Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Politik Negara dalam Pengupahan Buruh di Indonesia M. Ghufron
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 1 No. 2 (2011): Oktober 2011
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (565.73 KB) | DOI: 10.15642/ad.2011.1.2.109-134

Abstract

Abstak: Indonesia, sebuah negara yang sistem ekonominya terhegemoni oleh kapitalisme, kebijakan perindustriannya, lebih khusus lagi tentang sistem perburuhannya, di set up sebagai bagian dari sistem produksi dengan metafora mesin. Upah yang diberikan kepada buruh dianggap sebagai cost (biaya) yang sepadan dengan produktivitas yang dihasilkan. Bahkan semakin rendah upah semakin baik dimata pengusaha, sebaliknya bila upah terus menggelembung, maka akan mengurangi laba perusahaan. Pemerintah sebenarnya menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh dengan menggunakan standar upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, upah buruh yang ditetapkan dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hanya untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk opportunity cost, tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Hukum Islam menjelaskan bahwa pada dasarnya upah (ujrah) adalah salah satu bentuk kompensasi yang besarnya ditentukan oleh jasa atau nilai kerja (produktivitas) itu sendiri, bukan ditentukan oleh tenaga (ain al-`Amal) yang dicurahkan oleh seorang pekerja, maupun harga produk yang dihasilkan oleh seorang pekerja. Bahkan besaran upah hendaknya juga dikaitkan dengan hak dasar untuk hidup (hifz al-nafs) secara layak. Upah dalam sistem ekonomi Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu al-Ajr al-Musamma, dan al-Ajr al-Mithli. al-Ajr al-Musamma adalah upah yang sebutkan pada waktu akad dengan ada unsur kerelaan dari kedua belah pihak sedangkan al-Ajr al-al-Misthli adalah upah pengganti ketika dalam keadaan tidak diketahui atau ada paksaan atau penipuan. Kedua macam upah ini dalam pelaksanaannya terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi disaat berlangsungnya proses pengupahan. Di antaranya, seorang buruh haruslah dijelaskan bentuk kerjanya (job description), batas waktunya (timing), besar gaji/upahnya (take home pay), serta berapa besar tenaga /ketrampilan (skill) harus dikeluarkan.
Asas Mabda’ Ar-Radha’iyyah Dalam Keabsahan Perjanjian Over Kredit KPR Syariah: Mabda' Ar-Radha'iyyah Principles on The Validity of Sharia Mortgage Over Credit Agreements Jamil, Nury Khoiril Jamil; M. Ghufron; Abd. Syakur
ISTIDLAL Vol 2 No 2 (2023): AL-AQWAL : Jurnal Kajian Hukum Islam
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Fattahul Muluk Papua

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The research focuses on the over-credit phenomenon which is often carried out due to customers' inability to carry out obligations or other reasons for Sharia KPR agreements in Indonesia. This phenomenon is important to study in order to determine legal certainty regarding the agreement between the giver and recipient of overcredit which ultimately does not cause losses for either party. This research focuses on two topics that will be studied, namely, first, related to the characteristics of Sharia KPR over-credit agreements in Indonesia, second, related to the validity of Sharia KPR over-credit agreements from the perspective of the Mabda' Ar-Radha'iyyah Principle. This research uses a normative research type with a statutory and regulatory approach and a conceptual approach. This research produces an analysis that, first, there are 2 (two) types of over-credit agreements in Indonesia, namely under-the-hood and legal procedural. Especially in this type of over-credit under the hand, it is an agreement with a new party without prioritizing good faith, especially towards the bank. Second, the validity of a sharia contract is assessed from the consent of the parties. One important element in consent is shown by the presence of complete information, which is an element of openness in the contract. In the context of over-credit carried out privately, this element is not achieved until the contract becomes invalid (fasakh) and the validity of the actions of the giver and recipient of over-credit becomes null and void and has no legal force.
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI TEDAK SITEN MASYARAKAT MUSLIM DI DESA PUGUH, PEGANDON, KENDAL M. Ghufron; Moh. Sakir; Maryono
MERDEKA : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 3 No. 2 (2025): Desember
Publisher : PT PUBLIKASI INSPIRASI INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62017/merdeka.v3i2.6361

Abstract

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi Tedak Siten di Desa Puguh Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal, 2) untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi Tedak Siten di Desa Puguh Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal, 3) untuk mengetahui makna simbolik tradisi Tedak Siten di Desa Puguh Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pengamatan (obsevasi), wawancara (interview), dan dokumentasi (studi documenter). Subjek pada penelitian ini adalah  tradisi Tedak Siten di desa Puguh, pegandon, Kendal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Tedak Siten di Desa Puguh Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal mencakup beberapa rangkaian utama, seperti persiapan peralatan, prosesi menginjak tanah, menaiki tangga tebu, mandi kembang, hingga penyebaran udhik-udhik. Tradisi ini mengandung nilai-nilai pendidikan islam, sepreti nilai syukur, doa dan kerukunan. Setiap rangkaian memiliki simbol dan makna mendalam, seperti rendah hati, kedermawanan, bertanggungjawab, serta kemandirian. Masyarakat setempat memandang tradisi ini bukan sekadar adat turun-temurun, tetapi sebagai sarana internalisasi nilai moral dan spiritual kepada anak sejak dini. Dengan demikian, tradisi Tedak Siten memiliki relevansi penting sebagai media pendidikan Islam berbasis budaya lokal.