Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

IMPLEMENTASI AJARAN ASIH DALAM TRI PARARTHA: UPAYA REVITALISASI SIKAP TOLERANSI GENERASI Z I Made Sidia; I Nengah Juliawan; Ni Kadek Rika Pramestika Dewi
Maha Widya Bhuwana: Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya Vol 5, No 1 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/bhuwana.v5i1.1968

Abstract

Education, economy, science and technology have experienced significant changes, this has an influence on all aspects of people's lives, especially in the order of individual behavior both positively and negatively. In order to create harmony in social behavior to respond to this development, it is necessary to have a conceptual context that is used as a guide or attitude, one of which is Asih which is love or compassion in Tri Parartha can be implemented by generation Z with supporting factors, namely the teachings of Tat Twam Asi, which means I am you, you are me. Tat Twam Asi's teachings teach to treat others the way you want to be treated. As for the example of the implementation of Asih's teachings, getting used to saying greetings, bowing when passing other people or older people as a form of respect and appreciation. In addition, Asih's teachings can be implemented through the local wisdom of Hindus in Bali, namely Manyama Braya or Matetulung. Through this concept, the younger generation, especially Generation Z today, can learn about respecting differences and placing others as family so that the spirit of tolerance remains.Keywords: Asih, Tri Parartha, Tolerance, Generation Z
Kajian Gerak Wayang Style Sukawati Oleh Dalang Suwija Wayan Dipa Raditya; I Made Sidia
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 1 No. 1 (2021): Agustus.
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di dalam kehidupan seni klasik di daerah kita di pulau Dewata ini,, kehidupan seni pewayangan masih mampu bertahan. Dalam perkembangannya di tiap jaman, pertunjukan wayang mengalami banyak perubahan baik dari segi kemasan yang ditampilkan serta style pada dalangnya sendiri. Pada umumnya, ada beberapa dalang yang memakai style dari masing-masing tempat di Bali, salah satunya yang adalah dalang style Sukawati oleh dalang Suwija. Maka dari itu penulis ingin meneliti dan mempelajari sekaligus melestarikan keunikan-keunikan beberapa style Sukawati. Beberapa nama-nama permainan cepala yaitu : Pukulan Pengawit, Pukulan Peneteg, Pukulan Peselah, Pukulan Pemalet, Pukulan Pemalpal, Dan Pukulan Pesiat beserta fungsinya. Tidak hanya mendapatkan keunikan tetikesan wayang dengan perpaduan cepala dari narasumber tetapi juga mendapatkan hal unik lainnya seperti tokoh dalang Sukawati yang terdahulu bernama Pekak Krekek yang bermain wayang di alam gaib dan merebut bayi di tangan makhluk astral di Setra Pering, Blahbatuh
Pakeliran Layar Lebar Inovatif “Bima Tapa Agni” Kadek Ari Sukma Prananda; I Made Sidia; I Bagus Wijna Bratanatyam
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 3 No. 1 (2023): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pakeliran Layar Lebar Inovatif “Bima Tapa Agni” merupakan karya seni layar lebar inovatif yang muncul sebagai wujud karya seni pewayangan eksperimental yang memadukan kerangka cerita pewayang yang mengandung nilai-nilai tradisi dalam konsep garap modern. Konsep karya layar lebar inovatif digunakan untuk mengembangkan seni tradisional pewayangan khususnya gaya Bali yang menonjolkan aspek inovasi pada cerita, dengan memadukan teknologi inovasi yang tertuang dalam bentuk layar lebar. Adapun tahapan metode penciptaan dalam mewujudkan konsep tersebut ialah tahap penjajagan (Eksplorasi), tahap percobaan (Improvisasi), dan tahapan pembentukan (Forming). Karya yang dihasilkan dari konsep tersebut adalah karya seni pewayangan modern yang mengangkat cerita "Bima Tapa Agni". Dalam karya ini, penggarap menggabungkan unusr wujud wayang tradisional Bali dengan teknologi layar lebar yang memperlihatkan latar belakang yang menarik dan teampak realistik. Proses kreatif dalam pembuatan karya ini melibatkan kolaborasi antar beberapa pemain wayang (dalang), musisi, penata suara, dan teknisi layar lebar. Mereka menggunakan berbagai teknik dan pendekatan untuk menghasilkan visual yang sesuai dengan tema cerita yang diangkat. Para dalang juga menggabungkan unsur-unsur modern, seperti penggunaan media elektronik dalam memunculkan screen latar kekinian pada media layar lebar dan teknik bermain wayang yang tidak biasa, dengan unsur-unsur tradisional pewayang gaya Bali, dalam menciptakan sebuah karya yang unik dan menarik. Secara keseluruhan, karya ini menceritakan tentang perjalanan lanjutan dari kisah Bima Nawa Ruci, di mana Bima melakukan tapa brata dengan alasan untuk mencari jatidirinya yang dilakukan di Gunung Pastika dengan sarana api.
The Theatre of “Glass Puppetry” Enhanced With The Use of The Technology of Lighting I Made Sidia
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 6 No. 2 (2023)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lekesan.v6i2.2538

Abstract

The life of a Wayang Artist is an honorable role to have in the society of the Balinese people. Storytellers using the art of the wayang are highly respected, whose role in the community is to pass on the precious stories about the history, the culture and the spiritual heart of the Balinese people. The Wayang artist, known as the dalang goes on a life journey in sharing their philosophies through stories for the enrichment and soul of society. The process of internalization of the Puppet master from an early age through the world of wayang, forms a cognitive map of the creator who is immersed in the stories and characters of wayang art figures. The wayang artist continues to strive for innovation in form, exploring new techniques and exciting presentations, and with that in mind, the invention of the Glass Wayang enables the creator to explore the new technologies in developing a new way forward in the shadow puppet world. The process of creating Glass Puppets using the technology of lighting as a medium, opens one up to reflect on the mirroring of the self-image- to self-awareness and the inner workings our role in this human life Dramatic depictions of life processes are conveyed through the medium of glass puppets. Experiences and realities of life from the past until now. The search for identity is awakened. Wayang Kaca's work ranges from the making of various styles and forms of puppets supported by one hundred and six dancers accompanied by digital musical instruments (midi) and Bebonangan and Semarandhana gamelan. Digital musical instruments (midi) and gamelan are not only accompaniment but are an important part in providing a traditional and modern feel. The performance venue at Sanggar Paripurna Bona, Gianyar includes a side stage along with the traditional proscenium stage.  allowing for a full presentation for displaying this Glass Wayang work. The facilities the sanggar offers allow for all aspects of the creation process in developing, rehearsing, and presenting a final performance.
Penciptaan Karya Wayang Goni Tiga Dimensi “Quarter Life Crisis” Rahyuda, I Nyoman Darma; Sidia, I Made; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3721

Abstract

Pada dasarnya konsep dari Wayang Goni Tiga Dimensi ini adalah terapan dan pengembangan dari pertunjukan wayang konvensional. Dimana pesan atau tetuek yang disampaikan oleh dalang dapat diterapkan dikehidupan manusia. Akan tetapi, berkembangnya jaman dan tingkatan umur manusia yang cenderung menyukai sesuatu hal yang baru, disini penulis ingin menyampaikan pesan atau tetuek tersebut dengan media dan pertunjukan yang sedikit modern. Penciptaan karya seni Wayang Goni Tiga Dimensi ini mengangkat konflik permasalahan yang terjadi pada anak muda dengan rentang usia 20-30 tahun, yang biasa disebut dengan quarter life crisis. Dalam fenomena ini akan merasakan sebuah kecemasan atau kekhawatiran terhadap masa depan mereka sendiri karena banyaknya tingkatan ekonomi sosial masyarakat yang berbeda-beda. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Teori Kawi Dalang yang digagas oleh Prof. I Nyoman Sedana, yaitu Pandulame (Alam Imajinasi Keindahan), Adicita Adirasa ( Ide dan Rasa ), Sranasasmaya ( Media atau Sarana ), Gunatama ( Skill dan Bakat Keterampilan Khusus). Dalam garapan Wayang Goni Tiga Dimensi Quarter Life Crisis mengandung nilai-nilai estetika didalamnya, dapat dilihat pada pengkarakteran sebuah Wayang Goni Tiga Dimensi yang menganalogikan dua perbedaan sifat manusia yang bersifat kontras dan tidak bisa bersatu, hal ini tercantum dalam mitologi hindu yaitu Rwa Bhineda. Serta penggunaan media motions graphic yang dikombinasi dalam seni pertunjukan teater Wayang Goni Tiga Dimensi, yang menambah nilai visual yang cukup tinggi dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan penulis. Komposisi musik yang digunakan dalam wayang ini menggunakan konsep film dengan bentuk musik yang cenderung melankolis dari piano dan memunculkan visual musik dari setiap adegannya.
Teater Wayang Kaca “Rawi Muksha” Satyana, I Kadek Handre; Putra, I Gusti Ngurah Gumana; Sidia, I Made
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3722

Abstract

Pertunjukan karya Teater Wayang Kaca dengan judul “Rawi Muksha” mengangkat tentang tema tentang Perjuangan wanita dengan tujuan untuk mencapai kehormatan yang tertinggi dikarenakan pada jaman globalisasi yang melibatkan generasi muda banyak mengalami kasus pelecehan seksual, kekerasan terhadap wanita dan lain- lain. Oleh karena itu penata menghubungkan pertunjukannya dengan cerita Sabha Parwa saat Dewi Drupadi yang dilecehkan pada saat perjudian antara pandawa dan korawa. Dengan diambilnya cerita tersebut memberikan pesan- pesan dan makna tentang wanita yang memperjuangkan sebuah kehormatannya hal ini ditujukan khusus untuk generasi muda pada jaman globalisasi saat ini khususnya (wanita). Berdasarkan metode sanggit kawi dalang bagian catur datu kaywa yang berisikan tentang pandulame, adicita adirasa, gunagina gunamanta, dan srana sasmaya dapat dijadikan sebagai acuan untuk membuat karya pertunjukan karena isiannya dapat mempermudah penata dalam membuat karya Teater Wayang Kaca “Rawi Muksha”. Oleh karena itu dengan adanya skrip karya mempermudah dan dapat dimanfaatkan oleh generasi muda (wanita) untuk mengetahui lebih jauh tentang wanita pada jaman dahulu memperjuangkan dan menjaga kehormatannya serta dari hal tersebut dapat menginspirasi generasi muda (wanita) untuk lebih menjaga etika dan tata krama karena hal tersebut terhadap kehidupan kedepannya.
Gugurnya Bhisma Oleh Srikandi: Studi Mengenai Refleksi Konsep Karma-Phala Melalui Cerita Mahabharata Mejaya, I Dewa Gede Jana; Wicaksana, I Dewa Ketut; Sidia, I Made
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 2 (2024): Agustus
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i2.4386

Abstract

Mahabharata samapai saat ini termasyur dan memperoleh apresiasi serta direpresentasikan dalam berbagai ekspresi yang merefleksikan makna-makna kehidupan yang relevan bagi perseptornya. Bhisma sebagai putra mahkota kerajaan Kuru dikenal memiliki kemuliaan, keagungan, dan jiwa besar seorang kesatria, namun demikian Bhisma tidak terlepas dari ikatan sebab-akibat yang membuatnya harus berpihak pada sisi yang salah dan gugur dihadapan Srikandi. Tujuan penelitian ini, pertama, mengungkap kronologi detail gugurnya Bhisma dalam cerita Mahabharata dan menganalisis bagaimana cerita tersebut merefleksikan nilai Karma-Phala sebagai pembelajaran bagi peningkatan kualitas pengetahuan sosio-religius manusia. Metode yang digunakan adalah analisis teks dengan pendekatan hermeneutika untuk menafsirkan makna moral dan spiritual, dalam konteks karya sastra dan seni pertunjukan sebagai medium refelektor. Hasil penelitian menunjukkan, pertama gugurnya Bhisma terjadi setelah ia menerima serangan panah dari Srikandi, yang dipengaruhi oleh nasib dan karma masa lalu Bhisma yang dinilai menyakiti Srikandi di masa lalunya sebagai Dewi Amba. Kedua, Peristiwa ini merefleksikan konsep Karma-Phala dengan jelas, yang mana tindakan masa lalu Bhisma berkontribusi pada takdirnya. Cerita ini memberikan pembelajaran tentang pentingnya menjalani kehidupan dengan kebajikan untuk mencapai hasil positif di masa depan. Terdapat makna moral yang kuat tentang pengorbanan dan ketulusan dalam cerita tersebut. Aspek spiritual dari gugurnya Bhisma juga mengajarkan tentang penerimaan terhadap hukum alam yang tak terhindarkan. Relevansi cerita ini dalam kehidupan modern menegaskan bahwa hukum Karma-Phala tetap menjadi panduan penting dalam menjalani kehidupan manusia, mengingatkan kita bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang harus diterima dengan lapang dada.
PENCIPTAAN KARYA PAKELIRAN SAJAK "GEDOG GERODOG" Bayu Senopati, I Gusti Agung; Sidia, I Made; Gumana Putra, I Gusti Ngurah
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 5 No 1 (2025): Mei
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v5i1.4887

Abstract

The final project script of the Independent Study Project was conducted for one semester at the Sanggar Seni Hari Dwipa Gamelan Group, with the aim of creating a Balinese puppetry art work called Pakeliran Sajak Gedog Gerodog, which raises the phenomenon of Gedog Gerodog in the world of Balinese puppetry. This final project research uses a combination research method, namely quantitative research method and qualitative research method, with data collection through interviews and observations. The results of the study show that Gedog Gerodog is a phenomenon that is mystical and realistic, which occurs because puppets are starting to be forgotten in modern times as a means of worship. The Pakeliran Sajak Gedog Gerodog artwork creates a new concept in the world of puppetry, by combining poetry and puppetry, using the Panca Sthiti Ngawi Sani method, which includes Ngawi Rasa (Inspiration Stage), Ngawacak (Exploration Stage), Ngarencana (Conception Stage), Ngawangun (Execution Stage), and Ngebah (Performance Stage). This concept enables a more dynamic and interactive puppet performance. The Pakeliran Sajak Gedog Gerodog artwork also has educational value, as it can be a means to introduce and preserve Balinese puppetry culture. In addition, this artwork can also be an inspiration for other artists and researchers to develop innovative and creative art works.  
Pertunjukan Pariwisata Cak Bona di Era Globalisasi: Antara Pelestarian Tradisi dan Adaptasi Pariwisata Ratna, Putu Ayu Dian; Sidia, I Made; Mustari, Nurfadillah
Journal of Innovative and Creativity Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini membahas Cak Bona, sebuah pertunjukan seni tradisional dari Desa Bona, Gianyar, Bali, yang berakar dari tari sakral Sanghyang dan berkembang menjadi varian tari Kecak. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sejarah, makna budaya, transformasi Cak Bona menjadi atraksi pariwisata, serta tantangan dan peluangnya di era globalisasi. Metode yang digunakan berupa studi literatur, observasi lapangan, serta wawancara dengan pelaku budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cak Bona tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media pelestarian identitas lokal, diplomasi budaya, dan penggerak ekonomi kreatif berbasis komunitas. Di sisi lain, globalisasi menghadirkan tantangan berupa komodifikasi budaya dan tekanan modernisasi. Oleh karena itu, strategi pelestarian berbasis komunitas, pendidikan seni, dan pemanfaatan media digital menjadi kunci keberlanjutan. Artikel ini menegaskan bahwa Cak Bona merupakan contoh praktik pariwisata budaya yang mampu menjaga keseimbangan antara nilai tradisi dan tuntutan global.
Teater Wayang Golek Topeng GEGER GIANYAR Kertajaya, I Ketut; Sedana, I Nyoman; Sidia, I Made
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 5 No 2 (2025): Oktober
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v5i2.5003

Abstract

This study presents the creation of Wayang Golek Topeng: Geger Gianyar, a theatrical innovation that reinterprets Balinese performing arts in response to contemporary cultural dynamics. Rooted in the dual challenge of preserving tradition while embracing modernity, the work employs wayang golek topeng as a hybrid medium that integrates the symbolic depth of Balinese topeng with the dramaturgy of rod puppetry. The creative process was guided by Prof. I Nyoman Sedana’s Catur Datu Kawya framework—Pandulame (imagination), Adicita-Adirasa (ideas and emotions), Sranasasmaya (media and method), and Gunatama (technical skills)—applied through collaborative practice with the Manduka Asrama Art Community in Gianyar. The work dramatizes social tensions and identity struggles in Gianyar, symbolizing broader cultural negotiations within Balinese society. Its novelty lies in the synthesis of mask-dance aesthetics and puppetry, producing a multisensorial performance that bridges sacred symbolism with contemporary stagecraft. Beyond its artistic value, the performance contributes to national discourse on cultural sustainability by positioning traditional puppetry as an adaptive medium for education, reflection, and intercultural dialogue. Thus, Geger Gianyar affirms the strategic role of practice-based research in revitalizing Indonesian performing arts while fostering cultural resilience in the era of globalization.