This Author published in this journals
All Journal Borobudur
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Konservasi Keramik Bawah Air Leliek Agung Haldoko; Yudi Suhartono; Arif Gunawan
Borobudur Vol. 7 No. 1 (2013): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v7i1.104

Abstract

Keramik sebagai salah satu jenis tinggalan bawah air memiliki nilai penting bagi sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan sehingga dapat ditetapkan sebagai cagar budaya. Penanganan keramik bawah air yang ditemukan di laut merupakan yang paling sulit karena keramik akan terkena pengaruh dari garam terlarut maupun endapan karang yang dapat mempercepat kerusakan dan pelapukan. Selain itu keramik yang ditemukan tidak selalu dalam keadaan utuh, ada yang pecah menjadi fragmen-fragmen, maupun ada fragmen yang hilang. Karena itu diperlukan cara yang efektif untuk membersihkan endapan karang tanpa merusak keramik. Pada penelitian ini yang dipakai untuk pembersihan endapan karang adalah larutan jenuh CO2. Selanjutnya hasil pembersihan yang didapatkan dibandingkan dengan pembersihan endapan karang menggunakan dengan HCl 5 %, asam sitrat 5 % dan dengan cara direbus. Untuk penyambungan fragmen keramik digunakan animal glue dalam hal ini adalah gelatin dan anchor. Pembersihan endapan karang dengan larutan jenuh CO2 didapatkan hasil bahwa endapan karang yang lunak dapat terlepas sedangkan untuk endapan karang yang keras dapat menjadi lunak, tetapi noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. HCl 5 % dan asam sitrat 5 % efektif untuk menghilangkan endapan karang sekaligus menghilangkan noda besi pada permukaan keramik, tetapi dampak negatif untuk pembersihan dengan HCl adalah glasir ikut mengelupas, sedangkan untuk pembersihan dengan asam sitrat adalah permukaan keramik menjadi berwarna kekuningan. Untuk pembersihan endapan karang dengan direbus, di beberapa bagian masih terdapat endapan karang yang keras. Selain itu noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. Untuk penyambungan fragmen keramik dengan gelatin maupun anchor dapat merekat kuat. Untuk melepas sambungan, keramik hanya perlu direndam air dan dalam beberapa menit akan terlepas dengan sendirinya.
Karakteristik Batu Penyusun Candi Borobudur Leliek Agung Haldoko; Rony Muhammad; Al Widyo Purwoko
Borobudur Vol. 8 No. 1 (2014): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v8i1.123

Abstract

Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia. Candi Borobudur tersusun oleh andesit yang jika diteliti secara lebih kimia, dan mineralogi batuan. Batu candi yang berwarna gelap memiliki densitas lebih besar dibandingkan batu candi yang berwarna cerah karena kandungan ferro magnesium-nya lebih tinggi. Selain itu batu candi yang berwarna gelap mampu menyerap panas lebih besar dibandingkan dengan batu candi yang berwarna cerah. Batu candi yang ditumbuhi lumut memiliki densitas lebih kecil dan porositas lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak ditumbuhi lumut. Kandungan silika pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut. Hal ini karena proses pelapukan yang terjadi menyebabkan berkurangnya kadar silika pada batu. Selain itu, kandungan kalium pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut, karena kalium merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan lumut. Batu candi yang mengalami penggaraman memiliki densitas lebih kecil dan porositas lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak mengalami penggaraman. Kandungan silika pada batu candi yang mengalami penggaraman lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak mengalami penggaraman. Hal ini disebabkan oleh proses penggaraman yang salah satunya melarutkan silika dan kemudian mengendapkannya di permukaan batu.
Pengembangan Perekat Alam untuk Penyambung Artefak Tahap II Leliek Agung Haldoko; Iskandar M Siregar; Yudi Suhartono; Linus Setyo Adhidhuto; Ajar Priyanto
Borobudur Vol. 11 No. 1 (2017): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v11i1.168

Abstract

Salah satu Cagar Budaya berbahan kayu adalah artefak. Faktor fisik maupun mekanik dapat menyebabkan artefak menjadi retak atau patah. Untuk menyambung fragmen-fragmen yang patah tentunya dibutuhkan perekat. Perekat yang diuji dalam kajian ini meliputi perekat dari bahan tanin dan gondorukem. Perekat dari tanin dan gondorukem dikombinasikan dengan berbagai macam pelarut. Untuk bahan tanin digunakan pelarut aceton, etanol dan formaldehyde, sedangkan untuk bahan gondorukem digunakan pelarut tiner, minyak cat dan toluol. Pengujian daya tahan perekat dilakukan dengan siklus yang terdiri dari 3 (tiga) perlakuan, yaitu menempatkan sampel kayu yang direkat pada suhu 50°C, pada kondisi kelembaban 95% dan pada suhu kamar. Untuk pengujian kekuatan perekat dilakukan dengan pengujian kualitatif kekuatan rekat dengan beban statis dan pengujian kuat geser. Pengujian daya tahan perekat diperoleh hasil bahwa perekat dengan bahan tanin-aceton dan tanin-etanol tidak tahan terhadap kondisi kelembaban udara yang tinggi dan memiliki daya rekat yang rendah. Hal ini diketahui setelah dilakukan pengujian kualitatif dengan menggunakan beban statis. Berdasarkan pengujian kuat geser diperoleh hasil bahwa perekat gondorukem-toluol memiliki daya rekat paling besar, yaitu 14,83 kg/cm2; berturut-turut selanjutnya tanin–formaldehyde 9,95 kg/cm2; gondorukem–tiner 9,52 kg/cm2; dan gondorukem-minyak cat 4,81 kg/cm2.
Kondisi Saluran Drainase Candi Borobudur dan Konsep Penanganannya Leliek Agung Haldoko; Wahyudi Wahyudi; Basuki Rachmat; Al Widyo Purwoko
Borobudur Vol. 13 No. 1 (2019): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v13i1.203

Abstract

Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia. Pada pemugaran kedua (1973-1983) telah dibuat sistem drainase untuk menyalurkan air melalui pipa-pipa yang berada dalam tubuh candi hingga ke bak kontrol dan berakhir pada sumur peresapan. Kondisi sistem drainase Candi Borobudur tentunya akan mengalami penurunan fungsi seiring berjalannya waktu. Hasil kajian menunjukkan saluran filter layer terdapat banyak endapan tanah/pasir yang menghambat aliran air keluarnya air dari dalam bukit Candi Borobudur. Akan tetapi endapan material pada saluran filter layer bukan berasal dari tanah bukit tetapi dari endapan pada saluran drainase bawah lantai yang terbawa masuk. Selain itu sebagian besar filter layer dalam kondisi rusak dan beberapa yang lain belum dapat diidentifikasi kondisinya. Meskipun filter layer dalam kondisi rusak tetapi fungsinya sebagai lapisan penyaring masih bekerja baik. Endapan tanah/pasir pada saluran drainase bawah lantai akan mengganggu kelancaran aliran air pada saluran ini yang dikarenakan posisi dasar saluran drainase menjadi lebih tinggi dan membuat dasar saluran menjadi rata/ kemiringannya berkurang. Pada saluran drainase halaman-lereng, tidak adanya aliran air yang terukur pada saluran drainase Selatan 2 (S2) dan Timur (T) mengindikasikan adanya permasalahan pada kedua saluran drainase tersebut yaitu terjadinya kebocoran saluran. Untuk mengoptimalkan monitoring geohidrologi dilakukan perubahan metode monitoring filter layer dari yang sebelumnya dengan mengukur debit dan kekeruhan air yang keluar dari bukit dan melewati filter layer, menjadi monitoring menggunakan videoscope untuk mengamati gambaran visual filter layer. Selain itu menghentikan monitoring muka air tanah melalui pipa inklinometer karena sebagian besar pipa inklinometer memiliki ujung bawah pipa tertutup sehingga data yang didapatkan tidak valid. Pada akhirnya dari data-data yang didapatkan, kecil kemungkinan airtanah bukit Candi Borobudur akan meluap dan menekan struktur Candi Borobudur. Borobudur Temple is one of Indonesia’s cultural heritage site that has been enlisted as World Heritage. In its second restoration (1973-1983), new drainage system was installed to flow water using concrete pipes inside the temple structure to control tank, to be directed to infiltration well. Over time, the efficiency of this system is decreasing. The study shows that filter layer channels contain much soil/sand sediments that clog the water running outside from the temple structure. The sediments come not from hill soil, but was carried to the channel from under the temple floor. Some filter layers are confirmed to be damaged, while others are still unidentified. However, the damaged filter layers still function well. The soil/sand sediments on drainage channel under the floor would disturb the flow of the water because the elevation for water to be able to run off would be compromised. In the courtyard-slope drainage channel, no water volume can be calculated in channel South 2 (S2) and East (T); indicating that there is a leakage in the channel. To optimize the geohydrology monitoring in Borobudur Temple, a change in monitoring methodology is needed to evaluate the effectiveness of filter layers from assessing the water discharge and turbidity of water coming out from the hill to controlling the condition of filter layer channels using videoscope through visual imagery. Measurement of ground water level using inclinometer pipe is not valid because most of the pipes are closed off at their far end. From the data gathered, it is less possible for the ground water in the hill of Borobudur Temple to overflow and push the structure of Borobudur Temple.
PENGARUH SARI TEBU DALAM PEMBUATAN MORTAR TRADISIONAL UNTUK PENANGANAN KEBOCORAN CANDI PAWON Ari Swastikawati; Leliek Agung Haldoko; Pramudianto Dwi Hanggoro; Arif Gunawan
Borobudur Vol. 16 No. 1 (2022): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v16i1.273

Abstract

Pawon Temple has the potential for weathering problems due to weather factors. Rainfall and temperature fluctuations trigger various damage and weathering. Rainwater that enters the stone grout on the roof of the temple can cause the surface of the walls and chambers of the Pawon Temple to become moist, and trigger the growth of microorganisms that will cause wear and tear on the walls of the temple. Therefore, conservation efforts are needed on the roof of the Pawon Temple to reduce the infiltration of rainwater into the body of the Pawon Temple. This study aims to determine the correct composition of traditional mortar to prevent leakage by covering the grout on the roof of Pawon Temple. The research method chosen is descriptive qualitative. The addition of sugarcane juice can reduce the saturated water content in the mortar. Mortar with the addition of sugarcane juice can reduce porosity. Mortar with a ratio of 2 sand: 1 brick powder: 1 lime and with the addition of sugarcane juice produces the best mortar with the highest compressive strength but with the lowest porosity.