Septarina Budiwati
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Akad Sebagai Bingkai Transaksi Bisnis Syariah Septarina Budiwati
Jurnal Jurisprudence Vol 7, No 2 (2017): Vol. 7, No. 2, Desember, 2017
Publisher : Muhammadiyah University Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/jurisprudence.v7i2.4095

Abstract

Akad  adalah bingkai transaksi dalam ekonomi syariah , karena  melalui  akad berbagai kegiatan  bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad menfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan  dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial. Dalam Hukum Islam Istilah “Akad”  untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan juga  untuk menyebut kontrak (contract). Pada pembahasan Fiqih Muamalah kontrak atau perjanjian disebut dengan aqad. Hal itu adalah sebagaimana surat al –Maidah (5) ayat 1 :               “ Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad diantara kamu” ..Karena setiap perjanjian (al-ahdu) pasti akan dimintai pertanggung jawabannya (surat al-Isra (17) ayat 34).                Dalam paper ini akan diuraikan tentang  apa saja yang menjadi rukun, syarat , prinsip-prinsip serta asas-asas dari akad agar sah dan dapat dijadikan sebagai landasan dalam transaksi – transaksi bisnis berdasarkan syariah.
THE INFLUENCES AND RISKS OF BEING IMPACTED BY COVID-19 AS AN EXCUSE FOR OVERMACHT OR FORCE MAJEURE TO POSTPONE THE OBLIGATION TO REPAY DEBT Septarina Budiwati; Surisman Surisman
Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 1 (2020): Maret
Publisher : Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.138 KB) | DOI: 10.24269/ls.v4i1.2772

Abstract

The government has issued some policies in response to the Covid-19 pandemic. Some policies include working and studying from home, social and physical distancing, stayat home, and large-scale social limitation. These policies bring economic impacts to thesociety. The statement of the Republic of Indonesia’s President, Joko Widodo (Jokowi)which gives credit relaxation to the society whose economic condition is impacted bythe new coronavirus or Covid-19 is publicly questioned. The method used in thisresearch is the juridical-normative method. Results of this research explains that thegovernment has given a policy regarding the risks and the influences of being impactedby Covid-19 as an excuse for a forced condition/overmacht for the postponement of theobligation to repay debt. The regulations on overmacht or force majeure is contained inArticle 1244 and Article 1245 of BW. The debtors who are impacted by the Covid-19are not in default, but they are in the condition of relative overmacht or force majeure.Practically, it is a temporary overmacht. It can become the reason for the implication ofagreement, which is postponed from the determined period. 
Pemutusan Hubungan Kerja Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia Perspektif Force Majeure Septarina Budiwati; inayah inayah; Nuswardani Nuswardani; Wafda Vivid Izziyana
Jurnal Justiciabelen Vol 4 No 2 (2021): Justiciabelen
Publisher : Universitas Muhammadiyah Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30587/justiciabelen.v4i2.3561

Abstract

Dunia menghadapi permasalahan yang sangat krusial termasuk di negara Indonesia masa Pandemi Covid-19 saat ini. kerugian yang berdampak pada kesehatan maupun perekonomian. Indonesia melakukan pencegahan penyebaran terhadap pandemi melalui berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut, membuat perekonomian Indonesia mengalami banyak permasalahan, beberapa perusahaan mengambil langkah untuk mengurangi kerugian akibat Covid-19. Pekerja harus istirahat dan bekerja di rumah. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, menganalisis aturan-aturan, kebijakan, asas, serta prinsip hukum ketenagakerjaan. Hasil penelitian Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia masa pandemic covid 19 saat ini. PHK sejalan dengan Pasal 164 dan 165 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa suatu perusahaan berhak memutus hubungan kerja terhadap pekerja apabila suatu perusahaan mengalami kerugian. Perusahaan yang memutus hubungan kerja di masa pandemi Covid-19 seringkali menggunakan alasan force majeure, padahal perusahaan tersebut masih berproduksi seperti biasanya. syarat PHK perusahaan yaitu, perusahaan terbilang mengalami penurunan atau kerugian selama 2 tahun. pandemi saat penetapan PHK belum mencapai 2 tahun. Kejelasan force majeure menjadi pertanyaan memasuki klasifikasi dalam bencana alam atau tidak. alasan force majeure yang dipakai perusahaan untuk memutus hubungan kerja tidak dapat dibenarkan. force majeure dalam Kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja dimasa pandemi Covid-19 di Indonesia Merujuk Pasal 164 Ayat (1) Pasal 164 Ayat (3) UU 13/2003 Menteri Ketenagakerjaan, menghimbau bahwa perusahaan seharusnya membuat langkah yang bisa ditempuh seperti; mengurangi upah, fasilitas, shift kerja, atau merumahkan sementara waktu. beberapa perusahaan mengeluarkan kebijakan memutus hubungan kerja tetap berdalih tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar pesangon atau upah para pekerja. Hal tersebut menyalahi Peraturan ketenagakerjaan yang menyakan bahwa perusahaan boleh tutup jika sudah mencapai kerugian selama 2 tahun. Covid-19 ini belum mencapai dua tahun. Alasan force majeure yang dipakai oleh beberapa perusahaan tidak dapat diterima oleh beberapa kalangan. force majeure diartikan sebagai kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemapuan. Keadaan memaksa tersebut meliputi: Keadaan memaksa bersifat mutlak (absolut) Keadaan memaksa bersifat mutlak (relatif). Wabah covid-19 merupakan peristiwa yang tidak terduga pada saat perjanjian atau kebijakan itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian yang dibuat pada saat wabah sedang menjalar dan menjangkit pemutusan hubungan kerja tidak dapat dijadikan alasan sebagai force majeure.
Aspek Hukum Penundaan Pelaksanaan Prestasi akibat Keadaan Memaksa di Masa Pandemi Covid 19 Septarina Budiwati; Wafda Vivid Izziyana
Jurnal Justiciabelen Vol 4 No 1 (2021): Justiciabelen
Publisher : Universitas Muhammadiyah Gresik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30587/justiciabelen.v4i1.2767

Abstract

Corona Virus Disease merupakan wabah virus mematikan sehingga ditetapkan Pemerintah sebagai Bencana Nasional, Penularan virus yang sangat cepat dan mudah membuat banyak. Virus ini menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat Pemerintahan mengambil kebijakan lockdown atau social distancing. perekonomian juga menjadi kacau. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normative yang mengkaji aturan, asas hukum dan prinsip-prinsip yang berkaitan dalam pelaksanaan prestasi. Terhalangnya suatu pihak untuk memenuhi prestasi akibat situasi ini termasuk dalam keadaan memaksa atau overmahcht, Pemerintah menyadari kebijakan yang di keluarkan, sehingga debitur di beri kesempatan mengajukan permohonan atas penundaan prestasi akibat keadaan memaksa akibat pandemic covid 19, kebijakan ini diharapkan kreditur dan debitur sama-sama memahami dan mencari solusi resiko yang timbul atas perjanjian yang telah di sepakati bersama.
Aktualisasi Sistem Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Wafda Vivid Izziyana; Inayah Inayah; Nuswardani Nuswardani; Septarina Budiwati
Borobudur Law and Society Journal Vol 1 No 4 (2022): Vol 1 No.4 (2022)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.008 KB) | DOI: 10.31603/7729

Abstract

Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.Keberlakukan ketentuan PHK tidak hanya berlaku untuk hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, tetapi melingkupi juga hubungan hukum di lembaga-lembaga atau usaha sosial maupun meliputi badan usaha milik orang perseorangan, badan usaha milik persekutuan, badan usaha milik badan hukum baik milik swasta maupun milik negara, usaha-usaha sosial; dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Prosedur PHK tersebut tercantum dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative, adapun hasil penelitian ini membahas mengenai aktualisasi prosedur PHK berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja meliputi beberapa tahapan, yang terdiri dari tahap upaya , tahap pemberitahuan, dan tahap perundingan bipartite. Undang-undang menjamin kondisi tertentu pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerja. Alasan-alasan PHK tercantum dalam Pasal 154A . Dalam, pemutusan hubungan kerja, pengusaha juga memiliki kewajiban membayar uang pesangon berdasar Pasal 156 Ayat (1) Uang penghargaan masa kerja berdasarkan Pasal 156 Ayat (3). Uang Penggantian Hak kepada pekerja karena PHK berdasarkan Pasal 156 Ayat (4). pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagai akibat atas PHK ditegaskan dalam Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Upah Selama Penyelesaian Perselisihan tetap ada selama belum ditetapkan putusnya hubungan kerja. jika pekerja tersebut menolak PHK hal ini menunjukkan bahwa antara pengusaha dengan pekerja masih dalam hubungan kerja, hanya saja di antara para pihak terjadi perselisihan. Sehingga, pengusaha dan pekerja semestinya harus tetap melaksanakan kewajibannya, pengusaha membayar upah dan pekerja masuk kerja, Atau Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja. penyelesaian perselisihan hubungan industrial dikatakan selesai apabila telah tercapai kesepakatan dan dibuat perjanjian bersama ditandatangani para pihak dan disaksikan oleh pihak ke 3 serta didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial.
Juridical Review of Legal Relations in Child Care Agreements (Study at The Orphanage Orphaned Daughter Aisyiyah Grogol Sukoharjo) Septarina Budiwati; Ameilia Annisa Salsabila; Wardah Yuspin
Law and Justice Vol. 7 No. 2 (2022): Law and Justice
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/laj.v7i2.1539

Abstract

Along with the development of the era of human life, the birth rate of children is increasing rapidly. Children as creatures of God Almighty have the right to life and independence and to protection from parents, families, communities, and the state. The rapid development and increase in human civilization have an impact on the higher life of fulfilling services. In this case, the orphanage acts as a social welfare institution that has the responsibility of providing services to neglected children, as well as providing substitute services or child care in fulfilling their needs. Where this supports the birth of a child care agreement. One example is the child care agreement at the Aisyiyah Women's Orphanage Grogol Sukoharjo. The purpose of this study was to determine the form and content of the child care agreement at the Aisyiyah Grogol Sukoharjo Orphanage and to determine the legal relationship in the child care agreement at the Aisyiyah Grogol Sukoharjo Orphanage. The method used in this research is normative juridical method. The results showed that the form of the child care agreement at Aisyiyah Grogol Sukoharjo Orphanage is a written agreement and the contents of the agreement are also in accordance with Article 1338 of the Civil Code regarding the principle of freedom of contract and also in accordance with Article 1320 paragraph (1) of the Civil Code regarding the principle of consensualism. Furthermore, the legal relationship in this agreement is in accordance with Article 1338 paragraph (1) of the Civil Code regarding the principle of pacta sun servanda, in accordance with Article 1338 paragraph (2) and (3) of the Civil Code, and the rights and obligations arising in the agreement are in accordance with Law Number 4 of 1979 concerning Child Welfare and also QS Al Anam verse 151, Al Baqarah verse 233, At Tahrim verse 6.