Sri Walny Rahayu
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat Laut “Panglima Laôt” di Aceh sebagai Bentuk Pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Hukum di Indonesia Rahayu, Sri Walny
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.51 KB)

Abstract

AbstrakPengelolaan hasil laut dan perikanan di Indonesia rentan memunculkan sengketa karena laut bersifat open access. Dalam lingkup lokal, Provinsi Aceh memiliki lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) adat laut yakni Panglima Laôt. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS (UU APS). Namun, sistem pendukung dari UU APS ini belum terbentuk sehingga penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif seperti lembaga APS adat laut Panglima Laôt tidak berjalan secara optimal sekalipun putusannya bersifat mengikat bagi para pihak.Kata Kunci: lembaga penyelesaian sengketa adat laut, Panglima Laôt, alternatif penyelesaian sengketa, sistem hukum Indonesia, sistem pendukung. “Panglima Laôt” as Traditonal (Adat) Dispute Resolution in Aceh as an Alternative Dispute Resolution in Indonesian Legal SystemAbstractThe nature of the sea as an open access area potentially created a dispute especially concerning the management of marine and fisheries products. Locally, Aceh Province has established a traditional law of the sea Alternative Dispute Resolution (ADR) body or so-called “Panglima Laôt”. Formerly, ADR has been regulated by the Law number 30 year 1999 concerning Arbitration and ADR. However, the supporting system of this regulation has not been created yet. That leads to inconsistency and ineffectiveness of the mechanism through ADR body “Panglima Laôt”, even though its decisions binding and applied to all parties.Keywords: ‘Adat’ dispute resolution body, Panglima Laôt, alternative dispute resolution, Indonesian legal system, support system.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n3.a2
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI KONSUMEN PADA TRANSAKSI PAYLATER Fadhli, Zawil; Rahayu, Sri Walny; Gani, Iskandar A
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 5 No 1 (2022): Februari 2022
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v5i1.5807

Abstract

Abstract Article 26 paragraph (1) of the Law of the Republic of Indonesia Number 19 of 2016 on Amendments to Law Number 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (Law No.19/2016) has mentioned that any use of a person's personal data, must be done on the basis of the consent of the owner of personal data. In Financial Technology with paylater payment scheme that conducts borrowing activities by utilizing consumer personal data to transact in the form of Population Master Number as the main condition. The formulation of the issues studied is an aspect of the position of electronic system organizers as paylater providers in the protection of consumer personal data as well as arrangements on the guarantee of personal data protection according to the Law No.19/2016 and The Minister of Communication and Information Regulation No. 20 of 2016 on The Protection of Personal Data in Electronic Systems (Permenkominfo No.20/2016). Research methods use normative juridical through literature studies by studying and reviewing other legal materials sourced from primary and secondary legal materials. The results showed that there is no legal certainty regarding the position of Paylater providers in order to protect consumers' personal data, Article 19 paragraph (4) of Financial Services Authority Regulation No. 77/ POJK.01/2016 on Information Technology-Based Lending Services (POJK No. 77/POJK.01/2016) mentioned that consumer personal data is not included as access to information provided to lenders. In addition, the regulations governing personal data only contain the general understanding of personal data and have not accommodated concrete forms of protected personal data objects so that the Population Master Number and Sensitive Data have no legal basis as objects of consumer personal data. Therefore, more comprehensive legislation is needed that can regulate the position of paylater providers in protecting consumer personal data and concretely regulating the forms of consumer personal data objects as a form of legal certainty over privacy rights. Keywords: consumer protection; data privacy; paylater Abstrak Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19/2016) telah disebutkan bahwa setiap penggunaan data pribadi seseorang, harus dilakukan atas dasar persetujuan dari pemilik data pribadi. Pada Financial Technology dengan skema pembayaran paylater yang melakukan kegiatan pinjam-meminjam dengan memanfaatkan data pribadi konsumen untuk bertransaksi dalam bentuk Nomor Induk Kependudukan sebagai syarat utama. Rumusan masalah yang dikaji adalah aspek kedudukan penyelenggara sistem elektronik sebagai penyedia paylater dalam perlindungan data pribadi konsumen serta pengaturan tentang jaminan perlindungan data pribadi menurut UU No. 19/2016 dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (Permenkominfo No. 20/2016). Metode penelitian menggunakan yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan menelaah dan mengkaji materi bahan hukum lainnya yang bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum adanya kepastian hukum terkait kedudukan penyedia paylater dalam rangka melindungi data pribadi konsumen, Pasal 19 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK No. 77/POJK.01/2016) disebutkan bahwa data pribadi konsumen tidak termasuk sebagai akses informasi yang diberikan kepada pemberi pinjaman. Selain itu, peraturan yang mengatur tentang data pribadi hanya memuat pengertian data pribadi secara umum dan belum mengakomodasikan bentuk-bentuk konkrit dari objek data pribadi yang dilindungi sehingga Nomor Induk Kependudukan serta Data Sensitif tidak memiliki dasar hukum sebagai objek data pribadi konsumen. Oleh karena itu, diperlukan Undang-undang yang lebih komprehensif yang dapat mengatur kedudukan pihak penyediapaylater dalam melindungi data pribadi konsumen serta mengatur dengan konkrit bentuk-bentuk dari objek data pribadi konsumen sebagai wujud dari kepastian hukum atas hak privasi. Kata kunci: data pribadi; paylater; perlindungan konsumen
Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat Laut “Panglima Laôt” di Aceh sebagai Bentuk Pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Hukum di Indonesia Sri Walny Rahayu
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.51 KB)

Abstract

AbstrakPengelolaan hasil laut dan perikanan di Indonesia rentan memunculkan sengketa karena laut bersifat open access. Dalam lingkup lokal, Provinsi Aceh memiliki lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) adat laut yakni Panglima Laôt. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS (UU APS). Namun, sistem pendukung dari UU APS ini belum terbentuk sehingga penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif seperti lembaga APS adat laut Panglima Laôt tidak berjalan secara optimal sekalipun putusannya bersifat mengikat bagi para pihak.Kata Kunci: lembaga penyelesaian sengketa adat laut, Panglima Laôt, alternatif penyelesaian sengketa, sistem hukum Indonesia, sistem pendukung. “Panglima Laôt” as Traditonal (Adat) Dispute Resolution in Aceh as an Alternative Dispute Resolution in Indonesian Legal SystemAbstractThe nature of the sea as an open access area potentially created a dispute especially concerning the management of marine and fisheries products. Locally, Aceh Province has established a traditional law of the sea Alternative Dispute Resolution (ADR) body or so-called “Panglima Laôt”. Formerly, ADR has been regulated by the Law number 30 year 1999 concerning Arbitration and ADR. However, the supporting system of this regulation has not been created yet. That leads to inconsistency and ineffectiveness of the mechanism through ADR body “Panglima Laôt”, even though its decisions binding and applied to all parties.Keywords: ‘Adat’ dispute resolution body, Panglima Laôt, alternative dispute resolution, Indonesian legal system, support system.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n3.a2
Penerapan Asas Iktikad Baik Pelaku Usaha Dalam Transaksi Elektronik Juan Ghaviky Sagida; Sri Walny Rahayu
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 3, No 3: Agustus 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini ingin menjelaskan implementasi asas iktikad baik dalam transaksi elektronik, kewajiban dan  tanggungjawab pelaku usaha dalam transaksi elektronik, dan upaya penyelesaian yang ditempuh para pihak dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik.Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Penelitian juga memanfaatkan hasil penelitian empiris sebagai alat bantu untuk kepentingan data. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa implementasi asas iktikad baik transaksi elektronik masih belum terlaksana sepenuhnya. Kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha dalam transaksi elektronik adalah memberikan penggantian atau pengembalian uang yang setara jika barang/jasa tidak sesuai dengan pesanan serta surat rekomendasi kantor Komunikasi dan Informasi mengenai tempat fisik pelaku usaha. Mekanisme penyelesaian sengketa pelaku usaha dalam transaksi elektronik adalah menggunakan upaya non-litigasi berupa konsultasi, pendapat ahli, konsiliasi dan melakukan upaya litigasi. Diharapkan pelaku usaha taat azas dan memiliki niat yang baik dalam melaksanakan isi kontrak yang disepakati. Kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha juga harus dilaksanakan saat awal terjadinya transaksi elektronik. Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan alternatif non-litigasi yang sesuai dengan kondisi para pihak atau upaya litigasi. BPSK juga dapat menjadi penyelesaian selain non-litigasi atau litigasi
PERLINDUNGAN PEMEGANG HAK MEREK TERKENAL YANG DIPALSUKAN DAN DIBAJAK DALAM PERDAGANGAN DI DUNIA MAYA Ioshah Raseuki Mukhlis; Sri Walny Rahayu
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 7, No 1: Februari 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak - Penelitian ini bertujuan menjelaskan perlindungan hak merek terkenal yang dipalsukan dan dibajak dalam perdagangan di dunia maya, menjelaskan hambatan dan tantangan bagi pemegang hak merek terkenal dalam melindungi haknya dan menjelaskan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh para pihak. Hasil penelitian menunjukkan perlindungan hak merek terkenal yang diperdagangkan di dunia maya dalam UU MIG belum memberikan kepastian hukum secara optimal karena belum mengatur definisi merek terkenal secara terminologi, kriteria merek terkenal, dan perlindugan terhadap hak merek terkenal di dunia maya. Hambatan bagi pemegang hak merek terkenal dalam melindungi haknya adalah kerugian yang dialami pemegang hak merek terkenal, keterbatasan negara dalam melakukan penegakan hukum, pasar yang sangat luas di dalam dunia maya, serta minat masyarakat dan besarnya peluang dalam perdagangan dan tantangannya adalah ketidaktegasan pemerintah dalam mengatasi pemalsuan dan pembajakan merek terkenal di dunia maya sesuai dengan Paris Convention. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui Pengadilan Niaga atau arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa serta upaya lain pemerintah yaitu penandatanganan Nota Kesepaham antara Kemenkumham dan Kominfo serta antara pemerintah dengan pemilik marketplace dengan melakukan penutupan situs perdagangan barang merek palsu dan bajakan. Disarankan kepada pemerintah untuk merevisi UU MIG sehingga dapat menjamin kepastian hukum kepada pemegang hak merek terkenal di dunia maya. Diharapkan kepada pelaku usaha untuk menghargai dan tidak memperdagangkan merek terkenal yang dipalsukan dan dibajak. Disarankan kepada pemerintah agar lebih tegas dan serius dalam mengoptimalkan perangkat hukum serta memberikan sosialisasi maupun edukasi ke setiap elemen masyarakat guna meminimalisir terjadinya pemalsuan dan pembajakan merek terkenal di dunia maya.Kata Kunci: Hak Merek, Perdagangan, Dunia Maya.
PERAN DAN FUNGSI NOTARIS DALAM PEMBUATAN KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA Vonna, Zakia; Rahayu, Sri Walny; Nur, M.
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article describes contract as one of the essential elements in commercial law, one of which is the oil and gas sector. Therefore, in drafting the contract in the sector, requirements set in prevailing laws and regulation need to be met. In practice, notaries are often involved as public officials in the process of contract drafting in accordance with Article 15 of Law No 2 of 2014 regarding the amendment for Law No 30 of 2004 regarding the Legal Constitution of Notary Public Profession, because they are state officials who are authorized to draft and ratify contracts. This research was aimed at explaining the role of a notary on the drafting and ratification of oil and gas production sharing contract in Indonesia. This research was normative legal research with a legal and philosophical approach, and the method was prescriptive analysis. The technique adopted for the current research was library research by applying the legal material analysis of secondary data.
A Synergy of Halal Tourism Regulations and Tourism Rights Protection in Aceh: Pentahelix Model Rahayu, Sri Walny; Abbas, Syahrizal
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 8, No 3 (2024): Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v8i3.23495

Abstract

Aceh has tourism regulations and guarantees of halal food products. This sector can potentially grow the regional economy and develop Aceh. Utilizing the tourism sector should allow the Aceh region to develop regional potential and increase regional income. However, in practice, the regulations do not optimally accommodate strategic issues that can support regional development from tourism sources. Still, the regulations have guaranteed protection for all consumers and tourists visiting Aceh as a halal destination. This study examines tourism regulatory policies and guarantees of halal food products using the pentahelix model. This study uses normative juridical methods and then analyzed descriptively and comprehensively. The data comes from literature studies, namely studies of theoretical documents in the form of articles, legal regulations, books and various studies related to the discussion. The results of the study showed that tourism regulatory policies and guarantees of halal food products in Aceh have not yet synergized with the pentahelix model in determining technical policies regarding tourism management and halal food product guarantee. This may lead to neglected protection of basic consumer rights, low quality and diversity of tourist attractions, and limited availability and quality of accessibility services and tourism facilities to reach potential markets. On the other hand, Aceh is a region that applies Islamic law and has strong religious characteristics, so the role of ulama can be used in making halal food policies to support the development of Islamic tourism.