Agung Dinasti Permana
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin - Bandung

Published : 24 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

Tatalaksana Benda Asing Trakeobronkial Di Ksm Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Dan Leher Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2013-2017 Indri Hutagalung; Agung Dinasti Permana; Bambang Purwanto; Melati Sudiro
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 5, No 1 (2019): Volume 5 Nomor 1 September 2019
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.656 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v5i1.23927

Abstract

Benda asing pada trakeobronkial merupakan  kegawatdaruratan di bidang Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Penegakan diagnosis dan tatalaksana secara cepat dan tepat sangat penting untuk mengurangi komplikasi dan mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tatalaksana benda asing trakeobronkial di RS. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2013-2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang. Terdapat 92 kasus benda asing trakeobronkial. Lokasi pada bronkus dekstra 51,8%, bronkus sinistra 30,43%, dan trakea 18,47%. Dilakukan 100 kali prosedur ekstraksi terdiri dari bronkoskopi rigid 88 kali, bronkoskopi fleksibel empat kali dan torakotomi delapan kali. Sebanyak 95,6% tindakan ekstraksi berhasil tanpa komplikasi dan 3,3 % terjadi komplikasi berupa emfisema subkutis serta satu kasus (1,09%) benda asing gagal diekstraksi dan pasien meninggal akibat tension pneumothorax. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan 92 kasus benda asing trakeobronkial dengan lokasi  terbanyak pada bronkus dekstra yaitu 51,8%. Bronkoskopi rigid merupakan prosedur ekstraksi terbanyak dilakukan  yaitu 88 kali. 95,6% benda asing dapat diekstraksi tanpa komplikasi. 1,09% benda asing gagal diekstraksi dan terjadi kematian akibat tension pneumothorax.Kata kunci : Benda asing trakeobronkial, RSHS, tension pneumothorax, bronkoskopi fleksibel
Penyakit Kimura Parotis Pandu Putra Harsarapama; Yussy Afriani Dewi; Bambang Purwanto; Agung Dinasti Permana
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 2, No 2 (2016): Volume 2 Nomor 2 Desember 2016
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.085 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v2i2.11263

Abstract

Penyakit kimura adalah kelainan inflamasi kronis, ditandai adanya limfadenopati atau massa jaringan lunak subkutan, tanpa nyeri, sering mengenai daerah kepala dan leher. Pertama kali dilaporkan di Cina pada 1937, disebut limfogranuloma hiperplastik eosinofilik. Tahun 1948, ditemukan keterlibatan komponen vaskular oleh Kimura, sehingga disebut Penyakit Kimura. Rasio perbandingan laki-laki dibandingkan wanita adalah 3.5-9 : 1. Insidensi usia adalah 20-30 tahun. Kasus Remaja laki-laki berusia 17 tahun datang ke Poliklinik THT-KL RSHS Bandung dengan keluhan benjolan leher sebelah kiri, daerah parotis, kelenjar getah bening level Ib dan II. Keluhan dirasakan sejak 2 bulan sebelumnya. Awalnya benjolan berukuran diameter 5 mm, membesar sampai sebesar 90 mm, mudah bergerak dan tidak nyeri pada perabaan. Metode Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan nilai eosinofil 22%, protein 9.4 gr/dL, dan serum IgE 3,8 mg/dL. Ultrasonografi leher menunjukkan massa solid yang dominan dengan bagian kistik di dalamnya yang mengobliterasi sebagian kelenjar parotis kiri. Pemeriksaan biospi jarum halus menunjukkan karsinoma parotis kemungkinan suatu mukoepidermoid. CT-Scan menunjukkan gambaran massa solid di daerah pre-parotis kiri dan lesi hipodens multipel bulat di daerah pre-parotis dan pre-aurikula kiri. Hasil Pemeriksaan histopatologis pasca operasi menunjukkan gambaran penyakit kimura parotis. Diskusi Pasca operasi, diberikan radioterapi dengan dosis 30 Gy, dilakukan kontrol selama satu tahun, tanpa terapi farmakologis, tidak ditemukan angka kekambuhan penyakit.Kata Kunci : Kimura, Parotis, Radioterapi
Sinekia Palatum Molle dan Pilar Tonsil ke Dinding Faring Posterior pada Pasien Tuberkulosis Paru Desno Marbun; Sinta Sari Ratunanda; Nur Akbar Aroeman; Agung Dinasti Permana
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (521.428 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v4i2.1802

Abstract

Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit infeksi yang sering dijumpai dan masalah kesehatan di dunia. Sinekia yang disebabkan oleh infeksi kronik tuberkulosis pada daerah faring merupakan kasus yang jarang terjadi. Pembentukan sinekia ini menyebabkan obstruksi saluran napas bagian atas dan dapat menyebabkan gangguan menelan. Laporan kasus ini dimaksudkan untuk memaparkan penatalaksanaan pasien tuberkulosis paru disertai kelainan sinekia palatum molle dan pilar tonsil ke dinding faring posterior. Seorang pasien laki-laki usia 40 tahun terdiagnosis tuberkulosis milier yang telah mendapatkan pengobatan antituberkulosis 4 bulan datang dengan keluhan hidung tersumbat, suara sengau, dan gangguan menelan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Dilakukan pelepasan sinekia dengan cara reseksi dan insisi palatum molle pendekatan intraoral dengan panduan endoskopi, didapatkan massa jaringan granuloma pada tepi sinekia tersebut. Hasil pemeriksaan histopatologi berupa jaringan granuloma tuberkulosis. Pascaoperasi pasien dapat bernapas lancar melalui hidung dan gangguan menelan menghilang. Simpulan, operasi pelepasan sinekia diputuskan mengingat gangguan obstruksi saluran napas atas. Penatalaksanaan sinekia palatum molle dan pilar tonsil ke dinding faring posterior dengan operasi memberikan hasil yang baik untuk patensi jalan napas dan fungsi menelan. SINECHIA OF SOFT PALATE AND TONSILLAR PILLAR TO THE POSTERIOR PHARYNGEAL WALL AT PATIENT WITH PULMONARY TUBERCULOSISPulmonary tuberculosis is still a common infection and world health problem. Sinechia at the pharyngeal region due to chronic infection of tuberculosis is a rare case. The sinechial formation causes upper airway obstruction and difficulty of swallowing. This case report was ment to present management of pulmonary tuberculosis with sinechia of soft palate and tonsilar pillar to the posterior pharyngeal wall. A 40-year-old man was diagnosed with milliary tuberculosis that had been undergone four months antituberculosis therapy complained nasal obstruction, hot potato voice and difficulty of swallowing since 2 months ago. Sinechia release had been performed with ressection and incission of soft palate transoral approach guiding endoscopy. We founded masses of granuloma at the edge of sinechia with histopatology result as tuberculosis granuloma. After the procedure, patient can breathed and swallowed normally. In conclusion, operational procedure had been decided due to upper airway obstruction. Operatif management for sinechia of soft palate and tonsillar pillar to the posterior pharyngeal wall brings a good result for upper airway pattency and swallow function.
Profile of Head and Neck Cancer Patients at Hasan Sadikin Hospital in 2013-2018 Nur Nathania; Yussy Afriani Dewi; Agung Dinasti Permana
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 50, No 2 (2020): Volume 50, No. 2 July - December 2020
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v50i2.361

Abstract

ABSTRACTBackground: Head and neck cancer (HNC) is the 6th highest cancer worldwide. Risk factors include history of smoking, exposure of carcinogen, diet, oral hygiene, HPV and EBV infections, genetic, and alcohol consumption. Purpose: To identify the profile of HNC patients in the Department of Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery (ORL-HNS) Hasan Sadikin General Hospital Bandung from 2013 to 2018. Method: A retrospective descriptive study was conducted in 2013-2018 in the Department of ORL-HNS Hasan Sadikin General Hospital, using total sampling method. Medical record of the patients were used as secondary data. Result: There were 2952 HNC patients consisted of 1689 males and 1263 females. Most of the subjects were graduated from elementary school (45.56%), with mean age 47.45 years old. The majority types of HNC were nasopharyngeal (31.20%), sinonasal (19.65%) and laryngeal (14.16%) carcinoma. The main histopathological types were undifferentiated carcinoma (47.15%) and squamous cell carcinoma (34.08%). The major risk factors were smoking and salted fish consumptions. Discussion: Unlike previous studies, our study found out that most HNC cases occurred in patients under the age of 30 years old. In this research, smoking was the highest risk factor of research subjects, followed by salted fish intake, mosquito burnt coils, and alcohol consumption. Nasopharyngeal carcinoma and stadium IV were the highest incidence of HNC, mostly found in male patients. Histopathologically, the dominant type was the undifferentiated carcinoma. Conclusion: Nasopharyngeal carcinoma was the main cancer type. The main histopathological type was undifferentiated carcinoma. The main risk factors were smoking and salted fish consumptions. ABSTRAKLatar belakang: Karsinoma kepala leher (KKL) merupakan keganasan terbanyak ke enam di dunia. Faktor risiko KKL antara lain riwayat merokok, paparan karsinogen, diet, kebersihan mulut, infeksi Human Papilloma Virus, Virus Epstein Barr, genetika, konsumsi alkohol. Tujuan: Untuk mengetahui profil penderita KKL di Departemen T.H.T-K.L Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, tahun 2013- 2018. Metode: Penelitian deskriptif retrospektif dengan total sampling, pada periode 2013-2018 di Dept/KSM THT-KL RSUP Dr Hasan Sadikin. Rekam medis subjek penelitian digunakan sebagai data sekunder. Hasil: Terdapat 2.952 penderita KKL terdiri dari 1.689 laki-laki dan 1.263 perempuan. Mayoritas berpendidikan SD (45,56%), dengan rerata usia 47,45 tahun. Jenis KKL terbanyak karsinoma nasofaring (31,20%), sinonasal (19,65%), dan laring (14,16%). Karakteristik histopatologi terbanyak karsinoma tak berdiferensiasi (47,15%) dan karsinoma sel skuamosa (34,08%). Faktor risiko terbanyak merokok serta konsumsi ikan asin. Diskusi: Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian kami mendapatkan kasus KKL terbanyak didapati pada pasien di bawah usia 30 tahun. Didapatkan juga faktor risiko tertinggi adalah merokok, diikuti oleh mengonsumsi ikan asin, obat nyamuk bakar, dan minum alkohol. Angka kejadian KKL terbanyak adalah karsinoma nasofaring stadium IV, yang kebanyakan didapati pada pasien laki-laki. Secara histopatologi, tipe yang dominan adalah jenis karsinoma tak berdiferensiasi. Kesimpulan: Karsinoma nasofaring merupakan jenis KKL terbanyak. Jenis histopatologi terbanyak karsinoma tak berdiferensiasi. Faktor risiko KKL yang paling banyak ditemui yaitu merokok dan konsumsi ikan asin.
Non-Powder gunshot injury of the parapharynx space Raden Ayu Hardianti Saputri; Annika Famiasti; Nur Akbar Aroeman; Agung Dinasti Permana; Sinta Sari Ratunanda
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 51, No 2 (2021): VOLUME 51, NO. 2 JULY - DECEMBER 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i2.402

Abstract

ABSTRACTBackground: Non-powder firearm is a weapon which used compressed air or CO2 gas to propel lead or steel ball pellets. Trauma caused by non-powder firearm has the potential for significant morbidity and mortality. Head and neck wounds account for 13.8%-30% of all non-powder firearm injuries. Bullets from gunshots often nest in the parapharyngeal space. Purpose: To present a case of non-powder firearm trauma in parapharyngeal space and its management. Case Report: A 13 years-old boy came with non-powder firearm trauma on the left cheek and bleeding from the left nostril. Upon physical examination there was a vulnus sclopetorum sized 0.5x0.5 cm without active bleeding in the left zygoma area. Three dimensional CTscan showed a hyperdense metal lesion in the left parapharyngeal space with 42.6 cm distance from penetrating site to the bullet location. The bullet was then extracted with transparotid approach surgery guided by C-arm imaging. Clinical Question: How is the management of trauma from a non-powder gunshot in the parapharyngeal space? Review method: Literature search through Pubmed, Cochrane Library, and Wiley using non-powder firearm injury in parapharyngeal space and its management as keywords. Result: The search obtained 11 articles. Based on inclusion and exclusion criteria, one article was found relevant with the topic i.e. one case report of non-powder firearm injury in parapharyngeal space and its surgical management. Conclusion: The safe procedure for retrieving bullets from the parapharyngeal space is in the form of surgery with the help of C-arm imaging to pinpoint the bullet’s location and to prevent further complication.Keywords: non-powder firearm, gunshot injury, parapharynx space, C-armABSTRAKLatar belakang: Senapan angin merupakan senjata yang menggunakan tenaga penggerak berjenis gas CO2 untuk melontarkan peluru. Trauma akibat senapan angin dapat berpotensi fatal. Sebanyak 13,8-30% luka tembak senapan angin terjadi pada daerah kepala dan leher. Salah satu ruang leher yang kerap menjadi tempat bersarangnya peluru adalah ruang parafaring. Tujuan: Melaporkan kasus dan penanganan trauma tembak senapan angin pada parafaring. Laporan kasus: Anak laki-laki berusia 13 tahun dengan riwayat tertembak senapan angin di pipi kiri dan perdarahan dari hidung kiri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan vulnus sklopetorum berukuran 0,5 x 0,5 cm tanpa perdarahan aktif di area zigoma kiri. Hasil CT scan 3D didapatkan lesi hiperdens dengan densitas metal pada parafaring kiri, berjarak 42,6 mm dari luka. Benda asing peluru kemudian diekstraksi melalui tindakan operatif menggunakan pendekatan transparotid dengan bantuan C-Arm. Pertanyaan klinis: Bagaimana penatalaksanaan trauma tembak senapan angin pada ruang parafaring? Telaah literatur: Penelusuran literatur melalui Pubmed, Cochrane Library, dan Wiley menggunakan kata kunci luka tembak senapan angin pada ruang parafaring dan penatalaksanaannya. Ditemukan 11 artikel, dan pemilihan artikel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat satu penelitian yang relevan. Hasil: Didapat satu laporan kasus tentang luka tembak senapan angin di ruang parafaring dengan tindakan bedah sebagai penanganannya. Kesimpulan: Tatalaksana pengambilan peluru yang aman adalah dengan pendekatan pembedahan dengan bantuan C-Arm untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.Kata kunci: senapan angin, luka tembak, trauma, ruang parapfaring, C-arm
Hubungan kadar CA 125 dengan karakteristik klinis Diffuse Large B cell Lymphoma Agung Dinasti Permana; Igor Hutabarat; Thaufiq Boesoirie; Bethy S. Hernowo; Rovina Ruslami
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 49, No 1 (2019): Volume 49, No. 1 January-June 2019
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.742 KB) | DOI: 10.32637/orli.v49i1.287

Abstract

Latar belakang: Kadar serum CA 125 telah diketahui mengalami peningkatan pada kasus limfoma non Hodgkin. Kegunaannya dalam menentukan prognosis, tingkat keparahan penyakit, dan follow up pasca terapi limfoma non Hodgkin telah banyak diteliti dan masih didapatkan hasil yang bervariasi. Saat ini belum diketahui mengenai kadar serum CA 125 pada kasus diffuse large B cell lymphoma (DLBCL) yang bermanifestasi di regio kepala dan leher. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum CA 125 dengan karakteristik klinis pada kasus DLBCL regio kepala dan leher. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang melibatkan 31 subjek penelitian dengan diagnosis DLBCL regio kepala dan leher. Dilakukan pencatatan karakteristik klinis dan penentuan kadar serum CA 125 dengan pemeriksaan Immunoasai dan kemudian dilakukan analisis statistik untuk menentukan hubungan antar variabel. Hasil: Didapatkan peningkatan kadar serum CA 125 pada stadium lanjut dengan p<0,001. Analisis statistik terhadap kadar serum CA 125 dan Kadar Lactic Dehydrogenase (LDH) menunjukkan hubungan yang signifikan (p=0,018) demikian juga hubungannya dengan skorEastern Cooperative Oncology Group (ECOG) dengan nilai p=0,001. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar serum CA 125 dengan skor Prognostic International Index (IPI). Kesimpulan: Kadar serum CA 125 berhubungan bermakna dengan stadium klinis, kadar LDH dan Skor ECOG pada DLBCL yang bermanifestasi di regio kepala dan leher. Dengan demikian CA 125 dapat digunakan sebagai marker untuk memprediksi prognosis dan mendekati stadium lanjut kasus limfoma non Hodgkin. Background: Serum CA 125 level has been known to increase in Non-Hodgkin Lymphoma cases.Many studies had elaborately researched the prognosis, disease severity and the follow up of Non Hodgkin Lymphoma cases using CA 125, yet the results had been varied. Up to now, serum CA 125 levels in cases of diffuse large B cell lymphoma (DLBCL) which manifest in the head and neck region, is still unclear. Purpose: To find out the correlation of serum CA 125 levels with clinical manifestations of DLBCL cases in the head and neck region. Method: A cross-sectional study involving 31 subjects diagnosed with DLBCL in the head and neck region. The clinical manifestations were recorded and serum CA 125 levels were obtained by Immunoassay examination. Statistical analysis was performed to determine the correlation between variables. Results: An increase in serum CA 125 levels at an advanced stage with p <0.001. The statistical result of CA 125 serum levels and LDH levels showed a significant correlation (p=0.018), as well as its significant correlation with the Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) score, with p=0.001. In this study there was no significant correlation between CA 125 serum levels and Prognostic International Index (IPI) scores. Conclusion: Serum CA 125 levels were significantly correlated with clinical stage, LDH level and ECOG score of DLBCL which manifested in the head and neck region. Therefore, CA 125 might be used as a marker to predict prognosis and to detect advanced disease in Non-Hodgkin Lymphoma cases.
Aktinomikosis di tonsil lingualis dan supraglotis sebagai manifestasi klinis pertama pada pasien imunokompromais Raden Isma Nurul Aini; Sinta Sari Ratunanda; W. Wijana; Agung Dinasti Permana; Sally Mahdiani
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 1 (2017): Volume 47, No. 1 January - June 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (417.928 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i1.199

Abstract

Latar belakang: Aktinomikosis merupakan infeksi bakteri kronis yang jarang ditemukan (1:300.000orang per tahun). Berbagai faktor risiko dapat mengakibatkan infeksi tersebut, sehingga pengobatan perludilakukan berdasarkan etiologi dan faktor risiko.Tujuan: Melaporkan dan menganalisis kasus yangjarang, yaitu aktinomikosis di hipofaring dan laring pada penderita dengan HIV-positive, yang menutupidua-pertiga inlet laring dan sfingter esofagus atas.Kasus: Laki-laki berusia 21 tahun datang dengankeluhan sulit menelan dan rasa mengganjal di tenggorok sejak 2 bulan. Pada pemeriksaan rinolaringoskopididapatkan massa berbenjol pada tonsil lingualis dan supraglotis. Hasil biopsi menunjukkan peradangankronis karena Actinomyces sp. Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui Pubmed, Proquest, ClinicalKey, dan Google Scholar, dengan tidak membatasi tahun pencarian jurnal. Berdasarkan kriteria inklusi daneksklusi, didapatkan tiga artikel yang telah dilakukan critical appraisal. Hasil: Tidak ditemukan publikasimengenai kasus aktinomikosis servikofasial pada pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV)positif. Tiga artikel yang ditemukan menunjukkan bahwa aktinomikosis dapat timbul pada pasien yangimunokompromais dalam jangka waktu lama. Pada tiga artikel yang dianalisis, manajemen aktinomikosisdapat dilakukan dan memberikan hasil yang baik karena telah diketahui faktor risiko sebelumnya. Namunpada kasus ini, infeksi HIV (+) sebagai faktor risiko baru ditemukan setelah manajemen aktinomikosis,dengan tindakan pembedahan dan medikamentosa sehingga memengaruhi outcome dari manajemen pasientersebut.Kesimpulan: Analisis faktor risiko pada aktinomikosis, seperti keadaan defisiensi imun akibatinfeksi HIV, perlu diinvestigasi secara mendalam sehingga dapat memperbaiki outcome manajemen pasien.Kata kunci: Aktinomikosis, disfagia, faktor risiko, defisiensi imun, human immunodeficiency virus ABSTRACTSBackground: Actinomycosis is a rare chronic bacterial infection that could be found in humans(incidence rate is 1 per 300,000 per year). There are various risk factors which can promote infection,and the treatment should be based on etiology and risk factors. Purpose: To present and analyse a caseof HIV-positive 21-year-old man with cervicofacial actinomycosis in hypopharynx and larynx, closingtwo-third of laryngeal inlet and upper esophageal sphincter. Case: A 21-years old man came with chiefcomplain of swallowing difficulty and blocking sensation in the throat. Rhinolaryngoscopy revealedcauliflower-like masses on lingual tonsil and supraglottic. Biopsy result showed chronic inflammation dueto Actinomyces sp. Method: Search of literatures was conducted on Pubmed, Proquest, Clinical Key, andGoogle Scholar without limiting years of journals. Based on the inclusion and exclusion criteria, threearticles were obtained as full texts and considered useful for the authors to be analysed. Result: Authorsdid not find any case reports and other papers discussing cervicofacial actinomycosis with HIV-positivein national and international journals. Three articles revealed that infection due to Actimomyces sp. wasrelated with long-term immunosuppressed conditions. In these articles, actinomycosis managementsshowed good response since their risk factors were known. However in our case, HIV as a predisposingfactor was discovered postoperatively, and after pharmacological treatment of actinomycosis had beenadministerred, affecting outcome and next management of this patient. Conclusion: In-depth analysisof actinomycosis predisposing factors, HIV infection should be included in order to improve the patientmanagement outcome. Keywords: Actinomycosis, risk factor, immunocompromised, human immunodeficiency virus
Karakteristik Penderita Karsinoma Laring di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit dr Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2013 – Juli 2015 Ismi Cahyadi; Agung Dinasti Permana; Yussy Afriani Dewi; Nur Akbar Aroeman
Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan Vol 3, No 1 (2016): Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan
Publisher : Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Karsinoma laring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel laring. Penyebabnya adalah merokok, konsumsi alkohol, infeksi human papiloma virus, dan laringofaringeal reflux. Diagnosis berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi serat optik, topografi komputer, dan histopatologi. Rancangan penelitian deskriptif retrospektif dari catatan medis penderita yang datang berkunjung ke poli THT KL FK Unpad RSHS Bandung periode Januari 2013- Juli 2015. Dari 1439 penderita keganasan kepala dan leher yang datang ke poli THT-KL sub bagian onkologi RSHS Bandung didapatkan 100 (6,95%) penderita karsinoma laring yang menempati urutan ke 3 pada keganasan kepala leher. Perbandingan laki-laki dengan perempuan sebesar 10:1 dengan usia terbanyak terjadi pada dekade 50 tahun sebanyak 30%. Faktor risiko disebabkan lebih banyak oleh merokok sebanyak 99% dan pasien datang dengan keluhan utama terbanyak adalah sesak nafas sebanyak 54%. Penderita terbanyak datang pada stadium III sebanyak 37%, penatalaksanaannya sebanyak 44% dengan operasi dan radioterapi. Komplikasi yang paling sering adalah terbentuk fistula sebanyak 12%.Kata kunci : karsinoma laring, insidensi, Januari 2013-Juli 2015.Laryngeal carcinoma is a malignant tumor of the larynx. The causes are smoking, alcohol consumption, infection with human papilloma virus, and laringofaringeal reflux. The Diagnosis is based on history, physical examination, laryngoscopy fiber optics, computerized topography, and histopathology findings. The design of descriptive retrospective study from medical records of patients who come to visit ORL-HNS oncology clinic of Hasan Sadikin general hospital Bandung from January 2013 until July 2015. From 1439 patients with head and neck cancers obtained 100 (6, 95%) patients with laryngeal carcinoma. Comparison of men to women is 10: 1. The age of majority in the decade of 50 years as much as 30%. Risk factors resulting from smoking 99%. Most major complaint is difficulty of breathing as 54%. Patients arrive at most stadium III as much as 37%. Patients mostly treated with surgery and radiotherapy as much as 44%. The most frequent complications is fistula formation as much as 12%.Key Word : Laryngeal cancers, incidencies, January 2013 to July 2015
Epidemiologi Penderita Tumor Ganas Kepala Leher di Departemen Telinga Hidung Tenggorokan - Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Indonesia, Periode 2010–2014 Muhammad Syah Mirza Sabirin; Agung Dinasti Permana; Bogi Soeseno
Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan Vol 3, No 1 (2016): Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan
Publisher : Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Tumor ganas kepala leher adalah kanker yang berasal dari traktus aerodigestif bagian atas seperti traktus sinonasal, rongga mulut, faring dan laring. Tumor ganas kepala leher merupakan masalah kesehatan dengan mortalitas tinggi. Insidensinya meningkat dan menyerang berbagai individu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui epidemiologi penderita tumor ganas kepala leher di Departemen Telinga Hidung Tenggorokan (THT-KL), Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung 2010–2014.Metode: Penelitian dilakukan secara deskriptif dari rekam medis penderita tumor ganas kepala leher di Departemen THT-KL, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode 2010–2014, yang diambil secara total sampling.Hasil: Terdapat 1439 pasien penderita tumor ganas kepala leher. Sebanyak 1081 penderita diinklusi; 631 laki-laki dan 450 perempuan. Kebanyakan berpendidikan SD (44.2%), bekerja sebagai ibu rumah tangga (30.6%), dan berusia 46–55 tahun (28.7%). Tumor berlokasi di nasofaring (39.4%), sinonasal (16.9%), laring (13.7%), orofaring (6.4%), tiroid (6.1%), rongga mulut (3.5%), hipofaring (2.5%), dan kelenjar parotis (2.2%). Histopatologi terbanyak yaitu undifferentiated carcinoma (47.3%) dan karsinoma sel skuamosa (31.2%), dengan Stadium I (6.8%), II (13.3%), III (24.5%), IV (55.4%). Simpulan: Kasus tumor ganas kepala leher di departemen THT-KL adalah sebanyak 1439 orang, yang tertinggi adalah karsinoma nasofaring. Lebih banyak terjadi pada laki-laki, lanjut usia, berpendidikan SD, profesi ibu rumah tangga, penderita dengan stadium lanjut dan histopatologi undifferentiated carcinoma Saran: Perbaikan kelengkapan serta sistem penyimpanan data rekam medis. Prevensi, edukasi dan deteksi dini pada masyarakat umum mengenai tumor ganas kepala leher.Kata Kunci: Epidemiologi, tumor ganas kepala leherIntroduction: Head and neck cancer is carcinoma that arises from upper aerodigestive tract such as sinonasal tract, oral cavity, pharynx, and larnyx. Head and neck cancer is a health problem with a high mortality rate which are increasing and effect many individuals from diverse backgrounds. Aims: Aim of this research is to ascertain the epidemiology of head and neck cancer patients at the Otorhinolaringology-Head and Neck Surgery Department, Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia in 2010–2014 Methods: A descriptive method from medical records of head neck cancer patients at Department of Otorhinolaringology-Head and Neck Surgery, Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2010–2014 that used the total sampling method. Results and Discussion: There were 1,439 head and neck cancer patients in this research, 1081 were included, of them 631 were men and 450 were women. Most of them were elementary educated (44.2%), housewives (30.6%), and those aged 46–55 years old (28.7%). There were nasopharyngeal (39.4%), sinonasal (16.9%), larnyx (13.7%), oropharnyx (6.4%), thyroid gland (6.1%), oral cavity (3.5%), hypopharynx (2.5%), and parotid gland (2.2%) cancer. The major histopathological findings were undifferentiated carcinoma (47.3%) and squamous cell carcinoma (31.2%). Patients with stage I (6.8%), II (13.3%), III (24.5%), and IV (55.4%). Head neck cancer patients at the Otorhinolaringology-Head and Neck Surgery Department, Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung are 1439 cases, with nasopharyngeal carcinoma cases being most predominant. There was a higher instance in middle aged and older, men, and elementary school educated. On the other hand, housewives were also highly affected. Patients came with advanced stages; undifferentiated carcinoma was the major histopathologyKeywords: Epidemiology, head and neck cancer
Prevalensi Kanker Sinonasal di Poliklinik THT-KL RS.Hasan Sadikin Bandung, Januari 2013 – Juli 2015 Evy Shavilla; Nur Akbar Aroeman; Yussy Afriani Dewi; Agung Dinasti Permana
Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan Vol 3, No 1 (2016): Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan
Publisher : Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kanker sinonasal (SNC) relatif jarang, kurang dari 1% dari semua keganasan dan 4% dari tumor di daerah kepala dan leher. Insiden kanker sinonasal sekitar 1: 100.000 orang pertahun di negara berkembang. Kebanyakan berjenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, terutama pada pekerja yang berhubungan dengan paparan kayu dan debu kulit dan senyawa industri lain. Gejala klinis tergantung lokasi dan luasnya tumor. CT Scan adalah alat analisis terbaik untuk menunjukkan perluasan tumor dan kerusakan tulang. Tujuan: Mengetahui prevalensi penderita kanker sinonasal di poliklinik THT-Kl Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia pada Januari 2013 sampai Juli 2015 Metode: Metode deskriptif dari total sampling catatan medis pasien kanker sinonasal. Karakteristik yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, keluhan utama, lokasi tumor, jenis histologis, stadium dan pekerjaan. Hasil: Tercatat 1.081 kanker kepala dan leher pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Januari 2013-Juli 2015. Kanker sinonasal 184 pasien (16,9%), mayoritas pria (67,4%), 47,8% di atas usia 51 tahun. Keluhan utama terutama gejala pada hidung (79,9%). Lokasi tumor terutama di sinus maksilaris (58%), jenis histologis adalah karsinoma sel skuamosa (66,8%), 36,4% pasien bekerja sebagai petani. Sebagian besar pasien datang ke rumah sakit pada stadium III (46,7%). Pengobatan melakukan operasi dan radioterapi (84,2%).Kata Kunci: : Simptom nasal, Kangker Sinonasal, PrevaliensiIntroduction: Cancer of the sinonasal (SNC), is relatively uncommon, comprises of less than 1% of all neoplasms and 4% in the head and neck region. SNC incidence is around 1 : 100,000 person years in most developing countries. Squamous-cell carcinoma and adenocarcinoma account for 80% of all sinonasal tumours, and are aetiologically associated with exposure to wood and leather dust particles and other industrial compounds, recognized as an occupational disease. Clinical symptoms depend on tumor location and extent. CT Scan is the best tool to evaluate tumor expansion and bone destruction. Aims: To ascertain the prevalence of Sinonasal cancer at the Otorhinolaringology-Head and Neck Surgery Departement Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, Indonesia during January 2013 - July 2015 Methods. Total sampling from medical records of sinonasal cancer patients. Specific characteristics studied were gender, age, occupation, chief complaint, tumor location, histological type, staging. Results: There were 1081 head and neck cancer patients, 184 were sinonasal cancer (16,9%). Sinonasal tumor patients are mostly male (67,4%), 47,8% are above 51 years old. The chief complaints were nasal symptoms (79,9%), 36,4% are involved in agriculture. The location was mostly in maxillary sinus (58 %), histological type was squamous cell carcinoma (66,8%), Most patients come in stages III (46,7%). Treatments were surgery and radiotherapy (84,2%).Keywords: Nasal symptoms, sinonasal cancer, prevalence