Tatang Bisri
Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi S Suwarman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3202.874 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.62

Abstract

Penanganan nyeri pascakraniotomi sampai saat ini masih belum begitu diperhatikan dan sering ditangani dengan kurang adekwat. Nyeri pascakraniotomi seringkali diabaikan karena adanya anggapan bahwa pasien pascakraniotomi tidak mengalami nyeri berat. Anggapan ini perlahan-lahan berubah dengan meningkatnya kesadaran tentang nyeri akut pascakraniotomi. Terdapat berbagai teknik yang dilakukan untuk menangani nyeri ini, dimana setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, tidak ada satu pun modalitas yang dinyatakan sebagai yang terbaik dan dapat berlaku secara universal. Belum ada konsensus mengenai standar penanganan nyeri pada pasien ini. Masih terdapat berbagai ketidaksesuaian pendapat mengenai mana regimen terapi yang tepat untuk mengobati nyeri pasca kraniotomi. Pada dekade terakhir, meningkatnya kesadaran serta semakin canggihnya penatalaksanaan nyeri menyebabkan dilakukannya berbagai teknik untuk mencapai analgesia yang adekwat pada kelompok pasien ini. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah serta kualitas penelitian mengenai nyeri pascakraniotomi. Ulasan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai patofisiologi, karakteristik, dan berbagai teknik yang dilakukan untuk penanganan nyeri akut pascakraniotomi. Nyeri kronis pasca kraniotomi yang merupakan gejala sisa yang sangat mengganggu juga dibahas secara singkat.Postcraniotomy Pain ManagementUntil recently, perioperative pain management in neurosurgical patients has been inconsistently recognized and inadequately treated. Pain following craniotomy has frequently been neglected because of the notion that postcraniotomy patients do not experience severe pain. However a gradual change in this outlook is observed because of awareness and understanding toward acute postcraniotomy pain. There are various technique exist for treating this variety of pain each with its own share of advantages and disadvantages. However, individually none of these modalities has been proclaimed as the best and applicable universally. There is no consensus regarding the standardization of pain control in this patient population. A considerable amount of dispute remains to ascertain the appropriate therapeutic regimen for treating postcraniotomy pain. In the last decade, improved awareness and advances in the practice of pain management have resulted in the implementation of diverse techniques to achieve adequate analgesia in this group of patients. This has led to an increased number and quality of studies about postcraniotomy pain. This article provides information about the pathophisiology, characteristic, and also various techniques and approaches for postcraniotomy pain management. Chronic postcraniotomy pain which can be debilitating sequelae is also discussed concisely.
Tatalaksana Kraniektomi Dekompresif pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat yang Disertai Peningkatan Tekanan Tinggi Intrakranial Menetap Fitri Sepviyanti Sumardi; Hamzah Hamzah; Sri Rahardjo; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (430.096 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i3.19

Abstract

Tekanan tinggi intrakranial menetap adalah penyebab kematian terbesar pada pasien dengan cedera kepala traumatik berat. Pada cedera kepala berat, tatalaksana secara konservatif dan operatif dilakukan untuk meminimalisir terjadinya cedera otak sekunder. Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan karena edema otak, hal ini sangat penting dan menentukan hasil luaran pasien/Glasgow outcomes scale (GOS) atau Extended GOS (GOSE). Data klinis menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif menurunkan angka kematian, meningkatkan fungsi pemulihan, menurunkan durasi perawatan di ICU dan meningkatkan hasil luaran berdasarkan Barthel Index Score. Kraniektomi dekompresif sering dilakukan sebagai penyelamatan empiris untuk melindungi kerusakan otak lebih lanjut akibat efek edema dan hipertensi intrakranial menetap. Konsep utama tatalaksana pasien dengan tekanan tinggi intrakanial yang menetap adalah menjaga aliran darah otak dan tekanan perfusi otak.Decompressive Craniectomy Management in Patients with Severe Traumatic Brain Injuries Accompanied by Refractory Intracranial HypertensionRefractory intracranial hypertension is the biggest cause of death in patients with severe traumatic head injury. In severe head injuries, conservative management and surgery are performed to minimize the occurrence of secondary brain injury. The increase in intracranial pressure is usually caused by brain edema, this is very important and determines the outcomes of the Glasgow outcomes scale (GOS) or extended GOS (GOSE). Clinical data show that decompressive craniectomy reduces mortality, improves recovery function, decreases duration of ICU treatment and increases outcome outcomes based on the Barthel Index Score. Decompressive craniectomy is often performed as an empirical salvage to protect further brain damage due to the effects of edema and refractory intracranial hypertension. The main concept of managing patients with refractory intracranial hypertension is to maintain cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure.
Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical Care Ida Bagus Krisna J. Sutawan; Siti Chasnak Saleh; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 3 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.984 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i3.49

Abstract

Transcranial Doppler merupakan salah satu aplikasi dari penggunaan ultrasonografi (USG) sehingga bersifat noninvasif dan mobile. Untuk dapat menggunakan TCD dengan baik maka diperlukan pemahaman mengenai doppler effect yang merupakan dasar perhitungan dari parameter TCD, acoustic window yang mana merupakan tempat dimana dilakukan isonasi sehingga menemukan arteri yang benar, anatomi dari arteri yang akan diisonasi dan tipe alat TCD yang digunakan untuk mengisonasi. Informasi mengenai keadaan sirkulasi darah otak menggunakan TCD didapatkan melalui parameter-parameter yang langsung dihitung oleh alat TCD diantaranya peak systolic velocity, end diastolic velocity, mean flow velocity, pulsatility index dan resistence index. Selanjutnya ada juga informasi-informasi lainnya yang didapatkan dengan memasukkan parameter-parameter tersebut ke sebuah rumus, seperti misalnya mean flow velocity, tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak. Selain itu TCD juga dapat digunakan untuk menilai keutuhan autoregulasi, vasospasme, hiperemia, dan mati batang otak.Basic Concept of Transcranial Doppler (TCD) for Neuroanesthesia and Critical CareTranscranial Doppler (TCD) is one of the applicable use of ultrasonograhy (USG), so it is noninvasif and mobile. To use TCD properly, the understanding of Doppler effect as the basic to calculate the parameters of TCD, acoustic window which are the place where to isonate to find the correct arterie, the anatomy of arteries that will be isonated and type of TCD device that will be used to isonated are needed. Information about cerebral circulation using TCD can be achieved from parameters that are directly calculated by the TCD device such as peak systolic velocity, end diastolic velocity, mean flow velocity, pulsatility index and resistence index. Furthermore, there are also informations that can be archived by putting up those parameters to a formula such as mean flow velocity, intracranial pressure and cerebral perfusion pressure. Beside that TCD also can be used to evaluate autoregulation, vasospasme, hypermia, and brain death. 
Tata Kelola Edem Paru Neurogenik Riyadh Firdaus; Syafruddin Gaus; Bambang J. Oetoro; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.446 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.23

Abstract

Edem paru neurogenik merupakan salah satu komplikasi pernafasan yang dapat muncul setelah cedera/trauma susunan saraf pusat. Bervariasinya laporan epidemiologi dan patofisiologi edem paru neurogenik dapat menyebabkan misdiagnosis yang dapat memperburuk prognosis pada pasien yang mengalami edem paru neurogenik. Patofisiologi edem paru neurogenik diduga dimulai dari kerusakan pada persarafan autonom pembuluh darah pulmonal dan stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor susunan saraf pusat, yang kemudian menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi pada pembuluh darah pulmonal hingga disfungsi jantung. Investigasi klinis harus dilakukan hati-hati karena manifestasi klinis yang dapat menyerupai edem paru kardiogenik dan non-kardiogenik lainnya, hasil pemeriksaan yang tidak spesifik, dan tidak adanya kriteria diagnosis. Saat ini belum ada pedoman tata kelola edem paru neurogenik yang dapat diterima secara luas, namun berbagai studi dan literatur menyebutkan tata kelola edem paru neurogenik berupa tata kelola suportif airway, breathing, circulation, di samping tata kelola penyebab cedera/trauma susunan saraf pusat memiliki prognosis yang baik, oleh karena itu identifikasi, investigasi, dan tata kelola edem paru neurogenik harus dilakukan secepatnya. Edem paru neurogenik dapat beresolusi dengan baik dalam 48–72 jam setelah mendapatkan tata kelola yang adekuat.Management of Neurogenic Pulmonary EdemaNeurogenic pulmonary edema is one of respiration complication caused by injury of central nervous system. Due to the vary of neurogenic pulmonary edema epidemiology and pathophysiology leads to misdiagnosed of neurogenic pulmonary edema, which could worsen the clinical condition patients. The pathophysiology of neurogenic pulmonary edema is believed caused by lesion on the autonomic central of vascular pulmonary bed and overactivation of central vasomotor system, which leads to alteration of vascular pulmonary conditions and cardiac dysfunction. Clinical investigation should be done carefully, because the clinical manifestations of neurogenic pulmonary edema mimicking the cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary edema, non-spesific diagnostic modalities, and none diagnostic criteria in neurogenic pulmonary edema. Although nowadays none of management guidelines of neurogenic pulmonary edema accepted widely, many study reported the good outcome of supportive management of airway, breathing, and circulation besides the primary management of central nervous system injury. Hence, clinical identifications, investigations, and management of neurogenic pulmonary edema should be done immediately, because of good clinical outcome in 48 – 72 hours with adequate management.