This Author published in this journals
All Journal Borobudur
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KONSERVASI KOLEKSI TINGGALAN KOLONIAL DI PULAU MOROTAI (MALUKU UTARA) Sri Wahyuni; Yudhi Atmaja Hendra Purnama
Borobudur Vol. 7 No. 2 (2013): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v7i2.113

Abstract

Konservasi Koleksi Tinggalan Kolonial di Pulau Morotai dilakukan oleh BPCB Ternate sebagai instansi pelestarian cagar Budaya. Pelestarian dimaksudkan untuk menjaga keterawatan benda yang memiliki nilai penting karena merupakan salah satu bukti sejarah Perang Dunia II. Tahap pertama dalam melakukan konservasi adalah pendokumentasian koleksi sebelum di konservasi, selama proses konservasi, dan setelah konservasi. Koleksi peninggalan kolonial yang dikonservasi meliputi koleksi berbahan gelas, logam, porselen, dan lainnya. Bahan yang digunakan untuk konservasi koleksi yang berbahan gelas adalah cuka, kerikil, dan sabun serta air. Sedangkan bahan yang digunakan untuk konservasi jenis logam terutama perunggu dan kuningan adalah campuran antara jeruk nipis dan soda kue (sodium bikarbonat) yang dipastakan. Untuk koleksi berbahan besi digunakan asam sitrat dengan konsentrasi 5%. Apabila Asam sitrat tidak dijumpai dapat diganti dengan menggunakan air jeruk nipis (pH 4-5) karena di dalam jeruk juga mengandung asam sitrat. Adapun bahan yang digunakan untuk pelapisan logam adalah minyak singer. Dalam melakukan konservasi porselen digunakan air hangat yang diberi sabun sedangkan untuk koleksi yang ada keraknya dikonservasi dengan menggunakan pasta yaitu campuran soda kue (sodium bikarbonat) dengan air jeruk. Metode penyimpanan sementara koleksi peninggalan kolonial di Morotai yang sudah selesai dikonservasi dan yang akan dipamerkan di Museum Perang Dunia II dilakukan dengan cara membungkus setiap koleksi dengan tissue dan kertas koran. Setelah di bungkus kemudian diikat agar dak terkena kotoran/debu, selanjutnya dimasukkan dalam container box. Untuk menyerap kelembaban di dalam container box ditabahkan kapur tulis. Berbagai macam koleksi peninggalan kolonial Perang dunia II dapat dilakukan konservasi dengan menggunakan bahan yang mudah di peroleh dipasaran seper jeruk nipis, soda kue (sodium bikarbonat), cuka, sabun, dan kerikil. Untuk koleksi jenis logam seper perunggu, kuningan, dan uang koin serta koleksi porselen yang berkerak dapat menggunakan jeruk nipis dan soda kue yang telah dipastakan. Pasta dari bahan jeruk nipis dan soda kue terbuk efekf untuk membersihkan korosi yang ada pada koleksi logam. Adapun koleksi berbahan gelas/botol yang berkerak dapat dikonservasi dengan menggunakan cuka, kerikil, sabun serta air. Formula tersebut terbukti efektif mengangkat endapan kerak yang menempel dalam botol.
Tanin Sebagai Inhibitor Korosi Artefak Besi Cagar Budaya Ari Swastikawati; Henny Kusumawati; Rifqi Kurniadi Suryanto; Yudhi Atmaja Hendra Purnama
Borobudur Vol. 11 No. 1 (2017): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v11i1.165

Abstract

Stabilisasi adalah proses untuk menstabilkan artefak besi yang bertujuan untuk mencegah korosi lanjutan. Proses tersebut dilakukan dengan mengaplikasikan larutan inhibitor. Inhibitor korosi yang sering digunakan dalam proses stabilisasi artefak besi adalah tanin. Tanin merupakan senyawa kimia yang banyak ditemukan pada tanaman. Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah salah satunya adalah tanaman yang menghasilkan zat tanin antara lain: teh, daun jambu biji, daun gambir, daun kopi, salak dan sebagainya. Sehingga Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan tanaman tersebut sebagai inhibitor korosi artefak besi. Kajian Tanin sebagai Inhibitor Korosi Artefak Besi Cagar Budaya bertujuan untuk mengetahui metode aplikasi tanin yang tepat pada artefak besi dan menentukan lingkungan yang sesuai untuk artefak besi yang telah dikonservasi dengan tanin. Metode penelitian yang dilaksanakan dalam kajian ini meliputi studi referensi, observasi dan eksperimen di laboratorium. Eksperimen yang dilakukan meliputi ektraksi teh dari Nglinggo, pengukuran kadar tanin dalam ekstrak teh, dan dilanjutkan dengan uji metode aplikasi tanin dengan berbagai perlakuan. Perlakuan tanin sintetik dibandingkan dengan ekstrak teh. Perlakuan penambahan asam fosfat, dan perlakuan pelapisan dengan paraloid pada sampel besi yang telah diberi tanin. Serta perlakuan pengaruh lingkungan (suhu dan kelembaban) dengan menempatkan sampel besi yang telah diberi tanin di luar ruangan, dalam ruang tanpa AC, dan dalam ruang ber-AC. Hasil penelitian menunjukan kandungan ekstrak daun teh tua asal Nglinggo 12,11% dan kandungan ekstrak daun teh mudanya 12,61%. Kandungan tanin dalam daun teh tua asal Nglinggo 1,78% dan kandungan tannin dalam daun teh mudanya 2,69%. Tanin dari ekstrak teh dapat menghambat korosi pada artefak besi namun kemampuannya masih di bawah tanin sintetik. Dalam aplikasi larutan ekstrak untuk stabilisasi besi perlu penambahan asam fosfat untuk mencapai pH optimum. Pelapisan paraloid dibutuhkan jika lapisan tanin besi yang terbentuk tipis. Jika tanin yang terbentuk sudah tebal maka tidak diperlukan lapisan pelindung tambahan. Pelapisan diperlukan pada artefak yang distabilkan dengan ekstrak teh. Lamanya perlindungan kompleks besi-tanin terhadap artefak besi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Besi yang telah distabilkan dengan tanin dan dilapisi akan lebih terawetkan jika berada pada lingkungan yang stabil dengan kelembaban udara di bawah 50% jika masih mengandung klor dan di bawah 65% jika sudah tidak mengandung klor.
Indonesian Essential As Biocidesin Traditional-Based Artefact Consertvationstudy: A mini Review Nahar Cahyandaru; Sri Wahyuni; Yudhi Atmaja Hendra Purnama
Borobudur Vol. 11 No. 1 (2017): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v11i1.166

Abstract

Banyak minyak atsiri memiliki aktivitas biosida, seperti antijamur, antibakteri, dan insektisida. Aktivitas biosida tersebut tergantung pada senyawa aktif dalam minyak dan spesies mikrobanya. Penelitian tentang penerapan minyak atsiri sebagai biosida banyak dikembangkan di berbagai bidang. Praktik kehidupan tradisional untuk pengawetan bahan menggunakan produk alami yang mengandung minyal atsiri di temukan di banyak wilayah di Indonesia. Di Jawa, larasetu (dikenal sebagai akar wangi) dimasukkan ke dalam lemari kain untuk melindungi kain dari serangga dan jamur. Ekstrak cengkeh (yang dicampur dengan tembakau) biasa digunkan sebagai larutan pembersih dan pelindung untuk rumah kayu tradisional di Jawa Tengah bagian utara. Masih banyak contoh lain dari penggunaan produk tradisional untuk memelihara peralatan sehari-hari. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menggali potensi minyak atsiri Indonesia sebagai bahan konservan yang unggul. Minyak atsiri dari bahan alami memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan pelestarian artefak, walaupun masih dibutuhkan penelitian yang intensif. Hasil dari beberapa penelitian yang dilakukan di Laboratorium Balai Konservasi Borobudur menunjukkan prospek yang menjanjikan. Minyak daun cengkeh secara ilmiah terbukti sebagai antijamur dan antirayap pada konsevasi artefak kayu (Cahyandaru, 2010). Minyak lada dan minyak sereh juga efektif untuk konservasi artefak kayu, dimana sifat antijamur dan antirayapnya telah terbukti secara ilmiah (Haldoko, 2014). Minyak atsiri sereh (Cymbopogon nardus L) memiliki aktifitas positif untuk mematikan jamur yang tumbuh pada batu andesit (Riyanto et al., 2016). Penelitian lain masih berlangsung untuk antijamurkerak (lichene) menggunakan minyak cengkeh, minyak pala, dan minyak kunyit.
KAJIAN KONSERVASI GUA GAJAH DI GIANYAR BALI Yudi Suhartono; Marsis Sutopo; Liliek Agung Haldoko; Yudhi Atmaja Hendra Purnama; Basuki Rachmad
Borobudur Vol. 12 No. 2 (2018): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v12i2.187

Abstract

Pura Gua Gajah merupakan peninggalan dari masa kerajaan Bali Kuna pada rentang waktu abad IX – XIII Masehi. Gua Gajah merupakan salah satu salah satu obyek dan daya tarik wisata utama di Bali yang banyak dikunjungi wisatawan manca negara. Gua ini memiliki nilai penting yang tinggi dari sisi arkeologi, sejarah, estetika, ilmu pengetahuan dan ekonomi sehingga harus dijaga kelestariannya. Secara umum kondisi Gua Gajah yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh beberapa faktor, sehingga perlu dilakukan kajian konservasinya. Kajian ini menggunakan metode Induktif kualitatif dengan tahapan tahapan kajian yang digunakan meliputi tahapan pengumpulan data yang terdiri dari pengumpulan data pustaka dan pengumpulan data lapangan untuk mengetahui kondisi keterawatan situs gua Gajah serta pengujian laborotorum pada sampel yang dibawa dari lapangan, Tahap selanjutnya dilakukan pengolahan data hasil pengumpulan data lapangan dan data hasil analisis di laboratorium serta data pustaka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hasil pengolahan data ini kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan yang ada. Pada tahap ketiga ini diharapkan diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan kajian. Dari Hasil kajian dapat diketahui bahwa batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan hasil aktivitas vulkanikyang tersusun dari campuran abu vulkanik (atau tuf ketika mulai membatu) yang tersortasi sangat buruk bersama dengan batuapung lapili, yang umumnya memiliki fragmen litik yang tersebar. Batuan penyusun Gua Gajah merupakan endapan yang belum terkonsolidasi. Gua Gajah telah mengalami kerusakan dan pelapukan yang dapat mengacam keberadaan gua tersebut. Penyebab utama proses pelapukan batuan kemungkinan adalah proses fisis akibat kelembaban yang tinggi dan juga faktor biologis. Untuk mengurangi kelembaban giua, di bagian atas gua perlu dilapisi dengan lapisan kedap air. Ada dua alternatif yang ditawarkan, pertama melapisi dengan menggunakan mortar dan kedua menggunakan bahan kedap air Geokomposit dan pembuatan saluran air. Sedangkan untuk mengurangi kelembaban yang disebabkan oleh kapiler air tanah, bagian bawah tanah perlu dilapisi dengan bahan kedap air geomembran.