Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Wanita Karir Dalam Pandangan Islam Karimuddin
Al-Fikrah Vol 3 No 1 (2014): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2860.7 KB)

Abstract

Semakin komplitnya gaya hidup seseorang di zaman sekarang ini, maka semakin meningkat pula kebutuhan biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap orang dalam menutupi kebutuhan sehari- hari. Keadaan seperti ini juga bisa menggerakkan setiap orang untuk bekerja dan tidak terkecuali kaum wanitanya. Pekerjaan yang ditekuninya tidak saja dalam bentuk pekerjaan rumah, tetapi wanita sekarang sudah banyak didapati dalam berbagai instansi pemerintah dan perusahaan swasta. Hal tersebut tidak bisa dibendung lagi karena wanita juga punya kebutuhan yang kadang melebihi dari kebutuhannya kaum laki-laki. Untuk menyikapi realita semacam ini perlu adanya suatu kajian tentang kebolehan dan batasan kaum wanita dalam melakukan kegiatan mereka di luar rumah menurut pandangan Islam. Maka berdasarkan hasil kajian tersebut Islam tidak melarang wanita untuk bekerja menjadi wanita karir dan mencari nafkah untuk dirinya sendiri atau keluarganya, jika memang keadaan telah mendesaknya untuk bekerja, atau dalam pekerjaannya terdapat maslahat bagi dirinya sendiri atau untuk umat dan masyarakat. Hanya saja sebagai wanita dituntut untuk lebih kreatif dalam berkarir, agar kewajibannya sebagai ibu tidak terabaikan dan hasrat berkarirnya terpenuhi.
Proses Penyelesaian Perkara Maisir : (Suatu Analisa Hasil Putusan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Bireuen dan Pijay) Fahmi Karimuddin
Al-Fikrah Vol 6 No 2 (2017): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.203 KB)

Abstract

Mahkamah Syar’iyah di samping telah melakukan kontrol terhadap pelaksanaan syari’at Islam bagi warga masyarakat setempat, juga telah beberapa kali memberikan sanksi dan hukuman bagi warga masyarakat yang telah melanggar ketentuan syari’at Islam. Persoalan ini pada gilirannya menimbulkan persepsi seolah-olah proses penyelesaian perkara tindak pidana maisir terkesan tidak terdapatnya pegangan hukum yang jelas dalam proses penyelesaian pelanggaran syari’at islam, khususnya tindak pidana maisir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian perkara maisir di Mahkamah Syar’iyah Bireuen dan Pidie Jaya serta penerapan hukum terhadap pelaku maisir pada kedua Mahkamah Syar’iyah tersebut. Dalam tehnik penelitian field research penulis menggunakan tehnik pengumpulan data dengan tehnik wawancara, observasi dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyelesaian perkara maisir pada Mahkamah Syar’iyah Bireuen dan Pidie Jaya melalui tahapan-tahapan tertentu, yaitu mulai dari proses pemeriksaan perkara maisir pada tingkat peyidikan dan penuntutan, dilanjutkan pada tingkat proses penyelesaian perkara pada tingkat Mahkamah Syar’iyah. Selanjutnya penerapan hukum terhadap pelaku jarimah maisir pada hakikatnya tidak berbeda karena melalui prosedur yang sama. Yaitu dimulai dari pembacaan berkas perkara, dan diakhiri dengan pemutusan hukuman. Adapun hukuman yang bakal diterima oleh pelanggar kejahatan maisir bervariasi, tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang di perbuat si pelaku dan di tambah oleh adanya keterangan si pelaku sendiri yang di hubungkan dengan keterangan saksi-saksi serta memperhatikan bukti-bukti. Pada sisi lain, pengetahuan dan kebijaksanaan (ijtihad) hakim sebagai pemutus perkara persidangan juga sangat berpengaruh terhadap hukuman yang bakal di terima oleh si pelaku.
Legality of Testament Cancellation Law and Property Ownership According to Fiqh Al-Syafi’iyyah Karimuddin; Khairun Asyura; Syamsul Bahri; Syarkawi; Nurul Husna; Fathiatul Ghina
Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal Vol 1 No 2 (2019): Britain International of Humanities and Social Sciences, October
Publisher : Britain International for Academic Research (BIAR) Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/biohs.v1i2.37

Abstract

Any person who has sufficient assets may inherit a portion of the assets as long as it does not harm the heirs and people who are forced to intend or will not intentionally in their will, the will is invalid. The person who has the will must fulfill the requirements, including adults, sensible, independent and of his own will. So it is not a will made by a minor child and a crazy person. In other cases when the testament inherits the estate and then he cancels the will, or the will inherits more than a third of the total assets but the heir cancels the will, then there will be a problem regarding the legality of the will and the status of ownership of the estate after the cancellation of the will. Based on these problems, a study is made to find a legal clarity that could be a reference for every policy maker. The results of the study and research can be concluded, al-Syafi'iyyah states that a will is only valid within a third of the inheritance as long as there is no permission from the heirs to testate to more than one third of the assets. exceeds the said level. A will also becomes nullified if a person who has a will cancels his will or inherited property no longer belongs to someone who has a will. Ownership of a will after the will is canceled depends on the reason and the person who cancels it. If the cancellation is carried out by the willor then the property is returned to the will of the testator, but if the cancellation of the will is due to a will that exceeds one third of the assets then the will is the right of the heir.
THE HISTORY OF THE KING'S JURISDICTION AND THE RIGHT OF THE KING'S AUTHORITY IN JUDGING (An Interpretation of the Origins of Civil and Criminal Cases) Karimuddin Karimuddin
SYARIAH: Journal of Islamic Law Vol 2, No 1 (2020)
Publisher : STIS Nahdlatul Ulama Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55721/sy.v2i1.77

Abstract

Judiciary in the Airlangga era was held by the king himself, and corporal punishment was only imposed by the king and on robbers and thieves. However, it also becomes a reality, justice in ancient times was also carried out by certain officials. In fact, in royal territorial law units, the head of the unit also carries out the judiciary based on customary law. Some of the results of research by Dutch experts on the existence of a separation of the judiciary during the kingdom era in Indonesia, such as the pradata court and the unified court. Pradata cases were tried or decided by the king himself while unified cases were tried by royal officials. Therefore, the author wants to examine why the king's court is different from the court of certain officials within the kingdom. So based on the results of this study, the Pradata case is a case that endangers the crown, security, and order of the kingdom, for example creating riots in the kingdom, committing murder, persecution, robbery, and others. Whereas Padu cases are cases concerning individual people's interests, for example, disputes between communities that cannot be reconciled amicably, then cases like these are tried by royal officials. The reason for distinguishing the king's court from the official court is because the cases handled by the king's court are urgent and threaten the stability and integrity of the kingdom so that the handling must be strictly enforced by the king himself. While the judiciary officials handle cases of community disputes and these cases do not threaten the existence of the kingdom, so the handling is less urgent so they are left to the officials.
Penyaluran Zakat Kepada Pelajar Pondok Pesantren dalam Perspektif Fiqh Syafi’iyyah Karimuddin
Islam Universalia: International Journal of Islamic Studies and Social Sciences Vol 4 No 1 (2022): Islam Universalia
Publisher : Cyber Media Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56613/islam-universalia.v4i1.213

Abstract

Zakat is a certain type of property whose owner is required to distribute it to the mustahiq who have been determined by syara'. The determination of mustahiq or groups who are entitled to receive zakat has been determined in the Qur'an, namely faqir, poor, 'amil, mu'allaf, mukatab (slave), gharim, sabilillah, and ibn sabil. The phenomenon that occurs in some communities, especially in Aceh, is that zakat is also distributed to Islamic boarding school students or santri, while these students are not included in the group entitled to receive zakat as mentioned above. From this phenomenon, the author wants to know further the views of Syafi'iyyah fiqh regarding the distribution of zakat to students or students. This research is a qualitative research that is phenomenological in nature, in analyzing the data the researcher uses content analysis techniques. The results of the study show that Islamic boarding school students or santri can receive zakat if they are included in people who are entitled to receive zakat such as the indigent or poor. Because basically the student of knowledge is not entitled to receive zakat on behalf of the student of knowledge, but it is permissible to accept it if the claimant of knowledge is included in the mustahiq zakat. The seeker of knowledge cannot be categorized into sabilillah because sabilillah in syafi'iyah fiqh are people who take up arms in war because they defend Allah's religion.
Pendampingan Masyarakat dalam Prosesi Tradisi Menginjak Tanah Pertama Bagi Bayi Karimuddin Karimuddin
Pengmasku Vol 2 No 1 (2022)
Publisher : PT WIM Solusi Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54957/pengmasku.v2i1.144

Abstract

The tradition of stepping on the ground for a newborn child in the life of the Acehnese people is an activity that has taken root so that it becomes a bad thing in the social view of the Acehnese people if this is not done. This procession is carried out by pious people or scholars, and in general the community needs assistance from people who are close to or familiar with the pious people or scholars in order to direct the procession activities. This procession aims to provide assistance for the community to contact and escort people who want to carry out a procession to step on the ground for their children until the end of the event. The people who were accompanied were the people of the Pidie District, Pidie Regency, Aceh Province, and those who carried out the procession on the ground were Abiya Mafadh, the leader of the Ma'had Tuhfatul Baidha Al-Aziziyah Islamic Boarding School which was located in Gandapura District, North Aceh Regency, Aceh Province. This assistance resulted in a benefit in which the people of Pidie Sub-district were happy and grateful because with this mentoring activity it could be helped to contact, direct and take them to Abiya Mafadh's place for the procession to be held. Tradisi menginjak tanah bagi anak yang baru lahir dalam kehidupan masyarakat Aceh merupakan suatu kegiatan yang sudah mengakar sehingga menjadi hal yang tidak baik dalam pandangan sosial masyarakat Aceh apa bila hal tersebut tidak dilakukan. Prosesi ini dilakukan oleh orang shalih atau ulama, dan pada umumnya masyarakat memerlukan pendampingan dari orang yang dekat atau kenal dengan orang shalih atau ulama tersebut agar terarahnya kegiatan prosesi. Dalam prosesi ini, penulis berperan sebagai pendamping masyarakat untuk menghubungi dan mengantar masyarakat yang ingin melakukan prosesi menginjak tanah bagi anaknya sampai selesainya acara tersebut. Masyarakat yang didampingi adalah masyarakat Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, dan yang melakukan prosesi menginjak tanah adalah Abiya Mafadh pimpinan pesantren Ma’had Tuhfatul Baidha Al-Aziziyah yang bertempat di Kecamatan Gandapura Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh. Pendampingan ini menghasilkan suatu manfaat yang mana masyarakat Kecamatan Pidie merasa senang dan berterimakasih karena dengan adanya kegiatan pendampingan ini dapat terbantu untuk menghubungi, mengarahkan serta mengantar mereka ke tempat Abiya Mafadh untuk dilangsungkan prosesi tersebut.
Tindak Pidana Pelaku Trafiking Karimuddin
Al-Fikrah Vol 4 No 2 (2015): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbudakan memang sudah pernah ada dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu pada masa raja-raja terdahulu. Dimana perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Sistem feodal ini belum menunjukkan keberadaan suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki. Di era kemerdekaan terlebih lagi di era reformasi yang sangat menghargai hak asasi manusia, masalah perbudakan tidak ditolerir lagi keberadaannya. Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang memacu terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Landasan hukum Islam tentang tindak pidana trafiking adalah setiap tindak pidana yang tidak termasuk dalam hukum hudud, qishas dan diyat, maka hukumannya adalah ta`zir. Ta`zir yang dijatuhkan dapat berupa pemukulan, memenjara, mengucilkan dan mengasingkan.
Status Anak dan Kewarisannya dari Perkawinan Beda Agama Menurut Fiqh Al-Syafi’iyyah Karimuddin
Al-Fikrah Vol 7 No 2 (2018): Jurnal Al-Fikrah
Publisher : Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkawinan dan hukum kewarisan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia, karena perkawinan merupakan salah satu dari sebab-sebab memperoleh warisan dan dari perkawinan tersebut terjadi saling mewarisi antara suami isteri serta anak dan orang tua. Namun beda halnya jika terjadi perkawinan antar agama, karena perbedaan agama adalah salah satu dari faktor penghalang kewarisan. Berdasarkan permasalahan yang demikian, maka penulis untuk mengkaji status anak dari perkawinan beda agama serta hak kewarisannya. Hasil penelitian dapat disimpulkan, menurut fiqih status anak yang sah dan mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang tuanya apabila anak tersebut dilahirkan dari perkawinan muslim dengan wanita ahl al-kitab dengan segala persyaratannya. Akan tetapi bila anak itu dilahirkan dari perkawinan dengan bukan ahl al-kitab ataupun ahl al-kitab tetapi ahl al-kitab tidak benar, maka anak itu dianggap anak yang tidak sah dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya, namun hanya memiliki nasab dengan ibunya saja. Hak kewarisan, jika anak dari hasil perkawinan muslim dengan wanita ahl al-kitab dengan segala persyaratannya, maka anak tersebut anak sah dengan demikian bisa mengambil warisan dari ayahnya, namun tidak mengambil warisan dari ibunya karena berbeda agama. Adapun anak dari hasil perkawinan beda agama bukan dengan ahl al-kitab ataupun ahl al-kitab tetapi ahl al-kitab tidak benar, maka anak tersebut anak tidak sah dan tidak mendapat warisan dari ayahnya, karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah.
Sanksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Studi Komparatif Fiqh, Qanun Aceh dan KUHP Karimuddin Abdullah Lawang; Muntasir A Kadir; Syamsiah Nur; Rika Sasralina
JURNAL AT-TURAS Vol 9, No 1 (2022): Mu'amalah dan Hukum Islam
Publisher : Universitas Nurul Jadid

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33650/at-turas.v9i1.3439

Abstract

Kekerasan seksual seperti pemerkosaan merupak salah satu bentuk kejaharan seksual yang harus dilakukan upaya pencegahannya dengan memberlakukan sanksi yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya hal serupa pada orang yang lain. KUHP Pasal 285 merupakan salah satu peraturan yang mengatur secara khusus berkaitan dengan kekerasan seksual, namun hal tersebut belum bisa memberikan dampak yang siknifikan terhadap pencegahan kejahatan pemerkosaan. Berdasarkan realitas tersebut harus dilakukan upaya perancangan perubahan terhadap KUHP dengan mengakomodir hukum Islam (fiqh) dan Qanun Jinayat Aceh. Secara fiqh kejahatan pemerkosaan dalam satu sisi dikategorikan ke dalam zina sehingga dikenakan hukuman hudud, namun disisi lain bisa dikategorikan ke dalam hirabah sehingga bisa dikenakan hukuman yang lebih berat lagi dari hudud. Sementara Qanun Jinayat Aceh menerapkan hukuman ta’zir berupa cambuk atau denda dalam bentuk emas murni. Secara fiqh atau qanun sangat memberikan efek jera terhadap pelaku dan dapat mencegah untuk terulang kembali kejahatan serupa tersebut.
Standardisasi Nafkah Istri: Studi Perbandingan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i Karimuddin Karimuddin; Syahrizal Abbas; A. Hamid Sarong; Afrizal Afrizal
Media Syari'ah Vol 23, No 1 (2021)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v23i1.8655

Abstract

The standard of living for the wife that is obliged to be provided by the husband is not clearly defined in the Koran and the hadiths, thus requiring the scholars to perform ijtihad in determining the size of the wife's income. The results of the ulama's ijtihad regarding the size of the wife's income will differ along with the different methods of ijtihad and the argument used, so that it becomes ambiguous (obscure) for the community to understand the actual size of the living according to the opinion of certain schools of thought. Based on the description of the problem, it is necessary to have an in-depth study of the standardization of the wife's income, which the author limits according to the Maliki and Shafi'i school. In this study the authors used a qualitative research method with a normative approach. The results of the research of the Maliki school of wife's income were not determined by a certain size, but the wife's obligation to support her was according to the husband's income level and the level of the wife's needs, so the Maliki school did not see the wife's obligation to support the husband's rich or poor. While the Shafi'i school determines the level of the wife's income with two classifications, food and clothing are determined according to the husband's class of income, while the residence or house is determined according to the wife's family stratum and the wife's eligibility to live in. Based on the results of this study, it can be concluded that the standardization of the wife's income is determined according to the ijtihad of different scholars according to the ijtihad method used.Standar nafkah istri yang wajib diberikan suami tidak ditentukan secara jelas dalam Alquran dan hadis, sehingga mengharuskan para ulama untuk berijtihad dalam menentukan ukuran nafkah istri tersebut. Hasil ijtihad para ulama tentang ukuran nafkah istri akan berbeda seiring dengan berbedanya metode ijtihad dan dalil yang digunakan, sehingga menjadi ambigu (kekaburan) bagi masyarakat untuk memahami ukuran nafkah yang sebenarnya menurut pendapat mazhab tertentu. Berdasarkan deskripsi permasalahan tersebut perlu ada sebuah kajian yang mendalam tentang standardisasi nafkah istri yang penulis batasi menurut mazhab Maliki dan Syafi’i. Dalam kajian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach). Hasil penelitian ditemukan bahwa dalam mazhab Maliki nafkah istri tidak ditentukan ukuran tertentu namun kewajiban nafkah istri tersebut menurut kadar penghasilan suami dan kadar kebutuhan istri, jadi mazhab Maliki tidak melihat kewajiban nafkah istri tersebut kepada kaya atau miskinnya suami. Sementara mazhab Syafi‘i menentukan kadar nafkah istri dengan dua klasifikasi, untuk makanan dan pakaian ditentukan menurut kelas perhasilan suami, sementara untuk tempat tinggal atau rumah ditentukan sesuai dengan strata keluarga istri dan kelayakan istri untuk menetap di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa standardisasi nafkah istri ditentukan menurut ijtihad para ulama yang berbeda sesuai dengan metode ijtihad yang digunakan.