Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI Sclerotium rolfsii Sacc. PENYEBAB PENYAKIT BUSUK BATANG NILAM (Pogostemon cablin Benth) ., Sukamto; Wahyuno, Dono
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 24, No 1 (2013): Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Publisher : Balittro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKBeberapa penyakit tanaman nilam (Pogostemon cablin) seperti penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum), penyakit budok (Synchytrium pogostemonis), dan penyakit nematoda parasit (Meloidogyne, Pratylenchus, dan Radopholus), serta penyakit kelompok Potyvirus merupakan salah satu kendala dalam usahatani nilam. Akhir-akhir ini, di pembibitan dan lapang saat musim hujan, banyak tanaman nilam ditemukan membusuk pangkal batangnya, terdapat miselium berwarna putih dan sklerotia pada bagian batang yang sudah busuk. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi patogen penyebab, mempelajari biologinya, dan kisaran inangnya. Patogen penyebab diperoleh dengan isolasi, dimurnikan, dan ditumbuhkan pada media Agar Kentang Dekstrosa (AKD). Karakteristik morfologi jamur penyebab diamati di bawah mikroskop majemuk. Biologi jamur penyebab diamati dengan cara menumbuhkan pada media AKD yang diinkubasi pada berbagai suhu. Kisaran inangnya dipelajari dengan meletakkan potongan miselia pada tanaman yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jamur membentuk miselia berwarna putih, ada klam koneksi dan sklerotium berwarna cokelat, serta berbentuk lonjong-bulat berukuran 0,8-1,84 mm. Jamur penyebab diidentifikasi sebagai Sclerotium rolfsii, mempunyai suhu optimum pertumbuhan antara 20-28oC, terhambat pada suhu 35oC, dan tidak tumbuh pada suhu 5oC. Hasil inokulasi buatan menunjukkan bahwa cendawan S. rolfsii dapat menginfeksi nilam varietas Lhokseumawe, Sidikalang, Tapaktuan, nilam jawa, serta tanaman cabe, jagung, tomat, dan kacang hijau. Ini merupakan laporan pertama yang menyatakan adanya Sclerotium rolfsii pada tanaman nilam di Indonesia.Kata kunci: karakterisasi, identifikasi, Pogostemon cablin, Sclerotium rolfsii, penyakit busuk batang
EFEKTIVITAS MULSA LIMBAH TANAMAN ATSIRI DAN PESTISIDA NABATI MENGENDALIKAN SERANGAN Crocidolomia binotalis ., Wiratno; Wahyuno, Dono; Willis, Mahrita
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 24, No 2 (2013): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Publisher : Balittro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKLimbah hasil penyulingan tanaman atsiri berpotensi sebagai mulsa dan repelen (penolak) hama serangga, sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan mulsa dari limbah tanaman atsiri yang dikombinasikan dengan aplikasi pestisida nabati untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis pada tanaman brokoli. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Manoko, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sejak Maret sampai Agustus 2011. Penelitian dirancang dalam acak kelompok, dengan sembilan perlakuan dan diulang tiga kali. Perlakuan terdiri dari limbah nilam dan serai wangi yang dikombinasikan dengan aplikasi insektisida nabati BP1 (formula minyak cengkeh, serai wangi dan temulawak) dan BP2 (formula minyak cengkeh, serai wangi dan jarak pagar) serta insektisida kimia sebagai pembanding, dan tanpa aplikasi (kontrol). Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kerusakan tanaman akibat serangan hama C. binotalis, produksi tanaman, kadar N tanah dan populasi mikroba di dalam tanah sebelum tanam dan sesudah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi aplikasi limbah tanaman atsiri dengan insektisida nabati berbahan aktif eugenol, sitronellal dan xanthorizol (BP1) berbeda nyata positif dengan perlakuan kontrol tetapi berbeda nyata negatif dibandingkan dengan kombinasi aplikasi insektisida sintetis terhadap kerusakan akibat serangan C. binotalis. Perlakuan insektisida mampu memberikan kenaikan hasil 14% lebih tinggi dibanding kontrol. Kenaikan produksi yang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan kombinasi aplikasi limbah nilam dengan insektisida sintetis yaitu sebesar 40%. Aplikasi limbah tanaman atsiri tidak menaikkan secara nyata unsur N, tetapi memberikan kontribusi yang nyata unsur K terutama aplikasi limbah nilam. Aplikasi limbah nilam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi brokoli.Kata kunci: Crocidolomia binotalis, limbah atsiri, brokoli, pestisida nabati
EFEKTIVITAS MULSA LIMBAH TANAMAN ATSIRI DAN PESTISIDA NABATI MENGENDALIKAN SERANGAN Crocidolomia binotalis Willis, Mahrita; ., Wiratno; Wahyuno, Dono
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 24, No 2 (2013): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Publisher : Balittro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKLimbah hasil penyulingan tanaman atsiri berpotensi sebagai mulsa dan repelen (penolak) hama serangga, sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan mulsa dari limbah tanaman atsiri yang dikombinasikan dengan aplikasi pestisida nabati untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis pada tanaman brokoli. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Manoko, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sejak Maret sampai Agustus 2011. Penelitian dirancang dalam acak kelompok, dengan sembilan perlakuan dan diulang tiga kali. Perlakuan terdiri dari limbah nilam dan serai wangi yang dikombinasikan dengan aplikasi insektisida nabati BP1 (formula minyak cengkeh, serai wangi dan temulawak) dan BP2 (formula minyak cengkeh, serai wangi dan jarak pagar) serta insektisida kimia sebagai pembanding, dan tanpa aplikasi (kontrol). Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kerusakan tanaman akibat serangan hama C. binotalis, produksi tanaman, kadar N tanah dan populasi mikroba di dalam tanah sebelum tanam dan sesudah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi aplikasi limbah tanaman atsiri dengan insektisida nabati berbahan aktif eugenol, sitronellal dan xanthorizol (BP1) berbeda nyata positif dengan perlakuan kontrol tetapi berbeda nyata negatif dibandingkan dengan kombinasi aplikasi insektisida sintetis terhadap kerusakan akibat serangan C. binotalis. Perlakuan insektisida mampu memberikan kenaikan hasil 14% lebih tinggi dibanding kontrol. Kenaikan produksi yang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan kombinasi aplikasi limbah nilam dengan insektisida sintetis yaitu sebesar 40%. Aplikasi limbah tanaman atsiri tidak menaikkan secara nyata unsur N, tetapi memberikan kontribusi yang nyata unsur K terutama aplikasi limbah nilam. Aplikasi limbah nilam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi brokoli.Kata kunci: Crocidolomia binotalis, limbah atsiri, brokoli, pestisida nabati
Pengendalian Terpadu Busuk Pangkal Batang Lada WAHYUNO, DONO
Perspektif Vol 8, No 1 (2009): Juni 2009
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v8n1.2009.%p

Abstract

ABSTRAKLada (Piper nigrum L) merupakan komoditi rempah yang penting untuk meningkatkan pendapatan petani di  Indonesia.    Daerah  pusat  pengembangan  lada, banyak terdapat di Lampung, Bangka dan akhir-akhir ini berkembang di Kalimantan. Penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici merupakan kendala dalam budidaya lada di Indonesia. Penyakit ini telah tersebar luas hampir di semua pertanaman lada di Indonesia. Naskah  ini  menguraikan  kemajuan  penelitian  dan pengalaman di lapang terhadap usaha pengendalian BPB.  Pengendalian yang lazim dilakukan oleh petani adalah menggunakan fungisida sintetik.  Pengendalian dengan cara kimia sering dilakukan saat harga lada tinggi, dan sebaliknya petani tidak memelihara kebunnya dengan baik saat harga lada turun. Akibatnya, BPB menjadi masalah yang serius pada banyak  pertanaman  lada  untuk  saat  ini.  P.  capsici mempunyai spora yang dapat bergerak dan berenang secara aktif pada lapisan air yang terdapat pada tanah. Hal tersebut membuat Phytophthora mudah tersebar melalui tanah yang terkontaminasi, bagian tanaman yang terserang atau terbawa oleh aliran air yang ada dipermukaan tanah. Phytophthora asal lada mempunyai dua tipe kawin, yaitu A1 dan A2 yang memungkinkan mereka untuk melakukan reproduksi secara seksual di daerah-daerah dimana kedua tipe kawin tersebut ada. Hasil perkawinan seksual memungkinkan Phytophthora lada menghasilkan turunan yang lebih ganas daripada induknya  yang  sudah  ada.  Usaha  untuk  mengembangkan   komponen   teknologi   pengendalian   telah dilakukan dengan mengedepankan pengendalian BPB yang ramah lingkungan, murah dan dapat dilakukan oleh  petani  lada. Komponen teknologi yang telah dikembangkan meliputi kultur teknis, aplikasi agen hayati  dan  kimia apabila  terjadi ledakan serangan, serta usaha untuk menciptakan tanaman tahan. Memadukan komponen teknologi  tersebut tidak dapat memusnahkan semua P. capsici yang ada di dalam tanah,  tetapi  mampu  menekan  perkembangan  dan penyebarannya  apabila  dilakukan secara baik dan benar, sehingga kehilangan hasil dapat ditekan dan penggunaan fungisida   dapat diminimalkan. Saran implementasi  IPM meliputi peningkatan keragaan vigor tanaman dengan menerapkan budidaya anjuran,menekan  perkembangan  populasi  P.  capsici melalui aplikasi agen hayati, seperti Trichoderma; sedangkan pemakaian fungisida hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir kalau perkembangan penyakit semakin serius, serta peningkatan pengetahuan petani melalui berbagai  pelatihan teknis,  Untuk memaksimalkan implementasi  IPM  memerlukan  keterlibatan  secara aktif semua pihak terkait, termasuk petani, departemen terkait, dan peneliti.Kata kunci: Busuk pangkal  batang, lada, IPM, Phytophthora, Piper nigrum ABSTRACTIntegrated  Control  of  Foot  Rot  Disease  of Black PepperBlack  pepper  (Piper  nigrum)  is  important  crop  for increasing  farmer  income  in  Indonesia.  Traditional pepper  planting  areas  are  Lampung  and  Bangka-Belitung provinces, as well as new planting areas in Kalimantan  provinces.  Foot  rot  disease  caused  by Phytophthora capsici is the main constraint in pepper cultivations  in  these  areas.  The  disease  is  widely distributed  in  almost  all  pepper  cultivations.  This paper describes information on the research progresses on   foot   rot   disease   control   methods   and   field experiences on controlling the disease on black pepper. Control method of the foot rot disease by farmers is commonly using synthetic fungicides.  This practice was only applied when the price of pepper is high. Otherwise, farmers only applied minimal cultivation practices.  As the result, the foot rot disease becomes more   serious   problem   on   pepper   plantations throughout Indonesia. Spores of P. capsici is actively swiming on water film, therefore, the fungus is easily disseminates   through   contaminated   soil,   diseased planting materials or running water of soil surface. The fungus has two mating types, A1 and A2 that makes  sexual  reproduction  possible  in  some  areas where   both   mating   types   exist.   The   sexual reproduction may produce progenies that are more virulent than their parents. Therefore, it is important to minimize    distribution    of    planting    materials contaminated with the different matting types into a certain location to prevent new strain of P. capsici. Attempts to control the disease have been conducted with  focusing  on  technologies  that  is  eco-friendly, cheap and simple (easy to be handled and adopted by farmers).   The   eco-friendly   technologies   included improving cultural practices, application of biological control   agents,   and   fungicide   is   applied   when necessary.  An initial effort to find resistant or tolerant black   pepper   varieties   had   also   been   studied. Integrated pest management (IPM) by combining those available  technologies  will  not  eradicate  P.  capsici totally, but it will reduce the population of the fungus to a certain level that lessens the damage or yield lost. Implementation of the IPM includes increasing plants vigor through conducting proper planting activities followed by suppressing of fungal population through incorporating  of  biological  control  agent,  such  as Trichoderma;  while  fungicide  application  is  the  last resort,  as  well  as  improving  farmers  knowledge various  technical  trainings.  To  maximize  the  IPM implementation   by   farmers,   it   requires   active participation    from    all    involved    stakeholders, government official services and researchers.Keywords: Foot rot disease, black pepper, Phytophthora, Piper nigrum, IPM
Application of Fungicides and Silica Fertilization Suppress Pyricularia zingiberi Leaf Spot Disease on Red Ginger Wahyuno, Dono; Hardiyanti, Siti; Manohara, Dyah; Sari, Marlina Puspita
Jurnal Fitopatologi Indonesia Vol. 18 No. 4 (2022): Juli 2022
Publisher : The Indonesian Phytopathological Society (Perhimpunan Fitopatologi Indonesia)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14692/jfi.18.4.167-176

Abstract

Pyricularia zingiberi merupakan penyebab penyakit bercak daun dominan di Indonesia. Pengendalian penyakit bercak daun masih bertumpu pada fungisida kimia. Kombinasi teknik pengendalian serta ketepatan waktu aplikasi fungisida perlu ditentukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian serta mengurangi dampak negatif penggunaan fungisida kimia. Penelitian ini bertujuan menentukan kombinasi pemberian fungisida dan pupuk silika serta waktu yang efektif untuk pengendalian penyakit bercak daun. Penelitian disusun dalam rancangan petak-petak terbagi, dengan aplikasi pupuk silika sebagai petak utama, fungisida sebagai anak petak, dan waktu aplikasi sebagai anak-anak petak. Pupuk silika (20 mL L-1) diaplikasikan pada tanaman jahe merah umur 4 minggu dan kemudian tanaman diinokulasi dengan P. zingiberi pada umur 8 minggu. Fungisida mulai diaplikasikan sesuai dengan perlakuan (umur 12, 14, dan 16 minggu). Tidak terdapat interaksi antara ketiga faktor yang diuji. Aplikasi silika dalam bentuk SiO2 memberikan pengaruh tidak nyata pada keparahan serta laju perkembangan penyakit. Aplikasi silika meningkatkan kadar fenol dalam tanaman jahe merah. Pestisida nabati berbahan minyak cengkeh menginduksi sintesis asam salisilat, namun tidak signifikan dalam menekan laju perkembangan penyakit bercak daun. Mankozeb lebih efektif menekan laju perkembangan penyakit bercak daun dibandingkan dengan perlakuan lain. Waktu aplikasi fungisida disarankan pada saat tanaman berumur 14–16 minggu atau saat gejala bercak daun mulai terlihat. Monitoring berkala perlu dilakukan.
Korelasi Keparahan Penyakit Belang dan Kelimpahan Serangga Vektor Terhadap Hasil Panen Lada Miftakhurohmah; Wahyuno, Dono; Hidayat, Sri Hendrastuti; Mutaqin, Kikin Hamzah; Soekarno, Bonny Poernomo Wahyu
Jurnal Fitopatologi Indonesia Vol 19 No 3 (2023): Mei 2023
Publisher : The Indonesian Phytopathological Society (Perhimpunan Fitopatologi Indonesia)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14692/jfi.19.3.127-132

Abstract

Korelasi Keparahan Penyakit Belang dan Kelimpahan Serangga Vektor Terhadap Hasil Panen Lada Epidemi penyakit virus tular serangga dipengaruhi oleh interaksi antara tanaman inang, virus dan vektornya serta kondisi lingkungan. Dua spesies kutuputih yaitu Planococcus minor dan Ferrisia virgata diketahui sebagai vektor virus belang pada tanaman lada (Piper nigrum). Penelitian dilakukan untuk menentukan faktor utama yang berpengaruh terhadap penyebaran penyakit belang di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap 30 tanaman lada umur produktif di kebun Sukabumi, Jawa Barat. Peubah yang diamati ialah kelimpahan kutuputih, keparahan penyakit, dan produksi lada. Keparahan penyakit dan produksi lada diamati selama tiga musim berturut-turut, sedangkan jumlah kutuputih dihitung selama satu tahun dengan interval dua bulan sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan kutuputih tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat keparahan penyakit dan produksi lada. Hal ini mengindikasikan bahwa serangga vektor bukan menjadi faktor utama yang terlibat dalam penyebaran penyakit. Regresi linear sederhana antara keparahan penyakit dan produksi lada menunjukkan korelasi negatif dengan koefisien determinasi R2 sebesar 0.4351 mengindikasikan efek yang berlawanan antara keparahan penyakit dan produksi lada. Peningkatan keparahan penyakit akan menurunkan produksi lada dengan kategori sedang. Penggunaan bibit bebas virus dan praktik budi daya lada yang baik akan menghambat perkembangan dan penyebaran penyakit di lapangan yang akan berpengaruh terhadap produksi optimal yang berkesinambungan.
Kepekaan Erythricium salmonicolor Penyebab Penyakit Jamur Upas pada Kemiri Sunan terhadap Suhu, Cahaya, dan Fungisida Florina, Dini; Wahyuno, Dono; Siswanto, Siswanto
Jurnal Fitopatologi Indonesia Vol. 13 No. 2 (2017)
Publisher : The Indonesian Phytopathological Society (Perhimpunan Fitopatologi Indonesia)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.737 KB) | DOI: 10.14692/jfi.13.2.35-42

Abstract

A typical pink disease symptom appeared on stem of Reutealis trisperma in Bogor. The present study was aimed for confirming the causal pathogen and testing its sensitivity to temperature, light and fungicides. The fungus was identified based on its morphological characteristics. The fungal inoculum was obtained by tissue isolation of infected stem bark. For pathogenicity test, the fungus was inoculated onto sterilized pieces of woody R. trisperma branch, then fastened on the seedlings and incubated in the green house. The effect of temperatures on fungal growth was tested by planting the fungal colony onto potato dextrose agar (PDA) then incubated at 25–34 °C. The sensitivity of the fungus to light was tested by inoculating the fungus into flask with potato dextrose broth (PDB) medium on a shaker (60 rpm) exposing it to white light tube (400 luks) or in a dark condition for 15 days at 25 °C. The obtained fungal colonies were weighed. Efficacy of copper hydroxide and mancozeb against the fungal colony growth was tested by inoculating the fungus onto PDA amended with 100, 200, 300, 400, and 500 ppm, respectively, of tested fungicides. The results showed that the causal pathogen was Erythricium salmonicolor. In the pathogenicity test, cobwebs of E. salmonicolor were formed on inoculated seedlings 3 weeks after inoculation. The optimum temperature for growth of E. salmonicolor was 28 °C. There was no significant effect of light on fungal growth. Mancozeb suppressed colony of E. salmonicolor growth better than copper hydroxide.
Classification of Clove Leaf Blister Blight Disease Severity Using Pre-trained Model VGG16, InceptionV3, and ResNet Pramesti, Putri Ayu; Supriyadi, Muhamad Rodhi; Alfin, Muhammad Reza; Noveriza, Rita; Wahyuno, Dono; Manohara, Dyah; Melati; Miftakhurohmah; Warman, Riki; Hardiyanti, Siti; Asnawi
Jurnal Ilmu Komputer dan Informasi Vol. 17 No. 2 (2024): Jurnal Ilmu Komputer dan Informasi (Journal of Computer Science and Informatio
Publisher : Faculty of Computer Science - Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21609/jiki.v17i2.1237

Abstract

Clove is one of the precious plants produced in Indonesia. Clove has many benefits for humans, but clove cultivation often experiences problems due to disease attacks, including Leaf Blister Blight Disease(CDC). The handling of CDC disease is carried out based on the severity of the symptoms that can be seen on the affected leaves. This research was conducted to obtain a CDC disease classification model, so appropriate treatment can be carried out. This study used the pre-trained VGG16, InceptionV3, and ResNet models for classification. VGG16 got the highest average accuracy of 96.7%. Aside from that, k-fold cross validation improved the model's accuracy.