Wido Hanggoro
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

EVALUASI MODEL WAVEWATCH-III MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI DAN OBSERVASI Muhammad Najib Habibie; Wido Hanggoro; Donaldi Sukma Permana; Roni Kurniawan
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 17, No 3 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6104.849 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v17i3.322

Abstract

Model gelombang menjadi komponen utama dalam memberikan informasi prediksi gelombang dewasa ini. Hal ini terjadi akibat terbatasnya pengamatan in-situ yang dilakukan untuk mengamati lautan secara umum. Model prakiraan gelombang telah mengalami evolusi, mulai dari generasi pertama dan berkembang sampai model generasi tiga. Model generasi ketiga merupakan penyempurnaan dari model gelombang sebelumnya dimana model ini merupakan sebuah model spektral lengkap dengan representasi eksplisit pada proses fisik yang relevan terhadap evolusi gelombang dan yang memberikan gambaran dua dimensi dari laut secara lengkap. Salah satu model generasi ketiga ini adalah WAVEWATCH-III. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi model WAVEWATCH-III di Manokwari, Saumlaki, Selat Bangka dan Surabaya untuk mengetahui performanya. Model diseting pada dua domain, domain global dan wilayah Indonesia dengan resolusi 0,5° dan 0,125° dan dirunning selama setahun (2012). Luaran model kemudian dibandingkan dengan data AVISO serta data observasi insitu. Hasil penelitian menunjukkan korelasi antara luaran model dengan data AVISO di 4 titik yang dianalisa umumnya nilainya dibawah 0,5. Hanya di beberapa tempat yang menunjukkan korelasi yang besar diantaranya adalah Saumlaki dan Manokwari. Kedua lokasi ini terletak pada laut yang relatif terbuka, hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi yang relatif terbuka AVISO dapat digunakan untuk verifikasi model, akan tetapi pada perairan yang sempit (Surabaya dan Bangka) AVISO kurang baik untuk verifikasi model. Terdapat bias antara luaran model dengan observasi insitu yang berada di pantai yang dangkal sehingga model tidak dapat merepresentasikan kondisi faktual dengan sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa dengan resolusi 0,5° dan 0,125° model belum dapat digunakan untuk verifikasi gelombang di daerah pantai. Dari perbandingan antara observasi insitu dengan luaran model pada dua resolusi yang berbeda menunjukkan bahwa pada resolusi yang lebih tinggi, luaran model menunjukkan hasil yang lebih mendekati observasinya.
PENGGUNAAN SKEMA KONVEKTIF MODEL CUACA WRF (BETTS MILLER JANJIC, KAIN FRITSCH DAN GRELL 3D ENSEMBLE) (Studi kasus: Surabaya dan Jakarta) Roni Kurniawan; Wido Hanggoro; Rian Anggraeni; Sri Noviati; Welly Fitria; Rahayu S. Sri Sudewi
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 15, No 1 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (712.812 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v15i1.170

Abstract

Pada kajian ini dilakukan evaluasi penggunaan beberapa skema konvektif pada model WRF (Weather Research and Forecasting) untuk prediksi cuaca di wilayah Indonesia. Terdapat tiga skema konvektif yang akan dievaluasi yaitu; skema konvektif cumulus BMJ (Betts Miller Janjic), KF (Kain Fritsch), dan GD (Grell 3D ensemble). Data yang digunakan untuk evaluasi adalah data curah hujan per 3 jam dan data angin per 12 jam (level ketinggian; permukaan, 850, 500, 250 mb) dari hasil pengolahan model WRF dan observasi selama periode bulan Agustus 2011 dan Februari 2012 di stasiun Juanda-Surabaya dan Cengkareng-Jakarta. Hasil verifikasi dari tiga skema konvektif pada model WRF terhadap data observasi menunjukkan bahwa untuk prakiraan curah hujan, penggunaan skema konvektif BMJ lebih baik dari skema KF dan GD, dan untuk prakiraan arah dan kecepatan angin skema BMJ dan GD relatif lebih baik dari skema KF. Berdasarkan analisis hasil verifikasi yang diperoleh, pemilihan skema konvektif cumulus BMJ cenderung lebih baik dari skema konvektif KF dan GD untuk di aplikasikan pada model WRF. In this study, the use of some convective schemes on the model WRF (Weather Research and Forecasting) for weather prediction in the Indonesian region has been evaluated. There are two models evaluated; BMJ cumulus convective scheme (Betts Miller Janjic), KF (Kain Fritsch), and GD (Grell 3D ensemble). The data used in the evaluation are the 3 hourly rainfall data and the 12 hourly wind data (level height; surface, 850, 500, 250mb) from the WRF models and observation processing during August 2011 and February 2012 period at the Juanda-Surabaya and Cengkareng-Jakarta stations. The results of the verification of the three convective schemes in WRF models against observation data indicate that for precipitation forecasts, the application of the BMJ convective scheme is better than the KF and GD schemes, and for direction and wind speed forecast, BMJ and GD schemes are relatively better than the KF scheme. Based on the analysis of the verification results obtained, the selection of the BMJ cumulus convective scheme tends to be better than GD and KF convective scheme to be applied to WRF models.
SIMULASI HUJAN EKSTRIM PADA KEJADIAN BANJIR DI MATARAM TANGGAL 10 JANUARI 2009 MENGGUNAKAN WRF-EMS Wido Hanggoro; Iis Widya Harmoko; Erwin Eka Syahputra Makmur
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 13, No 1 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (531.727 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v13i1.120

Abstract

Kejadian hujan ekstrim pada tanggal 10 Januari 2009 yang mengakibatkan banjir di Mataram disimulasaikan secara numerik dengan menggunakan dua model. Pertama, digunakan model WRF EMS (Weather Research and Forecasting Environmental Modeling System) dengan resolusi 5 dan 15 km. Kedua, menggunakan model IDW (Inverse Distance Weighted) dengan resolusi 15 km. Hasil simulasi tersebut dibandingkan dengan pola distirbusi curah hujan hasil pengamatan pada tanggal-tanggal yang sama. Hasil simulasi keduanya menunjukkan kesamaan dengan nilai korelasi mencapai R 0,43 dan RSME 83,24 untuk kasus hujan pada tanggal 10 Januari 2009, sedangkan simulasi hujan untuk tanggal 5 – 11 Januari 2009 menunjukkan nilai rata-rata korelasi, koreksi dan  RSME masing-masing 0,30; 5,25 dan 41,60. Two numerical simulation models were used to simulate extreme rainfall on January 10, 2009 that caused flood in Mataram, i.e. WRF EMS (Weather Research and ForecastingEnvironmental Modeling System) and IDW (Inverse Distance Weighted), respectively. The result based on 15 km and 5 km resolusions were compared with the distribution pattern on the same date. The 15 km resolution on IDW method showed value of R 0.43 and RMSE 83.24 for January 10, 2009, whilst the average correlation, correction and RMSE for January 5-11, 2009 are respectively 0.30, 41.60 and -5.25 m, respectively.
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF TERHADAP HASIL PREDIKSI TEMPERATUR PERMUKAAN DI WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA Thahir Daniel F. Hutapea; Roni Kurniawan; Wido Hanggoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 16, No 3 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i3.288

Abstract

Model Weather Research and Forecasting (WRF) telah digunakan dalam simulasi dan prediksi cuaca dengan cara melakukan downscaling dari resolusi rendah (global) ke resolusi yang lebih tinggi. Karena pengaruh dari topografi Indonesia, banyak proses atmosfer terjadi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan resolusi horizontal model atmosfer, sehingga diperlukan pendekatan fisik dalam melakukan down scaling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan topografi pada model WRF terhadap hasil prediksi temperatur permukaan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Verifikasi terhadap perfoma model WRF dilakukan dalam perioda monsunal. Verifikasi variabel Temperatur dilakukan berdasarkan nilai mean error atau bias, korelasi, standart deviasi dan bias relatif. Hasil dari analisis mean error menunjukkan nilai  yang bervariasi di setiap daerah dan di setiap musimnya. Pada daerah yang terletak wilayah pegunungan menunjukkan nilai mean error yang besar, untuk wilayah yang lainnya pada umumnya menunjukkan nilai mean error yang kecil. Stasiun-stasiun dengan nilai mean error yang besar disebabkan karena perbedaan antara elevasi pada model dan elevasi stasiun observasi. Hasil analisis korelasi secara umum menunjukkan nilai korelasi yang cukup baik  disetiap daerah dan musimnya. Perbedaan hasil luaran antara model dengan data obervasi disebabkan karena perbedaan ketinggian topografi antara model dan stasiun observasi yang cukup besar. Sedangkan hasil verifikasi prediksi model WRF untuk pulau pulau kecil diperoleh nilai korelasi yang sangat rendah dengan nilai standart deviasi dan bias relatif yang besar, kondisi ini disebabkan resolusi 25 km yang digunakan model WRF dalam penelitian ini masih terlalu kasar, sehingga luas daratan tidak tergambarkan dengan baik oleh model. Weather Research and Forecasting (WRF) model has been applied to weather simulation and prediction by performing downscaling of global resolution to high resolution. The impact of Indonesian topography, caused many atmospheric processes to occur on smaller scales than the horizontal resolution of atmospheric models, some physical component approach is needed in the downscaling process. The purpose of this study is to know the effect of WRF models on topography and land area to the surface temperature parameter in Indonesia. The verification of the WRF model performance has been conducted in the monsoonal period. Temperature variable verification is done based on the value of the mean error and correlation. The analyses indicate that the mean error values were varying in each region and each season. In areas located in the mountainous area showed a high mean error value. In other areas, it generally showed a low mean error value. Stations with high mean error values were caused by the difference between model elevation and station elevation. Model and observation data differences were caused by the large difference of topographic height between model and observation. While the verification result of model prediction for small islands shows very low correlation value, with big value in the standard deviation and relative bias; this condition is caused by 25 km resolutions used by the model in this study was too rough, hence the land area is not well represented by the model.
PREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN MENGGUNAKAN METODE KALMAN FILTER DENGAN PREDIKTOR SST NINO 3.4 DIPREDIKSI Restu Tresnawati; Tri Astuti Nuraini; Wido Hanggoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 11, No 2 (2010)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v11i2.70

Abstract

Prediksi Curah Hujan Bulanan di daerah Purbalingga telah dilakukan menggunakan metode Kalman Filter dengan Prediktor SST 3.4. Validasi terhadap prediksi tiga tahun kebelakang (hindcast) 2006, 2007, 2008 menunjukkan nilai koefisien korelasi mencapai 75%. Untuk memperoleh nilai prediktor SST Nino 3.4 diprediksi menggunakan metode ARIMA. Validasi prediksi SST Nino 3.4 selama tiga tahun periode pengujian menunjukkan pada tahun 2006 r=0.91, 2007 r=0.64 dan 2008 r=0.82. Monthly Rainfall Prediction in the area Purbalingga been performed using the method of Kalman Filter with SST Predictor 3.4. Validation of predictions three years before (hindcast) 2006, 2007, 2008 showing the correlation coefficient reached 75%. To obtain Nino 3.4 SST predictor values predicted using ARIMA method. Validation of Nino 3.4 SST predictions for three-year testing period in 2006 showed r = 0.91, 2007 and 2008, r = 0.64 r = 0.82
POLA SPASIAL DAN TEMPORAL PREDIKSI HUJAN INDONESIA BARAT MENGGUNAKAN WRF-EMS Sri Muslimah; Rahmat Hidayat; Wido Hanggoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 17, No 1 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v17i1.371

Abstract

Model numerik Weather Research and Forecasting Environmental Modelling System (WRF-EMS) digunakan pada studi ini dengan tujuan untuk mengkaji hasil keluaran prediksi hujan model WRF-EMS 1 dan 2 hari ke depan di 6 stasiun pengamatan cuaca terhadap data sinoptik dan TRMM, 8 initial and boundary conditions, serta mengkaji hasil keluaran prediksi hujan secara spasial model WRF-EMS. Konfigurasi skema standar dari model WRF-EMS dipertahankan dan hanya mengubah skema kumulus saja, yaitu menggunakan skema kumulus Betts-Miller-Janjic. Akurasi model ditunjukkan oleh rentang nilai threat score (TS) hasil prediksi hujan 1 dan 2 hari kedepan. Hasil prediksi hujan menunjukkan bahwa model WRF-EMS cukup baik untuk mensimulasikan kejadian tidak-hujan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Nilai TS di stasiun pengamatan cuaca Citeko dari model dengan resolusi horizontal 27 km untuk prediksi 1 dan 2 hari kedepan masing-masing berkisar antara 0 – 0.33 dan 0 – 0.30 sedangkan nilai TS dari model dengan resolusi horizontal 3 km untuk prediksi hujan 1 dan 2 hari kedepan masing-masing berkisar antara 0,17 – 0,75 dan 0.38 – 0.63. Peningkatan resolusi horizontal dari 27 km menjadi 3 km dapat meningkatkan nilai TS. Hal ini mengindikasikan bahwa model dengan resolusi horizontal 3 km lebih akurat untuk memprediksi hujan dibandingkan dengan model resolusi horizontal 27 km. Model WRF-EMS menghasilkan prediksi hujan yang over estimated secara spasial dan model ini lebih sensitif memprediksi hujan di Stasiun Citeko. WRF-EMS numerical models use to examine the output prediction of rain on 1 or two days ahead   using the WRF-EMS model at 6 weather observations stations and the TRMM data, 8 initials and boundary conditions, and to examine the output prediction of rain spatially using the WRF-EMS. In this study, the configuration of the standard scheme using the WRF-EMS model is maintained; however, the cumulus scheme is the Betts-Miller-Janjic cumulus scheme. The accuracy shown by threat values score (TS) of rain predicted on the 1 and 2 days later. The result shows that the model predictions of rain using WRF-EMS is good enough to simulate a no-rain events on the island of Sumatra and Kalimantan. The TS value at Citeko, horizontal resolution of 27 km, for the prediction of 1 and 2 days in advance of each ranged from 0 – 0.33, and 0 – 0.30, while the TS value of the model with a horizontal resolution of 3 km for rainfall predictions 1 and 2 days in advance each ranged from 0.17 to 0.75 and 0.38 - 0.63. The increased of horizontal resolution from 27 km to 3 km can also increase the value of TS. This indicates that the model with a horizontal resolution of 3 km is more accurate for predicting rain compared to the model horizontal resolution of 27 km. The rainfall prediction was spatially over estimated when using the WRF-EMS Model, and this model is more sensitive in predicting rain at Citeko Station.
PENGEMBANGAN MODEL ENSEMBEL GELOMBANG LAUT MRI-III DAN WINDWAVE-05 MENGGUNAKAN KECERDASAN BUATAN Asteria Satyaning Handayani; Hastuadi Harsa; Roni Kurniawan; Sri Noviati; Wido Hanggoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 18, No 3 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v18i3.346

Abstract

Kondisi gelombang laut dimodelkan oleh MRI-III dan Windwaves-05. Penelitian ini mengembangkan model ensembel untuk menggabungkan output dua model tersebut. Proses ensembel dilakukan oleh jaringan syaraf tiruan menggunakan metode pembelajaran resilient propagation. Parameter input ensembel adalah ketinggian maksimum dan ketinggian signifikan gelombang yang dihasilkan oleh kedua model, sedangkan parameter output ensembel adalah ketinggian maksimum dan ketinggian signifikan gelombang. Target untuk melatih jaringan syaraf tiruan adalah data yang diperoleh dari perekaman data lapangan di dua lokasi: Sawarna dan Bengkulu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa model ensembel ini mampu memberikan output yang lebih mendekati nilai perekaman data langsung di lapangan dibanding output kedua model input secara individu.
PENGARUH INTENSITAS RADIASI SAAT GERHANA MATAHARI CINCIN TERHADAP BEBERAPA PARAMETER CUACA Wido Hanggoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 12, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v12i2.94

Abstract

Pengamatan pengaruh kejadian gerhana matahari terhadap perubahan parameter-parameter cuaca seperti temperatur udara, kelembaban udara, kecepatan angin serta tekanan udara dilakukan di Gunung Sugih, Lampung pada tanggal 26 Januari 2009. Pengamatan dilakukan sebelum, selama dan sesudah kejadian gerhana matahari menggunakan stasiun pengamatan cuaca otomatis (AWS) secara periodik dengan interval pengamatan satu jam dan 10 detik-an. Dari data yang diperoleh, tekanan udara dan kelembaban udara meningkat selama kejadian gerhana. Namun dari beberapa faktor cuaca yang diamati, hanya suhu udara dan tekanan udara yang mempunyai hubungan yang cukup besar dengan gerhana matahari. Penurunan suhu sebesar 4-5°C terjadi selama kejadian gerhana dan mencapai titik minimum 5 menit setelah kejadian gerhana. The changes of meteorological parameters such as temperature, relative humidity, wind speed and barometric pressure observed during annular eclipse January 26, 2009 at Gunung Sugih, Lampung. Meteorological observation were made before, during and after the annular eclipse using Automatic Weather Station and periodically measured with hourly and ten seconds interval. From the data, both barometric pressure and relative humidity respectively increased during the annular eclipse but only air temperature and relative humidity have a strong relationship with annular eclipse. The air temperature decreased 4-5°C and reaches the minimum value just 5 minutes after annular eclipse.
PENGARUH TOPOGRAFI DAN LUAS DARATAN MODEL WRF TERHADAP HASIL PREDIKSI TEMPERATUR PERMUKAAN DI WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA Thahir Daniel F. Hutapea; Roni Kurniawan; Wido Hanggoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 16 No. 3 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i3.288

Abstract

Model Weather Research and Forecasting (WRF) telah digunakan dalam simulasi dan prediksi cuaca dengan cara melakukan downscaling dari resolusi rendah (global) ke resolusi yang lebih tinggi. Karena pengaruh dari topografi Indonesia, banyak proses atmosfer terjadi dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan resolusi horizontal model atmosfer, sehingga diperlukan pendekatan fisik dalam melakukan down scaling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan topografi pada model WRF terhadap hasil prediksi temperatur permukaan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Verifikasi terhadap perfoma model WRF dilakukan dalam perioda monsunal. Verifikasi variabel Temperatur dilakukan berdasarkan nilai mean error atau bias, korelasi, standart deviasi dan bias relatif. Hasil dari analisis mean error menunjukkan nilai  yang bervariasi di setiap daerah dan di setiap musimnya. Pada daerah yang terletak wilayah pegunungan menunjukkan nilai mean error yang besar, untuk wilayah yang lainnya pada umumnya menunjukkan nilai mean error yang kecil. Stasiun-stasiun dengan nilai mean error yang besar disebabkan karena perbedaan antara elevasi pada model dan elevasi stasiun observasi. Hasil analisis korelasi secara umum menunjukkan nilai korelasi yang cukup baik  disetiap daerah dan musimnya. Perbedaan hasil luaran antara model dengan data obervasi disebabkan karena perbedaan ketinggian topografi antara model dan stasiun observasi yang cukup besar. Sedangkan hasil verifikasi prediksi model WRF untuk pulau pulau kecil diperoleh nilai korelasi yang sangat rendah dengan nilai standart deviasi dan bias relatif yang besar, kondisi ini disebabkan resolusi 25 km yang digunakan model WRF dalam penelitian ini masih terlalu kasar, sehingga luas daratan tidak tergambarkan dengan baik oleh model. Weather Research and Forecasting (WRF) model has been applied to weather simulation and prediction by performing downscaling of global resolution to high resolution. The impact of Indonesian topography, caused many atmospheric processes to occur on smaller scales than the horizontal resolution of atmospheric models, some physical component approach is needed in the downscaling process. The purpose of this study is to know the effect of WRF models on topography and land area to the surface temperature parameter in Indonesia. The verification of the WRF model performance has been conducted in the monsoonal period. Temperature variable verification is done based on the value of the mean error and correlation. The analyses indicate that the mean error values were varying in each region and each season. In areas located in the mountainous area showed a high mean error value. In other areas, it generally showed a low mean error value. Stations with high mean error values were caused by the difference between model elevation and station elevation. Model and observation data differences were caused by the large difference of topographic height between model and observation. While the verification result of model prediction for small islands shows very low correlation value, with big value in the standard deviation and relative bias; this condition is caused by 25 km resolutions used by the model in this study was too rough, hence the land area is not well represented by the model.
EVALUASI MODEL WAVEWATCH-III MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI DAN OBSERVASI Muhammad Najib Habibie; Wido Hanggoro; Donaldi Sukma Permana; Roni Kurniawan
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 17 No. 3 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v17i3.322

Abstract

Model gelombang menjadi komponen utama dalam memberikan informasi prediksi gelombang dewasa ini. Hal ini terjadi akibat terbatasnya pengamatan in-situ yang dilakukan untuk mengamati lautan secara umum. Model prakiraan gelombang telah mengalami evolusi, mulai dari generasi pertama dan berkembang sampai model generasi tiga. Model generasi ketiga merupakan penyempurnaan dari model gelombang sebelumnya dimana model ini merupakan sebuah model spektral lengkap dengan representasi eksplisit pada proses fisik yang relevan terhadap evolusi gelombang dan yang memberikan gambaran dua dimensi dari laut secara lengkap. Salah satu model generasi ketiga ini adalah WAVEWATCH-III. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi model WAVEWATCH-III di Manokwari, Saumlaki, Selat Bangka dan Surabaya untuk mengetahui performanya. Model diseting pada dua domain, domain global dan wilayah Indonesia dengan resolusi 0,5° dan 0,125° dan dirunning selama setahun (2012). Luaran model kemudian dibandingkan dengan data AVISO serta data observasi insitu. Hasil penelitian menunjukkan korelasi antara luaran model dengan data AVISO di 4 titik yang dianalisa umumnya nilainya dibawah 0,5. Hanya di beberapa tempat yang menunjukkan korelasi yang besar diantaranya adalah Saumlaki dan Manokwari. Kedua lokasi ini terletak pada laut yang relatif terbuka, hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi yang relatif terbuka AVISO dapat digunakan untuk verifikasi model, akan tetapi pada perairan yang sempit (Surabaya dan Bangka) AVISO kurang baik untuk verifikasi model. Terdapat bias antara luaran model dengan observasi insitu yang berada di pantai yang dangkal sehingga model tidak dapat merepresentasikan kondisi faktual dengan sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa dengan resolusi 0,5° dan 0,125° model belum dapat digunakan untuk verifikasi gelombang di daerah pantai. Dari perbandingan antara observasi insitu dengan luaran model pada dua resolusi yang berbeda menunjukkan bahwa pada resolusi yang lebih tinggi, luaran model menunjukkan hasil yang lebih mendekati observasinya.