MUSTIKANINGTIAS, IKA
Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Jl. Dr. Soeparno Kampus Karangwangkal, Purwokerto, Indonesia, 53121.

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PENGARUH EDUKASI PENGGUNAAN OBAT PADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN KADER POSYANDU DI DESA CENDANA, KUTASARI, PURBALINGGA BAROROH, HANIF NASIATUL; UTAMI, ESTI DYAH; MAHARANI, LAKSMI; MUSTIKANINGTIAS, IKA
Acta Pharmaciae Indonesia Vol 6 No 1 (2018): Acta Pharmaciae indonesia Vol.6 No.1 Tahun 2018
Publisher : Pharmacy Department, Faculty of Health Sciences, Jenderal Soedirman University, Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.069 KB)

Abstract

Permasalahan kurangnya pengetahuan tentang penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui masih ditemui di  masyarakat. Edukasi perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan kader posyandu tentang penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui. Edukasi dilakukan dengan metode modul, ceramah dan diskusi. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibagikan kepada responden sebelum dan sesudah edukasi untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan peserta. Kuesioner berisi 10 item pertanyaan tertutup terkait pengetahuan penggunaan obat pada ibu hamil dan menyusui. Data dianalisis dengan uji statistik paired t-test. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan kader meningkat 25,73% dari rata-rata nilai pengetahuan awal setelah dilakukan edukasi. Setelah dilakukan edukasi ada peningkatan tingkat pengetahuan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi dengan metode modul, ceramah dan diskusi mampu meningkatkan pengetahuan kader Posyandu.
Pemantauan Kadar Obat Indeks Terapi Sempit Melalui Estimasi Kadar Obat di Dalam Darah pada Pasien Rawat Inap di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto Masita W. Suryoputri; Ika Mustikaningtias; Laksmi Maharani
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 9, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2020.9.2.105

Abstract

Pemantauan kadar obat dalam darah dapat dilakukan secara matematik dengan pendekatan farmakokinetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi kadar obat indeks terapi sempit di dalam darah sesuai dosis yang diberikan pada pasien rawat inap di rumah sakit. Pemantauan kadar obat dalam darah perlu dilakukan untuk menjamin tercapainya kadar obat yang cukup di tempat aksi/reseptor melalui aturan dosis yang diberikan, sehingga dapat mencegah timbulnya efek toksik dan mencapai clinical outcome pasien. Penelitian ini menggunakan metode rancangan observasional. Data mengenai dosis dan frekuensi pemberian obat diperoleh dari data rekam medik pasien, kemudian dilakukan perhitungan estimasi kadar tunak dalam darah (Css) dengan pendekatan secara farmakokinetik. Data diolah secara deskriptif analitik. Subjek penelitian adalah pasien rawat inap yang mendapatkan terapi aminofilin intravena (iv), fenitoin iv dan digoxin per oral (po) di Bangsal Paru, Saraf, dan Jantung (Penyakit Dalam) RSUD Prof Dr. Margono Soekardjo Purwokerto selama bulan Juni–Agustus 2019. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada estimasi kadar aminofilin di dalam darah, sebanyak 13 pasien (61,9%) berada di dalam rentang terapi (10–20 mg/L) dan 8 pasien (38,1%) di luar rentang terapi; pada estimasi kadar fenitoin di dalam darah, sebanyak 8 pasien (28,1%) berada di dalam rentang terapi (10–20 mg/L) dan 24 pasien (71,9%) berada di luar rentang terapi; dan pada estimasi kadar digoxin di dalam darah, sebanyak 4 pasien (11,8%) berada di dalam rentang terapi (0,50–0,90 ng/mL) dan 30 pasien (88,2%) berada di luar rentang terapi. Jumlah pasien yang memiliki estimasi kadar obat di dalam darah berada di dalam rentang terapi adalah 25 pasien (28,7%) dan jumlah pasien yang memiliki estimasi kadar obat di dalam darah berada di luar rentang terapi adalah 62 pasien (71,3%) sesuai dosis yang diberikan kepada pasien. Kadar obat di luar rentang terapi dikhawatirkan dapat menimbulkan kejadian toksisitas dan kemungkinan tidak dapat menghasilkan clinical outcome yang diinginkan.Kata kunci: Aminofilin, digoxin, estimasi kadar obat, fenitoin Monitoring the Levels of Drugs with Narrow Therapeutic Index through Blood Estimations of Patients at Prof. Dr. Margono Soekarjo Hospital, PurwokertoAbstractThe blood drug levels is possibly monitored mathematically, using a pharmacokinetic approach. This study is aimed to determine the estimations for drugs with narrow therapeutic index in the blood according to the draft dosage rules provided to hospital inpatients. In addition, an observational design was employed, and data related to dose and frequency of administration was obtained from medical records. Therefore the blood concentration steady state levels (Css) was estimated using a pharmacokinetic approach, and descriptive-analytical method was used for analysis. The research subjects include inpatients receiving aminophylline intravenous (iv), phenytoin iv and digoxin per oral (po) at the Pulmonary, Nerve and Heart Wards (Internal Medicine) of Prof. Dr. Margono Soekardjo Hospital, Purwokerto, from June–August, 2019. The results showed a total of 13 patients (61.9%) to be in the therapeutic range (10–20 mg/L) for estimated aminophylline levels, while 8 (38.1%) were not. In addition, 8 patients (28.1%) were within the therapeutic range (10–20 mg/L) for phenytoin, while 24 (71.9%) were not, and 4 patients (11.8%) were in the therapeutic range (0.50–0.90 ng/mL) of digoxin, while 30 (88.2%) were not. In conclusion, a total of 25 individuals (28.7%) had estimated blood drug levels within the therapeutic range, while 62 (71.3%) were outside the expected values, according to the administered dose. These unsuitable levels possibly cause toxicity events, and are forecasted to not produce the desired clinical outcome.Keywords: Aminofilin, digoxin, estimation of consentration drug, fenitoin
Pengaruh Konversi Antibiotik Intravena ke Rute Per-oral terhadap Outcome Ekonomi, Klinis dan Humanis pada Pasien Rawat Inap Laksmi Maharani; Esti D. Utami; Ika Mustikaningtias; Masita W. Suryoputri; Pugud Samodro
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.519 KB) | DOI: 10.15416/ijcp.2019.8.2.81

Abstract

Konversi terapi intravena ke rute per-oral dengan memperhatikan perbaikan hemodinamik pasien dalam 48 jam dapat menghemat biaya pengobatan tanpa mengabaikan efektivitas terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi konversi antibiotik intravena ke rute per-oral terhadap outcome klinis berupa lama rawat inap dan konversi angka leukosit pasien; outcome humanis berupa kualitas hidup pasien (WHOQOL-BREF), dan outcome ekonomi berupa biaya antibiotik pasien. Penelitian ini menggunakan desain kuasi-eksperimental dengan kelompok intervensi dan kontrol, single blind, tanpa randomisasi. Subjek penelitian adalah pasien yang mendapatkan antibiotik seftriakson intravena yang dirawat inap di bangsal penyakit dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto selama bulan September sampai Oktober 2017. Pasien intervensi mendapatkan intervensi berupa konversi antibiotik lebih awal, yaitu 2 hari setelah diberikan antibiotik intravena. Dilakukan perbandingan lama rawat inap, penurunan angka leukosit, biaya antibiotik, dan kualitas hidup pasien antara kelompok kontrol dan intervensi menggunakan analisis statistik Mann-Whitney dan Independent t-test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 22 subjek yang terbagi dalam 6 pasien intervensi dan 16 pasien kontrol, terjadi penurunan rata-rata lama rawat inap pasien intervensi dibanding kontrol 3,167:5 hari. Rata-rata biaya antibiotik pada kelompok intervensi lebih rendah dibanding kelompok kontrol yaitu Rp73.886,8 dan Rp173.091,125. Rata-rata selisih angka leukosit akhir pada pasien intervensi yaitu 218,33/mm3, sedangkan pada pasien kontrol 2.076.875/mm3. Kualitas hidup yang dicapai pasien lebih tinggi pada pasien kontrol (+6,6875) dibandingkan pasien intervensi (–1,33) walaupun perbedaan tersebut tidak berbeda signifikan (>0,05). Konversi lebih awal seftriakson intravena menjadi sefiksim oral mampu menurunkan lama rawat inap dan menurunkan biaya antibiotik yang dikeluarkan secara signifikan (0,017 dan 0,003).Kata kunci: Konversi antibiotik intravena ke oral, outcome ekonomi klinis dan humanis (ECHO), sefiksim, seftriakson Impact of Intravenous to Oral Antibiotic Switch Therapy towards Economic, Clinical and Humanistic Outcome in InpatientsAbstractAntibiotic conversion from intravenous form to oral form (IV to oral switch) after 48 hours therapy in hemodynamically stable patients can save the cost of treatment without neglecting the effectiveness of therapy. This study aimed to determine the influence of early switch antibiotic from iv to oral on economic clinical humanistic outcome (length of stay in hospital and white blood cell conversion as clinical outcome; quality of life as humanistic outcome using WHOQOL-BREF, and antibiotic cost as economic outcome). This was a quasi-experimental research with control and intervention group, without blinding and randomization. Subjects were inpatients who received ceftriaxone at internal medicine wards of Prof. Dr. Margono Soekarjo hospital for 2 months period from September until October 2017. Intervention group received early antibiotic conversion after 2 days. Length of stay, white blood cell count, quality of life and antibiotic cost were compared between control and intervention groups using Mann-Whitney and Independent t-test. The result showed that from the total of 22 subjects who were divided into intervention group (6 subjects) and control group (16 subjects), there was a decrease in average length of stay of intervention group compared to control (3.167 days and 5 days, respectively). The average of antibiotic cost in intervention group was lower than control group (IDR 73,886.8 and IDR 173,091.125, respectively). The average of white blood cell count in intervention group was 218.33/mm3 while in control group was 2,076,875/mm3. Quality of life of control group was higher (+6,6875) compared to intervention group (–1,33) but was not statistically significant. Early antibiotic switch from ceftriaxone to cefixime could reduce the length of stay and antibiotic cost significantly (0.017 and 0.003).Keywords: Cefixime, ceftriaxone, economic clinical humanistic outcome, intravenous to oral switch therapy antibiotic
An interventional study on the effectiveness of peer assistance for medication adherence among hypertensive patients in Purwokerto Hening Pratiwi; Laksmi Maharani; Ika Mustikaningtias; Eling Bunga Nurani
Pharmaciana Vol 9, No 1 (2019): Pharmaciana
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (381.466 KB) | DOI: 10.12928/pharmaciana.v9i1.12320

Abstract

Hypertension is a disorder of the blood vessels that hampers the transport of supply of oxygen and nutrients to the body’s tissues. Antihypertensive therapy lasts a lifetime and, so, the success of hypertension treatment strongly depends on the willingness of patients to take antihypertensives regularly. Since medical non-compliance can adversely affect the patient's health, medication supervision or peer assistance has been proposed as a way to monitor and remind hypertensive patients to adhere to prescribed daily dosage. This study aimed to determine the effect of peer assistance on adherence to hypertensive medication. It employed a quasi-experimental model with a one-group pretest-posttest design and a peer-based mentoring to achieve drug compliance as the intervention. The research samples were patients registered in the Chronic Disease Management Program (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) at two primary health services in Purwokerto. In the first four weeks, a total of 29 respondents acted as the control group without receiving any intervention, and in the second four weeks, they became the intervention group who received peer assistance for their regular drug intake. To measure compliance, the Hill-Bone questionnaire was used. The expected maximum compliance score is 56. The results showed that the average score of compliance increased from 47.69 in the pre-control period to 49 in post-control/pre-intervention and then to 49.93 in post-intervention. The compliances during the control and intervention period had similarly significant differences with p values of 0.008 and 0.039, respectively. In conclusion, peer assistance does not affect patients’ adherence to hypertension treatment.
Cost Saving of Stress Ulcer Prophylaxis Used in Non-Intensive Care Unit (ICU) Inpatients Hening Pratiwi; Laksmi Maharani; Ika Mustikaningtias
MPI (Media Pharmaceutica Indonesiana) Vol. 3 No. 1 (2020): JUNE
Publisher : Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24123/mpi.v3i1.2323

Abstract

Stress ulcer prophylaxis (SUP) is largely prescribed to ICU and non-ICU patients. SUP, an acid-suppressive drug, is overused in hospital settings mainly due to inadequate prescriptions in low-risk patients. In this context, the appropriate administration of SUP needs to be analyzed, and the potentially saved money from reducing excessive use can thereby be quantified. This study was intended to calculate potential cost savings in inappropriate SUP therapy in non-ICU inpatients. With a non-experimental retrospective design, it analyzed medical records and details obtained from the financial department of “X” hospital in Purwokerto, Indonesia. The data were collected from 80 non-ICU inpatients in May 2015, which were selected by purposive sampling. We calculated potential cost savings by referring to the American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) guidelines that had been modified by Zeitoun (2011) for stress ulcer prophylaxis in non-ICU inpatients. The results showed that inappropriate indications and doses were found in 32.5% and 18% of selected patients, respectively. Before the cost-saving calculation, patients had to spend USD 2,411. However, after the analysis eliminated unnecessary SUP use, this number was proven to be potentially decreased by USD 512 to only USD 1,899. Based on the Wilcoxon Sign Rank Test result (p = 0.000 (≤ 0.05)), there was a significant difference between the total cost before and after the application of modified ASHP guidelines for appropriateness. After a thorough assessment, we concluded that the treatment cost could be reduced by identifying and excluding inappropriateness in SUP therapy.
Peningkatan Kemampuan Apoteker sebagai Peneliti dalam Upaya Antimicrobial Resistance Awareness: Enhancing Pharmacist's Ability as Researchers as Antimicrobial Resistance Awareness Kartika Citra Dewi Permata Sari; Nanda Puspita; Tunggul Adi Purwonugroho; Zamharira Muslim; Ika Mustikaningtias; Fitria Nur Hidayah
Dinamisia : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 5 No. 6 (2021): Dinamisia: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/dinamisia.v5i6.8024

Abstract

Hingga saat ini, resistensi antimikroba masih menjadi masalah akibat ketidakrasionalan penggunaan antimikroba. Diperlukan minat dan pemahaman dari praktisi Apoteker untuk meneliti terkait antimikroba sehingga dapat berkontribusi terhadap penyelesaian masalah tersebut. Akan tetapi, penelitian lebih umum dilakukan oleh para akademisi dibandingkan dengan praktisi. Oleh sebab itu, dirancang sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang bertujuan meningkatkan minat dan pemahaman praktisi Apoteker terkait penelitian antimikroba. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah Focus Group Discussion (FGD) yang diawali dengan paparan ilmiah oleh narasumber. Peserta di setiap kelompok diatur terdiri dari gabungan akademisi dan praktisi Apoteker. Pada sesi FGD, praktisi Apoteker memaparkan permasalahan terkait antimikroba berdasarkan pengalaman kerjanya. Para akademisi berkontribusi untuk menyusun permasalahan menjadi sebuah kerangka penelitian yang dapat diaplikasikan. Berdasarkan post-assessment, kegiatan FGD antara akademisi dan praktisi terbukti meningkatkan minat dan pemahaman peserta terkait penelitian antimikroba. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah praktikal termasuk resistensi antimikroba.
Analisis Kualitatif Mengenai Peran dan Perilaku Apoteker di Apotek Terkait Penggunaan Telefarmasi Selama Pandemi COVID-19 Anisa Dwi Sasanti; Laksmi Maharani; Nia Kurnia Sholihat; Tunggul Adi Purwonugroho; Ika Mustikaningtias; Dewi Latifatul Ilma
JPSCR: Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jpscr.v7i2.55878

Abstract

Pandemi coronavirus disease-19 (COVID-19) menyebabkan perubahan pelayanan kesehatan. Upaya mengurangi penyebaran COVID-19 adalah menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Pada layanan kesehatan, telefarmasi memberikan akses cepat dan kenyamanan yang baik. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi peran dan perilaku apoteker dalam penggunaan telefarmasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan telefarmasi selama pandemi COVID-19. Penelitian dilakukan menggunakan metode non-eksperimental kualitatif fenomenologis melalui wawancara mendalam. Informan diambil hingga data jenuh dan diperoleh 5 informan. Wawancara dilakukan langsung maupun online. Keabsahan data melalui uji kredibilitas dengan member checking, uji transferabilitas dengan uraian rinci, uji dependabilitas dan uji konfirmabilitas melalui peer debrifing. Hasil wawancara dianalisis secara deskriptif dengan proses berpikir induktif. Peran apoteker dalam telefarmasi selama pandemi COVID-19 adalah memberikan layanan telefarmasi yang profesional, sedangkan perilaku apoteker adalah memanfaatkan telefarmasi untuk memberikan layanan farmasi klinik dan menggunakan media yang bervariasi. Faktor pendukung penerapan telefarmasi selama pandemi adalah kerja sama rekan sejawat dan keluarga pasien, peraturan terkait dukungan telefarmasi, dan pandemi COVID-19; sedangkan faktor penghambatnya adalah teknologi, hambatan finansial pasien, penerimaan pasien terhadap telefarmasi, keterbatasan sumber daya manusia dan waktu.
Analisis Tingkat Pengetahuan dan Sikap Apoteker terhadap Obat Generik di Wilayah Kabupaten Banyumas Nur Fauzi Selifani; Hening Pratiwi; Ika Mustikaningtias
JPSCR: Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jpscr.v7i2.57939

Abstract

Obat generik telah digunakan di beberapa wilayah di Indonesia namun masih relatif rendah. Pengetahuan dan sikap apoteker di apotek terhadap obat generik berperan penting dalam menentukan peningkatan persentase penggunaan obat generik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap apoteker di apotek Kabupaten Banyumas terhadap obat generik serta hubungannya dengan karakteristik responden. Penelitian ini merupakan penelitian non-experimental dengan metode cross-sectional. Metode pengambilan sampel yaitu accidental sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner dilakukan secara daring kepada apoteker di apotek Kabupaten Banyumas melalui google form. Kuesioner diadaptasi dan dimodifikasi dari penelitian terdahulu. Analisis deskriptif dilakukan untuk data karakteristik, tingkat pengetahuan, dan sikap. Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi baik, cukup, dan kurang, sedangkan sikap menjadi positif dan negatif. Analisis korelatif dengan uji korelasi Spearman dilakukan untuk data hubungan karakteristik dengan tingkat pengetahuan dan dengan sikap. Penelitian melibatkan 67 apoteker sebagai responden. Apoteker memiliki pengetahuan baik terhadap obat generik (59,7%), sisanya cukup dan kurang. Apoteker memiliki sikap positif terhadap obat generik (98,5%), sisanya negatif. Tidak terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin (p=0,188), usia (p=0,536), lama pengalaman berpraktik (p=0,135), dan tingkat pendidikan (p=0,360) dengan tingkat pengetahuan apoteker. Terdapat hubungan signifikan antara tingkat pendidikan (p=0,004) dengan sikap terhadap obat generik, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin (p=0,080), usia (p=0,061), dan lama pengalaman berpraktik (p=0,744) dengan sikap. Tidak terdapat hubungan signifikan antara semua karakteristik dengan tingkat pengetahuan dan hanya tingkat pendidikan yang memiliki hubungan signifikan dengan sikap terhadap obat generik.
Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Melalui Edukasi Tentang Penggunaan Antibiotik Bijak dan Rasional Hanif Nasiatul Baroroh; Esti Dyah Utami; Laksmi Maharani; Ika Mustikaningtias
Ad-Dawaa: Journal of Pharmaceutical Sciences Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.893 KB) | DOI: 10.24252/djps.v1i1.6425

Abstract

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terjadi karena minimalnya informasi dari tenaga kesehatan. Permasalahan tersebut dapat mendorong terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik pada manusia. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di Desa Sambeng Wetan mengenai penggunaan antibiotik yang rasional masih kurang. Pemberdayaan masyarakat terutama terhadap kader kesehatan perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan antibiotik. Metode edukasi yang dilaksanakan yaitu dengan metode modul, ceramah dan diskusi. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang dibagikan kepada responden sebelum dan sesudah edukasi untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan peserta. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup terkait pengetahuan penggunaan antibiotik. Data dianalisis dengan uji t berpasangan. Berdasarkan karakteristik peserta, sebagian besar peserta adalah usia dewasa awal (83,87%). Pendidikan responden sebagian besar adalah tamat SMA (38,71%) dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga (90,32%). Hasil menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan kader meningkat 0,97 poin setelah dilakukan edukasi. Persentase peningkatan nilai pengetahuan kader sebesar 13,8% dari rata-rata nilai pengetahuan awal. Edukasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengetahuan. Kegiatan edukasi dengan metode modul, ceramah dan diskusi mampu meningkatkan pengetahuan dari kader kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat terutama kader kesehatan secara berkelanjutan sebagai salah satu langkah kongkrit untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengendalikan resistensi bakteri terhadap antibiotik.