Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

NEUTROPHIL-LYMPHOCYTE RATIO AND HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN AS ISCHEMIC STROKE OUTCOME PREDICTOR Tissi Liskawini Putri; Ratna Akbari Ganie; Aldy S. Rambe
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 23, No 3 (2017)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v23i3.1201

Abstract

Proses inflamasi merupakan perjalanan penyakit dari strok iskemik akut, yang melibatkan penumpukan mediator inflamasi daninfiltrasi leukosit. Nilai Rasio Neutrofil-Limfosit (RNL) di beberapa penelitian dapat digunakan untuk meramalkan strok akibat iskemikakut yang caranya mudah dilakukan. High sensitivity C Reactive Protein (hs-CRP) merupakan reaktan tahap akut yang kadarnyameningkat di strok iskemik. Oleh karena itu bermanfaat sebagai petanda peramal hal terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiperbedaan nilai antara RNL dan hs-CRP dalam meramalkan hasilan pasien strok iskemik akut. Metode penelitian analitik observasionaldengan rancangan kohort prospektif. Hasil dinilai dengan modified Rankin Scale (mRS) (1–2=baik; 3–6=buruk) dan Barthel Index (BI)(0–20=ketergantungan jumlah keseluruhan, 21-60=berat; 1–90=sedang; 91–99=ringan dan 100=normal). Dari 43 sampel, didapatkanlaki-laki 24 orang (55,8%) dan perempuan 19 orang (44,2%) dengan rerata usia 57,12 ± 9,8 tahun. hubungan positif didapatkansedang dan bermakna antara RNL dengan hasilan mRS dan BI pasien strok iskemik akut (r=0,585; p=0,001 dan r=0,564; p=0,001).Hubungan positif didapatkan kuat dan bermakna antara hs-CRP dan hasilan mRS (r=0,614; p=0,001) serta didapatkan hubunganpositif dengan kekuatan sangat kuat dan bermakna antara hs-CRP dan hasilan n BI pasien strok iskemik akut (r=0,881; p=0,001).Dengan membandingkan ketepatan kedua data didapatkan RNL 86% dan hs-CRP 88% (p=0,6554). Perbedaan tidak bermakna terdapatantara nilai RNL dan hs-CRP sebagai peramal hasilan pasien strok iskemik akut.
HUBUNGAN PEMBENTUKAN BIOFILM OLEH BAKTERI GRAM NEGATIF DENGAN RESISTENSI ANTIBIOTIK PADA WANITA DIABETES MELITUS TIPE 2 Juwita Sahputri; Dharma Lindarto; Ratna Akbari Ganie
AVERROUS: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Averrous, Vol. 4: No. 1 (Mei, 2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/averrous.v4i1.804

Abstract

Diabetes melitus (DM) memiliki efek jangka panjang terhadap sistem genitourinari yang menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) pada pasien wanita dan umumnya bersifat asimtomatik. Bakteri gram negatif merupakan mikroorganisme penyebab tersering yang dapat membentuk biofilm sehingga sering menyebabkan resistensi antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan antara pembentukan biofilm bakteri gram negatif dengan resistensi antibiotik pada wanita diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Menggunakan desain penelitian cross sectional dengan teknik total sampling. Jumlah sampel penelitian adalah 45 orang wanita DMT2 anggota Program Pengendalian Penyakit Kronis (PROLANIS). Pada semua responden dilakukan kultur urin porsi tengah, uji sensitivitas dan pemeriksaan biofilm terhadap isolat bakteri yang teridentifikasi.  Hasil kultur urin menunjukkan bakteriuria signifikan 14 (31%) responden. Identifikasi koloni menunjukkan bakteri penyebab ISK antara lain Escherichia coli (35,7%), Klebsiella pneumoniae (35,7%), Enterobacter sp (21,5%) dan Citrobacter sp (7,1%). Uji sensitivitas dijumpai 8 (57%) isolat resisten terhadap antibiotik, yaitu 2 (14,2%) isolat terhadap ciprofloksasin dan 6 (42,8%) isolat terhadap TMP-SMX. Bakteri gram negatif yang diisolasi 100% mampu membentuk biofilm dengan kategori weak. Berdasarkan analisis bivariat dengan uji Rank Spearman correlation dapat disimpulkan bahwa terdapatnya hubungan yang sangat lemah antara pembentukan biofilm oleh bakteri gram negatif dengan resistensi antibiotik ciprofloksasin dan TMP-SMX.
ELEVATED SERUM S100B PROTEIN LEVEL AS A PARAMETER FOR BAD OUTCOME IN SEVERE TRAUMATIC BRAIN INJURY PATIENTS Ridha Dharmajaya; Dina Keumala Sari; Ratna Akbari Ganie
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 24, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v24i1.1159

Abstract

Beratnya suatu cedera kepala akibat trauma akan membuat gangguan saraf pusat. Kerusakan saraf ini dapat dinilai dengan petandabiokimia yang tepat. Pemakaian petanda biokimia terhadap kerusakan otak mendapatkan perhatian yang banyak terutama ProteinS100B. Protein S100B adalah suatu ikatan kalsium dan protein yang meningkat cepat sesaat setelah cedera kepala. Kesulitannya adalahuntuk memastikan, berapa lama Protein S100B ini harus diukur. Jika berhubungan dengan kerusakan otak, ia tidak selalu terjadi pada24 jam pertama. Dapat terjadi pada 48–72 jam pasca cedera kepala, bahkan 120 jam pada kecederaan tersebut. Penelitian ini bertujuanuntuk mendapatkan kenasaban antara Protein S100B dengan GOS sebagai faktor peramalan yang akurat, mudah, tidak menyakitkan,untuk cedera kepala berat. Pengambilan serum darah untuk pemeriksaan kadar Protein S100B dilakukan pada 24, 48, 72 dan 120 jampasca trauma. Selanjutnya pengukuran dilakukan dengan menggunakan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Keluaran pasienpasca perawatan dinilai menggunakan penggolongan Glasgow Outcome Scale (GOS), tiga bulan pasca kecederaan. Hasil pengukurankadar Protein S100B pada 120 jam pasca cedera kepala berat menunjukkan hubungan berlawanan yang kuat terhadap keluaran pasien.Pasien cedera kepala berat dengan kadar Protein S100B 120 jam pasca trauma yang tinggi, memiliki hasil keluaran yang buru
β-THALASSEMIA TRAIT MENGGUNAKAN ELEKTROFORESIS MIKROKAPILER Nuryanti Nuryanti; Ratna Akbari Ganie; Adi Koesoema Aman
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 21, No 2 (2015)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v21i2.1103

Abstract

Thalassemia is a genetic disorder disease which spread in the different parts of the world, including Indonesia. The incidence of β-thalassemia trait in Indonesia is between 3−8%. The objective of this study is to know the incidence of β-thalassemia trait in studentswho performed medical check-up, which obtain by using capilary electrophoresis, to describe the characteristics and to obtain theaverage value, of MCV, MCH and HbA2. This study was an observational study by cross-sectional method, which was carried out at theDepartment of Clinical Pathology Haji Adam Malik Hospital in Medan, performed on July to September 2012, consisting of 560 subjects.The examination included FBC to get a microcytic hypochromic sample (MCV <80 fl, MCH <27 pg), then a quantification of HbA2from microcytic hypochromic sample was done using electrophoresis. From the 560 samples 54% were male and other 46% were female.The average age was 19.25±0.25 years, the percentage based on the races tribe, which including Bataknesse 57.78%, Javanesse 15.74%,Acehnesse 10.73, Malay 9.12%, Karonesse 3.93%, Padangnesse 2.32% and Nias 0.35%. The average of the hematological indices, in the50 subjects were 71.63±7.68 for MCV and 23.27±2.85 for MCH. The quantification of HbA2 in micrositic hypochromic subject showed10 β-thalassemia trait subject (1.8%) with average of HbA2 (4.34±0.25), MCV (62.66±3.41), and MCH (20.11±2.18) as well as four(4) hemoglobin E subjects (0.7%). Based on this performed research on 560 students with the incidence of β-Thalassemia Trait was 1.8%with the average of HbA2 quantification was 4.34±0.25.
Hubungan antara kadar hepcidin dan kadar soluble transferrin receptor pada •-thalassemia trait Anitawati dr; Adi Koesoema Aman; Ratna Akbari Ganie
Majalah Kedokteran Nusantara The Journal Of Medical School Vol 50, No 2 (2017): The Journal of Medical School
Publisher : Fakultas Kedokteran USU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Introduction : Hepcidin plays important role in regulating ferrum circulation and ferrum toxicity in thalassemia patient. Soluble transferrin receptor(sTfR) is an ineffective eritropoetic measurement parameter which is more accurate. To find out correlation between Hepcidin and sTfR in •-thalassemia trait patientMethods : This is a cross sectional study which conducted on 28 patient with•-thalassemia trait who consulting in RSUP Haji Adam Malik Medan in March-May 2016. Analysis included full blood count, electrophoresis Hb, Hepcidin,and sTfR serum. Results : There was correlation between Hepcidin and sTfR serum level in •--thalassemia trait patient, this study showed strong correlation (r= 0.613). Statistical analysis found significant correlation between Hepcidin and sTfR level ( p = 0.001). Conclusion : This study showed strong correlation between Hepcidin and sTfR level in •-thalassemia trait patient. Keywords : •-thalassemia trait, Hepcidin, sTfR
Perbedaan kadar interleukin-6 pada pasien dengan dan tanpa stenosis koroner signifikan Fatiah dr; Ratna Akbari Ganie; Andre Pasha Ketaren
Majalah Kedokteran Nusantara The Journal Of Medical School Vol 50, No 2 (2017): The Journal of Medical School
Publisher : Fakultas Kedokteran USU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Introduction : Coronary heart disease (CHD), characterized by coronary arteries stenosis, is the end result of atherosclerosis. Interleukin-6seems to be the key point in process of atherosclerosis.The aim of this study is to find out whether there is a difference between serum Interleukin-6 level in patients with and without significant coronary stenosis.Methods : A cross-sectional observational analytic study was performedto 34 patients with suspected CHD that underwent coronary angiographyin H.Adam Malik hospital, Medan from February- April 2016.Patients were divided into 2 groups, 17 patients with significant coronarystenosis and 17 patients without significant coronarystenosis.Serum Interleukin-6 level were measured.Results : The medianvalue of serum Interleukin-6 levelin patients with significant coronarystenosis was 14.7 pg/mLand patients without significant coronarystenosis was 12.62pg/mL. There was no significant difference between serum Interleukin-6 level in patients with and without significant coronary stenosis ( p=0.301).Conclusion : There was no significant difference between serum Interleukin-6 level in patients with and without significant coronary stenosis.Keywords : Interleukin-6, Atherosclerosis, CHD