Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum

Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Hak Cipta Dengan Sistem Jual Putus (Sold Flat) Ratnawati, Erna Tri Rusmala
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol 1, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/widyapranata.v1i2.44

Abstract

Hak cipta pada dasarnya merupakan hak eksklusif atau hak monopoli artinya hak untuk memanfaatkan sendiri nilai komersial dari ciptaanya tersebut, siapapun tidak boleh memanfaatkan nilai komersial kecuali atas ijin pencipta. Namun demikian hak monopoli tersebut dapat hilang karena adanya jual beli putus, sehingga si pencipta tidak lagi mempunyai hak komersial atas ciptaannya.Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan sistem jual beli putus (sold flat) dengan beberapa permasalahan  sebagai berikut : Apakah perjanjian jual beli putus dalam hak cipta syah menurut hukum perdata? Dapatkan pembeli hak cipta menjual kembali haknya tersebut ?Apakah dalam jual beli putus hak cipta mengakibatkan peralihan hak miliknya?Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) atau disebut juga penelitian doktrinal (doktrinal research) yang bertujuan mengkaji peraturan perundang-undang terkait dengan jual beli putus pada hak cipta  yang bersifat diskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan terkait dengan munculnya fenomena jual beli putus dalam hak cipta yang dalam realitas sering dilakukan oleh para pencipta untuk mendapatkan cash money di awal terhadap hak ekonomi dari ciptaannya. Perjanjian jual beli putus meruakan perjanjian tidak bernama yang dituangkan dalam UUHC yang juga tunduk pada ketentuan KUHPerdata (1319), dengan demikian keabsahan perjanjian jual beli putus tunduk pada asas-asas yang berlaku dalam perjanjian dan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Sistem jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara pencipta selaku penjual dengan pihak pembeli selaku pihak yang ingin mengeksploitasi ciptaan secara komersil. Dalam perjanjian jual beli putus memang terjadi peralihan hak kepemilikan tetapi hanya kepemilikan atas hak ekonomi saja yaitu hak untuk menikmati nilai komersial saja dan tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas hak moralnya, artinya bahwa ciptaan itu penciptanya tetap di tangan penjual. Artinya bahwa sertifikat hak ciptanya tetap atas nama si penciptanya tidak dapat dialihkan meskipun sudah dijual. Pada dasarnya karena pembeli dalam jual beli putus bukanlah sebagai pemilik maka tidak dimungkinkan apabila pembeli hak cipta menjual kembali pada pihak lain karena pada dasarnya kepemilikan hak moral tetap melekat pada si pencipta. Namun demikian apabila memang disepakati olah para pihak dapat saja hal tersebut terjadi karena memang pencipta mempunyai hak absolut atas ciptaannya sehingga bebas berbuat apapun terhadap bendanya termasuk apabila membolehkan si pembeli untuk menjual kembali.
Perlindungan Hukum Bagi Korban Yang Dirugikan Akibat Penyebaran Berita Bohong Rusmala Ratnawati, Erna Tri
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/widyapranata.v3i1.271

Abstract

Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah apakah wawancara  Anji dengan Hadi Pranoto terkait dengan vaksin COVID-19 yang viral memenuhi unsur tindak pidana penyebaran hoax (berita bohong) ? Bagaimana perlindungan hukum bagi korban yang telah dirugikan akibat  penyebaran berita bohong (hoax)? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan metode analisis diskriptif kualitatif. Hasil analisis terhadap rumusan masalah adalah berita viral wawancara Anji dengan Hadi Pranoto memenuhi unsur tindak pidana penyebaran hoax (berita bohong) yang dapat dijerat melalui Pasal 28 (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, namun demikian UU ITE bukanlah satu-satunya dasar hukum yang dapat dipakai untuk menjerat orang yang menyebarkan hoax, karena Pasal 28 (1) UU ITE hanya mengatur penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik saja, sehingga perlu di juntokan  UU Nomor 1 Tahun 1946. Perlindungan hukum bagi korban yang telah dirugikan akibat penyebaran informasi hoax, selain pertanggungjawaban pidana maka korban yang telah dirugikan akibat penyebaran informasi hoax tersebut dapat mengajukan perlindungan hukum melalui gugatan perdata melalui gugatam wanprestasi atau perbuatan melawan hukum berdasarkan KUH Perdata maupun berdasarkan Pasal 38 UU ITE.
Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Hak Cipta Dengan Sistem Jual Putus (Sold Flat) Erna Tri Rusmala Ratnawati
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 1 No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/widyapranata.v1i2.44

Abstract

Hak cipta pada dasarnya merupakan hak eksklusif atau hak monopoli artinya hak untuk memanfaatkan sendiri nilai komersial dari ciptaanya tersebut, siapapun tidak boleh memanfaatkan nilai komersial kecuali atas ijin pencipta. Namun demikian hak monopoli tersebut dapat hilang karena adanya jual beli putus, sehingga si pencipta tidak lagi mempunyai hak komersial atas ciptaannya.Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan sistem jual beli putus (sold flat) dengan beberapa permasalahan  sebagai berikut : Apakah perjanjian jual beli putus dalam hak cipta syah menurut hukum perdata? Dapatkan pembeli hak cipta menjual kembali haknya tersebut ?Apakah dalam jual beli putus hak cipta mengakibatkan peralihan hak miliknya?Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) atau disebut juga penelitian doktrinal (doktrinal research) yang bertujuan mengkaji peraturan perundang-undang terkait dengan jual beli putus pada hak cipta  yang bersifat diskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan terkait dengan munculnya fenomena jual beli putus dalam hak cipta yang dalam realitas sering dilakukan oleh para pencipta untuk mendapatkan cash money di awal terhadap hak ekonomi dari ciptaannya. Perjanjian jual beli putus meruakan perjanjian tidak bernama yang dituangkan dalam UUHC yang juga tunduk pada ketentuan KUHPerdata (1319), dengan demikian keabsahan perjanjian jual beli putus tunduk pada asas-asas yang berlaku dalam perjanjian dan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Sistem jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara pencipta selaku penjual dengan pihak pembeli selaku pihak yang ingin mengeksploitasi ciptaan secara komersil. Dalam perjanjian jual beli putus memang terjadi peralihan hak kepemilikan tetapi hanya kepemilikan atas hak ekonomi saja yaitu hak untuk menikmati nilai komersial saja dan tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas hak moralnya, artinya bahwa ciptaan itu penciptanya tetap di tangan penjual. Artinya bahwa sertifikat hak ciptanya tetap atas nama si penciptanya tidak dapat dialihkan meskipun sudah dijual. Pada dasarnya karena pembeli dalam jual beli putus bukanlah sebagai pemilik maka tidak dimungkinkan apabila pembeli hak cipta menjual kembali pada pihak lain karena pada dasarnya kepemilikan hak moral tetap melekat pada si pencipta. Namun demikian apabila memang disepakati olah para pihak dapat saja hal tersebut terjadi karena memang pencipta mempunyai hak absolut atas ciptaannya sehingga bebas berbuat apapun terhadap bendanya termasuk apabila membolehkan si pembeli untuk menjual kembali.
Perlindungan Hukum Bagi Korban Yang Dirugikan Akibat Penyebaran Berita Bohong Erna Tri Rusmala Ratnawati
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 3 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/widyapranata.v3i1.271

Abstract

Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah apakah wawancara  Anji dengan Hadi Pranoto terkait dengan vaksin COVID-19 yang viral memenuhi unsur tindak pidana penyebaran hoax (berita bohong) ? Bagaimana perlindungan hukum bagi korban yang telah dirugikan akibat  penyebaran berita bohong (hoax)? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan metode analisis diskriptif kualitatif. Hasil analisis terhadap rumusan masalah adalah berita viral wawancara Anji dengan Hadi Pranoto memenuhi unsur tindak pidana penyebaran hoax (berita bohong) yang dapat dijerat melalui Pasal 28 (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, namun demikian UU ITE bukanlah satu-satunya dasar hukum yang dapat dipakai untuk menjerat orang yang menyebarkan hoax, karena Pasal 28 (1) UU ITE hanya mengatur penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik saja, sehingga perlu di juntokan  UU Nomor 1 Tahun 1946. Perlindungan hukum bagi korban yang telah dirugikan akibat penyebaran informasi hoax, selain pertanggungjawaban pidana maka korban yang telah dirugikan akibat penyebaran informasi hoax tersebut dapat mengajukan perlindungan hukum melalui gugatan perdata melalui gugatam wanprestasi atau perbuatan melawan hukum berdasarkan KUH Perdata maupun berdasarkan Pasal 38 UU ITE.
Implementation of Cooperation Agreement Between Widya Mataram University and Bahana Batik in Copyright Protection of Widya Mataram University Batik Design Zaki Sierrad, Muhammad; Rusmala Ratnawati, Erna Tri; Rifka Novita Maharani Armawati
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 4 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/widyapranata.v4i2.686

Abstract

Batik is a fabric that has enormous differences from other kinds of fabric in design and manufacturing aspects. The Batik design is a masterpiece, created in the form of image design with unique characteristics, which has a copyright that is bounded to be protected by the law. This study focused on the copyright protection of Batik design. The purpose of this study is to learn the implementation of an agreement between Widya Mataram University and Bahana Batik as well as to find out the legal protection of batik design copyright in the cooperation agreement. This research uses the empirical research method with a juridical approach which is conducted by collecting data from interviews and by studying the agreement document which is further analyzed qualitatively. The results showed that the agreement was done under the hands and regulated the rights and obligations in the uniform procurement agreement. However, the agreement only regulates the prohibition for the use of the Widya Mataram Logo and does not include copyright ownership of batik design, thus the copyright of the batik design remains owned by Bahana Batik in accordance with Article 36 of undang-undang No. 28 of 2014 about Copyright. Key Words : Batik, Copyright, Cooperation Agreement
Legal Protection of Licensee and Licensor In Licensing Agreements Rusmala Ratnawati, Erna Tri; Wiwik Handayani; Rizqi Samera Al Farizi
Widya Pranata Hukum : Jurnal Kajian dan Penelitian Hukum Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37631/widyapranata.v6i1.1455

Abstract

This research discusses how the trademark license agreement can protect the licensee and licensor, the rights and obligations of the parties that arise in the trademark license agreement, and the legal consequences in the event of default. This research is normative research, with a statute approach to the problem. The analysis is focused on laws, regulations, documents, and other references related to brands and license contracts. The brand license agreement must comply with the principles of contract law because the principles of contract law are the foundation that must be obeyed by the parties so that it will not harm either party and can be implemented fairly. In addition, there needs to be an agreement that is mutually beneficial and does not burden each other. In a trademark license agreement, reciprocal rights and obligations occur between the licensee and the licensor. Both parties have mutual rights and both also have mutual obligations so a balanced bargaining position between licensee and licensor needs to be balanced so that there is no imbalance in rights and obligations. A brand license agreement will lead to disputes if the parties do not fulfill their rights and obligations as agreed. If one of them defaults, the other party can demand fulfillment of the engagement; fulfillment of the agreement with compensation; compensation; cancellation of the agreement; or cancellation with compensation. The first step that needs to be taken when a dispute occurs is to resolve the dispute by deliberation to reach a consensus. If not reached, dispute resolution can be seen in the trademark license agreement clause. Settlement of this dispute can be done both inside and outside the court. In addition to carrying out civil lawsuits, criminal charges can also be filed by the aggrieved party.