Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

STATUS HUKUM KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PASCA LEMBAGA ATAU BADAN YANG MENGELUARKAN DITIADAKAN Zaman, Nurus
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam penelitian ini ada 2 (dua) permasalahan yang dikaji. Pertama, bagaimana status hukum keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan ditiadakan. Kedua, bagaimana kekuatan hukum keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan ditiadakan dalam perspektif konseptual dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian yang di dapat: Pertama, Secara konseptual keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan ditiadakan masih tetap berlaku. Terdapat alasan-alasan suatu peraturan perundang-undangan tidak berlaku, yaitu: (1) peraturan perundang-undangan tersebut dicabut oleh pihak yang membentuknya (contario actus). (2) peraturan perundang-undangan tersebut dibatalkan oleh pengadilan; (3) Peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan baru; dan (4) payung hukun peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi.  Kedua, Keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan sudah ditiadakan secara konstitusional masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II aturan peralihan UUD 1945. 
Limitation of Indonesian Administrative Criminal Law For Pandemic Treatment Against Health Protocols Violation Firman Arif Pribadi; Nurus Zaman; Eny Suastuti
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 6 (2021): November-Desember
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v8i6.23398

Abstract

Criminal Law to deal with Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) is under the spotlight during the handling of the pandemic. Criminal Law is intended to be used when the patient's moral responsibility to declare that he has been abroad having not been fulfilled, and the government's health protocols are ignored. Meanwhile, various laws for Covid-19 pandemic treatment does not provide strict norms; on the contrary, it is sometimes using blanket offence formulation. This study explores the limits of Administrative Criminal Law in the health sector and pandemic management to impose penalties for health protocols violation. Using the normative systematic interpretation method, the study results show no difference formulation of criminal law norms in special laws, which are administrative with criminal law norms in special laws. However, the difference exists within the theoretical realm. Administrative criminal law is not aimed at free individuals and is not socially and psychologically illegal. Still, it is aimed at humans as players of particular roles required to conform with other forms of action according to their role. Unfortunately, administrative criminal law exists outside the Criminal Code, primarily aimed at freeing individuals and socially and psychologically illegal. Law enforcement practices cannot provide a gradation for these two groups of laws—conditions where the fundamental rights of citizens are threatened by the power to impose penalties. This study proposes broadening justification and excuse in the Indonesian Criminal Code, which is appropriate for the character of administrative criminal law.Keywords: Blanket Offence Formulation; Excuse; Justification AbstrakHukum Pidana untuk Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi sorotan selama penanganan pandemi. Hukum Pidana dimaksudkan untuk digunakan ketika tanggung jawab moral pasien untuk menyatakan bahwa ia telah di luar negeri belum terpenuhi, dan protokol kesehatan pemerintah diabaikan. Sementara itu, berbagai undang-undang penanganan pandemi Covid-19 tidak memberikan norma yang tegas; sebaliknya, kadang-kadang menggunakan rumusan blanket offence. Kajian ini menelusuri batasan Hukum Pidana Administrasi di bidang kesehatan dan manajemen pandemi untuk menjatuhkan sanksi bagi pelanggaran protokol kesehatan. Dengan menggunakan metode interpretasi sistematis normatif, hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan rumusan norma hukum pidana dalam undang-undang khusus yang bersifat administratif dengan norma hukum pidana dalam undang-undang khusus. Namun, perbedaannya ada dalam ranah teoretis. Hukum pidana administrasi tidak ditujukan untuk individu yang bebas dan tidak ilegal secara sosial dan psikologis. Namun, itu ditujukan pada manusia sebagai pemain peran tertentu yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk tindakan lain sesuai dengan perannya. Sayangnya, hukum pidana administrasi ada di luar KUHP, terutama ditujukan untuk membebaskan individu dan ilegal secara sosial dan psikologis. Praktik penegakan hukum tidak dapat memberikan gradasi bagi kedua kelompok hukum ini—kondisi di mana hak-hak dasar warga negara terancam oleh kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman. Penelitian ini mengusulkan perluasan justifikasi dan dalih dalam KUHP Indonesia, yang sesuai dengan karakter hukum pidana administrasi.Kata Kunci: Formulasi Blanket Offense; Mengizinkan; Pembenaran
Analisis Pasal 14 Ayat (1) Uud 1945 Dikaitkan Dengan Putusan Pengadilan Yang Telah Memiliki Kekuatan Hukum Tetap Nurus Zaman
al-Rasῑkh: Jurnal Hukum Islam Vol 6 No 02 (2017)
Publisher : Institut Agama Islam Darullughah Wadda'wah Bangil Pasuruan.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.378 KB) | DOI: 10.38073/rasikh.v6i02.56

Abstract

Negara hukum ditandai dengan adanya sistem pengadilan yang merdeka, yaitu sistem pengadilan yang bebas dari intervensi pihak manapun. Oleh karena itu, setiap putusan pengadilan harus di nilai sebagai putusan yang benar dan adil menurut hukum. Putusan pengadilan yang dimaksud yaitu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pengadilan bagian dari kekuasaan Negara di bidang yudikatif, di samping terdapat kekuasaan lain yaitu kekuasaan Presiden di bidang eksekutif. Kedua lembaga Negara tersebut sama-sama memiliki kekusaan yang bersumber langsung dari UUD 1945. Diantara kekuasaan Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yaitu memberi grasi. Sedangkan bagian dari kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1), yaitu mengadili dari tingkat pertama sampai kasasi. Grasi diberikan ketika putusan pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu sudah ada kepastian hukum pihak yang bersalah secara hukum.
Analisis Pasal 14 Ayat (1) Uud 1945 Dikaitkan Dengan Putusan Pengadilan Yang Telah Memiliki Kekuatan Hukum Tetap Nurus Zaman
al-Rasῑkh: Jurnal Hukum Islam Vol. 6 No. 02 (2017)
Publisher : Universitas Islam Internasional Darullughah Wadda'wah Bangil Pasuruan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.378 KB) | DOI: 10.38073/rasikh.v6i02.56

Abstract

Negara hukum ditandai dengan adanya sistem pengadilan yang merdeka, yaitu sistem pengadilan yang bebas dari intervensi pihak manapun. Oleh karena itu, setiap putusan pengadilan harus di nilai sebagai putusan yang benar dan adil menurut hukum. Putusan pengadilan yang dimaksud yaitu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pengadilan bagian dari kekuasaan Negara di bidang yudikatif, di samping terdapat kekuasaan lain yaitu kekuasaan Presiden di bidang eksekutif. Kedua lembaga Negara tersebut sama-sama memiliki kekusaan yang bersumber langsung dari UUD 1945. Diantara kekuasaan Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yaitu memberi grasi. Sedangkan bagian dari kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1), yaitu mengadili dari tingkat pertama sampai kasasi. Grasi diberikan ketika putusan pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu sudah ada kepastian hukum pihak yang bersalah secara hukum.
THE MEANING OF AUTHORITY RELATION OF CENTRAL GOVERNMENT AND LOCAL GOVERNMENT IN THE LAND SECTOR ACCORDING TO THE 1945 CONSTITUTION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA Nurus Zaman
Yustisia Vol 6, No 3: December 2017
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/yustisia.v6i3.16788

Abstract

In this study, there are two (2) issues that were examined. First, how the Central Government and Local Government gained authority in the land sector. Second, how the meaning of the relationship of authority of the Central Government and Local Government in the area of land according to the 1945 Constitution, This study uses normative legal research. The results of research are: First, the authority of the Central Government in the land sector is the inherent nature of authority, because as the sole power in a unitary state. In the development of central government authority derived from attributive authority and Local Government authorities in the land sector sourced from attributive authority and discretionary. Second, the meaning of the relationship of authority between the central government and the regional government in the land sector as: (a) the relationship of subordination; (B) the relationship of supervision; and (c) the relationship of responsibility in achieving the objectives of the State.
URGENSI PENGATURAN REKLAMASI PANTAI DI WILAYAH PESISIR SELATAN MADURA Rina Yulianti; Mufarrijul Ikhwan; Nurus Zaman
Yustisia Vol 4, No 1: April 2015
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/yustisia.v4i1.8626

Abstract

AbstractThis research aims to get the characteristic of the reclamation land tenure, inventorying policies related to the reclamation and legal regulation models of reclamation in Madura. This empirical legal research results that the most of land tenure reclaimed comes from the head of village permission. Policies of the reclamation in fact sectoral even though fourth districts having local regulation on spatial planning. Local regulation about reclamation is needed for coordination and synchronization between central and local authorities, for supporting Act No. 27 Year 2007 about Coastal Management Areas and Small Islands, also Presidential Regulation No. 122 year 2012 about Reclamation. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik penguasaan hak atas tanah hasil reklamasi, inventarisir kebijakan terkait reklamasi dan rumusan model pengaturan hukum reklamasi di Madura. Hasil penelitian hukum empiris ini mendapati bahwa kebanyakan penguasaan tanah hasil reklamasi berasal dari ijin yang diberikan oleh Kepala Desa. Kebijakan terkait pelaksanaan reklamasi masih bersifat sektoral meskipun keempat kabupaten telah mempunyai Peraturan Daerah tentang RTRW. Diperlukan “Peraturan Daerah” tentang reklamasi untuk menciptakan koordinasi dan sinkronisasi antara kewenangan pusat dan daerah. Peraturan Daerah tentang reklamasi ini untuk mendukung pelaksanaan UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, juga Peraturan Presiden tentang reklamasi.Â