Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ARAT SABULUNGAN : STRATEGI DAN NEGOSIASI KULTURAL MINORITAS MUSLIM DI KEPULAUAN MENTAWAI Eka Putra Wirman; Muhammad Ilham; Refinaldi
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta`limat, Budaya, Agama dan Humaniora Vol. 25 No. 2 (2021): Majalah Ilmiah Tabuah : Ta`limat, Budaya, Agama dan Humaniora
Publisher : Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37108/tabuah.v25i2.630

Abstract

This article will describe the recruitment strategy for the younger generation segment and the cultural negotiation strategy of the Mentawai Muslim minority in the midst of local traditions. Practically, this paper contributes to friendly and negotiable models of Islamic cultural studies with local values. The research was conducted with a qualitative approach. Data were collected through observation, documentation, and interview techniques. Data analysis was carried out with reference to technical analysts Miles and Huberman. Arat Sabulungan as a local belief for the original Mentawai people, is an elementary value for the Mentawai people. The historical-political factors of the New Order era, sociologically, made the consistency of religious beliefs not smooth. In addition, this is also caused by cultural negotiations which in the Islamic concept are more "difficult" compared to non-Islamic ones. The practice of Arat Sabulungan is a variable that contributes to the difficulty of the cultural negotiation. The strategy used by Islamic preachers which has been considered successful so far is by way of syncretic da'wah and education. The younger generation is a “guarded group”. 
PEMBAHASAN AKIDAH DALAM KITAB AL-JĀMI’ LI AHKĀM AL-QUR’ĀN KARYA AL-QURṬUBI̅ Resya Farasy Fitrah Naffasa; Eka Putra Wirman; Zulheldi Zulheldi
Hadharah: Jurnal Keislaman dan Peradaban Vol 16 No 2 (2022) Hadharah: Jurnal Keislaman dan Peradaban
Publisher : UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/h.v16i2.4844

Abstract

Banyak orang yang keliru dalam memahami kedudukan akal dan wahyu. Mereka bersifat apatis karena merasa kehidupannya sudah ditentukan oleh Allah. Selain itu, mereka mudah menyalahkan orang lain karena memiliki pemahaman yang berbeda dengan dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan penjelasan al-Qurṭubi̅ tentang permasalahan tersebut yang mana topik pembahasan ini adalah topik kedua yang dibahas al-Qurṭubi̅ secara detail di dalam kitab tafsirnya al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān.Hasil dari penelitian ini, dilihat dari penafsiran al-Qurṭubi̅ pada ayat-ayat yang berhubungan dengan akal dan wahyu, dapat diketahui bahwa pemahaman al-Qurṭubi̅ tentang hal ini adalah pemahaman aliran Asy’ariyah. Al-Qurṭubi̅, menempati wahyu sebagai posisi yang lebih tinggi daripada akal. Wahyu berfungsi sebagai informasi dan pedoman agar akal tidak terjerumus pada pemahaman yang salah. Sedangkan akal berfungsi untuk memahami dan mengetahui semua hal yang diinformasikan oleh wahyu. Saat menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan kebabasan manusia dalam berkehendak, al-Qurṭubi̅ menjelaskan bahwa sebenarnya Allah memiliki peran dalam pebuatan manusia. Hal ini tidak seperti apa yang dipahami oleh aliran Mu’tazilah. Al-Qurṭubi̅ menekankan bahwa walaupun ada peran Allah dalam perbuatan manusia, manusia tetap harus mengusahakan apa yang ia kehendaki agar mendapatkan manfaat untuk dirinya dan menghindari kemudharatan. Pemahaman al-Qurṭubi̅ tentang pembahasan ini berasal dari pemahaman Asy’ariyah dalam teori al-kasb. Perbuatan manusia pada hakikatnya berasal dari kemampuan yang Allah berikan. Akan tetapi, manusia tidak kehilangan sifatnya sebagai pembuat. Adapun penjelasan al-Qurṭubi̅ tentang kedudukan orang yang berbuat dosa, al-Qurṭubi̅ memberikan kritik dan bantahan pada aliran Khawarij. Dilihat dari cara al-Qurṭubi̅ menafsirkan ayat, al-Qurṭubi̅ memberikan penjelasan yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh al-Asy’ariy. Orang yang berbuat dosa tetapi tidak menyekutukan Allah bukanlah disebut sebagai orang kafir. Mereka adalah orang yang fasik.
Tasawuf Urban dan Tasawuf Perenial dalam Kehidupan Masyarakat Perkotaan Diah Arvionita; Efendi Efendi; Eka Putra Wirman; Zainal Zainal
Jurnal Pemikiran Islam Vol 3, No 1 (2023): Januari-Juni
Publisher : Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jpi.v3i1.16368

Abstract

Sufism is a concept within Islam that aims to lead individuals towards God. The practice of Sufism involves purifying the inner self through righteous deeds. In the journey of Sufism, there are three stages to be traversed: knowledge as the beginning, action as the middle, and God's grace as the culmination. By practicing Sufism, individuals can attain a deeper relationship with God and find inner peace. Through the process of purifying the inner self and engaging in righteous deeds, Sufism helps individuals enhance their spiritual quality and gain a profound understanding of their religion. In the contemporary era, Sufism has experienced development, marked by the emergence of new terms such as Urban Sufism and Perennial Sufism. Urban Sufism refers to the practice of Sufism in urban contexts, where individuals apply Sufi principles in their daily lives amidst the modern and complex urban environment. This demonstrates the adaptation of Sufism to the challenges and needs of the present time. On the other hand, Perennial Sufism refers to an approach that connects the essence of mystical and spiritual teachings from various religions. In Perennial Sufism, the common principles of spirituality and religious experiences are found across different religious traditions, serving as a bridge to understand and achieve unity with God.AbstrakTasawuf sebuah konsep dalam Islam yang memiliki tujuan untuk membawa manusia menuju Tuhan. Praktik tasawuf melibatkan pensucian batin dengan amal shaleh. Dalam perjalanan tasawuf, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu ilmu sebagai yang awal, amal sebagai yang tengah, dan karunia Allah sebagai yang akhir. Dengan mengamalkan tasawuf, individu dapat mencapai hubungan yang lebih mendalam dengan Tuhan dan memperoleh kedamaian dalam jiwa. Melalui proses pensucian batin dan pelaksanaan amal shaleh, tasawuf membantu manusia untuk meningkatkan kualitas spiritualitasnya dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang agama. Perkembangan tasawuf di era kontemporer saat ini, yang ditandai dengan munculnya beberapa istilah baru seperti Tasawuf Urban atau Tasawuf Perkotaan dan Tasawuf Perenial. Tasawuf Urban mengacu pada praktik tasawuf yang dilakukan dalam konteks perkotaan, di mana individu mengaplikasikan prinsip-prinsip tasawuf dalam kehidupan sehari-hari di tengah kehidupan perkotaan yang modern dan kompleks. Hal ini menunjukkan adaptasi tasawuf dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Sementara itu, Tasawuf Perenial merujuk pada pendekatan tasawuf yang menghubungkan inti dari ajaran-ajaran mistis dan spiritual dari berbagai agama. Dalam Tasawuf Perenial, kesamaan prinsip-prinsip spiritual dan pengalaman keagamaan ditemukan di seluruh tradisi agama, dan hal ini digunakan sebagai jembatan untuk memahami dan mencapai kesatuan dengan Tuhan