hawkins yaitu eksplorasi, improvisasi, komposisi, dan evaluasi. Karya tari Alah Tedak menciptakan sebuah tari kontemporer dengan pengembangan motif gerak dasar suku Dayak Kayaan Mendalam yaitu Luh, Ngayang, Pivak, Seguk, Sembib, dan Soongpak. Gagasan ini ditransformasikan ke dalam koreografi kelompok berjumlah delapan penari yang di pentaskan pada Proscenium Stage. Koreografi ini diungkapkan melalui tipe tari Studi Dramatik yang terdiri dari struktur Intoduksi, Adegan 1 (Proses Menato), Adegan 2 (Perempuan Bertato), Adegan 3 (Motif Usung Tingaang), dan Adegan 4 (Cahaya Tato) dengan durasi 21 menit. Musik menggunakan komposisi musik vokal dan instrumen etnis suku Dayak Kayaan Mendalam.ABSTRACTTedak is a tattoo that is closely associated with the women of the Dayak Kayaan Mendalam tribe, serving as an identity for noblewomen. It is believed that the tattoo will emit light in the afterlife to guide the journey of the soul in the realm of Apo Lagaan (the realm of the spirits) towards Telaang Julaan (paradise). The creation of the dance piece Alah Tedak is an effort to preserve ancestral traditions and introduce the traditional tattoo culture of the Dayak Kayaan Mendalam tribe into the performing arts of dance. Alah Tedak dance piece utilizes the choreographic approach proposed by Hendro Martono, which involves the sensations of the body, emotions, imagery, and ritual expression. The process of choreographing Alah Tedak incorporates the creation methods outlined by Alma Hawkins, including exploration, improvisation, composition, and evaluation. The dance piece Alah Tedak creates a contemporary dance by developing the basic movement motifs of the Dayak Kayaan Mendalam tribe, namely Luh, Ngayang, Pivak, Seguk, Sembib, and Soongpak. These concepts are transformed into a choreography performed by a group of eight dancers on the Proscenium Stage. The choreography is expressed through a type of dance called Studi Dramatik, which consists of an Introduction structure, Scene 1 (Tattooing Process), Scene 2 (Tattooed Women), Scene 3 (Usung Tingaang Motif), and Scene 4 (Tattoo Light), with a duration of 21 minutes. The music incorporates vocal compositions and ethnic instruments from the Dayak Kayaan Mendalam tribe.
The Role of Nyi Ageng Serang in Guerilla Strategy of Diponegoro War: An Inspiration for Choreography Work Martono, Hendro; Pertiwi, Jasmin Aulia
Journal of Urban Society's Arts Vol 11, No 1 (2024): April 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v11i1.11036

Abstract

One of the female heroines from Central Java who are less well known nationally apart from Cut Nyak Din, Maria Tinahahu and Kartini is Nyi Ageng Serang or Kustiah Wulaningsih Retno Edi. She was known as female war tacticians belonging to the Yogyakarta and Diponegoro palaces. Kustiah inherited warrior spirit from his father, Panembahan Notoprojo, commander and comrade in arms of P. Mangkubumi who led him to become Sultan Hamenku Buwana I. Kustiah also joined Bregada Nyai and received military education at Yogyakarta palace. While staying at the palace, she read a lot of ancient manuscripts in the library and married to Raden Sundoro, the crown prince. She felt that living in the palace was felt boring, so that when her father died, Kustiah returned to Serang to lead the struggle against the Dutch. She attained her knowledge about war tactics from both ancient texts and her battle experience. Her belief as Muslim descendant of Sunan Kalijaga believing Al-Qur’an also led her to be brave. at the age of 73, Nyi Ageng Serang withdrew from the battlefield and died in 1828. She was buried in Serang, then moved to Kulonprogo. Nyi Ageng Serang’s struggle based on intelligence and Islamic beliefs has inspired the choreographer to choreograph a dance revealing the secrets of Nyi Ageng Serang’s becoming expert of guerrilla war strategy. The moves come from Javanese dance which is soft but heroic and agile. The work involves 3 dancers, one as Nyi Ageng Serang while the other 2 dancers as soldiers. The dance music is composed based on contemporary Javanese sampled via MIDI and the makeup is also Javanese style during Islamic era. The scenography is in the form of a wide white backdrop cloth which can express the metaphor of the war atmosphere in silhouette combined with an animated video. This choreography was recorded by using long take and one shot techniques and carried out on a proscenium stage equipped with lighting. The duration of the video dance is around 8 minutes. Pahlawan wanita dari Jawa Tengah yang kurang dikenal secara nasional seperti pahlawan wanita Cut Nyak Din, Maria Tinahahu dan Kartini yaitu Nyi Ageng Serang atau Kustiah Wulaningsih Retno Edi. Tercatat dalam sejarah sebagai wanita ahli siasat perang yang dimiliki kraton Yogyakarta dan Diponegoro. Kustiah mewarisi darah pejuang dari ayahanda Panembahan Notoprojo, panglima sekaligus sahabat seperjuangan P. Mangkubumi yang menghantarkan hingga menjadi Sultan Hamenku Buwana I. Kustiah juga sempat bergabung pada Bregada Nyai mendapat pendidikan kemiliteran di keraton Yogyakarta, selama di keraton banyak membaca naskah kuno di perpustakaan. Saat di keraton bertemu dan sempat menikah dengan Raden Sundoro putra mahkota, namun hidup di keraton terasa membosankan dan dikekang oleh peraturan, maka pada saat ayahnya wafat Kustiah punya alasan untuk kembali ke Serang memimpin perjuangan melawan Belanda. Pengetahuan tentang taktik perang banyak diperoleh dari naskah kuno yang dibaca selain dari pengalamannya terjun ke medan laga. Ditambah keyakinannya sebagai umat Islam keturunan Sunan Kalijaga, bahwa semua penindasan terhadap manusia secara keji tidak sesuai dengan ayat suci Al- Quran yang menjadi pegangan hidup Kustiah. Maka penjajah harus nusnah di atas bumi. Nyi Ageng Serang di usia 73 tahun mundur dari medan perang dan pada tahun 1828 wafat dimakamkan di Serang, kemudian dipindah ke Kulonprogo. Perjuangan yang didasari kecerdasan dan penguasaan syariat Islam Nyi Ageng Serang mengilhami koreografer untuk mengkoreografikan sebuah garapan tari yang mengungkap rahasia sehingga mampu menjadi ahli strategi perang gerilya. Geraknya bersumber dari tari Jawa yang lembut namun bernuansa heroik, tangkas dan trengginas. Ditarikan oleh 3 penari, yang satu sebagai Nyi Ageng Serang sedang 2 penari lainnya sebagai prajurit. Musik tari dikomposisikan berdasar kontemporer Jawa yang disampling melalui MIDI. Rias Busana juga masih bernuansa Jawa pada zaman Islam. Skenografi berupa kain backdrop warna putih lebar yang bisa mengekspresikan metafor suasana perang secara siluet yang di padukan dengan video yang imajinatif. Koreografi ini divideokan dengan teknik long take dan one shot untuk untuk dramatika serta estetika bahasa gambar. Perekaman video dilakukan di proscenium stage yang dilengkapi tata cahaya. Durasi tari video sekitar 8 menit.