This Author published in this journals
All Journal Borobudur
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Identifikasi Kerusakan dan Sistem Pengumpulan Data Konservasi Benda Cagar Budaya Bawah Air Ari Swastikawati
Borobudur Vol. 3 No. 1 (2009): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v3i1.65

Abstract

-
Standardisasi Pengelolaan Laboratorium Di Lingkungan Direktorat Peninggalan Purbakala Ari Swastikawati
Borobudur Vol. 4 No. 1 (2010): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v4i1.77

Abstract

-
STANDAR PENGUJIAN KUALITAS BATA PENGGANTI Ari Swastikawati
Borobudur Vol. 5 No. 1 (2011): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v5i1.81

Abstract

-
Evaluasi Penanganan Konservasi Perahu Kuno Indramayu Ari Swastikawati
Borobudur Vol. 6 No. 1 (2012): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v6i1.93

Abstract

Sejak tahun 2009, Balai Konservasi Borobudur (BKB) telah melaksanakan kajian konservasi tinggalan bawah air berbahan kayu (waterlogged wood). Metode konservasi waterlogged wood pada prinsipnya dibagi menjadi tiga yaitu metode impregnasi (impragnation), pengeringan beku (frezee drying) dan metode pengeringan alami terkendali. Salah satu cagar budaya bawah air yang telah dikonservasi dengan metode pengeringan alami adalah perahu kuno Indramayu, sehingga pada tahun 2011 BKB menjadikan perahu kuno Indramayu sebagai objek kajian dalam evaluasi metode pengeringan alami pada waterlogged wood. Adapun tujuan penulisan artikel ini adalah melaporkan hasil evaluasi metode pengeringan alami yang pernah dilakukan terhadap perahu kuno Indramayu. Evaluasi metode pengeringan alami perahu kuno Indramayu didasarkan pada data sejarah penyelamatan, pengangkatan dan tindakan konservasi yang pernah dilakukan, jenis-jenis kayu penyusun perahu serta kondisi perahu dan lingkungannya saat ini. Hasil evaluasi penanganan konservasi perahu kuno Indramayu menunjukan bahwa pemilihan metode pengeringan alami yang dilakukan tidak didasarkan pada kadar air kayu saat ditemukan. Saat pengeringan perahu kondisi lingkungan (suhu dan kelembapan udara) tidak terkendali dengan baik. Hal ini menyebabkan kadar air kayu turun sampai batas titik kering tanur (kadar air 0%) dan berdampak pada terjadinya pengkerutan pada kayu perahu. Kadar air material kayu perahu saat ini telah mencapai titik kesetimbangan, sehingga dalam penanganan lebih lanjut mengacu pada metode konservasi kayu di darat. Saran untuk menentukan pemilihan metode konservasi waterlogged wood berdasarkan hasil evaluasi tersebut antara lain: kadar air kayu harus diukur dengan cermat terlebih dahulu sebelum menentukan metode penanganan konservasi yang akan dilaksanakan. Metode pengeringan alami dapat diterapkan pada waterlogged wood yang kondisinya belum rusak, atau berada pada kelas III (kadar air di bawah 185%). Metode pengeringan alami pada waterlogged wood, dapat dilakukan dengan menjaga kadar air kayu tidak turun sampai di bawah batas titik jenuh serat melalui pengendalian kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban udara.
Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman, Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati
Borobudur Vol. 7 No. 1 (2013): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v7i1.103

Abstract

Indonesia memiliki beraneka ragam warisan budaya, baik dalam bentuk tangible maupun intangible. Salah satu bentuk warisan budaya intangible adalah metode konservasi tradisional. Beberapa metode konservasi tradisional tersebut antara lain penggunaan akar wangi, ratus sebagai bahan fumigant alami dan lain-lain. Metode konservasi tradisional tersebut masih berupa pengetahuan yang bersifat pre-scientific knowledge. Menjadi tugas dan tanggung jawab ahli konservasi untuk mengubahnya menjadi scientific knowledge melalui serangkaian penelitian ilmiah di laboratorium. Pada penelitian dalam pemagangan di laboratorium konservasi NRICH, Korea telah dilakukan identifkasi zat aktif yang terdapat dalam akar wangi. Tujuan khusus penelitian ini adalah menyusun prosedur pengambilan zat aktif dalam akar wangi, mengidentifkasinya, dan mengetes kemampuan ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus sebagai anti jamur dan anti serangga. Analisis laboratorium yang dilaksanakan meliputi identifkasi zat aktif akar wangi (karena keterbatasan waktu identifkasi zat aktif dari cengkeh dan ratus tidak dapat dilaksanakan). Sedangkan eksperimen yang dilaksanakan meliputi tes anti jamur dan anti serangga pada ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus. Prosedur dalam identifkasi zat aktif akar wangi terdiri dari ektraksi, penyaringan atau filtrasi, pengumpulan, pemisahan, analisis kromatografi dan nuclear magnetic resonance. Hasil penelitian belum dapat mengidentifkasi zat aktif dalam akar wangi karena keterbatasan waktu sehingga analisis menggunakan nuclear magnetic resonance tidak dapat dilaksanakan. Hasil tes anti jamur dan anti serangga menunjukan esktrak daun cengkeh memberikan hasil terbaik dalam tes anti-jamur dan anti-serangga diikuti oleh ekstrak ratus kemudian ekstrak akar wangi.
EFEKTIVITAS EDTA DALAM MEMBERSIHKAN LAPISAN KERAK PADA CAGAR BUDAYA BERBAHAN BATU Ari Swastikawati; Fr Dian Ekarini; Sri Wahyuni
Borobudur Vol. 7 No. 2 (2013): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v7i2.115

Abstract

Candi-candi di Indonesia umumnya terletak di kawasan yang terbuka sehingga sangat terpengaruh dengan kondisi cuaca dan iklim sekitarnya. yang dapat memicu kerusakan dan pelapukan batu candi. Efek lingkungan yang sering ditemukan adalah mbulnya lapisan-lapisan kerak pada permukaan batu candi yang menutupi batu, yang dapat berupa endapan garam yang berwarna putih, maupun lumut (moss), algae (ganggang) dan lichen (jamur kerak). Kajian ini dilakukan dalam rangka untuk mencari metode yang tepat untuk membersihkan lapisan-lapisan kerak yang ada pada permukaan batu candi sehingga kelestariannya dapat terjaga. Metode pembersihan yang dilakukan adalah dengan menggunakan larutan EDTA (ethylene diamine tetraacetic acid) dengan berbagai konsentrasi untuk menentukan konsentrasi yang paling efektif untuk membersihkan lapisan kerak serta menentukan lamanya waktu kontak. Berdasarkan hasil kajian diperoleh data bahwa konsentrasi EDTA dan lamanya waktu kontak tidak berpengaruh terhadap tingkat kalarutan lapisan kerak yang ada di Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Kalasan. Konsentrasi larutan EDTA 3-5% dengan waktu kontak 24 jam paling efektif melarutkan kalsium (Ca), magnesium (Mg) pada candi Kalasan dan Mendut, serta besi (Fe) dan tembaga (Cu) pada lapisan kerak di Candi Kalasan. Sementara itu, di lapisan kerak Candi Mendut larut maksimal dalam EDTA 15% waktu kontak 24 jam. Ca, Mg, Fe dan Cu pada lapisan kerak Candi Borobudur dapat larut secara maksimal dalam larutan EDTA dengan konsentrasi 10% dengan kontak waktu 24 jam. Dari analisis EDS (energy dispersive spectroscopy) komposisi lapisan kerak terdiri dari unsur logam dan non logam. Larutan EDTA hanya mampu melarutkan unsur logam dengan tingkat kelarutan yang sangat rendah, sedangkan unsur non logam tidak larut. Secara umum metode ini belum efektif untuk membersihkan lapisan kerak yang menempel pada batu candi.
Kajian Konservasi Tinggalan Megalitik di Lore, Sulawesi Tengah Ari Swastikawati; Arif Gunawan; Yudhi Atmaja
Borobudur Vol. 8 No. 1 (2014): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v8i1.122

Abstract

Salah satu tinggalan megalitik yang memiliki nilai penting sangat tinggi di Indonesia adalah Situs Pokekea, Lore, Sulawesi Tengah, yang berupa patung manusia, kalamba, tutuna (tutup kalamba), dan batu dakon. Namun tinggalan megalitik tersebut sangat tidak terawat dan telah mengalami kerusakan. Untuk mengetahui kondisi tinggalan megalitik tersebut dan cara konservasinya, pada penelitan ini telah dilakukan studi referensi, survei lapangan, serta analisis laboratorium. Hasil survei lapangan menunjukan lingkungan di Situs Pokekea berupa lembah padang ilalang dengan berdiri di permukaan atau terbenam sebagian dalam tanah, serta 6 artefak lainnya dalam posisi miring atau tidur. Jenis kerusakan dan pelapukan yang dijumpai pada artefak artefak tinggalan megalitik di Situs Pokekea berupa endapan atau kerak yang berwarna merah, pengelupasan (scaling), retak, pecah, batu yang rapuh, dan batu yang ditumbuhi jasad (algae, lichen, dan moss bahwa jenis batuan tinggalan megalitik berupa biotit granit dengan kandungan mineral yang terdiri dari batu jenis biotit granit yang masih bagus, dan namun ada pula yang telah lapuk. Proses kerusakan dan pelapukan tinggalan megalitik di Situs Pokekea disebabkan oleh sifat batu granit sendiri, keberadaan air, megalitik di Situs Pokekea dapat dilakukan dengan metode konservasi yang bersifat preventive dan active conservation. Preventive conservation dapat berupa pemeliharaan rutin, pengendalian suhu dan kelembaban udara di sekitar batu, mengontrol polusi udara, dan lain sebagainya. Active conservation berupa merestorasi kerusakan dan pelapukan yang telah terjadi pada tinggalan megalitik di Situs Pokekea.
Tanin Sebagai Inhibitor Korosi Artefak Besi Cagar Budaya Ari Swastikawati; Henny Kusumawati; Rifqi Kurniadi Suryanto; Yudhi Atmaja Hendra Purnama
Borobudur Vol. 11 No. 1 (2017): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v11i1.165

Abstract

Stabilisasi adalah proses untuk menstabilkan artefak besi yang bertujuan untuk mencegah korosi lanjutan. Proses tersebut dilakukan dengan mengaplikasikan larutan inhibitor. Inhibitor korosi yang sering digunakan dalam proses stabilisasi artefak besi adalah tanin. Tanin merupakan senyawa kimia yang banyak ditemukan pada tanaman. Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah salah satunya adalah tanaman yang menghasilkan zat tanin antara lain: teh, daun jambu biji, daun gambir, daun kopi, salak dan sebagainya. Sehingga Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan tanaman tersebut sebagai inhibitor korosi artefak besi. Kajian Tanin sebagai Inhibitor Korosi Artefak Besi Cagar Budaya bertujuan untuk mengetahui metode aplikasi tanin yang tepat pada artefak besi dan menentukan lingkungan yang sesuai untuk artefak besi yang telah dikonservasi dengan tanin. Metode penelitian yang dilaksanakan dalam kajian ini meliputi studi referensi, observasi dan eksperimen di laboratorium. Eksperimen yang dilakukan meliputi ektraksi teh dari Nglinggo, pengukuran kadar tanin dalam ekstrak teh, dan dilanjutkan dengan uji metode aplikasi tanin dengan berbagai perlakuan. Perlakuan tanin sintetik dibandingkan dengan ekstrak teh. Perlakuan penambahan asam fosfat, dan perlakuan pelapisan dengan paraloid pada sampel besi yang telah diberi tanin. Serta perlakuan pengaruh lingkungan (suhu dan kelembaban) dengan menempatkan sampel besi yang telah diberi tanin di luar ruangan, dalam ruang tanpa AC, dan dalam ruang ber-AC. Hasil penelitian menunjukan kandungan ekstrak daun teh tua asal Nglinggo 12,11% dan kandungan ekstrak daun teh mudanya 12,61%. Kandungan tanin dalam daun teh tua asal Nglinggo 1,78% dan kandungan tannin dalam daun teh mudanya 2,69%. Tanin dari ekstrak teh dapat menghambat korosi pada artefak besi namun kemampuannya masih di bawah tanin sintetik. Dalam aplikasi larutan ekstrak untuk stabilisasi besi perlu penambahan asam fosfat untuk mencapai pH optimum. Pelapisan paraloid dibutuhkan jika lapisan tanin besi yang terbentuk tipis. Jika tanin yang terbentuk sudah tebal maka tidak diperlukan lapisan pelindung tambahan. Pelapisan diperlukan pada artefak yang distabilkan dengan ekstrak teh. Lamanya perlindungan kompleks besi-tanin terhadap artefak besi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Besi yang telah distabilkan dengan tanin dan dilapisi akan lebih terawetkan jika berada pada lingkungan yang stabil dengan kelembaban udara di bawah 50% jika masih mengandung klor dan di bawah 65% jika sudah tidak mengandung klor.