M. Husein Sawit
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PENYARINGAN SP (SPECIAL PRODUCT) PERTANIAN DI WTO: SEBUAH MODALITAS DARI INDONESIA Sawit, M. Husein; Setiyanto, Adi; Purba, Helena J.; Supriah, Supriah
Journal of Indonesian Economy and Business Vol 20, No 4 (2005): October
Publisher : Journal of Indonesian Economy and Business

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Negara berkembang telah mengajukan sejumlah proposal penyempurnaan PerjanjianPertanian WTO, agar lebih berimbang dan adil. SP adalah salah satu perlakuan khususdalam Akses Pasar yang diminta oleh negara berkembang kelompok G-33. Denganfleksibelitas yang diberikan untuk sektor pangan di negara berkembang, diharapkandengan reformasi perdagangan mampu memperkuat produksi pangan domestik danketahanan pangan, mempercepat pembangunan perdesaan dan pengentasan kemiskinan.Dalam makalah ini dibahas cara pemilihan SP, kombinasi antara metoda kuantitatifdengan metoda sederhana dan diharapkan dapat mencapai tujuannya. Hasilnya terpilihdelapan komoditas/produk yang pantas diajukan sebagai SP untuk Indonesia yaitupadi/beras, sayur-sayuran, buah-buahan, jagung/pakan ternak, ternak besar dan hasil-hasilnya, unggas dan hasil-hasilnya, kedelai/olahannya, dan tebu/gula. Kombinasi metodakuantitif dan sederhana ini diharapkan dapat juga dipakai oleh negara kelompok G-33,sebagai kontribusi dari Indonesia.Keywords: developing countries, agreement on agriculture, modality, flexiblelity, specialproduct,
Tingkat Upah Riil Buruh Tidak Terdidik di Pedesaan DAS Cimanuk: 1977 s/ d 1983 Sawit, M. Husein
Economics and Finance in Indonesia Volume 34, Number 2, 1986
Publisher : Institute for Economic and Social Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.873 KB) | DOI: 10.47291/efi.v34i2.343

Abstract

.
Analisa Permintaan Pangan: Bukti Empiris Teori Rumah Tangga Pertanian Sawit, M. Husein
Economics and Finance in Indonesia Volume 42, Number 1, 1994
Publisher : Institute for Economic and Social Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.873 KB) | DOI: 10.47291/efi.v42i1.245

Abstract

.
Pertumbuhan dan Pemerataan: Kasus Perubahan Bagian untuk Pemilik Tanah dan Buruh Tani di Pedesaan Jawa Barat 1969-1979 Sawit, M. Husein; Nurmanaf, A. Rozany
Economics and Finance in Indonesia Volume 28, Number 4, 1980
Publisher : Institute for Economic and Social Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.873 KB) | DOI: 10.47291/efi.v28i4.490

Abstract

.
Proyeksi Permintaan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran: 1996-2003 Sawit, M. Husein; Purwoto, Adreng; Ariani, Mewa
Economics and Finance in Indonesia Volume 46, Number 2, 1998
Publisher : Institute for Economic and Social Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.873 KB) | DOI: 10.47291/efi.v46i2.180

Abstract

.
PERUM BULOG DALAM INPRES PERBERASAN NO. 3/2007: EVALUASI KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASINYA Sawit, M. Husein
JURNAL PANGAN Vol 17, No 1 (2008): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1767.857 KB) | DOI: 10.33964/jp.v17i1.225

Abstract

Pemerintah telah menerbitkan lagi Inpres tentang Kebijakan Perberasan 3/2007 pada akhir Maret 2007. Tujuan inpres ini tidak banyak berubah dibandingkan dengan Inpres yang serupa tahun-tahun sebelumnya, kecuali tentang stabilisasi harga beras. Khusus tentang stabilisasi harga beras, pemerintah telah menempuh berbagai belit baru, yaitu monopoli impor beras diserahkan kembali ke Perum BULOG, dimana Operasi Stabilisasi Harga Beras (OSHB) dipakai sebagai salah satu instrumen untuk stabilisasi harga, disamping Operasi Pasar (OP) sesuai dengan ketentuan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Tujuan tulisan ini adalah untuk Perum BULOG mengevaluasi dan menganalisa kebijakan perberasan mulai dari diktum vi sampai dengan diktum xi, yang terkait dengan tugas-tugas Perum BULOG Itu mencakup kebijakan stabilisasi harga konsumen dan produsen Harga Pembelian Pemerintah (HPP), kebijakan beberapa ketentuan impor beras, pengadaan beras Dalam Negeri (DN), stok dan CBP, dan beras untuk rakyat miskin (Raskin). Hasil utama dari evaluasi ini terlihat bahwa volume pengadaan DN meningkat dan HPP naik, namun kualitas beras pengadaan DN merosot dari standarkualitas Perum BULOG tahun-tahun sebelumnya. Perum BULOG akan kelebihan stok sekitar 0,6 juta ton, dan hal ini akan berpengaruh negatif terhadap efisiensi dan kualitasnya. Dianjurkan agar komponen kualitas beras ditetapkan sesuai dengan SNI (IV atau III). Kenaikan HPP sebaiknya terkait dengan perbaikan kualitas beras/gabah. HPP yang ditetapkan telah terlalu tinggi, hampir 50% lebih tinggi dari harga beras di pasar dunia. Disarankan agar HPP tidak dinaikkan pada 2008, kecuali ada justifikasi khusus. Stok cadangan CBP sebaiknya ditingkatkan minimal menjadi 750 ribu ton pada 2009. OSHB sebagai instrumen stabilisasi harga disarankan agar dipakai sebagai instrumen jangka menengah, bukan bersifat ad hoc. Dengan cara itu, diharapkan bahwa lembaga pelaksana dapat membangun jaringan kerja dan infrastruktur untuk mendukungnya. Pengadaan DN sebaiknya dibuka secara luas, diumumkan persyaratannya di koran lokal atau website.Kata kunci: stabilisasi harga beras, stok cadangan beras pemerintah, kualitas stok, pengadaan dalam negeri, impor beras,Perum BULOG.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multi-kualitas: Pengalaman Negara Lain dan Gagasan untuk Indonesia Sawit, M. Husein
JURNAL PANGAN Vol 18, No 3 (2009): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (925.228 KB) | DOI: 10.33964/jp.v18i3.242

Abstract

Pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan HPP gabah/beras satu jenis kualitas yaitu medium, sejak awal 1970an. Hampir setiap tahun, insentif harga melalui HPP dinaikkan, namun tidak banyak kaitannya dengan kualitas gabah/beras dan penguatan industri penggilingan padi. Sejumlah negara produsen padi di Asia telah lama menerapkan HPP/harga dasar multi-kualitas, sehingga petani dan penggilingan padi terdorong untuk meningkatkan kualitas gabah dan beras sesuai dengan tingkat insentifnya. Tujuan makalah ini adalah memperlihatkan HPP/harga dasar gabah/beras multi kualitas di sejumlah negara lain di Asia, serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Pada masa mendatang, kenaikan HPP dan pengadaan BULOG dianjurkan multi-kualitas. Pada tahap awal, cukup 2 jenis kualitas yaitu medium dan premium, sehingga tidak terlalu sulit untuk diimplementasikan. HPP ditetapkan sesuai dengan kualitas, yaitu lebih tinggi untuk HPP kualitas premium dibandingkan dengan HPP kualitas medium. Ini dapat mendorong peningkatan pengadaan DN (dalam negeri), disamping peningkatan kualitas gabah/beras. Dalam jangka menengah/panjang, petani produsen akan merespons untuk memperbaiki kualitas gabah dengan menggunakan benih bermutu, mekanisasi panen dan perontokan gabah. Penggilingan padi (PP) akan terdorong untuk mempercepat pengembangan pengeringan mekanis (dryers), dan mempercepat peralihan dari PP kecil/menengah ke PP modern. Kebijakan ini perlu pula dilengkapi dengan skim kredit dan insentif fiskal dalam kerangka modernisasi PP/percepatan perubahan teknologi panen/pasca panen.
Kebijakan Swasembada Beras: Keinginan Besar yang Kehilangan Fokus (Rice Self-sufficiency Policy: Big Desire but Losing Focus) Sawit, M. Husein
JURNAL PANGAN Vol 22, No 2 (2013): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (86.61 KB) | DOI: 10.33964/jp.v22i2.85

Abstract

Tantangan swasembada beras semakin tinggi dan risikonya besar. Hal ini disebabkan antara lain oleh buruknya infrastruktur irigasi dan tampungan air, kerusakan aliran sungai dan deforestrasi meluas, konversi lahan sawah, serta perubahan iklim. Kebijakan beras belum fokus. Tujuan makalah ini adalah menelaah implementasi kebijakan beras periode 2010-2012. Hasilnya disimpulkan dan disarankan sebagai berikut: (i) subsidi input terus ditingkatkan namun tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produktivitas dan sustainabilitas pertumbuhan produksi padi. Irigasi dan kualitas tampungan air banyak yang rusak, lahan kritis mencapai 68 DAS (Daerah Aliran Sungai). Alokasikan APBN yang lebih besar untuk mengatasinya, termasuk deforestasi; (ii) Konversi lahan sulit dibendung, UU 41/2009 belum efektif. Pemda cenderung ingin mengkonversikan lahan sawah. Segera tetapkan moratorium konversi lahan sawah; (iii) Kebijakan menaikkan insentif harga di atas HPP (Harga Pembelian Pemerintah) pada musim gadu telah memicu kenaikan harga beras dan target pengadaan beras BULOG tetap tidak terpenuhi. Pemerintah dianjurkanjangan mengulang kebijakan ad hoc tersebut; (iv) Program GP3K belum mampu meningkatkan produksi dan pengadaan beras BULOG. BUMN sebaiknya fokus untuk memperkuat industri hilir pada sub-sektor pangan.Challenges to maintain rice self-sufficiency and the risks are getting higher. This is due to among others: poor irrigation infrastructure, water reserve, up-streams damage, deforestration, conversion of sawah land, as well as difficult climate change. Government policies designed have not properly focused. This paper is aimed to examine the implementation of rice policy during 2010-2012. This research suggests as follows: (i) despite continuous upgrade on input subsidies, however it did not affect significantly to the increased rice productivity and the sustainability of the growth. Furthermore, many of the irrigation and water reserve are damaged, criticle land reaching to 68 river basins. Therefore, it is recommended to allocate a larger state budget to address these matters, including deforestation; (ii) land conversions are difficult to avoid. Local governments tend to convert paddy fields. To prevent this, it is recommended to immediately set moratorium on conversion of sawah; (iii) the policy in providing price incentives set above the HPP (government procurement price) level on dry season has kept rice prices to rise and BULOG remained incapable of meeting its domestic rice procurement target. The Government recommended do not replicate the ad hoc policies; (iv) GP3K program is not effective to increase rice production and the BULOG procurement. Ministry of State Owned Enterprises should have to play role in enhancing the downstream food industry. 
INDONESIA DALAM TATANAN PERUBAHAN PERDAGANGAN BERAS DUNIA Sawit, M. Husein
JURNAL PANGAN Vol 15, No 2 (2006): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (623.285 KB) | DOI: 10.33964/jp.v15i2.291

Abstract

Ciri perdagangan beras dunia masih tetap tipis, walau volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia telah meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan awal 1990an. Ciri lainnya yang masih melekat adalah sebagai pasar sisa (residual market). Negara eksportir utama seperti Thailand, Vietnam dan India tetap mengutamakan kepentingan dalam negar dan membatasi ekspor, manakala stabilisasi harga dan stok pangan nasional terancam. Disamping itu, harga beras di pasar dunia, belum menggambarkan tingkat efisiensi, karena besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintahnya, terutama di negara net eksportir. Pendapatan petani padi di negara maju OECD misalnya, sekitar 80% diantaranya berasal dari bantuan dan subsidi pemerintahnya. Tujuan tulisan ini adalah membahas instrumen yang paling tepat untuk perlindungan petani. Perlindungan itu, tidak seharusnya memakai instrumen primitif seperti pelarangan impor, lebih tepat ke perlindungan tarif. Disamping itu, daya saing industri padi/beras harus didorong melalui faktor non-harga, sebagai unsur utama untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi industri padi/beras. Insentif harga terutama HPP haruslah dirancang secara hati-hati, sekali ditetapkan terlalu tinggi, akan sulit dikoreksi untuk diturunkan. Pada saat sekarang, HPP telah mencapai 37% dari harga beras di pasar dunia, jauh lebih tinggi dari jaminan harga di Thailand untuk kualitas beras bagus (fragrant rice):
Analisa Hasil Sensus Penggilingan Padi 2012 (Analysis ofRice Milling 2012 Census Results) Sawit, M. Husein
JURNAL PANGAN Vol 23, No 3 (2014): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (990.021 KB) | DOI: 10.33964/jp.v23i3.257

Abstract

Sejak lama, Penggilingan Padi (PP) di Indonesia didominasi oleh PP Kecil (PPK). PP jenis ini tidak mampu menghasilkan beras kualitas baik dengan biaya rendah. Jumlah PP terus bertambah, terutama jumlah PPK. PPsaat inisedang menghadapi kesulitan memperoleh gabah dan diduga mempunyai kapasitas terlantar yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah : (i) menganalisa pertambahan PP, dan (ii) menghitung kapasitas terlantar PP. Penelitian ini menggunakan hasil sensus Pendataan Industri Penggilingan Padi (PIPA) BPS 2012. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah PP telah mencapai 182 ribu unit, 86 persen berada di 13 propinsi utama penghasil padi. Pangsa Penggilingan Padi Besar (PPB) sangat kecil (1 persen), sebaliknya pangsa PPK sangat besar (93 persen). PPK dan Penggilingan Padi Keliling (PPKL) terus bertambah tanpa kendali. Disimpulkan bahwa kesulitan utama PP adalah ketersediaan bahan baku gabah dan modal. Total angka kapasitas terlantar PP secara umum adalah sebesar 15 persen, dimana kapasitas terlantar untuk PPB dan PPK adalah, masing-masing sebesar 10 persen dan 17 persen. Pengadaan beras kualitas medium oleh BULOG telah menjadi salah satu faktor penghambat perbaikan kualitas beras. Dominasi PPK dan PPKL berimplikasi menghambat upaya pengurangan kehilangan hasil pada tahap pengeringan dan penggilingan, menyebabkan rendahnya rendemen giling, serta telah mempersulit upaya peningkatan kualitas beras dan efisiensi; yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan biaya produksi beras dan harga beras menjadi mahal. The rice milling industry in Indonesia has been dominated by small scale rice mills for a long time. This type ofmills is incapable ofproducing good quality rice at low costs. The number of small scale rice mills (SSRM) has continued to grow. This type of rice mills is currentlypresumed to face serious difficulty in obtaining grains, resulting in quite high idle capacity The purposes of this paper are: (i) to analyze the increasing numberof rice mills, and (ii) to calculate the rice mills'idle capacity Thisstudy uses 2012 CBS Rice Milling Census data. The results of the study show that the number of rice mills has reached 182 thou sand units of which 86 percent are located in 13 of the main rice producing provinces. The share of large scale rice mills (LSRM) is very small (1 percent); in contrary the share ofSSRM is very large (93 percent). The total idle capacity ofrice mills is about 15 percent for which the idle capacity forLSRMaccounts for 10 percent and SSRM 17 percent. The predominance of small scale and mobile rice mills has provided sev eral implications: hindered efforts to reduce losses duringdryingand milling stages; resulted in low milling yields; and undermined the efforts to improve the rice qualityand cost efficiency which in turn resulted in the increase of production costs and higher rice prices.