Khairu Roojiqien Sobandi
Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

RELASI KUASA ANTARA PERHUTANI DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI BANYUMAS: KEPENTINGAN BISNIS VS COMMUNITY EMPOWERMENT Rosyadi, Slamet; Sobandi, Khairu Roojiqien
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2939

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pandangan masyarakat dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam merespons orientasi Perhutani yang memprioritaskan pengembangan usaha (profits/bisnis) daripada pemberdayaan masyarakat desa hutan. Pendekatan studi menggunakan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LMDH tidak dilibatkan secara signifikan dalam perencanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Lebih dari 12 tahun, Perhutani masih menjadi aktor dominan dengan kekuasaan besar menentukan pemangku kepentingan mana yang dikehendaki untuk terlibat dalam perencanaan programnya. Akibatnya, LMDH (masyarakat) merasa Perhutani tidak lagi menganggap serius peran LMDH dalam proses pengelolaan program-program PHBM. Dengan kata lain, peran LMDH hanya ada diatas kertas tetapi realitasnya tidak banyak berperan. Perhutani lebih fokus mengejar target keuntungan untuk kepentingan perusahaan tetapi di pihak lain tidak meningkatkan pembagian peran dengan LMDH sebagai mitra sejajar dalam program PHBM. This paper explores the power relations between state and society, specifically, after 12 years of implementing the policy of community-based forest management (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, known as PHBM). It investigates how villagers and its local institutions (Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH), and street-level bureaucracy (SLB) responses toward the current development of State Forest Cooperation (Perum Perhutani, SFC) orientation in generating profit rather than the people and the planet/environment. The result shows that the villagers through LMDHs are, in fact, never closely engagein planning PHBM activities. Over 12 years, the SFC is still become the dominant actor who have dominant power in determining which stakeholders that they wanted to be involved in planning PHBM activities. Consequently, LMDH feels that SFC is reluctant in taking seriously the roles of LMDH in planning the PHBM activities. SFC is pursuing their target in generating benefits merely for their own benefits without taking LMDH in as their equal partner in PHBM activities.
RELASI KUASA ANTARA PERHUTANI DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI BANYUMAS: KEPENTINGAN BISNIS VS COMMUNITY EMPOWERMENT Rosyadi, Slamet; Sobandi, Khairu Roojiqien
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2939

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pandangan masyarakat dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam merespons orientasi Perhutani yang memprioritaskan pengembangan usaha (profits/bisnis) daripada pemberdayaan masyarakat desa hutan. Pendekatan studi menggunakan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LMDH tidak dilibatkan secara signifikan dalam perencanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Lebih dari 12 tahun, Perhutani masih menjadi aktor dominan dengan kekuasaan besar menentukan pemangku kepentingan mana yang dikehendaki untuk terlibat dalam perencanaan programnya. Akibatnya, LMDH (masyarakat) merasa Perhutani tidak lagi menganggap serius peran LMDH dalam proses pengelolaan program-program PHBM. Dengan kata lain, peran LMDH hanya ada diatas kertas tetapi realitasnya tidak banyak berperan. Perhutani lebih fokus mengejar target keuntungan untuk kepentingan perusahaan tetapi di pihak lain tidak meningkatkan pembagian peran dengan LMDH sebagai mitra sejajar dalam program PHBM. This paper explores the power relations between state and society, specifically, after 12 years of implementing the policy of community-based forest management (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, known as PHBM). It investigates how villagers and its local institutions (Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH), and street-level bureaucracy (SLB) responses toward the current development of State Forest Cooperation (Perum Perhutani, SFC) orientation in generating profit rather than the people and the planet/environment. The result shows that the villagers through LMDHs are, in fact, never closely engagein planning PHBM activities. Over 12 years, the SFC is still become the dominant actor who have dominant power in determining which stakeholders that they wanted to be involved in planning PHBM activities. Consequently, LMDH feels that SFC is reluctant in taking seriously the roles of LMDH in planning the PHBM activities. SFC is pursuing their target in generating benefits merely for their own benefits without taking LMDH in as their equal partner in PHBM activities.
RELASI KUASA ANTARA PERHUTANI DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI BANYUMAS: KEPENTINGAN BISNIS VS COMMUNITY EMPOWERMENT Rosyadi, Slamet; Sobandi, Khairu Roojiqien
Komunitas Vol 6, No 1 (2014): March 2014
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2939

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pandangan masyarakat dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam merespons orientasi Perhutani yang memprioritaskan pengembangan usaha (profits/bisnis) daripada pemberdayaan masyarakat desa hutan. Pendekatan studi menggunakan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LMDH tidak dilibatkan secara signifikan dalam perencanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Lebih dari 12 tahun, Perhutani masih menjadi aktor dominan dengan kekuasaan besar menentukan pemangku kepentingan mana yang dikehendaki untuk terlibat dalam perencanaan programnya. Akibatnya, LMDH (masyarakat) merasa Perhutani tidak lagi menganggap serius peran LMDH dalam proses pengelolaan program-program PHBM. Dengan kata lain, peran LMDH hanya ada diatas kertas tetapi realitasnya tidak banyak berperan. Perhutani lebih fokus mengejar target keuntungan untuk kepentingan perusahaan tetapi di pihak lain tidak meningkatkan pembagian peran dengan LMDH sebagai mitra sejajar dalam program PHBM. This paper explores the power relations between state and society, specifically, after 12 years of implementing the policy of community-based forest management (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, known as PHBM). It investigates how villagers and its local institutions (Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH), and street-level bureaucracy (SLB) responses toward the current development of State Forest Cooperation (Perum Perhutani, SFC) orientation in generating profit rather than the people and the planet/environment. The result shows that the villagers through LMDHs are, in fact, never closely engagein planning PHBM activities. Over 12 years, the SFC is still become the dominant actor who have dominant power in determining which stakeholders that they wanted to be involved in planning PHBM activities. Consequently, LMDH feels that SFC is reluctant in taking seriously the roles of LMDH in planning the PHBM activities. SFC is pursuing their target in generating benefits merely for their own benefits without taking LMDH in as their equal partner in PHBM activities.
MANAJEMEN KONFLIK DALAM IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NO 6 TAHUN 2021 TENTANG PEMBERDAYAAN DESA Bramantyo, Noorman Rafli; Sobandi, Khairu Roojiqien; Kusumanegara, Solahuddin
Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan Vol 10, No 2 (2024): (November) Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan
Publisher : Faculty of Social and Political Science, Universitas Siliwangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37058/jipp.v10i2.12669

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen konflik melalui musyawarah perencanaan Pembangunan (musrenbang) dalam implementasi Peraturan Daerah No 6 Tahun 2021 Tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Desa wisata merupakan salah satu bentuk program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan perekonomian desa. Desa wisata ini menarik perhatian and menjadi arena baru perebutan sumberdaya ekonomi dan politik para elit lokal. Perebutan sumberdaya baru ini mendorong konflik antar elit yang menjadikan proses perkembangan desa wisata terganggu. Dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, penelitian ini menemukan bahwa konflik antar elit ini diselesaikan melalui musrenbang yang memiliki potensi sebagai sarana demokrasi deliberatif. Dominasi elit dalam musrenbang ini berakibat pada terpinggirkannya kelompok marginal yang partisipasinya semakin terbatas. Dengan demikian, musrenbang menjadi media yang dimanfaatkan para elit lokal untuk kepentingan ekonomi dan politiknya dan pada saat yang bersamaan musrenbang telah mengabaikan kepentingan kelompok non-elit.