Jesmond Sammut
School of Biological, Earth and Environmental Sciences, The University of New South Wales, Sydney, NSW 2052, Australia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA TAMBAK DI KABUPATEN PINRANG PROVINSI SULAWESI SELATAN Akhmad Mustafa; Hasnawi Hasnawi; Mudian Paena; Rachmansyah Rachmansyah; Jesmond Sammut
Jurnal Riset Akuakultur Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2021.76 KB) | DOI: 10.15578/jra.3.2.2008.241-261

Abstract

Kabupaten Pinrang memiliki tambak terluas di Provinsi Sulawesi Selatan, tetapi produktivitas tambaknya masih relatif rendah. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk menentukan kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan rekomendasi pengelolaan budidaya tambak sebagai salah satu upaya peningkatan produktivitas tambak di Kabupaten Pinrang. Faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak, meliputi: faktor-faktor hidrologi dan topografi lahan, kondisi tanah, kualitas air, dan iklim. Kualitas air diamati pada musim hujan dan musim kemarau. Analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografis digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di Kabupaten Pinrang. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari luas total tambak di Kabupaten Pinrang, 15.026,2 ha ternyata 7.389,4 ha tergolong sangat sesuai (kelas S1); 1.235,1 ha tambak tergolong cukup sesuai (kelas S2); 3.229,0 ha tambak tergolong sesuai marjinal (kelas S3); dan 3.102,7 ha tergolong tidak sesuai (kelas N) pada musim hujan dan 7.119,8 ha tergolong kelas S1; 4.908,6 ha tergolong kelas S2; 1.606,9 ha tergolong kelas S3; dan 1.390,9 ha tergolong kelas N pada musim kemarau. Sebagai faktor pembatas utama kesesuaian tambak di Kabupaten Pinrang pada musim hujan adalah banjir di sekitar muara Sungai Saddang, sedangkan salinitas menjadi faktor pembatas utama pada musim kemarau. Faktor pembatas lain secara umum adalah jarak sumber air yang jauh, kesuburan tanah yang relatif rendah, pH tanah yang rendah pada tempat tertentu, serta tekstur tanah yang tergolong kasar pada tempat tertentu pula.Pinrang Regency has the largest brackishwater aquaculture pond area in South Sulawesi Province, but it’s productivity is consistently low. A land evaluation program was implemented to determine land suitability and limiting factors for brackishwater pond production as an effort to elevate productivity and to propose appropriate management practices. The study assessed land suitability for brackishwater ponds based on the local hydrology and topography, soil conditions, water quality, and climate. Water quality was measured in rainy and dry seasons. Field data were analyzed using Geographical Information Systems to determine land suitability for brackishwater ponds. The results showed that of the total of 15,026.2 ha of farmed land; 7,389.4 ha were classified as highly suitable; 1,235.7 ha were moderately suitable. 3,229.0 ha were marginally suitable; and 3,102.7 ha fall into the unsuitable category in the rainy season. In the dry season; 7,119.8 ha were highly suitable; 4,908.6 ha were moderately suitable; 1,606.9 ha were marginally suitable and 1,390.9 ha were considered unsuitable. The differences in the area for each suitability class between seasons were attributed to the flooding problems close to the mouth of the Saddang River in the rainy season and increasing pond salinity in some areas during
MODEL ANALISIS SPASIAL KESESUAIAN LAHAN TAMBAK SKALA SEMI-DETAIL BERDASARKAN PEUBAH KUNCI TAMBAK SISTEM EKSTENSIF DAN SEMI-INTENSIF Tarunamulia Tarunamulia; Akhmad Mustafa; Jesmond Sammut
Jurnal Riset Akuakultur Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1692.522 KB) | DOI: 10.15578/jra.3.3.2008.449-461

Abstract

Penerapan metode evaluasi multi-kriteria dalam penilaian spasial kesesuaian lahan tambak terbukti belum efektif di Indonesia. Hal ini terutama dipengaruhi oleh tidak cukup tersedianya data spasial pendukung dalam analisis tersebut. Analisis spasial yang diterapkan dalam penilaian kesesuaian lahan tambak selama ini lebih banyak mengadopsi model evaluasi multikriteria seperti yang umumnya diterapkan pada analisis kesesuaian lahan terdahulu seperti analisis kesesuaian lahan pertanian atau pemukiman yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa peubah lingkungan yang digunakan dalam analisis multikriteria tersebut kadangkala tidak memperhatikan kesesuaian skala peta yang berhubungan dengan level informasi. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan metode alternatif penilaian kesesuaian lahan tambak ekstensif dan semiintensif pada skala semidetail (1:50.000) dengan memanfaatkan peubah kunci lingkungan tambak yang mempengaruhi keberhasilan sistem budidaya tersebut. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Barru, dengan memanfaatkan informasi spasial berupa ketinggian lahan, kawasan sempadan pantai dan sungai, penggunaan lahan eksisting, dan jangkauan pasang surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan peubah kunci dalam model, sudah dapat ditentukan wilayah kelayakan lahan tambak secara umum di lokasi penelitian. Studi ini juga menguraikan manfaat peta kesesuaian lahan tambak dari model tersebut untuk kepentingan perencanaan dan penelitian lebih lanjut. Model ini secara umum berhasil memberikan dasar penting dalam analisis spasial lingkungan pantai untuk kepentingan budidaya sesuai dengan tingkat skala peta yang dibahas. Penelitian ini juga memberikan peluang dalam proses pemetaan potensi lahan tambak secara cepat dengan tingkat akurasi yang cukup baik tanpa harus dibatasi oleh ketidaklengkapan data spasial pendukung.Application of multi-criteria evaluation (MCE) for land suitability assessment of brackishwater pond in Indonesia has been hindered by the unavailability of supporting spatial data for the analysis. The existing spatial analysis methods in aquaculture mainly adopt the previously developed spatial assessment techniques in agriculture, urban planning or transportation network that certainly have different characteristics as well as environmental requirements. A number of environmental factors used in the MCE analysis are sometimes inappropriate with the map scale with respect to the level of information presented. The goal of this study was to provide an alternative spatial assessment method for the evaluation of land suitability for brackishwater aquaculture at semi-detailed scale by employing key environmental/ecological factors that influence the success and the sustainability of the coastal industry. This model was developed by employing spatial dataset of Barru coastal areas which include digital land elevation data, map of buffer zone (green belt), existing land use/cover map and information of local tidal range. The research shows that the overall land suitability for brackishwater aquaculture at the scale of 1:50,000 can be achieved despite using only limited number of key environmental factors in the model. This research has also demonstrated the potential application of the map in coastal planning and in a more detailed research. Overall this study has provided a fundamental approach of spatial analysis for coastal management particularly in land-based aquaculture development at respective scale. This model has also offered an alternative solution to quickly and accurately map the potential land for brackishwater aquaculture regardless of partial availability of supporting spatial dataset for the analysis.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN DAN PRODUKTIVITAS TAMBAK UNTUK PENAJAMAN KRITERIA KELAYAKAN LAHAN: 1. KUALITAS AIR Akhmad Mustafa; Irmawati Sapo; Hasnawi Hasnawi; Jesmond Sammut
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (381.491 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.3.2007.289-302

Abstract

Kualitas air merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam evaluasi kelayakan lahan untuk budi daya tambak, karena sifat kimia dan fisiknya mempengaruhi organisme yang dibudidayakan dan makanan alami. Dalam banyak kasus, kriteria kualitas air untuk akuakultur di Indonesia terlalu bersifat umum. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas tambak dari berbagai komoditas yang dibudidayakan di Indonesia. Penelitian dilaksanakan di kawasan pertambakan yang ada di Kabupaten Pinrang, Sinjai, Luwu, dan Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai, termasuk untuk mendapatkan data primer dari produksi yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner dan perekaman pada saat wawancara kepada responden. Pengukuran langsung di lapangan dan pengambilan contoh air untuk dianalisis di laboratorium dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan. Pemilihan model regresi “terbaik” didasarkan pada metode kuadrat terkecil. Udang vanamei (Litopenaeus vannamei) dapat tumbuh dan hidup dengan baik pada kisaran salinitas yang lebar (20--35 ppt), tetapi udang vanamei tidak dipengaruhi oleh suhu antara 28,2°C dan 31,7°C; oksigen terlarut antara 4,99 mg/L dan 10,03 mg/L dan pH antara 7,83 dan 8,89. Produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) tertinggi didapatkan pada salinitas 25,6 ppt dan oksigen terlarut 8,39 mg/ L dan rumput laut tumbuh baik pada kisaran pH antara 6,00 dan 9,32, suhu antara 26,00°C dan 37,86°C, fosfat lebih besar 0,1000 mg/L dan besi kurang dari 0,1000 mg/ L. Produksi pada polikultur udang windu dan ikan bandeng tertinggi didapatkan pada salinitas 16,3 ppt, namun produksinya tidak dipengaruhi suhu antara 26,15°C dan 36,38°C, oksigen terlarut antara 4,60 mg/L dan 10,00 mg/L dan pH antara 6,08 dan 8,64.Water quality is an important factor in land capability assessment for brackish water aquaculture ponds because its chemical and physical properties affect the biology of the farmed organisms and natural feed. In most cases water quality criteria in Indonesian aquaculture are too generalized. The present study investigated the relationship between key water quality variables and pond productivity for common commodities farmed in Indonesia.  The study was carried out in representative brackish water ponds at Pinrang, Sinjai, Luwu, and North Luwu Regencies, South Sulawesi Province and South Lampung Regency, Lampung Province. The study collected farm data through a structured questionnaire and interviews, and environmental measurements principally water quality analyses. In situ and laboratory analyses were conducted for dry and wet season conditions. A regression model based on the least quadratic method was used to identify relationships between water quality factors and pond productivity. The production of whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei) was highest in a salinity range of 20--35 ppt, water temperatures between 28.2°C and 31.7°C, dissolved oxygen concentrations between 4.99 mg/L and 10.03 mg/L and pH between 7.83 and 8.89. The highest seaweed production (Gracilaria verrucosa) occurred at a salinity of 25.6 ppt and dissolved oxygen concentration of 8.4 mg/L. The best overall growth of seaweed occurred at a pH 6.00--9.32, water temperature of 26.00°C-37.86°C, phosphate concentrations > 0.1000 mg/L and iron concentrations < 0.1000 mg/L. Polyculture production of tiger prawn (Penaeus monodon) and milkfish (Chanos chanos) was greatest in pond water temperatures of 26.15°C to 36.38°C, dissolved oxygen concentrations between 4.60 mg/L and 10.00 mg/L, and pH between 6.08 and 8.64.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN DAN PRODUKTIVITAS TAMBAK UNTUK PENAJAMAN KRITERIA KESESUAIAN LAHAN: 2. KUALITAS TANAH Akhmad Mustafa; Mudian Paena; Tarunamulia Tarunamulia; Jesmond Sammut
Jurnal Riset Akuakultur Vol 3, No 1 (2008): (April 2008)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (463.807 KB) | DOI: 10.15578/jra.3.1.2008.105-121

Abstract

Selain kualitas air, faktor lingkungan lain yang dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tambak adalah kualitas tanah. Namun kriteria kualitas tanah yang digunakan masih bersifat umum untuk semua komoditas perikanan budidaya tambak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas tambak dari berbagai komoditas dengan berbagai peubah kualitas tanah untuk penajaman kriteria kesesuaian lahan untuk budidaya tambak. Penelitian dilaksanakan di kawasan pertambakan yang ada di Kabupaten Pinrang, Sinjai, Luwu, dan Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai, termasuk untuk mendapatkan data primer dari produksi yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner dan perekaman pada saat wawancara kepada responden. Pengukuran langsung terhadap peubah kualitas tanah tertentu dilakukan di lapangan dan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis di laboratorium dilakukan terhadap peubah kualitas tanah lainnya. Pemilihan model regresi “terbaik” didasarkan pada metode kuadrat terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pHH2O tanah dari 6,34 menjadi 8,10 dan peningkatan kandungan pasir tanah lebih besar 21,8% dapat meningkatkan produksi dan sebaliknya peningkatan kandungan liat tanah lebih besar 30,0% dapat menurunkan produksi udang vannamei. Produksi rumput laut  yang lebih tinggi didapatkan pada tanah dengan pHF lebih besar 6,5; pHFOX lebih besar 4,0; pHF-pHFOX lebih kecil 2,5; dan SPOS lebih kecil 1,00%. Kandungan Fe tanah yang lebih besar 5.000 mg/L dan Al lebih besar 490 mg/L menyebabkan penurunan produksi rumput laut. Peningkatan pHF dan pHFOX tanah masing-masing lebih besar 7,5 dan 7,0 sampai nilai tertentu dapat meningkatkan produksi dan sebaliknya peningkatan kandungan Fe dan Al dapat menurunkan produksi udang windu dan ikan bandeng, terutama melalui pengaruh toksisitas dan dampaknya terhadap ketersediaan fosfor.Soil quality is an important environmental factor to consider in land capability assessment for brackish water aquaculture ponds. However, soil quality criteria are often generalized for all commodities produced in brackish water ponds. This study aims to evaluate the relationship between brackish water pond productivity for common commodities and soil quality factors to improve the underlying criteria for land capability assessment. The research was conducted in the brackish water ponds of Pinrang, Sinjai, Luwu, and North Luwu Regencies South Sulawesi Province and South Lampung Regency Lampung Province. The study involved the collection and analysis of farm management and production data and physicochemical properties of soils. A regression model based on the least quadratic method showed that the pHH2O of soil in the range of 6.34 to 8.10 and a sand content of more than 21.8% was associated with high pond production provided soils had sufficient clay content. The model also showed that heavy clays (30% clay content) decreased production of the whiteleg shrimp. High seaweed production occurred in ponds with a soil pHF of more than 6.5, pHFOX more than 4.0, pHF-pHFOX less than 2.5, and SPOS less than 1.00%. Fe concentration in soil more than  5,000 mg/L and Al more than 490 mg/L decreased the productivity of seaweed ponds. The optimal pHF and pHFOX of soil for tiger prawn and milkfish production was more than 7.5 and 7.0, respectively under polyculture. Elevated concentrations of Fe and Al were found to reduce shrimp and fish production in ponds, principally through their toxic effects and impacts on available phosphorus.