Sunu Budhi Raharjo
Division Of Arrhythmia, Department Of Cardiology And Vascular Medicine, Faculty Of Medicine Universitas Indonesia, National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Pedoman Tatalaksana Takiaritmia Supraventrikular (TaSuV) Raharjo, Sunu Budhi; Yuniadi, Yoga; Muzakkir, Muzakkir; Yansen, Ignatius; Munawar, Dian Andina; Hermanto, Dony Yugo
Indonesian Journal of Cardiology Vol. 38, No. 2 April-June 2017
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.036 KB) | DOI: 10.30701/ijc.v38i2.734

Abstract

No abstract
Riset Translasional: Sebuah Pelajaran dari Malang Sunu Budhi Raharjo
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 33, No. 4 Oktober - Desember 2012
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v33i4.24

Abstract

Dalam beberapa dekade terakhir ini, terjadi 'ledakan' penemuan dalam riset biomedis, termasuk selesainya pembacaan sekuens keseluruhan genom manusia sekitar satu dekade yang lalu. Namun, sebagian besar temuan biomedis ini belum berhasil dimanfaatkan dalam praktek klinik, baik untuk peningkatan diagnosis maupun terapi.Banyak kendala yang menyebabkan lambatnya translasi dari penemuan biomedis (riset dasar) ke aplikasi klinik. Di antara berbagai kendala, faktor yang palingkrusial adalah kenyataan bahwa proses translasi tersebut tidak ada yang sederhana.Translasi memerlukan proses riset yang kontinyu baik di tingkat klinik maupun di laboratorium. Selain itu, diperlukan juga adanya 'jembatan' yang menghubungkan kedua jenis riset tersebut, karena faktanya ada perbedaan mendasar antara riset klinik dan riset biomedis (dasar).
Obat Herbal untuk Aterosklerosis: Bagaimana Menyikapinya? Sunu Budhi Raharjo
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 33, No. 1 Januari - Maret 2012
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v33i5.69

Abstract

Salah satu tantangan besar bagi dunia medis tanah air adalah kenyataan tingginya animo masyarakat untuk pergi ke pengobatan komplementer (=alternatif ). Sebagai kardiolog, tidak jarang kita bertemu pasien yang menolak tindakan operasi atau pemasangan stent, dan memilih untuk pergi ke pengobatan komplementer. Fenomena ini tidak hanya ditemui di negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di banyak negara maju. Perancis merupakan salah satu negara maju dengan jumlah warganya yang menggunakan jasa pengobatan komplementer paling besar (75%), disusul Inggris (UK) (50%) dan Kanada (42%).Di Amerika, menurut laporan National Center for Health Statistics, pada tahun 2007, setiap 4 dari 10 orang dewasa adalah konsumen pengobatan komplementer. Yang menarik, jumlah warga kulit putih yang menggunakan jenis terapi ini lebih banyak (43,1%) dibanding warga keturunan Asia (39,9%) dan warga kulit hitam (25,5%). Proporsi terbanyak masih dipegang orang Indian (50,3%). Laporan ini juga menunjukkan bahwa jenis pengobatan komplementer yang paling banyak digunakan adalah pengobatan herbal.
Revolusi Genomik dan Masa Depan Kardiologi (Preventif); Ilustrasi Kasus: Penyakit Jantung Koroner pada Kembar Identik Sunu Budhi Raharjo; Andang Hamiarsa Joesoef; Budhi Setianto
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 30, No. 2 Mei - Agustus 2009
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v30i2.167

Abstract

The Simon Dack Lecture, salah satu sesi paling bergengsi dari pertemuan ilmiah tahunan The American College of Cardiologysecara berturut-turut menampilkan tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda, tetapi memberikan pesan yang senada dan saling memperkuat. Diawali pada tahun 2003, Dr. Eugene Braunwald, mahaguru kardiologi, memberikan pandangannya mengenai Cardiology: The Past, The Present and The Future; kemudian tahun 2005, Dr. Eric Topol, ahli jantung intervensi dari California, memberikan kuliah dengan judul The Genomic Basis of Myocardial Infarction, dan pada tahun 2006, Dr. Elizabeth Nabel, Direktur NHLBI (National Heart Lung and Blood Institute), menyampaikan visinya dengan topik Genomic Medicine and Cardiovascular Disease. Ketiga dedengkot kardiologi Amerika itu ternyata memiliki visi yang serupa dalam melihat kardiologi di masa depan: bahwa revolusi genomik akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan ilmu dan praktek kardiologi di masa yang akan datang. Tulisan ini mencoba menyarikan perspektif ketiga tokoh kardiologi dunia tersebut, disertai ilustrasi kasus yang ada di tanah air untuk menggambarkan bahwa perspektif yang mereka berikan sangat relevan dengan situasi di tanah air, serta ditambah beberapa referensi terkini, untuk melihat masa depan kardiologi, utamanya kardiologi preventif.
Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage Sunu Budhi Raharjo; Poppy S Roebiono; Vickry Wahidji; Anna Ulfah Rahajoe
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 28, No. 6 November 2007
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v28i6.211

Abstract

Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage (TAPVD) pertama kali dilaporkan oleh Friedkowsky pada tahun 1868, namun baru pada tahun 1942 TAPVD dikenal sebagai sebuah entitas penyakit. Penyakit ini jarang terjadi, insidensinya sekitar 1-3% dari semua penyakit jantung bawaan (PJB) atau sekitar 0,008% dari seluruh bayi lahir hidup.Di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJN-HK), selama tahun 2006 terdapat 8 kasus (5 laki-laki dan 3 perempuan) atau sekitar 0,7% dari total kasus PJB. Pasien dengan TAPVD sebagian besar akan menunjukkan gejala pada usia <1 tahun, dan bila tidak segera dikoreksi maka 80% kemungkinan akan meninggal pada usia 1 tahun. Sementara pasien yang tidak menunjukkan gejala pada umur <1 tahun biasanya mempunyai prognosis yang relatif lebih baik, dan operasi koreksi bisa dilakukan elektif saat usia kanak-kanak.Terapi medikamentosa, terutama ditujukan untuk mengatasi gagal jantung, dan umumnya cukup membantu. Namun pada kasus TAPVD dengan obstruksi atau dengan hipertensi pulmonal, terapi medikamentosa ini tidak meningkat-kan angka survival. Kami sajikan tiga kasus TAPVD sebagai ilsutrasi kasus.
Pengembangan Riset Kardiovaskular: Quo Vadis Indonesia? Sunu Budhi Raharjo
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 28, No. 2 Maret 2007
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v28i2.249

Abstract

Saat ini, derajat kesehatan masyarakat dunia meningkat beberapa kali lipat dibanding setengah abad yang lalu. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi, namun menurut WHO dan World Development Report ada dua kontributor terpenting yang tingkat peranannya setara (50% - 50%). Faktor pertama adalah meningkatnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi masyarakat, sedangkan kontributor kedua adalah penemuan baru, pengetahuan baru serta pengembangan alat-alat baru (diagnostik, obat-obatan dan vaksin).  Sementara itu, di Amerika Serikat sendiri, dikatakan bahwa mening-katnya usia harapan hidup sampai 25 tahun dalam satu abad terakhir ini, serta membaiknya kualitas hidup masyarakatnya sangat ditentukan oleh penemuan dan pengetahuan baru dari riset biomedis. Dan, semua mafhum bahwa pengetahuan dan penemuan baru tidak mungkin terwujud tanpa adanya investasi yang  besar dan kontinyu dalam bidang riset.
Jurnal Kardiologi Indonesia: Kini dan Yang Akan Datang Sunu Budhi Raharjo
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 37, No. 2 April - Juni 2016
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v37i2.564

Abstract

Pada suatu hari, sehabis visit pasien ruangan, saya dipanggil Ketua Pengurus Pusat PERKI (Dr. Ismoyo Sunu) ke ruangan beliau. Seperti biasa, ketika seorang junior dipanggil oleh seorang senior, biasanya akan ada tugas baru yang menanti. Benar saja, beliau meminta saya untuk mengelola Jurnal Kardiologi Indonesia (JKI). Saat itu saya berpikir bahwa beliau hanya bercanda karena Editor-in-Chief JKI yang sebelumnya adalah orang-orang hebat yang sungguh saya hormati (Dr. Faisal Baraas, Dr. M. Munawar, Dr. Anna Ulfah R., dan Dr. Yoga Yuniadi). Saya sampaikan bahwa saya berkeberatan. Namun pada beberapa kesempatan berikutnya, beliau tetap meminta saya untuk mengelola JKI sehingga saya goyah. Dialog pun mulai kami lakukan.
Pedoman Tatalaksana Takiaritmia Supraventrikular (TaSuV) Sunu Budhi Raharjo; Yoga Yuniadi; Muzakkir Muzakkir; Ignatius Yansen; Dian Andina Munawar; Dony Yugo Hermanto
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 38, No. 2 April-June 2017
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v38i2.734

Abstract

No abstract
Tindakan Ablasi pada Fibrilasi Atrium Berasal dari Vena Kava Superior Prima Almazini; Gustaf David Sinaka; Dony Yugo; Sunu Budhi Raharjo; Dicky Armein Hanafy; Yoga Yuniadi
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol 39 No 2 (2018): Indonesian Journal of Cardiology: April-June 2018
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v39i2.759

Abstract

Latar Belakang: Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemukan. Fibrilasi atrium membutuhkan adanya pemicu untuk inisiasi dan substrat untuk mempertahankan aritmia. Fokus tunggal atau multipel sebagai pemicu, paling sering di vena pulmonal tetapi dapat juga berasal dari selain vena pulmonal, seperti di vena kava superior. Patofisiologi aritmia di vena kava superior masih belum dapat dipahami. Ilustrasi Kasus: Seorang perempuan, 72 tahun, datang ke poliklinik Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) dengan keluhan utama sering berdebar-debar. Pasien pertama kali mengeluh berdebar-debar pada tahun 2000, namun baru pada tahun 2007 pasien melakukan pemeriksaan dan terapi dengan obat-obatan serta dilakukan tindakan ablasi FA. Pada tahun 2010, pasien mengeluh berdebar-debar kembali dan dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa. Pada tahun 2016, pasien menjalani tindakan ablasi kedua dengan hasil berhasil dilakukan isolasi vena pulmonal dan angiografi koroner memperlihatkan arteri koroner normal. Pasien sempat datang ke UGD PJNHK bulan Mei 2017 dengan keluhan berdebar dan hasil pemeriksaan EKG saat di UGD menunjukkan irama FA. Dilakukan tindakan ablasi ketiga dengan hasil berhasil dilakukan isolasi vena kava superior. Kesimpulan: Vena kava superior dapat berperan sebagai pemicu atau substrat fibrilasi atrium. Sebagai fokus, selain vena pulmonal, yang paling sering menjadi sumber fibrilasi atrium, vena kava superior menjadi target penting saat tindakan ablasi fibrilasi atrium.
Predictors of Appropriate Shocks and Ventricular Arrhythmia in Indonesian with Brugada Syndrome Ardian Rizal; Sunu Budhi Raharjo; Dicky Armein Hanafy; Yoga Yuniadi
Jurnal Kardiologi Indonesia Vol 40 No 2 (2019): Indonesian Journal of Cardiology: April-June 2019
Publisher : The Indonesian Heart Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30701/ijc.v40i2.767

Abstract

Background : Brugada syndrome is an inherited disease characterized by an increased risk of sudden cardiac death owing to ventricular arrhythmias in the absence of structural heart disease. It has been reported that this syndrome is more prevalent in South-East Asia than in Western countries. Furthermore, genetic studies showed important contributions of several gene mutations to the phenotype of BrS. These suggest that ethnic difference play significant roles in the pathogenesis of BrS. In addition, ICD implantation remains the cornerstone management with a low rate of appropriate shocked. Therefore, it is important to investigate patients’ characteristics for risk stratification. Our objective to investigate the clinical, electrocardiography (ECG) and electrophysiological characteristics that can be used as predictor of appropriate shock due to ventricular arrhythmia (VA) in Indonesian patients with BrS. Methods : We analyse data from Brugada syndrome registry at National Cardiovascular Centre Harapan Kita since January 2013. Total 22 patients were included. Characteristics of BrS that we analysed were baseline characteristics (age and sex), Clinical finding (syncope, cardiac arrest), ECG finding (spontaneous type 1 or drug induced) and Electrophysiology study result (inducible VA and RV ERP). We also added some new ECG characteristic (S wave in lead 1, S wave duration in V1, Fragmented QRS, Junction ST elevation and early repolarization pattern in infero-lateral) to be analysed. Our end point are appropriate shock during ICD interrogation for those who have been implanted an ICD, and documented VA for those who didn’t receive ICD. Result : We found high incidence of appropriate ICD’s shock in our population (50% in our study vs 5-11.5% in real world). Predictors of appropriate shock and documented VA are history of syncope (p = 0.045; OR 2.57 [1.44-4.59]), spontaneous type-1 ECG (p = 0.005) and right ventricular effective refractory period (RV ERP) of <200 ms (p=0.018). Other parameters that have been reported to correlate with the occurrence of VA (S Wave in lead 1 (p = 0.530), early repolarization pattern (p = 0.578), fragmented QRS (p = 0.601), S Wave duration (p = 0.365) and J Point STE (p = 0.800) were found to be not correlated to appropriate shock in our populations. Conclusion : History of syncope, spontaneous type-1 Brugada ECG and RV ERP of <200 ms have predictive values for risk stratification of Indonesian patients with Brugada syndrome. Keywords : Brugada Syndrome, Ventricular arrhythmia, ICD shock