Nurullah Nurullah
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

The Interpretasion of “Wa-‘Allama Ādama Al-Asmā’a Kulla-Hā” (Qs. 2: 31) and its Relation with the Issue of the Origin of Language; Study Text of al-Ùabarī’s, al-Zamakhsharī’s and al-Rāzī’s Commentary on the Qur’ān Nurullah Nurullah
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 18 (2016): Edisi Khusus
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v18i0.8981

Abstract

This paper will describe the interpretation of the verse 31, and its relation with the issue of the origin of langguage, from three selected commentaries, namely; Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āy al-Qur’ān, al-Kashshāf ‘an ×aqā’iq al-Tanzīl, and MafātīÍ al-Ghaib. A close reading of these tree commentaries reveals that there are two interpretation of the word al-asma‘; first, it means every single word that signifies a meaning: nouns, verbs or particle i.e. the names of everything: angels, humans, animals, and inanimate existent includes its qualities, properties and everything relates to objects. This was the same to saying that God had taught Ādam language in its totality. Al-Zamakhsharī and al-Rāzī believe the verse demonstrates that God taught Ādam every language. But unlike al-Zamakhsharī, who seems to suggest that God was pointing to the objects and naming them, al-Rāzī does not explain how this process occurred, whether God educated him or thrown a knowledge (the understanding of language) into his mind. Second, al-Ùabarī who interprets it in a narrow meaning: al-asma‘ means the names of the angels and Ādam’s sons, seems to suggest that God just taught Ādam some languages. Abstrak: Tulisan ini akan mendiskusikan penafsiran dari ayat 31 dan kaitannya dengan isu asal mula bahasa, dari tiga kitab tafsir yaitu:  Jāmi‘al-Bayān ‘an Ta’wīl āy al-Qur’ān, al-Kashshāf ‘an ×aqā’iq al-Tanzīl, and MafātīÍ al-Ghaib. Berdasarkan penafsiran dari ketiga kitab tafsir ini ditemukan bahwa terdapat dua pemahaman dari lafaz al-asma’. Pertama; meliputi semua kata yang menunjukkan kepada makna baik kata benda, kata kerja atau partikel dan lain sebagainya. Yakni meliputi nama segala sesuatu termasuk malaikat, manusia, binatang maupun benda mati termasuk kualitas, sifat dan semuanya yang berhubungan dengan objek. Ini bermakna bahwa Allah telah mengajarkan Ódam bahasa secara keseluruhan. Al-Zamakhsharī and al-Rāzī berpendapat, ayat menjelaskan bahwa Allah mengajarkan Ódam semua Bahasa. Namun berbeda dengan al-Zamakhsharī yang nampaknya menerangkan bahwa Allah mengajarkan Ódam dengan menunjuk kepada benda kemudian menamainya, al-Rāzī tidak menjelaskan bagaimana proses itu berlangsung, apakah Allah mengajarkan Ódam atau mengilhamkan pengetahuan kepadanya. Kedua, al-Tabari yang menafsirkan ayat dengan makna yang lebih sempit, di mana al-asma’ pada ayat bermakna nama-nama malaikat dan anak-anak Ódam terkesan memahaminya bahwa Allah mengajarkan Ódam hanya sebagian bahasa saja.
Kepemimpinan Perempuan menurut Persepsi Teungku dan Ustaz berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Furqan Furqan; Nurullah Nurullah
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 20, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v20i2.5153

Abstract

This article aims to see the perception of Teungku/Ustaz pesantren on Women's leadership, the difference in stage perception of Teungku/Ustaz towards women's leadership based on educational background. This research is a quantitative study using a survey method to get an overview of the perception of Tengku/Ustaz pesantren based on Dayah and modern Dayah on women's leadership. The research samples for this study as much as 344 respondents taken randomly. This research conducted in six pesantren in Aceh, namely in the Pondok Pesantren Modern Oemar Diyan Indrapuri Aceh Besar District, Modern boarding schools Babun Najah Ulee Kareng and Dayah Modern Darul Ulum Kuta Alam Banda Aceh, Dayah al-Madinatuddiniyyah Babussalam Blang Bladeh (Abu Tumin), Dayah Babussalam Al-Aziziyah (Tu Sop) Jeunieb, and Dayah Ma'had al-Ulum Diniyyah Islamiyah (MUDI) Samalanga regency of Bireuen. Data collection techniques using questionnaires. Data analysis techniques using Quantitative statistical analysis with the help of SPSS 20 program. The results showed that a Teungku/Ustaz perception of women's leadership was in a low and moderate category against 29 item statements. Stage perception of Teungku/Ustaz seen based on the background of education shows the background of education in junior and high school at a low level, S1, and S2 at a moderate stage.  Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk melihat persepsi teungku/ustaz pesantren terhadap kepemimpinan perempuan, perbedaan tahap persepsi teungku/ustaz terhadap kepemimpinan perempuan berdasarkan latar belakang pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode survei untuk mendapat gambaran tentang persepsi tengku/ustaz pesantren berbasis dayah dan dayah modern terhadap kepemimpinan perempuan. Sampel penelitian untuk penelitian ini sebanyak 344 responden yang diambil secara acak. Penelitian ini dilakukan di enam pesantren di Aceh yaitu di Pondok Pesantren Modern Oemar Diyan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar, Pondok Pesantren Modern Babun Najah Ulee Kareng dan Dayah Modern Darul Ulum Kuta Alam Kotamadya Banda Aceh, Dayah al-Madinatuddiniyyah Babussalam Blang Bladeh (Abu Tumin), Dayah Babussalam Al-Aziziyah (Tu Sop) Jeunieb, dan Dayah Ma’had al-Ulum Diniyyah Islamiyah (MUDI) Samalanga Kabupaten Bireuen. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner/angket. Teknik analisis data menggunakan analisis statistik kuantitati dengan bantuan program SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi teungku/ustaz terhadap kepemimpinan perempuan berada pada kategori rendah dan sedang terhadap 29 item pernyataan. Tahap persepsi teungku/ ustaz dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan menunjukkan latar belakang pendidikan SMP dan SMA berada pada tahap rendah, S1 dan S2 pada tahap sedang.
Lafaz Sa’ala dalam Al-Qur’an Nurullah Nurullah; Siti Husna
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13277

Abstract

The Qur'an uses a lot of vocabularies that appear to be synonymous at birth, but when examined carefully it turns out that each vocabulary has its own connotation that does not exist in other pronunciations that are considered synonymous with it. As stated by Abi Isba' quoted by Nasiruddin Baidan that the beauty of the language of the Koran is classified into two major groups, namely the beauty of speech and the beauty of meaning. One of them is lafaz sa'ala, the lafaz is one of the lafaz that is repeated a lot in the Qur'an, 129 times, both in the same form and in different forms. This study is based on library research, besides that, the author examines these verses using the maudhu'i interpretation framework. Lafaz sa'ala is found in the Qur'an 129 times in 118 verses in 47 surah with 55 different forms of lafaz sa'ala. The whole lafaz sa'ala which means a question is repeated 73 times, whether there are two pronunciations in one verse or not. As for the meaning of asking to be called 49 times, while the meaning of asking is called 5 times and the meaning of rebuttal, speaking is only mentioned once. Alquran banyak memakai kosa kata yang pada lahirnya tampak bersinonim, namun bila diteliti secara cermat ternyata masing-masing kosa kata itu mempunyai konotasi sendiri-sendiri yang tidak ada pada lafal lain yang dianggap bersinonim dengannya. Sebagaimana pernyataan Abi Isba’ yang dikutip oleh Nasiruddin Baidan bahwa keindahan bahasa Alquran itu diklasifkasikan menjadi dua kelompok besar yaitu keindahan lafaz dan keindahan makna. Salah satunya adalah lafaz sa’ala, lafaz tersebut merupakan salah satu lafaz yang banyak diulang dalam Alquran, sebanyak 129 kali, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang berbeda. Kajian ini berbasis kajian kepustakaan (library research), selain itu penulis mengkaji ayat-ayat tersebut dengan menggunakan kerangka kerja tafsir maudhu’i. Lafaz sa’ala ditemukan di dalam Alquran sebanyak 129  kali dalam 118 ayat di dalam 47 surah dengan 55 bentuk lafaz sa’ala yang berbeda-beda. Keseluruhan lafaz sa’ala yang bermakna tanya di ulang sebanyak 73 kali baik yang terdapat dua lafaz dalam satu ayat maupun tidak. Adapun yang makna nya minta di sebut sebanyak 49 kali, sedangkan yang bermakna memohon disebut sebanyak 5 kali dan yang bermakna bantahan, bercakap hanya disebut sekali saja.
Konsep Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Nasaruddin Umar Nurullah Nurullah; Taqwiya Taqwiya
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.201 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9206

Abstract

Understanding of the Qur'an is growing in various circles. Starting from an understanding that presents Islamic values to an understanding that damages the image of the Qur'an and Islam itself. Like several verses related to war, they are taken exclusively as well as subjectively and textually which results in the emergence of an understanding that these verses are legitimacy and advice to fight using violence. This understanding is often categorized as a radical understanding. The deradicalization of the understanding of the Qur'an is an attempt to shift a radical understanding into a more moderate one. This paper aims to determine the concept and implications of deradicalization of Nasaruddin Umar's understanding of the interpretation of verses with the theme of war. This qualitative literature research is carried out by analyzing data and documents related to the discussion theme. The results showed that Nasaruddin Umar directed the understanding and interpretation of the Qur'an through a contextual approach. The implications of the concept are to give birth to a special concept of war in the perspective of the Qur'an. The Qur'an does legitimize the existence of war, but the legitimacy of the war has certain legal indications. Pemahaman terhadap al-Qur`an semakin berkembang di berbagai kalangan. Mulai dari pemahaman yang mempresentasikan nilai-nilai keislaman hingga pemahaman yang merusak image al-Qur`an dan Islam sendiri. Seperti beberapa ayat yang terkait dengan peperangan, dipahami secara eksklusif maupun subjektif dan tekstual yang mengakibatkan munculnya pemahaman bahwa ayat-ayat tersebut sebagai legitimasi dan anjuran untuk berperang dengan menggunakan kekerasan. Pemahaman ini sering dikategorikan sebagai pemahaman yang radikal. Deradikalisasi pemahaman al-Qur`an merupakan upaya mengalihkan pemahaman yang radikal menjadi lebih moderat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan implikasi deradikalisasi pemahaman Nasaruddin Umar terhadap penafsiran ayat-ayat dengan tema peperangan. Kajian kepustakaan yang bersifat kualitatif ini dilakukan dengan menganalisa data dan dokumen yang terkait dengan tema bahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nasaruddin Umar mengarahkan pemahaman dan interpretasi Alquran melalui pendekatan kontekstual. Implikasi dari konsep yang ditawarkan tersebut melahirkan konsep khusus mengenai peperangan dalam perspektif al-Qur’an. Al-Qur’an memang melegitimasi adanya peperangan akan tetapi tegitimasi terhadap peperangan tersebut memiliki indikasi hukum tertentu.
Penggunaan Lafaz Bahjah, Jamal dan Zukhruf dalam Al-Qur’an Rizky Mubarak; Nurullah Nurullah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12521

Abstract

The choice of vocabulary in the Qur'an is not a coincidence, but each word has its own value of balaghah. The beauty of the language and style of the Qur'an can be seen from its balaghah and fasahah, both concretely and abstractly. The Qur'an sometimes uses several words that have the same or close meanings, so there seems to be an inconsistency in the words it uses. This study will examine the use of the words bahjah, jamᾱl and zukhruf which means beautiful in the Qur'an. This research is library research using the maudhu'i method. The main sources of data are the verses of the Qur'an that contain the words bahjah, jamᾱl and zukhruf as well as secondary sources in the form of books of tafsir, mu'jam and other related scientific sources. In the Qur'an, the words bahjah, jamᾱl and zukhruf have meanings that are almost related to each other but with different contexts and purposes. Bahjah is defined by the beautiful colors used to express the beauty in the trees, flowers, mountains, oceans, etc. that make the earth look beautiful. Jamᾱl in the Qur'an is generally used to describe the beauty that radiates from a nature that will not be mentioned unless there is dispute or friction. As for zukhruf, it is used in the Qur'an to mention concrete decoration, but if it is paired with other words, then the decoration in question is abstract decoration. Pemilihan kosa kata dalam Alquran, bukanlah suatu kebetulan tetapi setiap kata mempunyai nilai balaghah tersendiri. Keindahan bahasa dan uslub Alquran yang menakjubkan terlihat dari balaghah dan fasahahnya, baik yang konkrit maupun abstrak. Alquran kadangkala menggunakan beberapa kata yang memiliki arti sama atau dekat, sehingga tampak adanya inkonsistensi dalam kata-kata yang digunakannya. Kajian ini akan mengkaji penggunaan lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf  yang bermakna indah dalam Alquran. Penelitian ini berupa riset kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode maudhu’i. Sumber data utama yaitu ayat-ayat Alquran yang mengandung lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf serta sumber sekunder berupa kitab-kitab tafsir, mu’jam dan sumber ilmiah terkait lainnya. Dalam Alquran lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf  mempunyai makna yang hampir berkaitan antara satu dengan lainnya namun dengan konteks dan tujuan yang berbeda. Bahjah diartikan dengan warna yang indah yang  digunakan untuk menyebutkan keindahan pada pepohonan, bunga-bungaan, pegunungan, lautan, dan lain-lain yang menjadikan bumi terlihat indah. Jamᾱl dalam Alquran pada umumnya digunakan untuk menyebutkan keindahan yang terpancar dari sesuatu sifat yang tidak akan disebutkan kecuali terjadi perselisihan atau gesekan. Adapun zukhruf digunakan dalam Alquran untuk menyebutkan hiasan yang konkrit akan tetapi jika disandingkan dengan kata lain maka hiasan yang dimaksud adalah hiasan yang abstrak.
Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur’an Sebagai Jimat Nurullah Nurullah; Ari Handasa
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9082

Abstract

The Quran plays an important role in the survival of humans. One of the various functions of the Quran as al-Syifa’ (antinode/medicine) has developed an understanding which is manifested in the form of amulets as a solution to problems that intelligence cannot solve. The purpose of this study is to know how the background, forms, and arguments for using the verses of the Quran as amulets. The study sets out library research using qualitative and analytical methods as its approach. This study explains that the use of Quran text as a talisman is in the background by promptings or motives that direct them to a single purpose in order to preserve their survival. As for the forms of the lot, it divides into two forms, as a mantra being read and also as a necklace or other writing on the basic arguments of hadith and clerical opinions. Al-Qur’an berperan penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Keberagaman fungsi al-Qur’an salah satunya sebagai ­al-syifa’ (penawar/obat), mengalami perkembangan pemahaman yang diwujudkan dalam bentuk jimat sebagai salah satu solusi bagi permasalahan-permasalahan yang tidak dapat terselesaikan oleh akal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana latar belakang, bentuk-bentuk, serta dalil-dalil penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jimat. Penelitian ini berjenis library research dengan menggunakan metode kualitatif dan deskriptif analitis sebagai pendekatannya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai jimat dilatar belakangi oleh dorongan-dorongan atau motif yang mengarahkannya pada suatu tujuan demi mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Adapun bentuk-bentuk penggunaannya terbagi menjadi dua bentuk, sebagai mantra yang dibacakan dan juga sebagai tulisan yang berbentuk benda yang ditempelkan, juga berupa kalung atau sebagainya dengan berlandaskan dalil-dalil berupa hadis dan pendapat ulama.
Konsep Mental Health Semasa Pembelajaran Daring pada Mahasiswa Aceh (Studi Perspektif Al-Qur’an Berbasis Kisah Nabi Yaʿqūb) Muhammad Furqan; Rohabdo M. Pazlan Sidauru; Hurul Maknum; Salami Mahmud; Rasyidah Rasyidah; Nurullah Nurullah; Zilva Zilva
Jurnal MUDARRISUNA: Media Kajian Pendidikan Agama Islam Vol 12, No 3 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jm.v12i3.14043

Abstract

The reality of Covid-19 experienced by many countries, including Indonesia, has implications for changes in learning styles. Where students are required to make changes and adaptive learning. The data shows that many of the students fail to do so and are trapped in mental disorders. So this is a problem that must be addressed immediately to provide online learning. The concept of mental resilience is one way out that can be offered to solve the problem of mental disorders due to failure in adaptive learning. This concept can be explored in the Qur'ān through the story of the Prophet Yaʿqūb. This paper focuses on the concept of mental health in the Qur'anic perspective based on the story of the Prophet Yaʿqūb and the implementation of the mental health concept in the Qur'ān perspective for students during online learning. This paper uses a qualitative approach to the type of library research (library research). Data was collected by examining reading sources, namely the Qur'ān, books, journals and through documents, both written documents and electronic documents that can support the results of this study. Analysis of the data in this study using descriptive methods. The results of the study show that there are three concepts of mental health in the perspective of the Qur'ān based on the story of the Prophet Yaʿqūb, namely: 1). Be patient with Allah's qada and qadar; 2) Have a good attitude towards Allah SWT, and; 3) Put your trust in truth. Implementation of the concept of mental health from the Qur'ān perspective for Acehnese students during online learning can be done by: 1) Building patience through active confiding only to Allah through prayer and avoiding negative comments through social media; 2) Good prejudice and optimistic active response, and: 3) Tawakkal by surrendering to Allah for the results achieved.