Bayong Tjasyono H. Kasih
Institut Teknologi Bandung (ITB)

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENENTUAN NILAI AMBANG VARIABILITY INDEX (VI) SERTA NILAI INTENSITAS CURAH HUJAN OPTIMAL DALAM MELAKUKAN ESTIMASI CURAH HUJAN DI INDONESIA MENGGUNAKAN METODE CONVECTIVE STRATIFORM TECHNIQUE HASIL MODIFIKASI (CSTm) Endarwin Endarwin; Bayong Tjasyono H. Kasih; Dodo Gunawan
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 14, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (9273.302 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v14i1.141

Abstract

Penentuan nilai ambang dari metode Variability Index (VI) yang digunakan dalam melakukan separasi konvektif dan stratiform serta penentuan nilai intensitas curah hujan optimal baik untuk konvektif maupun stratiform guna menentukan estimasi curah hujan di Indonesia dilakukan pada penelitian ini. Dengan melakukan perubahan terhadap nilai ambang yang telah ada sebelumnya serta pengujian terhadap tingkat akurasi yang dapat diperoleh sebagai dampak dari perubahan tersebut maka nilai ambang baru yang dapat digunakan untuk melakukan separasi konvektif dan stratiform di Indonesia dapat ditentukan. Demikian pula untuk intensitas curah hujan konvektif, dengan mempertimbangkan nilai simpangan rata-rata terkecil terhadap kondisi riilnya dari hasil estimasi curah hujan yang seluruhnya dianggap konvektif, maka nilai optimal dari intensitas curah hujan konvektif di Indonesia dapat diketahui. Dengan memanfaatkan nilai ambang serta nilai intensitas konvektif yang telah ditentukan lebih dahulu, nilai intensitas curah hujan stratiform dapat ditentukan melalui pemanfaatan variasi nilai yang mungkin digunakan  dikaitkan dengan perolehan tingkat akurasi yang dapat diperoleh. Khusus untuk penentuan intensitas curah hujan konvektif dan stratiform, berbagai pendapat para peneliti sebelumnya juga digunakan sebagai dasar pertimbangan. Terakhir, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai optimal yang diperoleh untuk nilai ambang VI adalah 14, adapun intensitas curah hujan konvektif dan stratiform masing-masing adalah 26 mm jam-1 dan 0,8 mm jam-1.  Determination of new Variability Index (VI) threshold and optimal convective and stratiform rain rates were carried out in this research. By making changes to the existing threshold in the rainfall estimation process and in the accuracy test of estimation results, the new threshold value of VI can be determined. Likewise, by considering the smallest value of average deviation against the observation results, the convective rain rate can be determined. Both VI threshold and convective rain rate results could then be utilized for the determination of the stratiform rain rate by acquisitioning  the accuracy value using the possible value of variation rain rate.  Results of previous studies also is taken intoconsideration in determining the convective and stratiform rain rate . Concusively, the results of this research shows that the optimal value of VI is 14, whilst the convective rain rate is 26 mm h-1 and stratiform rain rate  is 0.8 mm h-1. Thus, these results can be used in modification of Convective and Stratiform Technique (CSTm) to estimate the rainfall in Indonesia with better estimation. 
CURAH HUJAN EKSTRIM DI AREA MONSUN BASIN BANDUNG Bayong Tjasyono H. Kasih; Rahmat Gernowo
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 9, No 2 (2008)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.805 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v9i2.23

Abstract

Curah hujan ekstrim basah menimbulkan bencana banjir. Dalam udara cukup basah dan labil, awan konvektif dapat tumbuh mencapai paras yang tinggi dengan arus keatas yang kuat dan menghasilkan hujan deras yang dapat disertai dengan batu es hujan. Peristiwa ekstrim mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda. Peristiwa yang terjadi pada skala waktu yang pendek antara kurang dari satu hari dan sekitar 1 minggu sering dinyatakan sebagai cuaca ekstrim. Badai guruh dan tornado biasanya mempunyai durasi kurang dari satu hari. Dalam kajian ini akan dibahas curah hujan ekstrim harian di daerah basin Bandung. Wet extreme rainfall cause flood disaster. In humid and unstable air, convective clouds able to grow up to higher level by strong updraft wich yield shower accompanied by hailstone. Extreme events have many different shapes and sizes. Events occurring over short time scales, between less than 1 day and about 1 week, are often referred to as extreme weather events. Thunderstorms and tornadoes usually have duration shorter than a day. In this study, it will be discussed diurnal extreme rainfall in basin area of Bandung.
PROSES METEOROLOGIS BENCANA BANJIR DI INDONESIA Bayong Tjasyono H. Kasih; Ina Juaeni; Sri Woro B. Harijono
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 8, No 2 (2007)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v8i2.12

Abstract

Bencana banjir harus diatasi dari segala aspek. Awan konvektif jenis cumulonimbus dapat menyebabkan bencana banjir lokal. Sistem cuaca skala meso seperti zona konvergensi intertropis (ZKI) dan siklon tropis dapat menyebabkan bencana banjir skala luas. Pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF) zona konvergensi intertropis berada di atas wilayah Indonesia belahan bumi selatan. Siklon tropis yang bergerak dekat dengan perairan Indonesia mampu meningkatkan intensitas bencana banjir. Baik hujan konveksional, hujan konvergensi, maupun hujan siklon tropis, ketiganya diakibatkan oleh sel tekanan udara rendah pada pusat konveksi, zona konvergensi intertropis dan mata siklon tropis. Hujan konveksional terjadi setelah insolasi maksimum. Sebagai wilayah monsun, Indonesia mengalami hujan lebat terutama pada musim panas dan gugur belahan bumi. Efek orografik di daerah monsun juga dapat meningkatkan jumlah curah hujan pada lereng di atas angin. Flood disaster must be overcomed from the whole aspects. Convective clouds of cumulonimbus type cause local flood disaster, while meso – scale weather system, such as intertropical convergence zone (ICZ), and tropical cyclone result in large scale flood disaster. In the months of December, January, February, the intertropical convergence zone lies over the southern hemisphere Indonesian region. Track of tropical cyclone near the Indonesian waters is able to increase the intensity of flood disaster. Either convectional or convergence rainfall as well as tropical cyclone rainfall, the three of them in consequence of the low air pressure at the convection center, the intertropical convergence zone and the tropical cyclone eye. Convectional rainfall occures after the maximum insolation. As a monsoon region, Indonesia suffer heavy rainfall especially in hemisphere summer and autumn. Orographic effect in monsoonal region can also increase the amount of rainfall in the windward slope.
PREDIKSI HUJAN BULANAN MENGGUNAKAN ADAPTIVE STATISTICAL DOWNSCALING Agus Safril; Tri Wahyu Hadi; Safwan Hadi; Bayong Tjasyono H. Kasih
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 14, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v14i1.143

Abstract

Permasalahan pada prediksi hujan bulanan menggunakan Global Circulation Model (GCM) adalah resolusi yang rendah  sehingga tidak dapat memberikan informasi yang rinci sampai tingkat regional. Permasalahan lain adalah akurasi prediksi yang rendah yang disebabkan pola curah hujan yang non linier dan non stasioner. Prediksi  hujan dengan adaptive statistical downscaling diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Variabel prediktor prediktor dipilih dari korelasi tertinggi  antara prediktor dan curah hujan menggunakan Singular Value Decomposition (SVD). Hasil prediksi hujan bulanan dengan metoda adaptif  menggunakan ANFIS (Adaptif Neuro Fuzzy Inference System) menunjukkan nilai korelasi antara prediksi dan observasi lebih tinggi dari pada hasil prediksi curah hujan  keluaran model sirkulasi global (GCM). Nilai  RMSE (Root Mean Square Error) pada prediksi statistical downscaling juga menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan prediksi hasil keluaran model sirkulasi global. Hasil prediksi hujan menunjukkan bahwa nilai korelasi (r) antara prediksi dan hujan observasi di daerah dengan siklus hujan tahunan > 0,66, di daerah dengan siklus hujan semi tahunan adalah sedang (0,33 ≤ r  ≤ 0,66) kecuali di Meulaboh, Sibolga, dan Lhokseumawe dengan kategori r < 0,33.   The problem arised in monthly prediction of precipitation using GCM (Global Circulation Mode) was on the coarse resolution that did not provide detailed information for regional scale. Another problem arised was on the low accuracy of prediction that was caused by non-linier and non- stationary rainfall patterns. Adaptive statistical downscaling method was applied to solve those problems. Predictor variables were selected from the highest correlation between predictor and precipitation using Singular Value Decomposition (SVD). The result of adaptive monthly prediction using ANFIS showed that  the correlation between prediction and observation was higher than dinamical prediction. RMSE (Root Mean Square Error) in statistical downscaling prediction was smaller then the output of GCM. The result of precipitation prediction showed thet correlations between prediction and precipitation in the annual region) (r) > 0,66), in the semi annual cycle was moderate (0,33 ≤ r ≤ 0,66),  except in Meulaboh, Sibolga, and Lhokseumawe stations (r < 0,33).  
PENGARUH AKTIVITAS ENSO DAN DIPOLE MODE TERHADAP POLA HUJAN DI WILAYAH MALUKU DAN PAPUA SELAMA PERIODE SERATUS TAHUN (1901 – 2000) Suwandi Suwandi; Y. Zaim; Bayong Tjasyono H. Kasih
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 15, No 1 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v15i1.173

Abstract

Aktivitas fenomena ENSO dan Dipole Mode merupakan sirkulasi tropis non musiman tapi mempunyai peran yang sangat penting terhadap variabilitas curah hujan di wilayah Indonesia antara lain terhadap variasi pola hujan pada setiap periode normalnya. Wilayah penelitian dalam tulisan ini adalah wilayah Maluku dan Papua yang lokasinya lebih dekat dengan aktivitas ENSO dibanding dengan aktivitas Dipole Mode. Selama periode seratus tahun (1901 - 2000) aktivitas kedua fenomena tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variasi pola hujan di wilayah tersebut. Dengan menggunakan metode sintesis yang terdiri atas analisis spektral, analisis korelasi spasial, analisis dinamis dan fisis atmosfer maka dapat diperoleh adanya kaitan yang signifikan antara aktivitas ENSO dan Dipole Mode dengan curah hujan bulanan di wilayah Maluku dan Papua selama periode seratus tahun. Dampak dari aktivitas El Niño, La Niña, Dipole Mode (+), Dipole Mode (-) terbesar dialami oleh pola hujan lokal dibanding terhadap pola hujan monsunal dan ekuatorial yang diindikasikan dari hasil analisis korelasi. Antara aktivitas El Niño dengan pola hujan lokal korelasi tertinggi – 0,94, La Niña dengan pola hujan lokal + 0,60, Dipole Mode (+) dengan pola hujan lokal – 0,67 dan Dipole Mode (-) dengan pola hujan lokal + 0,65. ENSO and Dipole Mode phenomena are non-seasonal tropical circulation. However, they have a very important role in the variability of rainfall in the Indonesian region, such as the variation of rainfall patterns during each normal period. The area of this research is the Maluku and Papua regions, which are located closer to the ENSO activity compared to the activity of Dipole Mode. During a hundred years (1901-2000) the possible activities of both phenomena have a significant influence on the variation of rainfall patterns in those regions. Using the synthesis method consists of spectral analysis, spatial correlation analysis, atmospheric dynamics, and physics analysis, a significant connection between ENSO and Dipole Mode with monthly rainfall in the Maluku and Papua regions for hundred years would be obtained. The effect of El Niño, La Niña, Dipole Mode (+), Dipole Mode (-) activities are mostly due to Local Rainfall Pattern than Monsoonal and Equatorial Rainfall Pattern which has been indicated by the result of correlation analysis. The highest correlations between El Niño with Local Rainfall Pattern is – 0.94, La Niña with Local Rainfall Pattern is + 0,60, Dipole Mode (+) with Local Rainfall Pattern is – 0.67 and Dipole Mode (-) with Local Rainfall Pattern is + 0.65 respectively.