Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

THE VULNERABILITY OF PROVING FRAUD AS THE BASIS FOR CANCELLING AGREEMENTS IN THE DIGITAL ERA Siombo, Marhaeni Ria
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 7 No. 2 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Number 2 March 2023
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v7i2.708

Abstract

Civil Law grants freedom to everyone to agree on something as long as it fulfills the valid agreement requirements stated in Article 1320 of the Civil Code. The consent condition is mentioned in Article 1321 of the Civil Code. Consent is invalid if there is a mistake, coercion, or fraud. This writing discusses consent that is not valid due to fraud. Article 1328 of the Civil Code states that 'fraud is a reason for the cancellation of an agreement if the deception used by one of the parties is so obvious and clear that the other party would not have agreed if there was no deception.' It is not easy to prove fraud in an agreement that has been made, as the party that feels deceived is not in a position of 'being forced' and voluntarily signs or digitally approves the agreement with a submitted or accepted mark. More detailed regulations regarding canceling agreements due to fraud are needed to provide legal certainty and justice for the parties.
PENYULUHAN HUKUM DAN PRAKTIK PENGOLAHAN SAMPAH RUMAH TANGGA BAGI KELOMPOK PKK DESA PONGGANG, KABUPATEN SUBANG Sinaga, Valerie Selvie; Siombo, Marhaeni Ria; Wulandari, Bernadetta Tjandra; Melani, Rr. Adeline; Puspita, Natalia Yeti
Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 7, No 2 (2024): Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/kumawula.v7i2.51966

Abstract

Green Economy adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. Program ini sedang digalangkan pemerintah sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim. Sampah rumah tangga merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pembuangan sampah rumah tangga yang tidak benar dapat berkontribusi pada meningkatnya pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim. Padahal, sampah rumah tangga jika dikelola dengan benar selain dapat mengurangi pemanasan global dapat juga mempunyai nilai ekonomi/bisnis bagi rumah tangga. Perempuan mempunyai peranan penting sebagai penggerak ekonomi keluarga yang membutuhkan pendampingan. Salah satunya dengan mengadakan penyuluhan hukum dan praktik pengolahan sampah rumah tangga. Penyuluhan hukum akan dilakukan pada kelompok masyarakat dalam hal ini kepada kaum perempuan yang pengetahuan hukumnya masih rendah dan sering melakukan hubungan hukum dalam kegiatannya. Kelompok masyarakat tersebut adalah kaum perempuan yang tergabung dalam Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Ponggang, Kabupaten Subang. Peningkatan pengetahuan terhadap  komunitas ini diharapkan membantu wawasan mereka bagaimana meminimalkan sampah dan mengolah sampah sehingga bernilai ekonomi, bagaimana standar barang untuk diperdagangkan dalam tingkat global, bagaimana isu lingkungan terkait hak kekayaan intelektual (HKI), bagaimana dengan kewajiban terkait perpajakan dan perlindungan terhadap konsumen, dan hal-hal praktis lainnya dianggap perlu untuk memperkuat wawasan kelompok ini. 
Kajian Hukum Hilirisasi dan Penghentian Ekspor Mineral Logam Siombo, Marhaeni Ria
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4800

Abstract

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan berbagai mineral yang besar di dunia. Selain mineral logam seperti batubara, nikel, dll digunakan untuk diekspor saat ini pemerintah telah mewajibkan hilirisasi mineral logam di dalam negeri. Selain itu potensi mineral logam  di Indonesia juga berperan dalam peningkatan investasi untuk penerimaan negara bisa melalui investasi smelter. Melalui kebijakan larangan ekspor mineral logam, kesinambungan pasokan mineral logam mentah dalam jangka panjang untuk kebutuhan smelter domestik tetap terjaga. Tetapi terdapat isu di masyarakat akibat larangan ekspor mempengaruhi harga jual mineral logam khususnya berdampak bagi kegiatan usaha. Tulisan ini membahas sejauh mana kebijakan investasi mineral logam, larangan ekspor ore mineral logam, hilirisasi, dan kendala yang dihadapi. Penulis menemukan bahwa adanya hilirisasi mineral logam justru mendorong harga mineral logam ke arah yang positif sehingga mendorong para investor datang ke Indonesia
Kajian Hukum Hilirisasi dan Penghentian Ekspor Mineral Logam Siombo, Marhaeni Ria
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4915

Abstract

Indonesia is one of the countries that has large reserves of various minerals in the world. In addition to metal minerals such as coal, nickel, etc., which are used for export, currently the government has made it mandatory to downstream metal minerals in the country. In addition, the potential for metal minerals in Indonesia also plays a role in increasing investment for state revenue, through smelter investments. Through the policy of prohibiting the export of metal mineral ores, the continuity of the supply of raw metal minerals in the long term for the needs of domestic smelters is maintained. But there are issues in society due to the export ban affecting the selling price of metal minerals, especially impacting business activities. This paper discusses the extent of metal mineral investment policies, the ban on metal mineral ore exports, downstreaming, and the obstacles faced. The author found that downstream metal minerals actually pushed metal mineral prices in a positive direction, thus encouraging investors to come to Indonesia
IMPLEMENTASI MEKANISME EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 Siombo, Marhaeni Ria
Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum Vol 32 No 2 (2023)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jsh.32.2.88-111

Abstract

Mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia mengalami perubahan yang signifikan pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Putusan ini menyatakan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjadi inkonstitusional bersyarat. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait, mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini menghilangkan sifat utama jaminan fidusia yaitu kemudahan dalam melakukan eksekusi. Putusan ini membawa dampak yang sangat besar, tidak hanya bagi para pihak yang terkait tetapi juga masyarakat luas yang akan mengadakan perjanjian jaminan fidusia pasca putusan terkait. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan dari berbagai peraturan perundang-undangan dan literatur. Penelitian bersifat kualitatif yang dilakukan secara holistik yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan dan menarik kesimpulan. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia pasca putusan MK menjadi lebih bertele-tele dan terkesan membatasi hak-hak kreditur. Proses eksekusi yang lebih sulit juga menimbulkan implikasi terhadap sektor perekonomian yaitu membuat lembaga keuangan menjadi enggan dan lebih selektif dalam memberikan pinjaman dengan jaminan fidusia.
Legal Framework of Indonesia’s Energy Transition: Regional Autonomy and Chinese Investment in Green Development Adi, Emmanuel Ariananto Waluyo; Ong, William; Siombo, Marhaeni Ria
Pandecta Research Law Journal Vol. 20 No. 1 (2025): June, 2025
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v20i1.12199

Abstract

In response to global efforts to reduce greenhouse gas emissions, Indonesia is promoting the adoption of electric vehicles (EVs), particularly battery-based electric motor vehicles (KBLBB), most of which are imported from China. This initiative aligns with the national commitment to achieve Net Zero Emissions by 2060 and transition from fossil fuels to renewable energy. The government has issued several legal instruments, including Presidential Decree No. 79 of 2023 and Presidential Instruction No. 7 of 2022, the latter mandating the use of KBLBB for official vehicles by regional governments. However, implementation at the regional level remains limited. Despite their potential as role models, local governments have not widely adopted KBLBB, in contrast to the central government. This discrepancy is attributed to the non-binding nature of presidential instructions and the autonomy granted to regional governments under Indonesia's decentralization framework. Using a normative juridical method with statutory and conceptual approaches, this study analyzes the effectiveness and legal enforceability of these policies. The key issue lies in the normative authority of presidential regulations versus local autonomy. The study argues that achieving a just and inclusive energy transition requires equitable adoption of KBLBB across all regions. Where regional governments face financial or infrastructural constraints, central government support is essential. Encouraging foreign particularly Chinese investment could accelerate infrastructure development and expand access to EV technology nationwide. Strengthening legal mandates and enhancing intergovernmental coordination are critical to advancing Indonesia’s sustainable transportation agenda
MEDIASI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI TERHADAP PELANGGARAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG SEHAT Siombo, Marhaeni Ria
Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (322.84 KB)

Abstract

UUPPLH tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang sehat adalah ‘hak’ setiap warga negara Indonesia. Manusia adalah subyek hukum, pemikul hak dan kewajiban. Fungsi hukum adalah mengatur terlaksananya interaksi antara hak dan kewajiban masing-masing orang, supaya tercipta ketertiban. Hak dan kewajiban melekat utuh dalam diri manusia. Dalam hukum perdata mengatur interaksi hak di satu pihak dan kewajiban dipihak lainnya, begitu seterusnya pergaulan manusia. Pelanggaran terhadap ‘hak’ akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidaktertiban atau sengketa di antara para pihak, yang harus diselesaikan secara hukum. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan persyaratan yang diwajibkan terhadap suatu kegiatan yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap lingkungan. AMDAL merupakan instrumen hukum berkaitan dengan perizinan yang esensinya untuk mengontrol pelaksanaan tiga pilar pembangunan, ekonomi, sosial dan ekologi. Dokumen AMDAL akan memberikan petunjuk terjadinya pelanggaran terhadap ‘hak’ masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup berkaitan dnengan ganti rugi terhadap mereka yang dilanggar haknya dan pemulihan lingkungan terhadap lingkungan yang rusak. Pembayaran ganti rugi sebagai konpensasi atas penderitaan dari pelanggaran hak lingkungan, pengembalian penderita pada kedaan semula (restitusio in integrum). Pasal 84 UUPPLH menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Secara non litigasi lebih mengutamakan musyawarah mufakat, win-win solution, misalnya mediasi. Dalam mediasi kedua pihak sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian, selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak, di sinilah titik lemahnya penyelesaian non litigasi. Secara teknis penyelesaian sengketa non litigasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur. Mediasi di Pengadilan, tetapi sampai saat ini khusus untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup non litigasi belum menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat dalam memperjuangkan haknya.
UU NO. 23 TAHUN 2014 DAN PERUBAHAN KEWENANGAN PEMDA DAN DAMPAKNYA PADA PENGELOLAAN SDA Siombo, Marhaeni Ria
Bina Hukum Lingkungan Vol. 2 No. 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan, Volume 2, Nomor 1, Oktober 2017
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.235 KB)

Abstract

Perubahan sistem pemerintahan di Indonesia yang tadinya sentralistik menjadi desentralisasi, dengan adanya pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat. Hal ini disambut positif, yang kemudian diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, sebagai pengganti UU No. 5 tahun 1974 (yang dianggap sentralistik), disempurnakan lagi dengan UU No. 32 Tahun 2004. Seiring dengan itu terjadi banyak perubahan pada sistem pemerintahan termasuk pemilihan secara langsung kepala daerah. Mulailah timbul persoalan, termsuk penyalagunaan kewenangan oleh beberapa kepala daerah, dalam mengeluarkan izin lingkungan. Kelemahan tersebut memicu untuk disempurnakan sehingga berganti menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terbitnya UU No. 23 Tahun 2014, menimbulkan persoalan baru, dengan adanya macam-macam urusan pemerintahan, yang kemudian terbagi-bagi lagi. Urusan pemerintahan yang tadinya menjadi kewenangan pemda kabupaten/kota menjadi berpindah ke pemda provinsi. Hal ini termasuk berdampak pada kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan SDA.
KEARIFAN LOKAL DALAM PROSES PEMBUATAN TENUN IKAT TIMOR (STUDI PADA KELOMPOK PENENUN DI ATAMBUA-NTT) Siombo, Marhaeni Ria
Bina Hukum Lingkungan Vol. 4 No. 1 (2019): Bina Hukum Lingkungan, Volume 4, Nomor 1, Oktober 2019
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.423 KB)

Abstract

Pada masyarakat Nusa Tenggara Timur dikenal beraneka macam tenunan yang sampai saat ini tetap ada, dan digunakan dalam aktivitas keseharian mereka. Corak dan warna yang mendekati warna alam dengan warna dasar gelap seperti hitam, coklat, merah hati dan biru tua, dengan tidak banyak variasi warna menjadi ciri khas tenunan Flores dan Timor. Hal ini karena para penenun kain menggunakan pewarna nabati, yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti mengkudu, tauk, kunyit dalam proses pewarnaan benang. Pewarnaan dengan menggunakan bahan-bahan zat pewarna berasal dari alam, limbah yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah menggali nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembuatan tenun ikat Atambua, untuk diatur dalam regulasi pemerintah daerah. Metode observasi digunakan dalam mengamati proses pembuatan kain tenun. Salah satu cara mempertahankan kearifan lokal adalah melalui regulasi pemerintah, dalam bentuk Peraturan Daerah.
DESA BERWAWASAN LINGKUNGAN MELALUI SINKRONISASI KEWENANGAN DESA DAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES PERSETUJUAN LINGKUNGAN Siombo, Marhaeni Ria; Adi, Emmanuel Ariananto Waluyo
Bina Hukum Lingkungan Vol. 5 No. 3 (2021): Bina Hukum Lingkungan, Volume 5, Nomor 3, Juni 2021
Publisher : Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang mensinergikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Kekayaan alam Indonesia letaknya pada umumnya berada di desa. Sumber penghidupan orang desa adalah kekayaan alam di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan dan sumberdaya mineral. Orang desa pun memiliki kearifan bagaimana menjaga keseimbangan alam, karena alam yang memberi mereka hidup, sehingga mereka menjaganya. Dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan kepada desa untuk mampu mandiri. Semestinya kekayaan alam Indonesia yang melimpah dan berada di desa, dinikmati oleh orang desa. Fakta warga desa sampai saat ini hanya menjadi ‘penonton’ dan perangkat desa tak berdaya dengan investor yang gencar masuk wilayahnya. Melalui kajian hukum peraturan perundang-undangan terkait, disimpulkan bahwa untuk mencapai desa yang mandiri sejahtera dan berwawasan lingkungan maka kewenangan yang diberikan kepada desa seharusnya bersinergi dengan persetujuan lingkungan yang diatur dalam peraturan lain yang melibatkan masyarakat desa melalui kelembagaan desa. Dengan demikian capaian Desa Berwawasan Lingkunganakan mudah terwujud.