Dalam artikel ini penulis mencoba mengekplorasi bagaimana konstruksi epistemologi Islam, melalui satu telaah dalam bidang fiqh dan usul fiqh mengenai Teori Mushawwibah dan Mukhaththiah dalam Ushul Fiqh. Pemahaman terhadap masalah ini sangat penting, mengingat saat ini begitu banyak kalangan yang menyerukan perlunya pambaruan dalam bidang fiqh dan usul fiqh akibat meluapnya serbuan ilmu-ilmu dari sosial Barat. Kita dituntut untuk tidak terburu-buru menolak yang baru dan juga tidak meninggalkan khazanah keilmuan Islam klasik, sebelum memahaminya dengan baik dan benar dengan Teori Mushawwibah dan Mukhaththiah dalam Ushul Fiqh ini. Ushul Fqh lebih mampu memasuki sisi-sisi persoalan hukum yang berkaitan dengan perilaku umat Islam. Sehingga Bagi pengikut teori mushawwibah dijelaskan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidaklah satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhaththiah berpendapat bahwa semua kesimpulan yang banyak itu, yang benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada nilai kontradiktifnya. Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, kualitatif, dengan pendekataan perundang-undangan, sejarah, perbandingan dan konseptual serta penelitian ini bersifat normatif. Penelitian ini ditemukan bahwa Islam mengkaji semua teks baik yang tersirat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, baik yang berbentuk zhanni (dugaan), dengan demikian maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda, artinya masih mukhtalaf fih atau perbedaan pendapat. Dalam kajian yang ditawarkan oleh Teori mushawwibah dijelaskan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidaklah satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika para mujtahid dalam menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan kaidah ushul-fiqh. Berbeda dengan teori mukhaththiah yang berpendapat bahwa semua kesimpulan yang banyak itu tadi, maka yang benar hanyalah satu saja, hal ini dikarenakan jika beberapa kesimpulan ada memiliki nilai kontradiktif. Penilaian semacam itu muncul karena ushul fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjektif dan paradigma kualitatif. Penalaran jenis ini kurang begiitu memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul fiqh dianggap diada-adakan dan sifat kebenarnnya itu bersifat spekulasi.