Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Feminisme Dalam Hukum Islam dan Adat Muntasir
Al-Fikrah Vol 3 No 1 (2014): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.569 KB)

Abstract

Karangan ini problematika manusia di dalam masyarakat beranekaragam, adapun yang sekarang ini terjadi adanya gerakan yang menuntut keadilan dan kesetaraan . Namun feminisme demikian masalah feminisme telah menempatkan ke posisi perempuan, dan mereka menuntut hak-haknya. Feminisme sebagai bentuk reaksi kenyataan. Namun demikian gerakan tersebut berkaitan dengan masalah gender telah menempatkan ke posisi perempuan, mereka menuntut hak-haknya. Dalam penulisan, penulis mengkaji lebih jauh tentang Bagaimana perspektif feminisme dalam hukum Islam dan hukum adat. Apa hak dan kewajiban feminisme menurut Islam. Pada dasarnya Allah SWT menciptakan perempuan dam laki-laki sama, dan tidak ada diskriminatif di antara keduanya. Dan yang jelas Islam sendiri mengakui laki-laki dan perempuan dihadapan Allah sama, bedanya saja bagaimana ketaqwaan mereka. Gender merupakan pembagian peran serta dan tanggungjawab untuk menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana kodratnya masing-masing. Adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak berarti merendahkan kedudukan satu sama lain, namun yang demikian itu adalah suatu ketentuan yang adil sesuai dengan fitrohnya sebagai laki-laki dan fitrohnya sebagai perempuan. Dengan demikian adanya hal tersebut di atas diharapkan perlakuan perempuan di masyarakat dapat dioptimalkan. sebaik mungkin dan disesuaikan dengan kemampuan dan kodrat masing- masing. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan memberikan kesadaran perempuan bahwa perspektif gender merupakan. kebebasan atau persamaan hak laki-laki dan perempuan yang terkait dengan emansipasi perempuan, sehingga gender dapat memberikan kontribusi kepada perempuan yang ingin kebebasan dan keadilan.
Syariat Islam Sebagai Perlembagaan Negara Studi Kasus Indonesia Muntasir
Al-Fikrah Vol 2 No 1 (2013): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Fenomena hukum yang berlaku pada masa rasulullah tersebut dan juga pada masa khulafaur setelahnya dibandingkan dengan kenyataan setelahnya, menyebabkan perbezaan para sarjana sama ada sarjana Islam mahupun sarjana barat dalam melihat eksistensi penerapan syariat Islam. Adakah syariat Islam boleh wujud sebagai sebuah perlembagaan negara atau tidak. Lebih-lebih lagi dalam kontek negara moden (negara bangsa), adakah syariat Islam relevan atau tidak. Sedemikian itulah pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada jawapan yang seragam. Syariat Islam adalah sesuatu yang pernah dipraktekkan dalam kehidupan yang mengatur hubungan manusia antar individu dan kelompok. Ia telah membawa kejayaan bagi Rasulullah dan para khalifah selepasnya dalam membina kehidupan politik dan kenegaraan. Sesuatu yang pernah berjaya dilakukan pada masa dahulu, maka tidak akan mustahil ia pun akan dapat diterapkan pada masa ini. Tentunya dengan beberapa penyesuaian selaras dengan perkembangan masa, persekitaran dan budaya. Beberapa contoh negara bukan Arab yang dapat melaksanakan syariat Islam, menjadi contoh bahwa syariat Islam pada hakikatnya adalah ajaran universal yang lintas sempadan. Kaitannya dengan wacana beberapa kelompok untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia adalah sesuatu yang wajar dilakukan. Ide rekulturisasi syariat yakni menyelaraskan ruh syariat Islam dalam masyarakat Indonesia adalah hal yang boleh didiskusikan secara berkesinambungan. Dengan begitu kendala apa sahaja yang menghadang formalisasi syariat Islam dapat diberikan solusi yang tidak merugikan siapapun. Tinggal menunggu kemauan politik (political will) dari para elite dan masyarakat untuk merealisasikannya.
Eksistensi Ulama dalam Politik Islam Muntasir; Nidzammuddin Sulaiman
Al-Fikrah Vol 2 No 2 (2013): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (227.861 KB)

Abstract

Para ulama ini telah memberikan warna tersendiri bagi Islam dalam dalam berbagai dimensinya termasuk dalam dimensi politik. Peran-peran mereka terhadap penubuhan konsep dan idea politik Islam, negara Islam, kepemimpinan dan lain-lain yang berhubungan dengan politik adalah sesuatu yang telah dimulakan semenjak selepas era kenabian dan para khalifah setelahnya. Kuasa politik dan kuasa agama menjadi otoriti yang dipegang oleh satu orang. Pada masa kenabian, kedua kuasa itu dimiliki nabi Muhammad sebagai Rasululullah yang diberi mandat menyampaikan syariat Islam ke permukaan bumi ini. Pola yang dilakukan oleh nabi Muhammad tesebut berterusan sehingga pada masa kekhalifahan setidaknya sampai masa kekhalifahan khulafaur rasyidin yang berakhir dengan tebunuhnya khlalifah saidini Ali Bin Abi Thalib. Sedikit mengalami peubahan yang terjadi pada masa khalifah dinasti Umayyah, Abbasiyah dan dinasti lainnya. Jabatan khalifah yang pada masa itu mulai dipegang oleh orang-oang yang tidak memenuhi persyaratan kualifikasi ulama. Akibatnya muncul berbagai pandangan dan teori yang diberikan oleh para ulama semasa sebagai respon mereka terhadap fenomena yang berlaku. Dengan mengikuti alur historis pandangan para ulama tersebut, dapat dilihat bahawa respon yang diberikan oleh mereka senantiasa diselaraskan dengan kondisi sosio masyarakat yang sedang berlangsung. Persyararatan keturunan Quraish dan Ulama Mujtahid yang diberikan oleh Imam Al-Mawardi untuk menjadi Imam atau Khalifah adalah selari dengan kebutuhan politik pada masa itu. Dimana para ulama setelahnya tidak mempermaslah kan kedua syarat tersebut. Rumusan yang dapat difahami dari perbincangan di atas bahwa sebagaimana yang terjadi dalam teori barat tentang bentuk, sistem dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan politik dan kenegaraan juga terjadi dalam pemikiran sarjana Islam. Perubahan pandangan dan pemikiran adalah sesuatu yang berlaku secara alamiah mengikuti kehendak perkembangan semasa.
Stoning Law and Human Rights Abdullah; Muntasir; Safrizal
Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal Vol 2 No 3 (2020): Britain International of Humanities and Social Sciences, October
Publisher : Britain International for Academic Research (BIAR) Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/biohs.v2i3.493

Abstract

The law contained in Islam can provide values and an essential sense of justice for all Muslim and non-Muslim human beings. One of the laws in Islam is stoning. Adultery is an act that has been forbidden by Allah and is included in a big and very heinous sin. The application of the law of stoning was first applied in Islam before the conquest of Mecca (fathul Mecca), and before the revelation of Surah An-Nur verse 2 regarding vols (whips), Most scholars agree that for adulterers who are muhsan the punishment is death by being stoned with stones or the like. However, there is no reference that states that the type of stoning law violates human rights or does not violate human rights, but the highlight here is the stoning (death) punishment. Whether the death penalty violates human rights or not, this becomes a controversy between one party and another who has a different perspective, the concept of human rights in Islam is different from the concept of human rights in the perspective of western countries.
Islamic Radicalism: Between Accusation and Reality Muntasir Muntasir
Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences Vol 2, No 2 (2019): Budapest International Research and Critics Institute May
Publisher : Budapest International Research and Critics University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/birci.v2i2.256

Abstract

This paper discusses about islamic radicalism is accusation or reality. The essence is that similar acts of radicalism are also carried out by people of other religions in the world. This signifies that radicalism is actually not an issue of Islam, but it is a matter of the human race, whatever religion is adopted. Apart from various views that unilaterally claim that radicalism is synonymous with Islam, the reality can be said that radicalism is also carried out by followers of other religions. The manifestation of acts of violence committed by the human ummah which do not exclude any legitimate religion that they adhere to is driven by despair towards various highly unwanted phenomena. Terror acts are the last alternative after various other choices have a dead end.
PROGRAM KONTRA WACANA TERORISME: SEBUAH USULAN ANTROPOLOGIS SEBAGAI ALTERNATIF DERADIKALISASI DI INDONESIA Al Chaidar; Herdi Sahrasad; Iskandar Zulkarnaen; Fauzi A Rahman; Muntasir Abdul Kadir
Aceh Anthropological Journal Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v4i2.3119

Abstract

Program counter-discourse (kontra wacana) adalah program yang berusaha menciptakan “a way of thinking that opposes an institutionalized discourse”. Selama ini wacana kaum fundamentalis, kaum radikal hinga kelompok-kelompok teroris sudah terlembaga sedemikian rupa di Indonesia melalui proses yang panjang dalam sejarah sosial politik negeri ini. Teka-teki yang muncul atas motif apakah yang mendasari makin maraknya kaum profesional yang berkecukupan tergiur untuk menjadi tentara Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau yang lebih dikenal dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) belum juga terpecahkan secara komprehensif. Hingga saat ini, sudah sekitar 518 warga negara Indonesia diduga bergabung dengan ISIS dan menurut catatan Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sudah lebih dari 800 warga negara Indonesia yang sudah berangkat dan bergabung dengan gerakan “teroris” tersebut di Suriah. Oleh karena itu, perlu membangun kontra wacana sebagai benteng untuk membendung upaya “cuci otak” yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.  Program ini tentu saja tidak akan berjalan tanpa dukungan dari berbagai pihak terkait, terutama pihak-pihak yang paham dengan permasalahan ini. Padahal, di sisi lain, upaya dan program nyata untuk memerangi terorisme yang bersifat straight-forward dan sistematis seharusnya terus digalakkan dan terlembaga. Harapannya, program kontra wacana ini dapat mereduksi dan menghantam ideologi-ideologi yang menyimpang yang selama ini dianut oleh gerakan-gerakan sosial politik keagamaan.
PROGRAM RATIFIKASI KONVENSI PBB TENTANG DAFTAR HITAM ORGANISASI TERORIS DI INDONESIA Al Chaidar; Herdi Sahrasad; Iskandar Zulkarnaen; Fauzi A Rahman; Muntasir Abdul Kadir
Aceh Anthropological Journal Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v2i2.272

Abstract

Untuk secara efektif menangani ancaman teroris saat ini, kita harus mulai dengan cara pemahaman yang unik di mana jihadisme ternyata mendorong kekerasan, dan dilanjutkan dengan menilai mana negara-negara Barat yang memiliki kekuatan nyata sekaligus kerentanan nyata dalam pendekatan mereka terhadap terorisme. Pada dekade belakangan ini dan sejak 11 September 2001, jelas bahwa kita tidak hanya perang melawan teror tapi prinsipnya terhadap ide-ide jihad yang mengilhaminya. Dengan melihat ke belakang sejak lima tahun terakhir, dan khususnya dua tahun terakhir sejak ISIS mengumumkan khilafah, bisa dikatakan bahwa jihad jauh dari kata statis dengan berbagai ketegangan yang memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dan berkembang. Seiring serangan yang baru-baru ini terjadi di Paris, Brussels, San Bernardino dan Orlando menunjukkan bahwa para pebuat kebijakan tidak menganggap secara serius kekuatan ide jihad. Hal ini jelas terlihat ketika pemerintah AS melalui program Countering Violent Extremism (CVE) dari laporan Homeland Security Advisory Council merekomendasikan tidak menggunakan kata-kata seperti “jihad” dan “syariah,” karena takut mengobarkan sebuah narasi “kita lawan mereka.“ Padahal ancaman jihad hanya dapat benar-benar diatasi jika kita peduli untuk memahami bahwa ide-ide jihad memegang peranan dalam mendorong aksi kekerasan. Jihadisme perlu di-packing kembali dari konsep tradisional untuk mengeksploitasi situasi politik dunia Islam terutama di Timur Tengah. Ini berdasarkan fakta ketika ide-ide jihad secara meyakinkan berubah wujud dengan cepat menjadi ancaman fisik kinetik.
PROGRAM HUMANISASI: REFLEKSI TENTANG REHABILITASI PELAKU DAN KORBAN TERORISME UNTUK KONTEKS INDONESIA Al Chaidar; Herdi Sahrasad; Iskandar Zulkarnaen; Fauzi A Rahman; Muntasir Abdul Kadir; Abdul Hadi Arifin
Aceh Anthropological Journal Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v3i1.1158

Abstract

Tak terhitung berapa rupiah materi dan pengorbanan lainnya yang dihabiskan untuk menanggulangi perkara terorisme melalui program deradikalisasi, sampai-sampai Polri dan BIN dituding berbagai kalangan sebagai  lembaga yang sengaja membikin ‘proyek terorisme’ demi kelangsungan anggaran anti-terorisme milyaran rupiah/tahun. Harus disadari, dicamkan  dan ditekankan bahwa dalam membasmi terorisme, negara dan masyarakat  mesti seayun langkah dan bersatu. Tulisan ini menawarkan gagasan humanisasi sebagai bagian dari upaya deradikalisasi untuk menambal lubang-lubang yang bocor dari program yang sudah dilaksanakan. Dalam hal ini, humanisasi adalah respon untuk mencegah eskalasi kekerasan. Humanisasi mengakui martabat yang melekat  pada manusia, mengakui kemanusiaan lawan-lawannya dan hak-hak asasi semua anggota keluarga manusia. Humanisasi memungkinkan orang mengenali karakteristik manusia yang dianggap musuh atau lawannya, sehingga dapat membantu orang untuk membatasi eskalasi kekerasan yang ekstrim. Humanisasi juga dapat membuka jalan bagi hubungan timbal balik dan keyakinan dalam kesetaraan manusia, menciptakan norma-norma bersama yang membatasi cara konflik tersebut dilancarkan.
Online Marriage Registration Service Policy Through Simkah Web for Prospective Bride and Groom in The Office of Religious Affairs, Banda Sakti District, Lhokseumawe City Muksalmina Muksalmina; Muntasir Muntasir; Rasyidin Rasyidin; Mulyadi Mulyadi
Malikussaleh Social and Political Reviews Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Master Program of Sociology, Universitas Malikussaleh,

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/mspr.v2i2.6341

Abstract

The purpose of this study is to to the Circular Number of the Director General of Islamic Guidance: P-006/DJ.III/Hk.00.7/06/2020 dated June 10, 2020 regarding online marriage registration services through the Website: Simkah.Kemenag.go.id. The location of this research is KUA, Banda Sakti District, Lhokseumawe City. This study aims to determine the policy of online marriage registration services through Simkah Web for prospective brides at the Office of Religious Affairs, Banda Sakti District, Lhokseumawe City. The theoretical perspective used is policy theory according to Edward III (Resources, Disposition, Bureaucratic Structure and Communication). The research method used is qualitative research with the technique of determining informants using purposive and snowball techniques. The data were obtained by using the methods of observation, interviews, and documents. The results showed that: 1) The availability of human resources at the Office of Religious Affairs in Banda Sakti Sub-district was still very lacking who became SIMKAH WEB Operators so that it was difficult to deal with people who registered for marriage which in almost a month reached an average of 45 pairs. 2) Lack of socialization of the Simkah Web Application by KUA Banda Sakti District to the community so that there are still many people who do manual marriage registration. 3) There is no clear Standard Operating Procedure (SOP) for online marriage registration.
Sanksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Studi Komparatif Fiqh, Qanun Aceh dan KUHP Karimuddin Abdullah Lawang; Muntasir A Kadir; Syamsiah Nur; Rika Sasralina
JURNAL AT-TURAS Vol 9, No 1 (2022): Mu'amalah dan Hukum Islam
Publisher : Universitas Nurul Jadid

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33650/at-turas.v9i1.3439

Abstract

Kekerasan seksual seperti pemerkosaan merupak salah satu bentuk kejaharan seksual yang harus dilakukan upaya pencegahannya dengan memberlakukan sanksi yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya hal serupa pada orang yang lain. KUHP Pasal 285 merupakan salah satu peraturan yang mengatur secara khusus berkaitan dengan kekerasan seksual, namun hal tersebut belum bisa memberikan dampak yang siknifikan terhadap pencegahan kejahatan pemerkosaan. Berdasarkan realitas tersebut harus dilakukan upaya perancangan perubahan terhadap KUHP dengan mengakomodir hukum Islam (fiqh) dan Qanun Jinayat Aceh. Secara fiqh kejahatan pemerkosaan dalam satu sisi dikategorikan ke dalam zina sehingga dikenakan hukuman hudud, namun disisi lain bisa dikategorikan ke dalam hirabah sehingga bisa dikenakan hukuman yang lebih berat lagi dari hudud. Sementara Qanun Jinayat Aceh menerapkan hukuman ta’zir berupa cambuk atau denda dalam bentuk emas murni. Secara fiqh atau qanun sangat memberikan efek jera terhadap pelaku dan dapat mencegah untuk terulang kembali kejahatan serupa tersebut.