Articles
PROBLEM MENDASAR PENERAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Achmad Faishal
Jurnal Hukum dan Kenotariatan Vol 5, No 1 (2021): Februari
Publisher : Universitas Islam Malang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (404.773 KB)
|
DOI: 10.33474/hukeno.v5i1.9266
Pentingnya artikel ini adalah untuk menunjukkan bahwa penerapan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) terdapat problem mendasar, Pertama, ditengah masyakarakat terdapat suatu keadaan ketidaktahuan bahwa perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan terkena kewajiban pajak, hal itu terjadi akibat ketiadaan informasi publik yang menjadi hak dari publik untuk mengetahuinya. Kedua, dalam eksistensi pemungutannya saat ini, ternyata besaran pungutannya berdasarkan pada regresi dasar nilai perolehan objek pajak yang oleh aturan bisa menggunakan harga transaksi jual beli atau Nilai Jual Objek Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) tahun perolehannya. Hal demikian menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Ketiga, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan kekuatannya dipengaruhi aturan keharusan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris (PPAT/Notaris) dan akta peralihan hak hanya akan ditandatangani oleh Notaris apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan telah dibayar. Karena adanya regresi dasar nilai perolehan objek Pajak dapat menimbulkan perbedaan besaran nilai Pajak, maka PPAT/Notaris cenderung melibatkan diri untuk mengarahkan pada bentuk transaksi dengan menurunkan harga jual beli agar nilai Pajak tidak sebesar yang semestinya. Kondisi-kondisi tersebut dikemukakan dalam artikel ini secara dialektis sebagai respon terhadap kondisi aturan hukum.
Penerapan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior dalam Penyelesaian Sengketa Informasi Publik
Cindyva Thalia Mustika;
Suprapto Suprapto;
Achmad Faishal
Banua Law Review Vol. 3 No. 1 (2021): April
Publisher : Banua Law Review
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.32801/balrev.v3i1.20
Keterbukaan Informasi Publik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Sering kali terjadi sengketa antara pemerintah atau badan publik sebagai pengelola informasi dengan masyarakat sebagai pencari informasi. Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dihadapkan dengan persoalan konflik norma, yaitu antara UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PERKIP Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam situasi ini, mematuhi salah satu norma berakibat pada pelanggaran terhadap norma lainnya sehingga untuk dapat melaksanakan salah satu norma diperlukan adanya apa yang disebut sebagai derogasi atau peniadaan validitas norma lainnya yaitu asas lex superior derogate legi inferiori. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing melalui Perjanjian Nominee di Indonesia
Paulinah Paulinah;
Yulia Qamariyanti;
Achmad Faishal
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.32801/balrev.v4i1.36
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengkaji kepmilikan hak-hak tanah bagi warga Negara Asing di Indonesia dan juga bagaimana akibat hukum yang timbul dari Nominee di Indonesia. Penelitian yang digunakan melalui penelitian hukum normatif dengan melakukan beberapa pendekatan berbagai peraturan Perundang-Undangan dengan mengkaji kaidah-kaidah hukum positif yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan bisnis khususnya yang terkait dengan larangan kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing. Hasil Penelitiannya dalam Warga Negara Asing sama sekali tidak terbuka untuk mendapatkan hak atas tanah berupa hak milik dalam sistem pertanahan oleh Warga Negara Asing di Indonesia namun cukup dengan mennggunakan Hak Pakai intuk investasi di Indonesia. Notaris sebagai Sebagai Pejabat Umum dalam membuat akta otentik harus menolak dengan tegas apabila para pihak melakukan perjanjian pinjam nama atau nominee khususnya apabila tujuan dari Warga Negara Asing yang ingin menguasai tanah dengan status untuk menjalankan aktvitas di Indonesia. Sehingga Seorang Notaris harus memberikan arahan kepada Warga Negara Asing apabila ingin menguasai tanah dengan status hak milik di Indonesia, Notaris seharusnya menjaga kehormatan jabatannya serta menjunjung tinggi Kode Etik Profesi, sebagai pelaksanaan dari sumpah jabatannya
Akta Perdamaian oleh Notaris dalam Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
Rosnia Agussari;
Djoni S Gozali;
Achmad Faishal
Media of Law and Sharia Vol 3, No 2: March 2022
Publisher : Faculty of Law Universitas Muhamadiyah Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18196/mls.v3i2.14379
Penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif pada dasarnya di selesaikan di kantor polisi dengan mengedepankan perdamaian antara pihak pelaku pidana dan pihak korban. Apabila tercapai suatu perdamaian maka hukum pidana terhenti, melainkan di lanjutkan dengan hukum perdata yang berkaitan dengan perjanjian perdamaian. Perjanjian perdamaian di kantor polisi berupa bentuk tanggung jawab pelaku pidana seperti mengembalikan barang, mengganti kerugian, menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat Tindak Pidana serta mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana dengan dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian oleh petugas kepolisian. Adapun upaya para pihak dalam mencari keadilan serta perlindungan hak dan kewajiban apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian tersebut, para pihak dapat meminta notaris untuk membuat akta perdamaian dan akta tambahan lainnya yang dianggap melindungi pihak korban untuk memperoleh haknya kembali. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini akan membahas mengenai kedudukan akta perdamaian serta kewenangan notaris dalam penanganan perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif demi mencapai keadilan dan perlindungan hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian perdamaian.
PERAN NOTARIS DALAM TRANSFORMASI HUKUM KERANAH PERDATA ATAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA BERDASARKAN RESTORATIVE JUSTICE
Diaz Sasongko;
Achmad Faishal;
Indah Ramadhany
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 9, No 6 (2022): JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (343.286 KB)
|
DOI: 10.31604/justitia.v9i6.2949-2960
Pentingnya artikel ini sebagai masukan pemikiran terhadap penerapan restorative justice yang diatur dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peran Notaris dibutuhkan manakala pihak korban yang mendapatkan pernyataan dari pihak pelaku berkaitan dengan “mengembalikan barang, mengganti kerugian, menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana, dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana” untuk memulihkan hak-hak korban memerlukan adanya jaminan kebendaan dengan kekuatan eksekusitorial apabila dibelakang hari pihak pelaku tidak melaksanakan kewajibannya. Berbagai perdebatan muncul perihal restorative justice sebagai kebijakan diranah hukum pidana adalah murni untuk tidak dikaitkan dengan ranah hukum perdata, namun pada kenyataannya kebutuhan akan transformasi hukum keranah perdata tidak bisa dihindari. Alhasil, artikel ini tidak lain untuk memahami berbagai persoalan yang muncul dan menemukan letak landasan bagi Peran Notaris.
Akar Masalah Deforestasi di Indonesia (Dari Turbulensi Aturan Hukum Ke Perbaikan Hukum)
Achmad Faishal
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.32801/balrev.v4i1.39
Selama 30 (tiga puluh) tahun lebih terjadi keadaan turbulensi hukum dalam penentuan kawasan hutan di Indonesia yang menimbulkan terjadinya peningkatan jumlah deforestasi semakin besar. Kenyataan hukum menunjukan, sebelum adanya perbaikan hukum dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan, akar masalah terjadinya deforestasi ada pada pengaturan tentang kawasan hutan hanya berdasarkan penunjukan tanpa melalui proses yang semestinya. Daripada itu perubahan titik kordinat kawasan hutan adalah hal lumrah terjadi seiring dengan ekspansi pertambangan dan perkebunan yang masif memasuki kawasan hutan. Dari hasil penelitian, ditemukan: a) terbentuknya ruang turbulensi hukum akibat inkonsistensi pasal, b) pengaturan pengukuhan kawasan hutan dibawa kedalam ruang turbulensi hukum karena ada pendelegasian oleh undang-undang kepada pemerintah dan pemerintah melakukan sub delegasi kepada menteri tidak sesuai asas delegatus non potest delegare, dalam eskalasinya berkombinasi dengan inkonsistensi pasal yang merupakan penyempitan hukum (rechtsverfijning) sehingga memberikan peluang kepada menteri membuat peraturan yang menyimpang, dan c) implikasi hukum dari keadaan turbulensi hukum dalam pengaturan pengukuhan kawasan hutan berupa pelanggaran hak perorangan, hak masyarakat/masyarakat adat, hak otonomi wilayah daerah. Mengatasi turbulensi hukum dalam pengaturan pengukuhan kawasan hutan berada dalam ranah sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa titik kelemahan sehingga turbulensi hukum menjadi chaos dalam hukum. Situasi chaos dalam hukum sama dengan ketidakpastian hukum kawasan hutan yang memberikan ruang keleluasaan terjadinya alih fungsi kawasan hutan akibatnya deforestasi terus meningkat dan mengkhawatirkan karena tidak ada kepastian hukum kawasan hutan.
Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Melalui Diversi
Sukmandari Putri;
Ahmad Syaufi;
Achmad Faishal
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 8, No 4 (2023): Agustus, Social Religious, History of low, Social Econmic and Humanities
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24815/jimps.v8i4.26664
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Fokus permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimana penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui diversi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Apakah syarat-syarat pelaksanaan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memenuhi rasa keadilan bagi Anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, diversi merupakan salah satu mekanisme penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum yang berfokus pada pemulihan dan reintegrasi anak, dengan melibatkan berbagai pihak terkait dan memperhatikan perlindungan hak-hak anak. Diversi bertujuan untuk mencegah penghukuman pidana yang berlebihan, memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki. Adanya syarat diversi yang kemudian memunculkan batasan terhadap pelaksanaan diversi dapat dikatakan tidak sesuai dengan konsep keadilan restoratif yang diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak serta tujuan SPPA Yang mana nilai utama Keadilan Restoratif adalah penyembuhan, pemulihan keadaan dan bukan pembalasan, pembelajaran moral, pengampunan dan tanggung jawab dan tujuan SPPA yang dibuat untuk lebih melindungi Hak-Hak Anak baik sebagai pelaku maupun korban.
Penyalahgunaan Wewenang sebagai Unsur Tindak Pidana Korupsi
Devy Silvana Ekasari*;
Muhammad Hadin Muhjad;
Achmad Faishal
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 8, No 3 (2023): Juni, socio-economics, community law, cultural history and social issues
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24815/jimps.v8i3.25241
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memberikan analisis mengenai pembedaan penerapan penyalahgunaan wewenang yang diatur ketentuan pasal 3 UU PTPK; serta Untuk memberikan analisis apakah penerapan penyalahgunaan wewenang dalam kasus tindak pidana korupsi melalui pelaksanaan pasal 21 UU AP. Adapun metode penelitian yang digunakan metode penelitian normatif, dengan pendekatan Perundang-Undangan dan Juga Pendekatan Kasus tipe penelitian yang digunakan deskriptif . hasil dari penelitian ini adalah bahwa pembedaan penerapan penyalahgunaan wewenang yang diatur ketentuan pasal 3 UU PTPK terletak pada perumusan pasal tersebut yaitu mencantumkan kalimat “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” dan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” sebagai bagian dari inti delik (bestanddeel delict) dalam Pasal 3 UU PTPK. Yang kedua Pengujian penyalahgunaan wewenang dalam norma Pasal 21 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memiliki pengertian adanya kesempatan hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada pejabat pemerintahan (subjek norma) yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang (baik dalam keputusan, tindakan dan/atau diskresi) dalam menjalankan tugas pelayanan publik (administrasi pemerintahan) yang bertolak dari keberatan terhadap hasil pengawasan APIP berupa terdapatnya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara, untuk dapat menyelesaikan secara administrative
Tugas Komisaris Pada BUMD Perseroda Dalam Konteks Hubungan Dan Tata Kerja
Linda Rezky Fitriani*;
Rachmadi Usman;
Achmad Faishal
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 8, No 3 (2023): Juni, socio-economics, community law, cultural history and social issues
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24815/jimps.v8i3.25283
tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji hubungan dan tata kerja antara komisaris dengan Direksi Perseroan Daerah (Perseroda) serta fungsi tugas pengawasan yang dilakukan komisaris terhadap Direksi Perseroan Daerah (Perseroda). Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan bahan hukum yang digunakan adalah tentang Undang Undang Perusahaan Daerah, Tentang Perseroan Terbatas serta Peraturan peraturan yang terkait dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah pada prinsipnya struktur tata Kelola BUMD khususnya Perseroda sejalan dengan konsep Good Corporate Governance yang memisahkan secara tegas antara fungsi pengawasan dan yang diawasi Namun, dalam implementasinya belum sepenuhnya organ perusahaan (BUMD) berjalan sesuai dengan fungsi dan tujuannya, terutama dalam rangka mewujudkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Sehingga perlu Pengawasan Perseroda langsung yang dilakukan oleh Pegawai Pemerintah Daerah sebagai bagian dari tugas dan fungsinya, tidak hanya sekedar pembinaan.yang kedua. Dewan Komisaris harus bertindak sesuai dengan kapasitas dan kewenangan yang diberikan dan diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas sebagai pihak pengawas operasional perusahaan.apabila diluar kapasitas dapat dikategorikan dalam doktrin Piercing of Corporate veil. Sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum secara pribadi baik menurut hukum pidana maupun hukum perda
Kewenangan Pemberian Nomor Registrasi Rancangan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Provinsi
Bintari Widyaputri Utami;
Achmad Faishal
Jurnal Kewarganegaraan Vol 8 No 1 (2024): Juni 2024
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31316/jk.v8i1.6512
Abstrak Tahapan pemberian nomor registrasi rancangan peraturan daerah, gubernur bertanggung jawab untuk memberi nomor registrasi tersebut. Di mana ini diatur dalam pasal 242 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai mekanisme diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Gubernur memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan perda sebagai bentuk pengawasan pembentukan produk hukum daerah Namun, yang menjadi masalah disini terkait Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah dicabut dengan Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, pasal tersebut memang telah dicabut, nama pasal 242 ayat (5) ada maksud pembatalan rancangan perda secara implisit, yang mana dalam pasal tersebut hanya menyebutkan batas waktu paling lama 7 hari untuk pemberian nomor registrasi. Menjadi masalah, bagaimana jika rancangan perda tersebut tidak diberikan nomor registrasi lebih dari 7 hari. Walaupun di dalam peraturan menteri mengatur bahwa rancangan perda itu belum dapat diundangkan, namun sampai kapan, jika tidak ada batasan maka rancangan perda tersebut akan sia-sia. Di mana rancangan perda ini sudah melalui berbagai tahapan, banyak biaya yang sudah dikeluarkan, maka ini akan membuat negara dan daerah mengalami kerugian akibat rancangan peraturan daerah yang ditunda sampai batas waktu yang tidak diketahui. Kata Kunci: Gubernur, Registrasi Rancangan Perda, Pembatalan Perda