Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

MENALAR URGENSI PENGHAPUSAN UJIAN NASIONAL DEMI KEADILAN SISWA, GURU DAN SEKOLAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 2596 K/PDT/2008 Aufi Imaduddin
PREMIERE : Journal of Islamic Elementary Education Vol 1 No 2 (2019): PREMIERE : Journal of Islamic Elementary Education
Publisher : Program Studi PGMI Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jp.v1i2.76

Abstract

The national exam is a form of national level learning evaluation that has been set by the government to determine student learning outcomes. However, in the implementation of the national exam has a negative impact on students, teachers and schools. So lately there has been a renewed discourse about the elimination of the national examination, it began with the policy of the Indonesian Minister of Education and Culture to abolish the national examination in 2021. Especially if we examine further that legal efforts to stop the implementation of the national examination have existed since 2006 and the peak in 2009 was the decision of the Supreme Court number: 2596 K / PDT / 2008 which in essence required the government to stop the implementation of the national examination before resolving various existing problems. Therefore, the writer is interested in asking logically to think about the urgency of abolishing the national exam after the decision of the Supreme Court. In this paper, the method used by the author is a qualitative method based on social facts that occur based on juridical reasons based on the laws and regulations related to research. The results of this study found that the implementation of the national exam has claimed justice for students in obtaining their human rights in obtaining education that has been mentioned in the 1945 Constitution and is not in accordance with educational thought according to Ki Hajar Dewantara, as well as causing various depressive pressures which have an impact on their minds stressed and suicidal students. The implementation of national exams has also revoked justice for teachers, where teachers in their teaching are supposed to educate students well and develop their students' thinking instincts, with the national examination the teacher only drills students to memorize and do exercises that lead to the national exam. Recalling also that the implementation of national examinations in a juridical manner in the decision of the Supreme Court has violated various laws and regulations regarding education in Indonesia. Therefore, the elimination of the national exam will give back the right to justice for students, teachers and schools according to their respective proportions.
Konstitusionalitas Perceraian sebab Perselisihan dan Pertengkaran antara Suami Isteri Aufi Imaduddin
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 1 No 1 (2020): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.467 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v1i1.138

Abstract

Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi, maka segala aturan yang berlaku dalam tatanan negara harus sesuai dengan aturan yang ada seperti perkara perkawinan. Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dijelaskan dalam undang-undang tersebut tentang tata cara pelaksanaan perkawinan hingga tata cara perceraian beserta akibat hukum yang timbul usai perceraian. Terkait dengan perceraian ini dijelaskan di dalam Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No 1 Tahun 1974, kemudian dijabarkan kedalam PP No 9 Tahun 1975 dan juga diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam perkembanganya perceraian yang diatur dalam poin “f” di anggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sehingga menimbulkan kerugian hukum bagi sekelompok masyarakat. Kemudian dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, Pasal 39 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam frasa “Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” justru memberikan salah satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan maksud perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 serta tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ghosting Pasca Peminangan/Khitbah Menurut Hukum Perdata Indonesia dan Hukum Islam Aufi Imaduddin; Mir’atul Firdausi; Tiyan Iswahyuni
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 2 No 2 (2021): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.123 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v2i2.167

Abstract

Abstrak: Ghosting dapat diartikan mengakhiri hubungan secara mendadak dalam percintaan maupun pertemanan. Dalam percintaan para remaja yang menjalin hubungan atau pacaran seringkali mengalami dijanjikan untuk dinikahi tetapi janji tersebut tidak ditepati. Janji menikahi ini berbeda dengan perjanjian perkawinan sebagaimana dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1975 tentang perkawinan, janji menikahi yang dianggap sebagai ghosting ini disampaikan lewat lisan berupa rayuan, bahkan ada yang merayu untuk berhubungan badan dengan janji untuk dinikahi namun kemudian mengingkari janji tersebut dan menghilang begitu saja padahal persiapan pernikahan sudah 90 persen. Kejadian ini sudah banyak terjadi dari dahulu hingga saat ini. Dalam hukum perdata, ghosting yang menyebabkan pembatalan lamaran atau pinangan tidak menimbulkan hak untuk menuntut berlangsungnya perkawinan kepada pengadilan, juga tidak ada hak untuk menuntut ganti rugi biaya akibat tidak dipenuhinya janji menikahi yang dilakukan oleh pelaku, akan tetapi ganti rugi bisa dituntut ketika sudah ada pengumuman tentang perkawinan tersebut dalam tenggang waktu delapan belas bulan terhitung dari pengumuman perkawinan. Sama halnya dalam hukum Islam ghosting yang menyebabkan pembatalan khitbah juga tidak mengikat dan tidak ada konsekuensi apapun sebelum adanya akad nikah, namun pembatalan lamaran atau khitbah harus dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan kebiasaan agar bisa saling menjaga kehormatan dan silaturrahim masing-masing.
Kenaikan Batas Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Implikasinya Terhadap Kenaikan Angka Perkara Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Pemalang Muhammad Nur Falah; Aufi Imaduddin; Kholisatul Ilmiyah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 1 No 2 (2020): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.025 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v1i2.173

Abstract

Abstrak: Sejak mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Angka perkara dispensasi kawin melonjak. Sebagai contohnya terjadi di Kabupaten Pemalang yaitu sebanyak 951 permohonan. Berdasarkan Undang - Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat(2) yang berbunyi “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan denga alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Fokus penelitian ini adalah Kenaikan Batas Usia Perkawinan MenurutUndang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 jo.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan dan Implikasinya terhadap Kenaikan Angka Perkara Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Pemalang. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan upaya pemerintah dalam mencegah pernikahan dini, sayangnya penetapan ini tidak dibarengi dengan perubahan aturan tentang dispensasi nikah sehingga semakin meningkat angka permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama, hal ini disebabkan karena tidak adanya batasan yang jelas pada saat kapan dan dalam situasi apa pemberian dispensasi oleh pengadilan dan instansi berwenang diberikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah perkara permohonan dispensasi nikah setelah ditetapkannya revisi Undang-Undang Pernikahan mengalami peningkatan di beberapa kota/kabupaten. Pengadilan Agama Pemalang mengalami kenaikan yang signifikan.
Dilematik Penggunaan Ganja Medis di Indonesia (Tinjuan Analisis Perspektif Konstitusi Hukum di Indonesia dan Hukum Islam) Mir’atul Firdausi; Aufi Imaduddin; Faridatul Ulya
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.254

Abstract

penggunaan ganja medis
Istilah “Suami Sebagai Kepala Keluarga dan Istri Sebagai Ibu Rumah Tangga” dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Perspektif Feminisme Aufi Imaduddin; Mir’atul Firdausi
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 4 No 2 (2023): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v4i2.576

Abstract

Istilah/klausul “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga” tertuang dalam pasal 31 ayat 3 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan pasal 79 ayat 1 dalam kompilasi hukum Islam. Istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga menjadi istilah yang membudidaya di Indonesia. Kepala keluarga diartikan sebagai seseorang yang memimpin dan bertanggung jawab kepada keluarga baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun dari segi sosial, sedangkan ibu rumah tangga diartikan sebagai seorang istri yang mengurus urusan rumah tangga dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mendidik anak dan biasanya ibu rumah tangga tidak bekerja di ranah publik. Namun, hal tersebut tidak relevan dengan keadaan zaman sekarang, banyak perempuan-perempuan yang bekerja di ranah publik dan juga banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Dan ini menjadi menarik jika dilihat dari sudut pandang feminisme yang menganggap hal tersebut sebagai ketidakadilan gender. Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian hukum normatif dengan mengkaji literatur peraturan perundang-undangan, tafsir-tafsir Al Qur’an klasik dan tafsir feminisme yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data studi pustaka dan juga literatur primer, sekunder dan tersier. Adapun metode analisa data yang digunakan penulis berupa metode analisis data secara yuridis kualitatif yang kemudian informasi tersebut akan dituangkan secara deskriptif. Penulis menyimpulkan, bahwasanya pegiat feminisme menentang istilah “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga” dengan alasan bahwasanya istilah tersebut merugikan pihak perempuan dari sisi kepemimpinan suami sebagai kepala keluarga dengan dianalisis melalui tafsir feminisme. Feminisme menganggap seorang laki-laki bisa dikatakan sebagai pemimpin hanya jika memenuhi 2 syarat yaitu mampu dan mempunyai pencapaian dalam hal harta, jika tidak memenuhi syarat tersebut maka dia tidak layak dikatakan pemimpin walaupun statusnya sebagai suami.
RATIONAL RESTRICTIONS OR PRUNING OF RIGHTS ? DEADLINE FOR SUBMITTING FORMAL TESTS AT THE CONSTITUTIONAL COURT Agung Barok Pratama; Aufi Imaduddin; Hilmi Yusron Rofi'I; Aldila Leo Saputra; Pratama, Agung Barok; Imaduddin, Aufi; Yusron Rofi'i, Hilmi; Leo Saputra, Aldila
JURNAL TAPIS Vol 20 No 1 (2024): Jurnal Tapis : Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/tps.v20i1.22170

Abstract

The time limit in the judicial review of legislative process was first made in Constitutional Court Decision Number 27/PUU-VII/2009, in legal considerations the judge made a new law (judge making of law) by limiting the filing of formal test applications 45 today the law was published in the state gazette. This was done for the sake of legal certainty and the impact of the formal test application submitted past the 45-day deadline would be rejected by the Constitutional Court. This research uses a normative or doctrinal juridical type that focuses on library research. The purpose of this research is to find out the legal reasoning of the Constitutional Court judges in limiting the filing of formal tests and analyzing these restrictions from the aspect of justice. This research is a doctrinal research using statutory, conceptual and case approaches. The results of the study show that restrictions on the filing of formal tests are imposed in order to achieve legal certainty, so that the law requested for a formal test is more quickly known whether its status has been made legally or not, because formal testing will cause the law to be canceled from the start. Time restrictions in the Constitutional Court are not entirely contrary to the principle of justice, because in practice the Constitutional Court still provides space of justice for applicants to submit formal tests.
REDESIGN OF THE APPOINTMENT OF ACTING OFFICERS IN FILLING THE VACANCY OF THE DEMOCRATIC REGIONAL HEAD POSITION Barok Pratama, Agung; Asyria Yamin, Tsinta; Yusron Rofi'i, Hilmi; Leo Saputra, Aldila; Pratama, Agung Barok; Imaduddin, Aufi; Putri, Sofi Ekiana
JURNAL TAPIS Vol 21 No 1 (2025): Jurnal Tapis : Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/tps.v21i1.26235

Abstract

This study aims to describe the (existing) appointment of acting regional heads to fill vacant permanent regional head positions and to propose the ideal appointment of acting regional heads based on democratic principles as stipulated in Law No. 10/2016 on Regional Elections. This study is a normative legal study using a legal and conceptual approach. The data obtained are analyzed and interpreted using relevant legal interpretation methods, and deductive conclusions are drawn. The results of this study indicate that the acting governor who will fill the vacant position will be directly appointed by the President based on the submission of names from the Ministry of Home Affairs (Kemendagri). As for Acting Regents and Mayors, they are directly selected by the Ministry of Home Affairs. A more democratic appointment design is proposed by implementing a merit-based system in recruitment and broader participation from various political parties, including the Regional People's Representative Council (DPRD). This more democratic design aims to ensure the appointment process is more transparent, accountable, and aligned with democratic principles and regional aspirations.
RATIONAL RESTRICTIONS OR PRUNING OF RIGHTS ? DEADLINE FOR SUBMITTING FORMAL TESTS AT THE CONSTITUTIONAL COURT Agung Barok Pratama; Aufi Imaduddin; Hilmi Yusron Rofi'I; Aldila Leo Saputra; Pratama, Agung Barok; Imaduddin, Aufi; Yusron Rofi'i, Hilmi; Leo Saputra, Aldila
JURNAL TAPIS Vol 20 No 1 (2024): Jurnal Tapis : Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/tps.v20i1.22170

Abstract

The time limit in the judicial review of legislative process was first made in Constitutional Court Decision Number 27/PUU-VII/2009, in legal considerations the judge made a new law (judge making of law) by limiting the filing of formal test applications 45 today the law was published in the state gazette. This was done for the sake of legal certainty and the impact of the formal test application submitted past the 45-day deadline would be rejected by the Constitutional Court. This research uses a normative or doctrinal juridical type that focuses on library research. The purpose of this research is to find out the legal reasoning of the Constitutional Court judges in limiting the filing of formal tests and analyzing these restrictions from the aspect of justice. This research is a doctrinal research using statutory, conceptual and case approaches. The results of the study show that restrictions on the filing of formal tests are imposed in order to achieve legal certainty, so that the law requested for a formal test is more quickly known whether its status has been made legally or not, because formal testing will cause the law to be canceled from the start. Time restrictions in the Constitutional Court are not entirely contrary to the principle of justice, because in practice the Constitutional Court still provides space of justice for applicants to submit formal tests.
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Usaha Pengolahan Garam idayati, wiwik; Tomy Afandi; Isniyatin Faizah; Aufi Imaduddin; Mir'atul Firdausi
PARTISIPATORY Vol 4 No 2 (2025): PARTICIPATORY: Jurnal Pengabdian Masyarakat
Publisher : LPPM IAI TABAH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58518/participatory.v4i2.4202

Abstract

Penelitian ini membahas pemberdayaan masyarakat melalui usaha pengolahan garam di Desa Pliwetan, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, yang dikenal sebagai salah satu sentra garam dengan kualitas baik di pesisir utara Jawa Timur. Meskipun memiliki potensi besar, masyarakat sebelumnya menghadapi kendala berupa fluktuasi pendapatan, keterbatasan modal, akses distribusi, serta kurangnya inovasi dalam pengolahan dan pemasaran produk. Melalui program pemberdayaan, masyarakat difasilitasi dalam pelatihan teknis pengemasan, strategi pemasaran, dan penguatan kelembagaan usaha. Pendekatan ini mendorong perubahan peran warga dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi produsen mandiri yang mampu meningkatkan nilai tambah produk garam, memperluas jaringan pemasaran, serta memperkuat identitas lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya berdampak pada peningkatan keterampilan teknis dan ekonomi, tetapi juga memperkuat partisipasi sosial, kelembagaan lokal, serta strategi keberlanjutan melalui diversifikasi produk, kemitraan, dan edukasi lingkungan. Penelitian ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi desa berbasis potensi lokal.