Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KEBIJAKAN UNI EROPA RED II DAN DELEGATED ACT TERHADAP PERDAGANGAN PRODUK KELAPA SAWIT INDONESIA Valerie Selvie Sinaga; Refindie Micatie Esani Foekh
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 6 No. 1 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 1 September 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v6i1.197

Abstract

ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara produsen sekaligus pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2018 Uni Eropa memberlakukan Renewable Energy Directive (RED II) 2018/2001 dengan maksud untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan deforestasi sekaligus meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Kebijakan RED II dan Delegated Act telah menempatkan secara implisit kelapa sawit sebagai penyebab dari emisi gas rumah kaca dan deforestasi. RED II dan Delegated Act mengkategorikan kelapa sawit sebagai High Indirect Land Use Change Risk. ILUC terjadi apabila lahan yang dahulunya merupakan lahan pertanian dialihfungsikan untuk memproduksi biofuel, ini sering terjadi pada lahan stok karbon yang tinggi seperti hutan, lahan basah dan lahan gambut, sedangkan kelapa sawit hanya tumbuh di lahan gambut. Indonesia selaku penghasil kelapa sawit mengajukan protes dengan mengajukan gugatan inisiasi awal ke WTO tanggal 9 Desember 2019. Dalam artikel ini akan dibahas permasalahan apakah RED II dan Delegated Act oleh Uni Eropa telah melanggar prinsip Most Favoured Nations (MFN)? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan kesimpulan bahwa kebijakan RED II dan Delegated Act harus dibatalkan karena melanggar prinsip MFN sebagai prinsip utama dalam perdagangan internasional. Kata kunci: delegated act; hukum perdagangan internasional; prinsip mfn. ABSTRACT Indonesia is one of the largest producers and exporters of palm oil in the world. In 2018 the European Union enacted the revision of the Renewable Energy Directive (RED II) 2018/2001 to reduce greenhouse gas emissions and deforestation while increasing the use of renewable energy. RED II and Delegated Act policies have implicitly placed oil palm as a cause of greenhouse gas emissions and deforestation. RED II and Delegated Act categorize palm oil as High Indirect Land Use Change Risk (ILUC). ILUC occurs when land that was once agricultural land is converted to produce biofuel. This often occurs on high carbon stock lands such as forests, wetlands, and peatlands. Whereas only oil palm grows on peatlands. Indonesia did not accept the RED II Policy and Delegated Act by filing a lawsuit with initial initiation to the WTO on 9 December 2019. This article tried to seek whether RED II and Delegated Act policies violate the Most Favored Nations (MFN) principle. The research method used is normative juridical. It is concluded that RED II and Delegated Act policies must be revoked because they violate the principle of MFN as a main principle in international trade. Keywords: delegated act; international trade law; mfn principle.
INTELLECTUAL PROPERTY LAW IN INDONESIA AFTER 2001 Valerie Selvie Sinaga
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 25, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.393 KB) | DOI: 10.22146/jmh.16106

Abstract

This paper reviews the major changes of intellectual property condition in Indonesia after 2001. In that year, Indonesia, which has become a member of the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) since 1994, was ready to meet its commitment under TRIPS. To do so, Indonesiahas made changes in the areas of legislation, administration, court proceedings, and law enforcement. The paper also discusses problematic issues surrounded the implementation of such changes in Indonesia. Tulisan ini melihat kembali perubahan-perubahan besar dalam bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia setelah tahun 2001. Pada tahun tersebut, Indonesia, yang telah menjadi anggota Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sejak 1994, siap untuk memenuhi komitmennya dalam TRIPS. Untuk memenuhi komitmen tersebut, Indonesia telah membuat perubahan-perubahan dalam bidang legislatif, administratif, tata cara pengadilan dan penegakan hukum. Tulisan ini juga membahas permasalahan di seputar pelaksanaan perubahan-perubahan tersebut.
PENYULUHAN HUKUM TENTANG PENTINGNYA HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL PADA KELOMPOK TENUN TRADISIONAL “BIA BEREK” DI DESA KUNERU – ATAMBUA (NTT) Valerie Selvie Sinaga
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol 3, No 1 (2020): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (677.574 KB) | DOI: 10.24912/jbmi.v3i1.8050

Abstract

Intellectual Property Rights (IPR) is a set of rights granted to exploit an object that is the result of human thought. IPR consists of various rights including copyright, trademark, patent, industrial design, and trade secrets. These rights are needed in developing a business, both large and small businesses. Legal counselling on the importance of IPR was given to the "Bia Berek" group consisting of mothers of traditional weaving craftsmen from the Kemak tribe in Kuneru village, Manumutin Urban Village, Atambua District, Belu Regency (East Nusa Tenggara (NTT)) in August 2018. As small businesses in traditional industries, an introduction to the importance of IPR for this group is given so that they can protect the object of intellectual property rights owned and utilize the IPR to advance their small businesses. After legal counselling is carried out, group members understand that their creativity in making woven fabrics is one of the assets protected by copyright and plagiarism of fabric motifs from other regions or groups is not permitted in the copyright regime. In addition, group members understand that a brand is needed to be able to market their woven fabrics more broadly. However, they are still unable to register their weaving work to obtain brand protection, industrial design, and IG, due to their limited funds, knowledge and access. There needs to be further assistance from the Regency Government regarding this IPR issueABSTRAK:Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah serangkaian hak yang diberikan untuk mengeksploitasi suatu obyek yang merupakan hasil dari pemikiran manusia. HKI terdiri dari berbagai hak di antaranya hak cipta, merek, paten, desain industri, dan rahasia dagang.  Hak-hak ini sangat dibutuhkan dalam mengembangkan suatu usaha, baik usaha besar atau pun kecil. Penyuluhan hukum akan pentingnya HKI ini diberikan kepada kelompok “Bia Berek” yang beranggotakan ibu-ibu pengrajin tenun tradisional dari  suku Kemak di desa Kuneru, Kelurahan Manumutin, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu (Nusa Tenggara Timur (NTT)) pada bulan Agustus 2018. Sebagai pelaku usaha kecil di industri tradisional, pengenalan akan arti pentingnya HKI bagi kelompok ini diberikan agar mereka dapat melindungi obyek hak kekayaan intelektual yang dimiliki dan memanfaatkan HKI tersebut untuk memajukan usaha kecil mereka. Setelah penyuluhan hukum dilakukan, anggota kelompok memahami bahwa kreatifitas mereka dalam membuat kain tenunan merupakan salah satu asset yang dilindungi oleh hak cipta dan penjiplakan motif kain tenun dari daerah atau kelompok lain merupakan hal yang tidak diperkenankan dalam rezim hak cipta. Selain itu, anggota kelompok memahami bahwa diperlukan merek untuk dapat memasarkan lebih luas lagi kain hasil tenunan mereka. Namun, mereka masih belum mampu mendaftarkan karya tenun mereka untuk mendapatkan perlindungan merek, desain industri, dan IG, karena keterbatasan dana, pengetahuan dan akses mereka. Perlu ada pendampingan lebih lanjut dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten terkait masalah HKI ini
PENYULUHAN HUKUM DAN PRAKTIK PENGOLAHAN SAMPAH RUMAH TANGGA BAGI KELOMPOK PKK DESA PONGGANG, KABUPATEN SUBANG Sinaga, Valerie Selvie; Siombo, Marhaeni Ria; Wulandari, Bernadetta Tjandra; Melani, Rr. Adeline; Puspita, Natalia Yeti
Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 7, No 2 (2024): Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/kumawula.v7i2.51966

Abstract

Green Economy adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. Program ini sedang digalangkan pemerintah sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim. Sampah rumah tangga merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pembuangan sampah rumah tangga yang tidak benar dapat berkontribusi pada meningkatnya pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim. Padahal, sampah rumah tangga jika dikelola dengan benar selain dapat mengurangi pemanasan global dapat juga mempunyai nilai ekonomi/bisnis bagi rumah tangga. Perempuan mempunyai peranan penting sebagai penggerak ekonomi keluarga yang membutuhkan pendampingan. Salah satunya dengan mengadakan penyuluhan hukum dan praktik pengolahan sampah rumah tangga. Penyuluhan hukum akan dilakukan pada kelompok masyarakat dalam hal ini kepada kaum perempuan yang pengetahuan hukumnya masih rendah dan sering melakukan hubungan hukum dalam kegiatannya. Kelompok masyarakat tersebut adalah kaum perempuan yang tergabung dalam Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Ponggang, Kabupaten Subang. Peningkatan pengetahuan terhadap  komunitas ini diharapkan membantu wawasan mereka bagaimana meminimalkan sampah dan mengolah sampah sehingga bernilai ekonomi, bagaimana standar barang untuk diperdagangkan dalam tingkat global, bagaimana isu lingkungan terkait hak kekayaan intelektual (HKI), bagaimana dengan kewajiban terkait perpajakan dan perlindungan terhadap konsumen, dan hal-hal praktis lainnya dianggap perlu untuk memperkuat wawasan kelompok ini.