Bratanatyam, I Bagus Wijna
Unknown Affiliation

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Wayang Arja Inovatif “Tresnasih Japatuan Mencari Istri yang Sudah Meninggal Hingga ke Sorga” Dwipayana, I Made Pasek Ari; Hendro, Dru; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 2 No. 2 (2022): Oktober
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i2.1862

Abstract

Eksistensi Wayang Arja selalu mengalami penurunan, sehingga membuat penggarap tertarik untuk ikut melestarikan Wayang Arja. Penggarap menggarap Wayang Arja dalam nuansa inovatif yang berjudul “Tersnasih Sang Sutindih”, yang di maksud inovatif adalah memasukkan Wayang Arja ke dalam pertunjukan pakeliran layar lebar, menggunakan sumber pencahayaan LCD Proyektor dengan Scenerry dan penggunaan musik midi. Dalam garapan ini pastinya menggunakan metode untuk proses penggarapan yang lebih sistematis, metode yang penggarap gunakan adalah metode yang diajukan oleh Prof. M. Alma Hawkins, yaitu: a. Tahapan Ekploration (Eksplorasi), b. Tahapan Improvisasi (Percobaan), c. Tahapan Forming (Pembentukan). Penggarap berharap dengan diwujudkannya garapan ini mampu menjadi pemantik untuk para dalang, terutama dalang muda agar dapat ikut serta melestarikan Wayang Arja ke depannya.
Penciptaan Karya Wayang Goni Tiga Dimensi “Quarter Life Crisis” Rahyuda, I Nyoman Darma; Sidia, I Made; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3721

Abstract

Pada dasarnya konsep dari Wayang Goni Tiga Dimensi ini adalah terapan dan pengembangan dari pertunjukan wayang konvensional. Dimana pesan atau tetuek yang disampaikan oleh dalang dapat diterapkan dikehidupan manusia. Akan tetapi, berkembangnya jaman dan tingkatan umur manusia yang cenderung menyukai sesuatu hal yang baru, disini penulis ingin menyampaikan pesan atau tetuek tersebut dengan media dan pertunjukan yang sedikit modern. Penciptaan karya seni Wayang Goni Tiga Dimensi ini mengangkat konflik permasalahan yang terjadi pada anak muda dengan rentang usia 20-30 tahun, yang biasa disebut dengan quarter life crisis. Dalam fenomena ini akan merasakan sebuah kecemasan atau kekhawatiran terhadap masa depan mereka sendiri karena banyaknya tingkatan ekonomi sosial masyarakat yang berbeda-beda. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Teori Kawi Dalang yang digagas oleh Prof. I Nyoman Sedana, yaitu Pandulame (Alam Imajinasi Keindahan), Adicita Adirasa ( Ide dan Rasa ), Sranasasmaya ( Media atau Sarana ), Gunatama ( Skill dan Bakat Keterampilan Khusus). Dalam garapan Wayang Goni Tiga Dimensi Quarter Life Crisis mengandung nilai-nilai estetika didalamnya, dapat dilihat pada pengkarakteran sebuah Wayang Goni Tiga Dimensi yang menganalogikan dua perbedaan sifat manusia yang bersifat kontras dan tidak bisa bersatu, hal ini tercantum dalam mitologi hindu yaitu Rwa Bhineda. Serta penggunaan media motions graphic yang dikombinasi dalam seni pertunjukan teater Wayang Goni Tiga Dimensi, yang menambah nilai visual yang cukup tinggi dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan penulis. Komposisi musik yang digunakan dalam wayang ini menggunakan konsep film dengan bentuk musik yang cenderung melankolis dari piano dan memunculkan visual musik dari setiap adegannya.
Wayang Pakeliran “Caru Somya Hita” Subamia, Ngurah Bagus; Sedana, I Nyoman; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3741

Abstract

Studi/projek independen dilatarbelakangi oleh tujuan adalah suatu progam pembelajaran yang dimana memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan pembelajaran diluar lingkungan kampus seperti di sanggar, komunitas, dan lain-lain. Tujuan dari progam ini tiada lain yaitu mengembangkan potensi-potensi dalam menciptakan suatu karya pertunjukan bagi mahasiswa itu sendiri yang akan dibimbing langsung mitra dari sanggar tersebut sehingga kedepannya bisa menjadikan seniman yang berakademisi dan dipercaya oleh masyarakat setempat, dan juga sebagai syarat perkuliahan progam MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) saat ini. Pada kesempatan kali ini penata memilih Sanggar Seni Buratwangi di pulau Lombok Provinsi NTB. Penciptaan karya Pakeliran Wayang “caru Somya Hita” kali ini, yaitu menggunakan metode berbasis riset (penelitian) yang bernama teori Sanggit (Kawi Dalang). Metode ini terdiri dari Catur Datu Kawya yang digunakan untuk merumuskan dan mewujudkan suatu konsep sehingga tercipta suatu produk atau karya seni. Pakeliran Wayang ini tidak jauh berbeda dengan pakeliran wayang tradisi, aspek tradisipun dilibatkan kedalam sebuah karya ini dengan penambahan komponen- komponen yang tidak digunakan pada pakem tradisi, tujuan untuk lebih menambah minat masyarakat dalam menonton pertunjukan wayang yang adiluhung. Penulis memiliki harapan untuk semua hasil garapan mahasiswa dan para seniman agar dapat berkarya dengan baik. Berkarya seni atau penuangan imajinasi kedalam benda pada dasarnya adalah proses membentuk gagasan dan mengolah sesuatu agar mewujudkan bentuk-bentuk atau gambaran gambaran yang baru, komponen sederhana tentunya pasti bisa menjadi berguna dan bernilai jual tinggi jika kita pandai untuk mengolah komponen itu dengan kreasi dan pemikiran yang kreatif.
Konsep Harmoni Bhuana Agung - Bhuana Alit Pada Penyacah Parwa/Kanda Dan Signifikansinya Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Bali. Widiyantara, I Komang Wahyu; Santika, Sang Nyoman Gede Adhi; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 2 (2024): Agustus
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i2.4384

Abstract

Penyacah Parwa/Kanda adalah adegan prolog dalam pertunjukan wayang kulit Bali, di mana dalang secara verbal menyampaikan narasi yang melibatkan personifikasi alam semesta, kerendahan hati, dan ringkasan cerita yang akan disajikan. Adegan ini penting sebagai representasi keselarasan antara manusia (bhuana alit) dan alam semesta (bhuana agung) dalam estetika yang dianut oleh seniman dalang. Dua tujuan penelitian yaitu menganalisis penerapan konsep harmoni Bhuana Agung dan Bhuana Alit dalam struktur pertunjukan wayang kulit serta mengeksplorasi signifikansinya terhadap pengalaman estetis dan pemahaman kultural audiens. Metode deskriptif kualitatif dipergunakan dalam penelitian ini, dengan didukung pengumpulkan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi yang ditunjang teori estetika Hindu dan semiotika. Hasil penelitian yaitu pertama, Estetika Hindu melihat harmoni dalam seni pertunjukan sebagai hubungan kausal antara kesucian, kebenaran, dan keindahan. Penyacah Parwa/Kanda merepresentasikan ini dalam tiga narasi: pertama, penyebutan nama dewata (bhuana agung); kedua, dalang mengucap syukur dan memohon izin kepada Tuhan atas terciptanya kehidupan; ketiga, ringkasan cerita yang akan disajikan (bhuana alit), yang secara keseluruhan membangun kesadaran akan keselarasan antara bhuana agung dan bhuana alit. Kedua, keselarasan dalam Penyacah parwa / kanda signifikan dalam menciptakan pemahaman akan konsep harmoni dalam estetika antara kesucian dan kemaha kuasaan Tuhan yang yang secara indah digambarakan melalui penyebutan nama-nama dewata hingga para rsi secara visual-narasi, dilanjutkan dengan pengejawantahan kebenaran dari kisah-kisah manusia yang secara imajinatif sebagai bentuk refeksi bagi audiens agar mampu memandang dan memberlakukan semesta dengan lebih baik.
PEMBINAAN IRINGAN BATEL WAYANG WONG DI BANJAR PESALAKAN, DESA PEJENG KANGIN, KECAMATAN TAMPAKSIRING KABUPATEN GIANYAR. Sudarta, I Gusti Putu; Bratanatyam, I Bagus Wijna; Wicaksandita, I Dewa Ketut
Abdi Seni Vol. 15 No. 2 (2024)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pertunjukan Wayang Wong di Banjar Pesalakan merupakan salah satu bentuk kesenian yang memiliki nilai-nilai sosial-religius dalam tampilan estetis seperti gerak tari, retorika antawancana, dan intrumentalia gambelan Bali, sehingga ia muncul sebagai salah satu identitas yang menggambarkan tingkat kreatifitas seni masyarakat. Dalam konteks religius, Wayang Wong di Desa Pejeng Kangin merupakan objek yang disakralkan (sesuhunan) dan kerap ditampilkan pada upacara-upacara besar di Desa. Seiring bertambahnya usia pelaku seni pertunjukan Wayang Wong, dinamika estetika pertunjukan semakin berkembang. Di mana sebagai bagian dari identitas budaya, Wayang Wong diharapkan tetap dapat mengikuti perkembangan nilai-nilai yang ada. Pada awal tahun 2023, manggala desa Pejeng Kangin memutuskan revitalisasi dan reaktualisasi pertunjukan Wayang Wong secara bertahap, termasuk perbaikan instrumen kebendaan, dan pembinaan kepada sekaa Wayang Wong, khususnya pada bagian pengiring gambelan batel wayang. Dengan di ajukanya permohonana revitaliasai dan aktualisasi oleh manggala desa, pembina melalui program PPKM yang diselenggarakan ISI Denpasar mengajukan usulan pengabdian dengan melibatkan dosen dan mahasiswa pedalangan. Hal ini dilakukan dalam bentuk kerjasama mitra yang berimplikasi pada peningkatan kualitas sumber daya pelaksana kegiatan, baik peserta pelaku seni Wayang Wong maupun pembina (dosen dan mahasiswa). Metode pemberdayaan berbasis demonstrasi dengan teknik ceramah, disuksi, praktek, evaluasi, dan pementasan, efektif diterapkan sebagai solusi melalui dua tahapan, pertama pelatihan instrumen primer yaitu gender wayang (pola tetabuhan Gender, gegedig dan tetekep) dan kendang krumpungan (gupekan, mupuh kendang, dan pola kekendangan), kedua gabungan seluruh instrumen melalui materi gending-gending tabuh Wayang Wong (pategak, putri, kakan-kakan, punakawan, palawaga, bapang jojor, selisir).
PEMBINAAN IRINGAN BATEL WAYANG WONG DI BANJAR PESALAKAN, DESA PEJENG KANGIN, KECAMATAN TAMPAKSIRING KABUPATEN GIANYAR Sudarta, I Gusti Putu; Bratanatyam, I Bagus Wijna; Wicaksandita, I Dewa Ketut
Abdi Seni Vol. 15 No. 2 (2024)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/abdiseni.v15i2.6077

Abstract

The Wayang Wong performance in Banjar Pesalakan is a form of art that has socio-religious values in its aesthetic appearances, such as dance movements, antawacana rhetoric, and Balinese gambelan instrumental show, which appear as an identity that describes the artistic creativity of the community. In a religious context, Wayang Wong is a sacred object (sesuhunan) often performed in major ceremonies in the village. As the performers of Wayang Wong age, the dynamics of aesthetic forms in performances are evolving. As part of their cultural identity, Wayang Wong expected to keep up with the changing values. In early 2023, the village's community leaders decided to gradually revitalize and re-actualize Wayang Wong performances, including improving the physical instruments and providing guidance to Wayang Wong sekaa, particularly accompanying music of the Batel Wayang Gambelan. With the proposal for revitalization and actualization by the village's leaders, the mentors through the PPKM program organized by ISI Denpasar, proposed a community service project involving lecturers and students of puppetry (pedalangan). This collaboration aims to enhance the quality of resources, including participants of Wayang Wong performance and mentors (lecturers and students). A demonstration-based empowerment method, utilizing techniques such as lectures, discussions, practices, evaluations, and performances, effectively addressed the issue through two stages. The first stage focused on training in primary instruments, such as gender wayang (Gender’s hitting techniques, gegedig, and tetekep) and kendang krumpungan (gupekan, mupuh kendang, and kekendangan/drumming patterns). Second, it combines all instruments through practices of various tabuh (rhythmic patterns) of gendhing in Wayang Wong performances.
Pakeliran Wayang Babad Inovatif “Wira Taruna” Purnamia, I Putu Agus Widia; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 1 No 1 (2021): Agustus.
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v1i1.687

Abstract

Salah satu pertunjukan wayang kulit Bali yang saat ini jarang ditemui adalah pertunjukan wayang kulit babad. Wayang kulit babad pertama kali dipentaskan pada tahun 1988 oleh I Gusti Ngurah Serama Semadi sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan program seniman pada jurusan pedalangan STSI Denpasar. Wayang babad kemudian berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai wayang kulit yang menggunakan cerita sejarah Bali atau disebut dengan babad. Wayang babad memiliki keunggulan dari segi pemaknaannya, terutama karena menceritakan sejarah dan asal-usul leluhur masyarakat Bali, sehingga wayang babad ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat penonton tentang asal-usul leluhurnya sendiri, karena untuk menggapai masa depan, diperlukan spirit tentang masa lalu, terutama kisah leluhur atau lelangit agar jangan sampai terlupakan. Penciptaan Pakeliran Wayang Babad Inovatif Wira Taruna ini menggunakan metode proses penciptaan oleh Alma. M. Hawkins yang berisikan tiga tahap penciptaan yaitu, tahap penjajagan (eksplorasi), tahap percobaan (improvisasi), dan tahap pembentukan (forming). Di sini penggarap memliki ide dengan membuat garapan yang menggunakan layar ukuran 4 x 2,5 meter dengan menggunakan pencahayaan lampu hallogen untuk memantulkan scenery, karena pengarap ingin menciptakan suasana Bali kuno yang kental, untuk itu penggarap tidak menggunakan scenery berwana agar tidak menimbulkan kesan glamour. Dengan mengangkat cerita babad barabatu yang mengisahkan tentang seorang tokoh Kebo Iwa, penggarap ingin mengemukakan tentang ketokohan Kebo Iwa secara lebih spesifik yang diceritakan dari beliau lahir sampai beliau dinobatkan menjadi patih di kerajaan Bedahulu. Dengan menggunakan alur erat, struktur dramatik dalam garapan ini diharapkan dapat menarik perhatian penonton dan bagus dilihat dari segi pendramaan atau dramatisasi lakon.
Wayang Arja Inovatif “Tresnasih Japatuan Mencari Istri yang Sudah Meninggal Hingga ke Sorga” Dwipayana, I Made Pasek Ari; Hendro, Dru; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 2 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i2.1862

Abstract

Eksistensi Wayang Arja selalu mengalami penurunan, sehingga membuat penggarap tertarik untuk ikut melestarikan Wayang Arja. Penggarap menggarap Wayang Arja dalam nuansa inovatif yang berjudul “Tersnasih Sang Sutindih”, yang di maksud inovatif adalah memasukkan Wayang Arja ke dalam pertunjukan pakeliran layar lebar, menggunakan sumber pencahayaan LCD Proyektor dengan Scenerry dan penggunaan musik midi. Dalam garapan ini pastinya menggunakan metode untuk proses penggarapan yang lebih sistematis, metode yang penggarap gunakan adalah metode yang diajukan oleh Prof. M. Alma Hawkins, yaitu: a. Tahapan Ekploration (Eksplorasi), b. Tahapan Improvisasi (Percobaan), c. Tahapan Forming (Pembentukan). Penggarap berharap dengan diwujudkannya garapan ini mampu menjadi pemantik untuk para dalang, terutama dalang muda agar dapat ikut serta melestarikan Wayang Arja ke depannya.
Pakeliran Layar Lebar Inovatif “Bima Tapa Agni” Prananda, Kadek Ari Sukma; Sidia, I Made; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 3 No 1 (2023): April
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v3i1.2292

Abstract

Pakeliran Layar Lebar Inovatif “Bima Tapa Agni” merupakan karya seni layar lebar inovatif yang muncul sebagai wujud karya seni pewayangan eksperimental yang memadukan kerangka cerita pewayang yang mengandung nilai-nilai tradisi dalam konsep garap modern. Konsep karya layar lebar inovatif digunakan untuk mengembangkan seni tradisional pewayangan khususnya gaya Bali yang menonjolkan aspek inovasi pada cerita, dengan memadukan teknologi inovasi yang tertuang dalam bentuk layar lebar. Adapun tahapan metode penciptaan dalam mewujudkan konsep tersebut ialah tahap penjajagan (Eksplorasi), tahap percobaan (Improvisasi), dan tahapan pembentukan (Forming). Karya yang dihasilkan dari konsep tersebut adalah karya seni pewayangan modern yang mengangkat cerita "Bima Tapa Agni". Dalam karya ini, penggarap menggabungkan unusr wujud wayang tradisional Bali dengan teknologi layar lebar yang memperlihatkan latar belakang yang menarik dan teampak realistik. Proses kreatif dalam pembuatan karya ini melibatkan kolaborasi antar beberapa pemain wayang (dalang), musisi, penata suara, dan teknisi layar lebar. Mereka menggunakan berbagai teknik dan pendekatan untuk menghasilkan visual yang sesuai dengan tema cerita yang diangkat. Para dalang juga menggabungkan unsur-unsur modern, seperti penggunaan media elektronik dalam memunculkan screen latar kekinian pada media layar lebar dan teknik bermain wayang yang tidak biasa, dengan unsur-unsur tradisional pewayang gaya Bali, dalam menciptakan sebuah karya yang unik dan menarik. Secara keseluruhan, karya ini menceritakan tentang perjalanan lanjutan dari kisah Bima Nawa Ruci, di mana Bima melakukan tapa brata dengan alasan untuk mencari jatidirinya yang dilakukan di Gunung Pastika dengan sarana api.
Penciptaan Karya Wayang Goni Tiga Dimensi “Quarter Life Crisis” Rahyuda, I Nyoman Darma; Sidia, I Made; Bratanatyam, I Bagus Wijna
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 4 No 1 (2024): April
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3721

Abstract

Pada dasarnya konsep dari Wayang Goni Tiga Dimensi ini adalah terapan dan pengembangan dari pertunjukan wayang konvensional. Dimana pesan atau tetuek yang disampaikan oleh dalang dapat diterapkan dikehidupan manusia. Akan tetapi, berkembangnya jaman dan tingkatan umur manusia yang cenderung menyukai sesuatu hal yang baru, disini penulis ingin menyampaikan pesan atau tetuek tersebut dengan media dan pertunjukan yang sedikit modern. Penciptaan karya seni Wayang Goni Tiga Dimensi ini mengangkat konflik permasalahan yang terjadi pada anak muda dengan rentang usia 20-30 tahun, yang biasa disebut dengan quarter life crisis. Dalam fenomena ini akan merasakan sebuah kecemasan atau kekhawatiran terhadap masa depan mereka sendiri karena banyaknya tingkatan ekonomi sosial masyarakat yang berbeda-beda. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode Teori Kawi Dalang yang digagas oleh Prof. I Nyoman Sedana, yaitu Pandulame (Alam Imajinasi Keindahan), Adicita Adirasa ( Ide dan Rasa ), Sranasasmaya ( Media atau Sarana ), Gunatama ( Skill dan Bakat Keterampilan Khusus). Dalam garapan Wayang Goni Tiga Dimensi Quarter Life Crisis mengandung nilai-nilai estetika didalamnya, dapat dilihat pada pengkarakteran sebuah Wayang Goni Tiga Dimensi yang menganalogikan dua perbedaan sifat manusia yang bersifat kontras dan tidak bisa bersatu, hal ini tercantum dalam mitologi hindu yaitu Rwa Bhineda. Serta penggunaan media motions graphic yang dikombinasi dalam seni pertunjukan teater Wayang Goni Tiga Dimensi, yang menambah nilai visual yang cukup tinggi dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan penulis. Komposisi musik yang digunakan dalam wayang ini menggunakan konsep film dengan bentuk musik yang cenderung melankolis dari piano dan memunculkan visual musik dari setiap adegannya.