Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Kebijakan Formulasi Kualifikasi Yuridis terhadap Delik dalam Undang-Undang yang Lahir dalam Kurun Waktu 2014-2015 Ade Adhari
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.331

Abstract

Dinamika produk perundang-undangan legislatif tahun 2014-2015 menunjukkan adanya perkembangan penggunaan hukum pidana sebagai sarana guna menanggulangi kejahatan. Hal ini terlihat dengan banyaknya undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Namun sayangnya, kebijakan formulasi ketentuan pidana tersebut mengandung masalah yuridis. Salah satu masalah yuridis yang ada disebabkan karena tidak ditetapkannya kualifikasi yuridis berupa kejahatan atau pelanggaran dalam delik yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut. Tidak ditetapkannya kualifikasi yuridis menyebabkan aturan umum dalam Buku I KUHP tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana di luar KUHP. Untuk itu ke depan, pembentuk undang-undang harus menetapkan kualifikasi yuridis berupa kejahatan atau pelanggaran, guna menjembatani berlakunya aturan umum dalam KUHP terhadap delik-delik yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP.Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Kebijakan Formulasi, Kualifikasi Yuridis
PENINGKATAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP PERAN MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Tundjung HS Tundjung HS; Ida Kurnia; Ade Adhari
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol 2, No 2 (2019): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (661.026 KB) | DOI: 10.24912/jbmi.v2i2.7264

Abstract

Kesadaran hukum merupakan elemen penting guna memastikan hukum dapat bekerja dengan baik di masyarakat. Tingkat kesadaran hukum yang rendah sering menjadi causa hukum tidak ditaati dengan baik oleh masyarakat. Dalam hal pencegahan dan penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) penting untuk memastikan masyarakat mengetahui aturan hukum dan substansi aturan hukum yang mengatur mengenai KDRT. Salah satu problem mendasar dalam pencegahan dan penanggulangan KDRT adalah masyarakat tidak memahami perannya. Hal tersebut juga yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah Kecamatan Grogol Petamburan. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, kegiatan pengabdian kepada masyarakat dilakukan dengan metodeberupa ceramah atau penyuluhan serta diskusi untuk memperjelas pemahaman peserta penyuluhan ini.Hasil kegiatan penyuluhan dari pengabdian kepada masyarakat tersebut berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat mengenai perannya terhadap KDRT yaitu mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
MENYELAMI INTERPRETASI DEMONSTRAN AKSI REFORMASI DIKORUPSI TERHADAP RUU KUHP Ade Adhari
Jurnal Hukum Progresif Vol 9, No 1 (2021): Volume: 9/Nomor1/April/2021
Publisher : Doctor of Law, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (673.975 KB) | DOI: 10.14710/jhp.9.1.16-24

Abstract

RKUHP merupakan salah satu rancangan undang-undang yang ditolak pada saat aksi demonstrasi “Reformasi Dikoupsi”. Mereka yang menolak RKUHP tentu dilakukan atas dasar suatu alasan (reason). Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan alasan mendasar mengapa penolakan tersebut terjadi dan langkah apa yang dapat dipilih untuk mengatasi penolakan. Hasil kajian menunjukan, pertama, Alasan penolakan yang dikemukakan oleh masyarakat adalah karena RKUHP dipandang telah memasuki arena private¾hak asasi manusia. Kedua, untuk menjembatani masalah penolakan tersebut, maka perlu dilakukan dialog aktif mengenai RKUHP. masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan alasan mengapa mereka menolak.. Kemudian, pemerintah harus mampu menjelaskan HAM dan keragaman pandangan dalam melihatnya, antara lain adanya pandangan universal-absolute, pandangan universal-relatif, pandangan partikularistik-absolute dan pandangan partikularistik-relatif. Serta menjelaskan bahwa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Indonesia menganut partikularistik-relatif.
BATASAN PELAKSANAAN PERINTAH JABATAN SEBAGAI ALASAN PEMBENAR DALAM SYARAT PEMIDANAAN Timothy Sutanto Simamora; Ade Adhari
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 10, No 2 (2023): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v10i2.2023.506-519

Abstract

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP), tidak ada penjelasan batasan terkait pasal 51 ayat (1) KUHP. Sehingga perlunya satu pemahaman mengenai batasan dalam rumusan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Jika orang-orang yang melakukan perintah atasan ini senantiasa dibayang-bayangi rasa takut dengan adanya ancaman hukuman dari apa yang mereka kerjakan, maka mereka ragu-ragu dalam melaksanakan tugas-tugas dan pekerjaannya. Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mengidentifikasi batasan pelaksanaan perintah jabatan sebagai alasan pembenar dalam syarat pemidanaan. Dalam menguraikan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian antara lain menggunakan jenis penelitian normatif, sifat penelitian ini bersifat preskriptif, menggunakan jenis data sekunder antara lain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan dengan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan dengan kasus yang dianalisa dengan teknik deduktif. Hasil penelitian batasan perintah jabatan sebagai alasan pembenar dalam syarat pemidanaan menunjukkan ada 3 (tiga), antara lain: penerima perintah dan yang diperintah berada dalam dimensi hukum publik, terdapat hubungan subordinasi, harus dengan cara yang patut dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran, penerima perintah tidak harus menerima perintah secara langsung dari pemberi perintah.